im 743192Keruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) pada 10 Maret lalu telah dengan cepat menyebar ke seluruh perbankan dunia. Imbasnya menyebrangi lautan Atlantik sampai mencapai Eropa, dengan tumbangnya Credit Suisse, bank Swiss yang ternama itu. Dalam waktu satu minggu saja, saham Credit Suisse rontok dan akhirnya dibeli murah oleh saingannya UBS. Berakhirlah salah satu bank tertua di dunia yang didirikan pada 1856 itu. Ini tentunya bukanlah akhir dari kapitalisme, tetapi satu dari tanda-tanda periode kapitalisme yang sakit-sakitan yang tengah kita masuki.

Awalnya, petinggi perbankan mengumbar bahwa jatuhnya SVB adalah fenomena yang terisolasi, dan fundamen perbankan AS dan dunia kokoh. Semakin para pejabat perbankan ini bersikeras kalau semua hal itu baik-baik saja, semakin terlihat kepanikan di balik ketenangan yang dipaksakan oleh pernyataan mereka. Pasar segera bereaksi. Satu per satu saham-saham bank rontok.

Dalam kapitalisme finansial hari ini, tidak ada satu pun bank yang bisa membebaskan dirinya dari jejaring finans yang mengikat semua modal. Jatuhnya SVB merupakan gejala dari kontradiksi-kontradiksi finansial dunia yang sudah mencapai titik nadirnya. 

Klien SVB terutama adalah perusahaan-perusahaan tech start-up. Akibat kebijakan suku bunga rendah selama periode sebelumnya (2009-2022), sektor tech mengalami boom besar. Ratusan miliar dolar “uang murah” mengalir deras ke sektor tech. Bank-bank yang melayani sektor tech pun tumbuh pesat, dan salah satunya adalah SVB,yang selama periode yang sama tumbuh menjadi bank terbesar ke-16 di AS dengan nilai saham yang melejit lebih dari 30 kali lipat pada puncaknya. Tetapi ternyata boom ini tidak hanya dangkal tetapi ilusif. Perusahaan-perusahaan tech ini hanya bisa tumbuh di bawah rejim uang murah. Dengan perubahaan kebijakan suku bunga baru-baru ini, terjungkal-lah sektor tech.

Untuk menyokong kapitalisme semenjak krisis finansial 2008, bank-bank sentral telah menerapkan kebijakan Quantitative Easing (secara efektif, kebijakan cetak uang) dan kredit murah. Harapannya, ini akan mendorong investasi produktif. Tetapi harapan tinggal harapan. Kapitalis lebih memilih melakukan investasi yang bersifat spekulatif, dan salah satu spekulasi yang jadi idola adalah sektor tech. Seperti yang telah kita jelaskan, kebijakan fiskal dan moneter yang super longgar ini pada akhirnya akan menciptakan inflasi. Problemnya sederhana: bila suplai uang ditingkatkan tanpa adanya peningkatan produksi, maka harga uang tersebut akan jatuh. Inilah yang terjadi pada 2022. Badai inflasi menghantam dunia.

Untuk menjinakkan inflasi ini, pemerintahan mendorong kenaikan suku bunga dengan kecepatan yang tak pernah terlihat sebelumnya. Kenaikan suku bunga ini menghantam sektor tech yang selama ini mengandalkan kredit murah. Pada 2022, nilai perusahaan-perusahaan tech rata-rata anjlok sampai 30 persen, dan banyak lainnya yang gulung tikar. Tahun 2022 adalah tahun PHK bagi banyak pekerja sektor tech. Gelombang pemecatan ini masih terus berlanjut hingga tahun ini, dengan Amazon yang memecat 9000 buruh pada Maret, setelah 18.000 diPHK pada Januari tahun yang sama. Tahun 2022, 160.000 pekerja tech kehilangan pekerjaan mereka. Pada 6 minggu pertama tahun 2023, 100.000 kehilangan pekerjaan mereka. 

Kebijakan kenaikan suku bunga yang sama juga memicu jatuhnya SVB dan kesulitan-kesulitan perbankan lainnya. SVB memegang banyak surat obligasi pemerintah, dan ketika suku bunga bank sentral naik maka harga surat obligasi ini menurun. Ini segera menciptakan ketidakseimbangan dalam pembukuan SVB. Di tengah situasi ekonomi dunia yang tidak menentu, ini langsung memicu kepanikan di antara nasabah SVB. Banyak nasabah langsung berbondong-bondong menarik uang mereka dari SVB dan SVB ternyata tidak memiliki cukup kapital untuk menutupi penarikan uang dalam jumlah besar ini. Dalam waktu beberapa hari, SVB jatuh dan diambil alih oleh pemerintah. Efeknya menyebar dengan cepat ke seluruh perbankan dunia.

