facebooklogocolour

Tiga Oktober akan kita saksikan sebuah peristiwa penting di dalam gerakan buruh Indonesia, dimana untuk pertama kalinya dalam 50 tahun buruh Indonesia akan melakukan mogok umum nasional yang diperkirakan akan melibatkan 2 juta buruh. Tiga tuntutan menjadi dasar dari pemogokan nasional ini: hapus outsourcing dan sistem kerja kontrak, tolak upah murah, dan kesehatan gratis untuk semua rakyat.

Mogok umum nasional ini bukan sesuatu yang jatuh dari langit, tetapi adalah kulminasi dari proses radikalisasi buruh satu tahun belakangan ini. Aksi-aksi radikal ratusan ribu buruh yang mogok dan menutup kawasan industri dan jalan tol; kepemimpinan buruh di dalam aksi menolak kenaikan BBM Maret ini yang memaksa pemerintah untuk mundur; aksi May Day terbesar dengan turunnya 160 ribu buruh ke jalan, lalu disertai pembentukan MPBI yang menyatukan 5 juta buruh; semua ini adalah proses berkesinambungan.

Buruh juga sudah mulai menuntut persoalan-persoalan di luar pabrik mereka, contoh kecil seperti buruh Gresik yang berjuang untuk pendidikan gratis sampai kulminasi tertinggi aksi buruh menolak BBM tahun ini. Perjuangan buruh sudah mulai melampaui batas gerbang pabrik mereka, melampaui “normatif pabrik” dan menuju “normatif masyarakat luas”. Ini pada gilirannya akan menyentuh masalah politik dan kekuasaan. Untuk memenangkan tuntutan “normatif pabrik”, buruh cukup mogok di satu pabrik untuk menekan sang pemilik. Tetapi untuk memenangkan tuntutan “normatif masyarakat luas” (kesehatan gratis, pendidikan gratis, dll.), maka perjuangan harus mulai digiring ke panggung politik yang luas. Di sinilah masalah kekuasaan negara mulai terkedepankan, dimana perjuangan ekonomisme akan terhubungkan ke perjuangan politik. Di sini pula kelas buruh menemukan peran kepemimpinannya dalam perjuangan kesejahteraan rakyat luas.

Kelas buruh Indonesia telah melalui sejumlah fase penting di dalam 50 tahun terakhir, yang dipenuhi dengan pasang naik dan surut, kemajuan dan kemunduran:

1. Masa kejayaan (akhir 50an dan awal 60an)

Gerakan buruh di masa kejayaan mereka pada akhir 50an dan awal 60an, dengan SOBSI sebagai federasi buruh terbesar saat itu – yang anggotanya lebih dari 3 juta, melebihi bahkan federasi atau konfederasi buruh manapun hari ini.

2. Kekalahan (1965)

Lalu pada 1965 gerakan buruh mengalami kekalahan terbesarnya, hancur luluh lantak secara fisik dan juga ideologis ketika rejim Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan.

3. Kelahiran kembali (pertengahan 80an)

Pergeseran ekonomi Indonesia dari migas ke manufaktur pada pertengahan 80an melahirkan lapisan proletariat baru. Lapisan proletariat baru ini, yang terlempar dalam jumlah ribuan ke pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan yang menggoncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan yang tercatat pada tahun 1990an meningkat pesat, dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994.

4. Reformasi

Reformasi, kendati tidak membawa perubahan fundamental, telah membuka kran demokrasi untuk buruh. Serikat-serikat buruh independen tumbuh berjamuran. Sementara buruh-buruh SPSI yang terbangunkan oleh Reformasi juga mulai menggoncang serikat Orde Baru ini. Cengkraman SPSI lama mengendor dan perpecahan-perpecahan terjadi. Di periode ini, buruh mulai mempelajari kembali tradisi berjuang mereka yang telah lama hilang.

Pemogokan nasional ini akan menjadi fase berikutnya di dalam sejarah gerakan buruh, yakni sebuah titik balik dimana kekuatan buruh menjadi kekuatan politik riil yang tidak hanya diakui dan disegani oleh massa rakyat luas tetapi juga ditakuti oleh kelas penguasa. Buruh dengan mogok nasionalnya, yang salah satu tuntutannya juga menyentuh rakyat luas, untuk pertama kalinya akan masuk ke panggung politik nasional. Di mata rakyat pekerja luas, mereka bukan lagi hanya “beberapa puluh atau ratus buruh pabrik A yang menuntut kenaikan gaji”, tetapi mereka mulai menjadi kelas buruh Indonesia yang menuntut perbaikan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Pada masa Reformasi, posisi ini dipegang oleh kaum mahasiswa, yang menjadi penyambung lidah rakyat. Hari ini buruh akan mulai menggenggam peran historis mereka sebagai kelas yang memimpin perjuangan rakyat tertindas.

