“Saya seorang muslimah dan seorang Marxis”

Perjuangan untuk membebaskan perempuan dari penindasan kapitalisme seringkali terhadang oleh perspektif keagamaan yang sempit. Perspektif keagamaan mainstream yang bercorak patriarkal sering kali justru menjadi partner dari kapitalisme dalam menindas perempuan. Dalam perspektif keagamaan Islam mainstream, misalnya, dengan alasan untuk menjaga auratnya, perempuan ditempatkan di posisi subordinat dengan laki-laki dan di posisi kedua di dalam relasi produksi dan sosial.

Namun apa ini berarti gembar-gembor emansipasi perempuan mainstream (Feminisme Liberal Borjuis) adalah sesuatu yang lantas harus dipeluk? Saya pikir tidak. Justru penolakan dari sejumlah pemeluk agama Islam terhadap emansipasi perempuan ala Liberal adalah bentuk penolakan terhadap kemunafikan kapitalisme, yang tangannya mencekik leher perempuan sembari berkoar mengenai hak sakral perempuan sebagai manusia. Pada bulan Maret 2004, misalnya, dengan alasan emansipasi perempuan, Senat Perancis mengesahkan undang-undang yang melarang pelajar perempuan mengenakan jilbab. Hukum baru ini tidak hanya melarang jilbab, tetapi semua “tanda” dan atribut keagamaan. Yang lebih menggelikan lagi, UU ini juga melarang kaum laki-laki muslim mamanjangkan jenggot dan menggunakan kopiah. Pada saat yang sama, pemerintahan Prancis ini, di bawah Sarkozy, adalah pemerintahan yang mengesahkan banyak pemotongan anggaran sosial (pendidikan, kesehatan, dll.) yang membuat hidup kaum pekerja perempuan semakin sulit. Pemerintahan yang sama ini juga adalah pemerintahan imperialis, yang mendukung ekspansi modal dan pasar kapitalis, menyeret jutaan buruh perempuan ke pabrik-pabrik dengan upah yang menyedihkan dan kondisi kerja yang mengenaskan. Kaum feminis yang mendukung langkah-langkah pelarangan jilbab tersebut adalah kaum feminis yang diperalat oleh kapitalisme untuk membangun klaim superior dengan tujuan ekonomik-politik; untuk perluasan modal dalam skala domestik dan global. Dan semua ini dibangun dengan kedok memerangi "terorisme Islam”.

Ini sama dengan perang di Afghanistan. Pemerintahan Bush mendapat dukungan yang sangat besar dari kaum feminis liberal AS untuk melakukan perang di Afghanistan dengan slogan yang konyol dan memalukan, bahwa perang akan "membebaskan" perempuan Afghanistan dari tirani pemerintahan Taliban. Lalu, dengan perasaan bangga yang berpura-pura, Sang Ibu Negara, Laura Bush,berkata, "The fight against terrorism is also a fight for the rights and dignity of women” (Perang melawan terorisme juga merupakan perjuangan untuk hak-hak dan martabat perempuan). Saya rasa saya tidak perlu membuat daftar semua tindak kejahatan rejim borjuis Amerika di muka bumi ini.  Kita cukup lihat kondisi perempuan di Amerika dengan satu statistik: gaji perempuan 25% lebih rendah daripada pria. Kesenjangan besar ini terjadi di negara “Demokrasi Terbesar” di dunia.

Agama yang dipahami secara mistik, tidak materialis dan sempit, yang telah menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat, harus dilawan dan dikritisi. Tetapi, kapitalisme yang telah menjerumuskan perempuan dalam kubangan kotor modalnya, menjadikannya budak demi akumulasi keuntungannya, harus dihancurkan hingga ke akar-akarnya.

Di tangan penindas, agama kerap digunakan sebagai pendukung praktek penindasan. Tetapi bagi rakyat tertindas, dalam batasan tertentu, agama bisa menjadi kekuatan untuk melawan penindasan. Sebagai seorang muslimah dan seorang Marxis, yang sedang aktif melakukan perjuangan demi membebaskan perempuan dari penindasan kapitalisme, saya tidak akan melepas atribut kemuslimahan saya karena provokasi dari slogan-slogan pembebasan perempuan ala Barat. Juga, saya tidak akan melepas atribut ini karena saya seorang Marxis. Marxisme tidaklah paralel dengan ateisme vulgar. Dengan logikanya yang dialektis, materialis dan historis, Marxisme memberi ruang kepada agama untuk tetap hidup dan berkembang secara dialektis dalam batasan sejarah. Bahkan Lenin pernah menulis, “Setiap orang harus benar-benar bebas untuk memeluk agama apapun yang dia pilih, atau memilih tidak memeluk agama ...”

Apa arti ‘perjuangan kelas’ bagi saya sebagai seorang muslimah?  Inilah pertanyaan penting yang telah mengubah cara berpikir saya. Dengan mendasarkan diri atas Marxisme, perjuangan saya untuk membebaskan perempuan dari seluruh macam penindasan tidak lagi berperspektif picik dan setengah-setengah. Di dalam Marxisme, dengan perspektif kelasnya, saya mampu melihat bahwa perjuangan perempuan ala feminisme Barat hanyalah tindakan yang sia-sia, munafik, dan jelas untuk kepentingan kapitalisme. Dengan perspektif kelas Marxis pula, saya mampu melihat agama, yang telah mensubordinasi peran perempuan, bukan sebagai musuh. Di dalam masyarakat kelas, ada dua macam agama: agamanya kelas penindas, dan agamanya kelas tertindas. Kelas yang menindas, yakni sekarang kaum kapitalis (dan juga kaum feodal), selalu berusaha memaksakan pemahaman agama mereka yang picik dan sempit kepada kaum tertindas. Semua demi satu tujuan: membuat kelas tertindas selalu tunduk. Oleh karena itu, kewajiban saya sebagai seorang muslimah dan seorang Marxis, adalah menghilangkan kerak-kerak kapitalistik dalam diri agama. Kewajiban saya sebagai muslimah adalah juga melawan pemahaman-pemahaman picik dan sempit, yang disebarluaskan oleh kelas penindas, di dalam agama, dan juga membebaskan potensi agama sebagai kekuatan revolusioner.

Akhirnya, di sinilah, di dalam ‘perjuangan kelas’, sebagai seorang muslimah, saya mampu melihat agama sebagai instrumen pembebas; sebagai pendukung utama dalam perjuangan perempuan melawan sistem patriarkal yang diciptakan oleh kapitalisme; sebagai pendukung utama dalam perjuangan kelas proletar melawan penindasan kapitalisme. Dan sebagai seorang muslimah pula, saya mulai membayangkan penciptaan “surga” di dunia – tidak hanya menunggu surga di akherat.