Pemerintah dihadapkan dengan dilema yang dalam. Bila suku bunga tidak dinaikkan, inflasi akan terus tak terkendali dan mengacaubalaukan ekonomi. Tetapi kalau dinaikkan, hasilnya adalah resesi. Selama beberapa bulan terakhir, bank-bank sentral tampak percaya diri kalau kenaikan suku bunga yang mereka terapkan telah berhasil diterapkan dengan mulus, atau dengan ekonomi yang soft landing, alih-alih anjlok dalam resesi tak terkendali. Ekonomi kita tangguh, kata mereka. Ternyata dampak suku bunga tinggi bersembunyi di belakang, dan seperti tekanan magma dalam gunung berapi akhirnya meledak. Jelas tidak ada pilihan yang baik. Krisis perbankan ini diramalkan akan mendorong bank-bank untuk mulai menghentikan kenaikan suku bunga, atau bahkan menurunkannya. Tetapi bagaimana dengan inflasi? Sungguh tidak ada jalan keluar bagi kapitalis.

Halaman-halaman pers finansial kini penuh dengan kepanikan. Para bankir yang paling serius menarik kesimpulan yang sama seperti kaum revolusioner. Chief Executive institusi finansial terbesar BlackRock, Larry Fink, telah memperingatkan bahaya krisis dalam sistem finansial AS menyusul jatuhnya SVB. Dalam pernyataannya, dia memperingatkan akan adanya goncangan dan kebangkrutan lainnya. Pendiri institusi finans yang bernilai 8,6 triliun dolar ini mengatakan dengan tepat bahwa jatuhnya SVB adalah contoh dari “harga yang kita bayar dari puluhan tahun uang murah”. 

Walaupun SVB sering kali dianggap sebagai bank regional, tetapi sesungguhnya asetnya merambah ke mancanegara. Dengan aset senilai $209 miliar, SVB adalah kebangkrutan bank terbesar dalam sejarah AS setelah kebangkrutan Washington Mutual pada krisis 2008 yang terkenal itu. Kita masih diingatkan bagaimana kelas penguasa dengan tergesa-gesa menggelontorkan bailout untuk perusahaan-perusahaan kapitalis pada 2008. Kini mereka pun dengan cepat mencoba menyelamatkan SVB. 

Para pejabat awalnya mengatakan bahwa mereka tidak akan memberi bailout. Jelas mereka sangat takut akan konsekuensi politik yang muncul bila mereka terlihat sekali lagi berpihak pada elite-elite perbankan. Tetapi, dalam waktu sehari saja, mereka akhirnya mengubah nada mereka. Pemerintah langsung memberikan jaminan akan melindungi semua nilai deposito dari klien SVB. 

Setiap kali krisis finansial menghantam, semua dogma mengenai pasar bebas, mengenai jahatnya intervensi negara, menguap dengan cepat. Klien-klien utama Bank SVB adalah perusahaan startup, yang biasanya diisi oleh sosok-sosok yang paling anti regulasi pemerintah dan anti intervensi pemerintah. Mereka dianggap sebagai pembela pasar bebas. Menurut mereka, inovasi hebat startup mereka hanya bisa berhasil bila tidak ada regulasi dan intervensi pemerintah. Namun ketika SVB jatuh, para klien ini langsung memohon kepada pemerintah untuk melindungi deposito mereka. Negara kapitalis yang tujuannya melindungi kapitalis langsung memenuhi permohonan mereka. Seharusnya, hanya deposito di bawah 250 ribu dolar dijamin oleh asuransi negara. Di atas itu tidak ada jaminan. Tetapi mayoritas klien SVB adalah perusahaan besar dengan deposito jutaan dolar. Tiba-tiba sang pembela pasar bebas jadi pemohon intervensi negara. Mereka ingin kapitalisme bila ini berurusan dengan profit mereka; tetapi bila mereka menderita kerugian, tiba-tiba “sosialisme” jadi pilihan mereka.

Ini hanya menunjukkan sekali lagi bahwa tidak ada itu yang namanya pasar bebas hari ini. Negara kapitalis hari ini memainkan peran besar untuk terus menjaga keberlangsungan perusahaan kapitalis, dan yang harus menanggung biaya ini adalah rakyat pekerja. Karena jelas SVB tidak akan memiliki aset yang cukup untuk menutupi semua deposito nasabahnya. Ini berarti pemerintah yang harus menalanginya, dan rakyat pekerja akan membayarnya dengan pemangkasan anggaran-anggaran sosial.

Kapitalisme sungguh tengah meluncur dari krisis ke krisis. Setiap kali mereka menemukan satu solusi untuk menghadapi problem yang ada di depan mata mereka, ternyata ini hanya menyiapkan problem lainnya di hari depan yang bahkan lebih parah. Ada urgensi untuk menumbangkan sistem yang sudah sekarat ini, yang sudah tertatih-tatih tetapi menolak untuk mati. Yang diperlukan adalah kegigihan untuk membangun organisasi revolusioner yang mengemban tugas untuk menumbangkan sistem kapitalisme ini.