facebooklogocolour

KPKBudi Gunawan (BG) bebas dari jerat hukum, meskipun memiliki rekening gendut. Abraham Samad dipanggil penyidik Polri, dengan kasus yang terbilang sepele. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Sudah sangat jelas, ini adalah upaya pelemahan terhadap KPK. Hadirnya KPK, sebagai institusi pemberantasan korupsi, sebenarnya, tidak diinginkan oleh sebagian besar elemen penguasa. Oleh sebab itu, sejalan dengan perubahan-perubahan kepentingan, institusi prestisius ini pun akan dilemahkan.

Hari ini, melihat drama politik Polri-KPK, saya seperti sedang menonton pementasan drama-drama tragedi karya Shakespeare. Drama politik yang sedang dimainkan oleh para aktor bayaran berpengalaman ini sangat menegangkan, bahkan, lebih jauh, mirip sekali dengan pertunjukan tarian striptis, di mana para penari akan melepas lapisan persembunyiannya satu per satu. Dalam teori tentang panggung pementasan, pementasan yang berhasil adalah pementasan yang mampu menyuguhkan ketegangan-ketegangan.

Pementasan drama politik Polri-KPK, sebagai analogi, rasanya sangat mirip dengan pementasan drama tragedi karya Shakespeare yang berjudul Othello, the Moor of Venice. Drama tersebut berhasil menampilkan ketegangan-ketegangan, yaitu tentang benci dan kecemburuan. Bagian yang paling menegangkan adalah fase komplikasi, di mana terdapat adegan-adegan yang penuh dengan aksi konspirasi. Setelah itu, terdapat ketegangan yang semakin membesar, ketegangan puncak, atau kesimpulan. Pada fase ini semuanya telah menjadi jelas. Kekuatan-kekuatan yang sedang berkepentingan mulai menunjukkan batang hidungnya. Konspirasi-konspirasi pun mulai terkuak. Lalu penonton secara serentak bergumam, “Oh, jebule begitu!”

Tapi drama politik Polri-KPK ini belum usai. Kemelutnya belum sampai pada fase kesimpulan. Namun, ketika mendengar pernyataan-pernyataan dari Taufiequrachman Ruki hari ini, sepertinya sudah mulai mengarah ke situ. Ruki, mantan petinggi Polri, yang beberapa hari lalu diangkat sebagai komisioner KPK setelah Abraham Samad dijadikan tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen, menyatakan bahwa antara Polri dan KPK tidak ada konflik, yang ada hanya friksi saja. Pernyataan tersebut berbau sangat khas—bau keringat borjuis. Tentu Ruki tidak sedang bersikap jujur. Ini demi politik borjuis, demi kompromi. Dan sudah barang tentu, ini sebuah kekalahan telak bagi KPK; melemahnya KPK.

Upaya perdamaian yang dilakukan oleh Ruki (mewakili KPK) dengan calon tunggal Kapolri, Badroddin Haiti (mewakili Polri), merupakan langkah mundur bagi KPK. Jika di era Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) institusi pemberantasan korupsi diposisikan sebagai sekedar institusi tambahan, di era sekarang institusi tersebut terlempar ke posisi yang lebih rendah, seperti institusi-institusi hukum yang lain, hanya sebagai institusi kamuflase. Di era Orla, institusi pemberantasan korupsi, waktu itu bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran),  yang dimotori oleh A.H. Nasution dan gengnya. Pemberantasan korupsinya diarahkan kepada para pejabat korup di lingkungan Presiden Soekarno, perusahaan-perusahaan negara, dan lembaga-lembaga negara. Namun “KPK” di era Orla itu akhirnya tidak berdaya menghadapi resistensi dari Pertamina, yang di dalamnya berisikan orang-orang kuat yang sangat dekat dengan Presiden.

Di era Orba lain lagi. Pada awal Orba, Pak Harto mengkritik ketidakmampuan Orla dalam pemberantasan korupsi. Kemudian Pak Harto, dengan sikap garang, membentuk  Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tapi, lagi-lagi, rakyat hanya disuguhi ucapan kosong dari sang demagog ulung, Jendral Soeharto. Ketika terdapat temuan korupsi di Pertamina, misalnya, Pemerintahan Soeharto sama sekali tidak menggubrisnya. Jawabannya sudah jelas, karena para koruptor itu adalah orang-orang yang berada di lingkaran Presiden. Fakta di era Orba ini menegaskan bahwa Pak Harto hanya ingin memberantas para koruptor liar, bukan memberantas para koruptor binaannya. Lalu di era sekarang bagaimana?

Institusi pemberantasan korupsi, yang selanjutnya disebut KPK, di era pasca Orba, mengalami degradasi peran pada pemerintahan SBY. KPK hanya sebagai ajang pencitraan belaka, untuk meredam kegusaran rakyat pekerja luas akan maraknya korupsi. Namun, KPK di era SBY masih lebih baik dibanding era sekarang—meskipun prakteknya pemberantasannya masih “tebang pilih”. Di era sekarang, era Jokowi, adalah, bisa dibilang, sebagai akhir dari KPK. Sekarang KPK tidak lagi dikendalikan oleh satu kekuatan yang terhimpun di dalam Negara, tetapi oleh banyak kekuatan dan kepentingan; tidak hanya oleh kelompok yang, secara definitif, sedang berkuasa, tetapi juga oleh kelompok kekuatan yang eksternal dari Negara.

