facebooklogocolour

Jutaan orang yang mendiami daerah pedesaan memiliki seribu satu masalah dalam kehidupan. Masalah pertama dan paling utama yang ingin kita tunjukkan di sini adalah masalah mendapatkan pekerjaan. Penyediaan pekerjaan layak bagi masyarakat miskin pedesaan sepanjang tahun -- entah mungkin dari tanah pertanian atau dari jenis pekerjaan lain -- merupakan hal yang paling menonjol yang dihadapi dalam kehidupan pedesaan. Kita tahu bahwa pendistribusian tanah adalah hal yang penting, tetapi ini bukanlah masalah utama. Karena mengingat jumlah minimum tanah yang harus dialokasikan untuk sebuah keluarga -- untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi biaya lain -- ada kelangkaan lahan yang dibutuhkan untuk distribusi di antara seluruh penduduk desa di Indonesia hari ini. Artinya penyelesaian masalah pedesaan saat ini adalah bukan dengan hanya melakukan tugas mendistribusikan tanah kepada massa pedesaan tetapi juga mengakhiri kemiskinan dari buruh tani, petani tak bertanah dan miskin di desa-desa. Ini tidak berarti bahwa dengan menyatakan ini kita mengabaikan kebutuhan atau mencoba untuk meremehkan pentingnya mendukung gerakan petani yang menyerukan pemulihan dan pendistribusian tanah di antara buruh tani, petani tak bertanah dan miskin.

Pada tahun 1963, dengan penduduk kurang lebih 66 juta jiwa, diperkirakan tanah untuk menghidupi keluarga petani, sekitar 1 bau atau sekitar 0,71 hektar. Seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan meningkatnya harga, kebutuhan akan tanahpun meningkat, diiringi dengan meningkatnya jumlah pekerjaan yang dibutuhkan. Apa yang terjadi kemudian ketika mereka tidak mampu mendapatkan pekerjaan di desa? Mereka harus meninggalkan desa dan pindah ke kota, berkerumun untuk mencari pekerjaan sebagai buruh. Dengan demikian, mendistribusikan tanah tidak dapat dengan sendirinya menyelamatkan petani.

Kita akan menganalisa lebih jauh permasalahan ini, bahwa mendistribusikan tanah tidak pula menyelesaikan masalah dari buruh tani, petani tak bertanah dan miskin. Pertama, seperti tersebut di atas, melaksanakan tugas distribusi tanah tidak akan membuat tanah tersedia bagi semua buruh tani, petani tak bertanah, dan miskin. Kedua, mereka mendapatkan tanah tetapi mereka tidak bisa terus berpegang terhadap tanah yang dimilikinya. Karena, seperti yang kita tahu, anggota setiap keluarga terus meningkat dalam jumlah, tetapi tanah tidak tumbuh dalam ukuran. Katakanlah, Si A adalah seorang petani dan Si A sudah mendapatkan 1 hektar tanah. Mungkin sebagian dari kita berpikir bisa mengelola rumah tangga dengan ini. Namun keluarga Si A mempunyai lima anak, atau bila sesuai norma yang ditentukan oleh pemerintah, maka Si A memiliki katakanlah dua anak. Setelah menikah, setiap anak kebagian hanya 0.5 hektar, dan seterusnya setelah mereka punya anak juga.

Meskipun petani menerima, katakanlah 1 bau, yang dapat memecahkan masalah hidup mereka, tidak lantas mereka terus bertahan. Jika anak dari keluarga tidak memiliki pekerjaan lain dan petani tidak dapat menambah lebih banyak lahan miliknya -- tentunya dengan bersaing dengan petani-petani lainnya -- ia akan terpaksa menggadaikan tanahnya pada saat-saat sulit: sakit, upacara pernikahan, dan lain-lain. Lalu ia pun akan bergabung dengan barisan petani tak bertanah. Ini adalah kejadian yang tak terelakkan dalam ekonomi kapitalis pedesaan di negara terbelakang seperti kita.