Kemenangan telak kapital atas buruh selama rejim kediktaturan Soeharto telah membuat kelas kapitalis Indonesia arogan. Selama 50 tahun terakhir sejak hancurnya gerakan buruh, mereka tidak pernah merasa terancam oleh kelas buruh. Bahkan mereka sendiri percaya bahwa sudah tidak ada lagi kelas buruh, bahwa sudah tidak ada lagi kelas-kelas di dalam masyarakat, dalam kata lain sudah terbentuk “masyarakat borjuasi tanpa kelas”. Pemogokan umum nasional ini akan membangunkan kelas kapitalis Indonesia dari mimpi indah mereka dan membuat mereka belajar untuk takut kembali pada kelas buruh. Ia akan membuka sebuah babak baru di dalam perjuangan kelas yang tak terdamaikan antara kapital dan buruh.

Satu hal yang harus dicatat oleh semua kaum revolusioner adalah bahwa mogok umum nasional ini – yang merupakan peristiwa penting dalam sejarah gerakan buruh Indonesia – diprakarsai oleh MPBI, yang secara umum bisa digambarkan sebagai serikat reformis atau kuning. Fakta ini menegaskan sekali lagi bahwa ketika buruh bergerak mereka akan menggunakan organisasi yang ada di tangan mereka, tidak peduli organisasi mereka atau mayoritas pemimpin mereka adalah reformis dan bahkan mungkin korup. Massa buruh terbesar masih ada di serikat-serikat reformis dan kuning. Oleh karenanya tugas kaum revolusioner adalah berorientasi ke sana. Usaha-usaha mengisolasi diri di dalam serikat-serikat buruh merah dan radikal hanya akan memisahkan kaum revolusioner (dan gagasan revolusioner mereka) dari massa buruh luas.

Pernyataan-pernyataan dukungan dari serikat-serikat buruh merah atas mogok nasional ini, dan bahkan keterlibatan dari beberapa dari mereka, adalah langkah yang tepat. Ini harus terus diperdalam dan tidak berhenti pada momen mogok nasional ini saja. Tugas kaum buruh termaju adalah berorientasi ke buruh-buruh yang kesadarannya lebih terbelakang, tidak peduli dimanapun mereka berada. Kita harus bisa bekerja di dalam organisasi massa buruh apapun, dari yang merah sampai yang reaksioner sekalipun bila perlu. Tidak boleh ada halangan prinsipil untuk bekerja di dalam organisasi buruh reformis.

Pemogokan nasional pertama ini tidak serta merta akan segera melahirkan keberhasilan. Seperti seorang bayi yang sedang mencoba berdiri untuk pertama kalinya, ia akan tersungkur beberapa kali. Tetapi kita tahu bahwa sang bayi pada akhirnya akan berdiri, lalu berjalan, berlari, dan melompat. Juga ketika sang bayi berdiri untuk pertama kalinya, dunia pun akan dilihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Pemogokan nasional ini akan menggoncang kesadaran kaum buruh secara luas. Mereka akan mulai melihat menembus batas gerbang pabriknya, bahwa di luar sana ada jutaan buruh lainnya yang nasibnya dan kepentingannya sama dengan dia. Mereka akan mulai melihat dirinya sebagai sebuah kelas untuk dirinya sendiri. Mereka akan mulai melihat dirinya sebagai kelas yang bisa – dan harus – memimpin perjuangan rakyat tertindas lainnya.

Kelas buruh Indonesia mulai berdiri lagi dan berjalan dengan tegap dan percaya diri. Mereka-mereka yang dulu menyangkal potensi revolusioner buruh sekarang dihadapkan dengan fakta keras. Mereka tidak bisa lagi menutup mata mereka dari kekuatan kelas buruh. Dan bagi mereka yang masih mencibir kelas buruh bahkan setelah menyaksikan pemogokan nasional ini, kita akan tinggalkan orang-orang dungu ini di tong sampah sejarah sementara buruh terus bergerak menuju tugas historis mereka: penumbangan kapitalisme dan pembangunan sosialisme.