Kesimpulan saya ini, mengenai kematian KPK, sepertinya tidak selaras dengan fakta, karena beberapa waktu lalu kita disuguhi banyak adegan dramatis dengan ditangkapnya para koruptor kelas kakap. Dialektika materialis telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana memahami struktur rumit dari proses sejarah, karena gerak sejarah, yang di dalamnya terdapat konflik antar kelas dan antar kepentingan, bukanlah cetakan statis dari suatu realitas. Hari ini, dengan cepat, kita disuguhi peristiwa-peristiwa yang berbeda dari kemarin. Perubahan-perubahan peristiwa ini, tentunya, secara dialektis, disebabkan oleh berubahnya formasi kekuatan-kekuatan dan kepentingan-kepentingan. Degradasi KPK, dapat dikatakan, dimulai dengan adanya kepentingan dari kelompok kekuatan yang terdapat di tubuh PDIP untuk memasukkan BG menjadi Kapolri. Tujuannya, sebagaimana yang telah diperbincangkan oleh publik, dan asumsi itu sangatlah mungkin, adalah untuk membungkam tindakan korupsi yang pernah atau sedang dilakukan oleh orang-orang kelompok kekuatan tersebut. Aksi ini rupanya ditangkap dengan baik oleh rival-rivalnya di tubuh partai lain, yang memiliki kepentingan lain, baik yang sedang duduk di DPR maupun yang berada di markas partai. Rival-rivalnya sepertinya mengetahui dengan pasti bahwa BG, yang berperan sebagai boneka, memiliki rekening gendut. Pementasan drama politik dan hukum pun akhirnya dimainkan.

Tapi perlu saya perjelas, jika permainan politik ini kembali saya analogikan dengan sebuah pementasan drama, para politikus yang sedang menggerakkan permainan tersebut sebenarnya hanya menempati posisi sebagai sutradara (mungkin, lebih tepatnya, sutradara kolektif), yakni masih sebagai orang bayaran—dan lebih pasnya, masih sebagai kacung. Di atasnya, tentu, masih terdapat entitas yang lebih kuat, bahkan sebuah entitas yang paling kuat, yakni pemilik modal, yang membiayai pementasan. Secara politik, mereka adalah entitas yang menguasai kekuatan ekonomi, politik dan institusi subordinatnya, yakni hukum. Peran hukum, sebagai institusi yang subordinat dengan ekonomi dan politik, di dalam sistem negara borjuis, bukan untuk menciptakan kondisi yang berkeadilan. Peran hukum adalah sebagai alat untuk melegitimasi kekuatan dan kekuasaan borjuasi.

Kaitannya dengan hukum, Marx pernah mengatakan, dalam Critique of the Gotha Programme, bahwa relasi sosial di dalam masyarakat kapitalis dibatasi oleh cakrawala sempit hukum borjuis. Ini mengartikan bahwa segala bentuk hubungan sosial, di dalam masyarakat kapitalis, akan dibatasi oleh batasan hukum borjuis, yang terus-menerus diperbaharui, agar sesuai dengan kepentingan kelompok yang sedang dominan. Di sini menegaskan bahwa penguasa ekonomi dan politik pada suatu periode, secara bersamaan, adalah penguasa hukum dan, sekaligus, pembaharu hukum—baik hukum perdata, pidana maupun hukum tata negara. Dalam wilayah hukum tata negara, misalnya, sudah terjadi pergeseran otoritas menyangkut hak prerogatif presiden. Pengangkatan Kapolri, misalnya, yang dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 merupakan hak prerogatif Presiden, kini diganjal oleh kepentingan kekuatan lain melalui UU tentang Kepolisian dan UU tentang TNI yang dirumuskan oleh DPR. Di sini jelas, tatanan hukum dalam negara modern “demokratis” mensyaratkan keterlibatan semua pihak, dan tentunya, semua pihak yang memiliki kekuatan dan kepentingan. Dari sini kita akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa negara modern “demokratis”, sebagai progres dari sistem ketatanegaraan versi kapitalisme, sejatinya, hanyalah instrumen politik bagi penguasa kapital untuk melanggengkan proses kapitalnya.   

Jauh-jauh hari, Lenin, dalam Negara dan Revolusi, sudah mengingatkan kepada kita tentang posisi negara secara historis, bahwa negara adalah “kekuatan penindas khusus”. Di dalam konteks negara borjuis, ia adalah alat penindasan dari borjuasi terhadap proletariat, dari segelintir kaum kaya (pemilik kapital besar) terhadap jutaan kaum pekerja.