Perkotaan pun sudah penuh dengan barikade-barikade pengangguran. Angka penganguran dan semi-bekerja melonjak. Di bawah kapitalisme, setiap upaya mekanisasi pertanian, yaitu memodernisasi pertanian dengan traktor dan mesin, akan melemparkan jutaan orang di desa-desa keluar dari pekerjaan dengan sekali pukul. Dengan masalah pengangguran yang sudah begitu parah, kapitalisme tidak dapat melakukan tugas modernisasi pertanian tanpa menciptakan gejolak ekonomi dan sosial yang besar. Oleh karena itu, dengan tatanan sistem ekonomi kapitalis dan mesin negaranya yang ada hari ini, jalan ini tidak dapat mengarah pada solusi dari permasalahan. Dari sudut ini dapat dilihat bahwa penyelesaian tugas revolusi agraria di negara kita terikat kuat dengan tugas mencapai revolusi sosialis.

Dengan berbekal hanya medistribusikan tanah saja, penderitaan di dalam kehidupan pedesaan tidak dapat berakhir dan petani tidak dapat bertahan hidup. Kecuali ada kepastian kerja untuk setiap individu dari keluarga petani miskin di desa. Menyediakan lapangan kerja adalah masalah dasar yang dihadapi kehidupan pedesaan hari ini. Jadi, tidak diragukan lagi, distribusi tanah secara merata merupakan masalah penting dari gerakan petani tapi bukan masalah yang pokok. Dan isu penting dari gerakan petani adalah bagaimana mengembangkan ekonomi pedesaaan melalui mekanisasi dan modernisasi pertanian serta berdampingan membuka jalan menuju industrialisasi dalam rangka memberikan pekerjaan kepada setiap insan di pedesaan.

Sekarang pertanyaannya adalah: bagaimana memberikan pekerjaan kepada setiap individu di desa? Siapa yang akan dan dapat menyediakan ini? Satu-satunya cara untuk menciptakan lapangan pekerjaan adalah dengan membuka jalan menuju industrialisasi yang berkelanjutan. Pabrik-pabrik dapat dibangun dan pengembangan industri bisa berjalan tanpa hambatan. Dengan kata lain, bila jalan menuju industrialisasi skala-penuh bisa dibuka, maka upaya bersama bisa terus berjalan dalam ekonomi pertanian untuk mekanisasi dan modernisasi. Industri pendukung dan pembantu dalam ekonomi pertanian bisa mulai berkembang di daerah pedesaan, dan membuat pertumbuhan yang cepat dalam produksi pertanian dan menyerap pengangguran di desa. Penampilan desa secara radikal akan berubah. Namun kita tahu bahwa industrialisasi dan penyediaan lapangan pekerjaan tidak dapat terlaksanakan dalam batasan kapitalisme. Bila di pekotaan saja, yang merupakan pusat dari ekonomi kapitalis, lapangan pekerjaan yang memadai tidak dapat disediakan, apalagi di pedesaan. Belum lagi krisis ekonomi dunia baru-baru ini telah menghancurkan ratusan juta lapangan pekerjaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dalam situasi ini, kebutuhan negara terbelakang seperti kita adalah untuk melakukan industrialisasi dengan inisiatif yang selalu baru sehingga dapat menyerap tenaga pengangguran. Sekarang, industrialisasi kita berjalan dengan motifnya mendapatkan keuntungan maksimum atas dasar hubungan produksi kapitalis, dan berdiri sebagai hambatan utama kemajuan masyarakat. Oleh karena itu, selama sistem ini tidak dihapus, kita tidak dapat menyelesaikan  tugas revolusi agraria -- yang berarti memodernisasi pertanian dan menyediakan lapangan kerja untuk penduduk pedesaan secara menyeluruh. Untuk menyelesaikan masalah dasar dari kehidupan pedesaan dan mewujudkan pembangunan industri secara sosialis, kita perlu mengakhiri sistem ekonomi saat ini, yakni sistem kapitalis.  Kekuasaan buruh dan tani harus didirikan dan mengganti sistem kapitalis dengan sistem sosialisme.

Tetapi di antara gerakan kiri Indonesia, ada yang mengatakan bahwa perjuangan utama di Indonesia hari ini adalah menentang kapital monopoli dan feodalisme. Mari kita menelisik lebih jauh apa yang dimaksud anti kapital monopoli dan feodalisme dalam perjuanganya di negara kapitalis Indonesia sekarang.

Kapitalisme secara keseluruhan hidup dari ekploitasi rakyat pekerja. Gerakan kiri di Indonesia yang menentang kapital monopoli dan feodalisme menempatkan tanggung jawab ekploitasi kelas kapitalis secara keseluruhan ini pada segelintir kapitalis monopoli. Alih-alih berdiri mengambil sikap menggulingkan negara kapitalis secara keseluruhan, mereka menyembunyikan karakter dari eksploitasi kapitalis itu sendiri. Kapitalisme monopoli hanyalah bentuk dari kapitalisme itu sendiri. Ia adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Jika mereka-mereka ini tidak memiliki program revolusi sosialis, maka semua tugas mereka memerangi kapital monopoli adalah slogan kosong. Mereka mencoba melindungi kelas borjuis secara keseluruhan dari rakyat pekerja dengan menggeser tanggungjawab dari semua kelakuan buruk dari borjuasi secara keseluruhan ke pundak beberapa kapitalis monopoli.

Sedikit refleksi juga mengungkapkan bahwa slogan dari pihak anti feodalisme tidak lebih dari sebuah slogan kosong. Apapun bentuk kapitalisme di negara kita, bagaimanapun  keterbelakangannya, kapitalisme adalah fitur utama dan ekploitasi kapitalis dilakukan baik di dalam pertanian maupun industri. Sekarang marilah kita melihat lebih jauh sifat-sifat ekonomi pertanian di negara kita. Dari pembahasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa hampir lebih dari separuh dari penduduk pedesaan telah berkurang ke tingkat petani tak bertanah dan buruh tani. Secara bertahap mereka kehilangan lahannya, sementara sebagian besar tanah di negara ini telah terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Di sisi lain sebagian besar masyarakat pedesaan bergeser ke tingkat proletariat pedesaan. Ini adalah hukum yang tidak terelakkan dari perkonomian kapitalis.

Kita tahu bahwa negara kita menjalankan ekonomi kapitalis yang menjadi akar dari eksploitasi. Entah di perkotaan ataupun di pedesaan, produksi dilakukan atas dasar hubungan produksi kapitalis, yakni di satu pihak adalah pemilik modal (atau pemilik alat produksi) dan di lain pihak adalah buruh yang bekerja untuk upah. Dalam kata lain, kerja-upahan. Di pedesaan, kita juga melihat hubungan kerja-upahan antara buruh tani dan pemilik lahan, baik itu lahan perorangan maupun lahan agrobisnis.

Mari sekarang kita periksa karakter ekonomi pedesaan. Apakah karakter ekonomi pedesaan hari ini feodal, pemilik tanah menghasilkan sebagian besar untuk konsumsi mereka sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, dan mereka menjual sebagian dari produk ini di pasar lokal sesuai hukum dari pasar lokal? Atau, apakah pemilik lahan menghasilkan produk menurut tuntutan pasar nasional dan dunia? Selain itu, apakah harga hasil pertanian di desa tetap dalam hukum pasar lokal, atau komoditas pertanian berubah menjadi komoditas pasar nasional dan dunia hari ini?

Coba nyalakan televisi, Anda dapat mengetahui bahwa hasil pertanian hari ini dikendalikan oleh pasar saham, pasar grosir, dan pasar modal. Para pemilik tanah menjual produk mereka di pasar-pasar raksasa ini, sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh mereka. Jadi, hari ini tanah juga berubah menjadi sarana investasi modal selayaknya seperti pabrik.

Oleh karena itu, semua  ini – terkonsentrasinya sebagian besar tanah di tangan segelintir orang, penurunan sebagian besar orang desa ke tingkat proletar, transformasi negeri ini ke dalam alat investasi modal, produksi pertanian terjadi atas dasar kerja-upahan dan transformasi hasil pertanian menjadi komoditas pasar nasional dan dunia – menunjukkan bahwa ekonomi pertanian Indonesia adalah ekonomi yang sepenuhnya kapitalis. Namun, kapitalisme Indonesia mundur dan terbelakang. Kaum kapitalis Indonesia tidak mandiri dan tidak progresif. Elit penguasa mabuk kebiasaan feodal. Namun, ada yang menyangkal bahwa ekonomi pertanian negara kita adalah ekonomi kapitalis. Mereka yang mengucapkan itu kurang mengerti bahwa kapitalisme membuat terobosan terhadap ekonomi pertanian di negara terbelakang.

Pada abad ke-18, ketika kapitalisme progresif, revolusi dunia berada pada tahap revolusi borjuis (kapitalis). Kapitalisme membuat langkah melalui perjuangan tanpa kompromi melawan feodalisme. Transformasi revolusioner produksi dan industrialisasi dalam skala luas berlangsung atas dasar hubungan kapitalis. Kapitalisme membuat terobosan ke pertanian dengan mekanisasi untuk pasokan bahan baku, untuk memenuhi kebutuhan industrialisasi dan menciptakan kerja surplus dari mayoritas rakyat desa untuk diserap ke dalam industri. Tetapi di era sekarang, ketika kapitalisme secara intensif menghadapi krisis, banyak industri yang terpaksa tutup karena kalah bersaing. Ini menyebabkan kembalinya momok pengangguran. Kapitalisme dan mesin negaranya tidak dapat menyelamatkan situasi ini. Itulah sebabnya, di bawah sistem kapitalisme, modernisasi sistem pertanian besar-besaran tidak dapat terwujud. Ini yang dinamakan “konspirasi” kapitalis yang memaksa jutaan orang pedesaan dalam keadaan kelaparan.

Kapitalisme di negara kita dibesarkan di atas kompromi dengan feodalisme. Karena itu, kita menjadi negara terbelakang, mabuk feodal dalam kebiasaan dan praktek yang masih bertahan sebagai pencampuran hubungan dasar kapitalis dan ekploitasi dalam proses produksi pertanian. Sama seperti kotoran bercampur emas. Dalam situasi ini, orang yang menganjurkan memukul sisa-sisa feodal, adalah mereka yang memohon untuk eksploitasi kapitalis, tidak peduli mereka menggunakan retorika melawan borjuasi. Kita harus memahami masalah ini dengan jelas. Kita harus menyadari bahwa, musuh utama dari perjuangan revolusioner kaum buruh, petani dan elemen tertindas lainya adalah kaum borjuis.

Dari setiap sudut kita menemukan bahwa dari tiga masalah dalam kehidupan petani, salah satunya adalah penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelebihan penduduk yang jumlahnya bertambah setiap hari. Masalah lain juga menyangkut memodernisasi dan mekanisasi pertanian. Dan solusi atas kedua masalah dasar ini tak terpisahkan dan terkait erat dengan revolusi industri yang membuka pintu untuk pengembangan industri tanpa hambatan. Dan kemajuan industri tanpa hambatan hanya dapat dicapai ketika kita dapat terbebas dari hubungan produksi kapitalis, menggulingkan sistem kapitalisme dan negaranya dengan kekuatan revolusi sosialis.

Jadi, demi kemajuan untuk mengakhiri penderitaan buruh tani dan petani miskin, serta menghilangkan kegelapan dari kehidupan pedesaan, modernisasi dan mekanisasi pertanian adalah kebutuhan. Tetapi dalam situasi saat ini, hal ini tidak dapat dicapai di bawah sistem kapitalisme. Jika dicoba, bagian yang sangat luas dari buruh tani dan tani miskin akan terlempar menganggur dalam sekali pukul. Oleh sebab itu, demi kelangsungan hidup dan kepentingan buruh tani, petani tak bertanah, petani miskin, semua harus bersatu tanpa ditunda lagi dan bergabung dengan proletariat industri untuk terlibat dalam menyelesaikan tugas revolusi sosialis. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menggantikan kapitalisme, karena dengan menggulingkannya akan menjamin kemajuan industri tanpa hambatan. Modernisasi dan mekanisasi pertanian akan dimungkinkan, yang lalu akan menyelesaikan masalah kemiskinan dan kelangkaan pekerjaan di pedesaan.