Melemahnya KPK, yang ditandai dengan upaya “kompromi” dan “perdamaian”antara ketua KPK (sementara) dengan (calon) Kapolri, jika kita pahami berdasarkan pemikiran ini, merupakan desain dari kekuatan-kekuatan politik dominan. Sepertinya mereka tidak hendak menghapus KPK. Mereka hanya melemahkannya, kemudian mengendalikannya untuk kepentingan mereka. Jika pada era Orla dan Orba institusi pemberantasan korupsi akan dibubarkan ketika tidak sejalan dengan “penguasa”, tetapi pada era kini,  institusi tersebut sangat berguna. Ia bisa dijadikan sebagai alat bagi kelompok-kelompok politik untuk menjegal kelompok-kelompok lawan; dan para periode tertentu, dapat terjadi sebaliknya, tergantung pada kelompok mana yang paling kuat.

Konstelasi politik hari ini memang terlihat sangat rumit, karena pemainnya banyak, melibatkan banyak aktor dan sutradara. Kelompok mana yang paling kuat dan sedang mengendalikan situasi sangat susah untuk diidentifikasi. Namun di balik konstelasi yang rumit ini, kekuatan dominannya tetap terletak pada penguasa ekonomi dan politik, yaitu para pemilik kapital besar dalam level Indonesia maupun level dunia. Para aktor dan sutradara yang sedang terlihat aktif-atraktif memainkan perannya masing-masing hanyalah orang-orang bayaran belaka; atau, paling tidak, hanyalah orang-orang yang ingin mengambil remah-remah milik kapitalis. Kapitalislah yang menjadi center of gravity dari drama kehidupan masyarakat manusia. Marxisme tetap mampu menjelaskan kerumitan suatu realitas, meskipun berada dalam suatu konteks tertentu dan spesifik, karena Marxisme telah melakukan penelusuran terhadap jejak sejarah masyarakat manusia dan menunjukkan faktor-faktor penentu dalam sejarah tersebut.

Apa yang harus kita lakukan? Inilah pertanyaan krusialnya. Berbagai pihak dan kalangan, kelompok-kelompok Kiri, LSM-LSM (dan tidak sedikit juga kaum Kiri yang merapat ke LSM-LSM tersebut), organisasi-organisasi mahasiswa, kelompok-kelompok masyarakat kritis, dll., melakukan aksi besar-besaran dengan judul tuntutannya, di antaranya, “Save KPK”, “Hentikan Kriminalisasi Terhadap KPK”, dsb. Dan yang lebih lucu adalah aksi-aksi di dunia maya (media sosial), dengan meme yang beraneka ragam, dengan status facebook yang berupa cacian, hujatan, bahkan curhatan. Kaum Marxis dan kelas pekerja tentunya tidak akan ikut-ikutan melakukan aksi parsial seperti itu. Hal semacam itu merupakan kontradiksi terhadap kesimpulan Marxis mengenai sejarah: bahwa kelas pekerja harus merebut kekuasaan, bukan membenahi tatanan. “Karena,” tulis Trotsky, “jika kaum proletar tidak merebut kekuasaan … maka pihak lain yang akan melakukannya.” Selama kekuasaan tidak ada di tangan kaum proletar, maka kaum proletar akan terus menjadi penonton “setia’ dari drama politik borjuasi yang membosankan itu, menjadi penonton yang mengantuk dan kelelahan.

Kembali lagi pada pertanyaan krusial di atas, apa yang harus kita lakukan? Konflik KPK-Polri sekali lagi menunjukkan kebuntuan total sistem kapitalis. Ia tidak bisa bahkan menegakkan hukumnya sendiri. Drama ini akan terus terulang selama kekuasaan tidak berada di dalam tangan kelas proletariat. Tugas kelas buruh sekarang ini adalah membangun partai kelas buruh dengan tujuan perebutan kekuasaan—dan perspektif ini sudah sering Militan lontarkan. Berbagai krisis ekonomi kapitalis yang telah, sedang dan akan terjadi, juga, konflik-konflik kekuasaan di internal borjuasi, merupakan momentum penting bagi kelas buruh untuk mengambil posisi yang paling tepat, untuk mempersenjatai dan menginspirasi massa dengan slogan-slogan revolusioner, mengkonsolidasi semua elemen tertindasdi bawah kepemimpinannya. Tetapi di atas semua itu, yang paling penting, adalah membangun partainya sendiri; mengkonsolidasi kekuatan di dalam “tanah”nya sendiri.

Kelas buruh tidak boleh terilusi oleh kebaikan-kebaikan borjuasi, terlebih, ilusi-ilusi yang sering menyembul dari personalitas kalem Presiden Jokowi. “Sekalem” dan “sebijak” apapun Presiden Jokowi, program-programnya akan tetap dibatasi oleh kepentingan borjuasi. Bahkan sekarang sudah mulai terlihat, posisi Presiden Jokowi hanya sebagai boneka dari berbagai kepentingan borjuasi.

Kini sudah saatnya kelas buruh dapat mandiri secara politik. Tidak lagi ikut naik gerobak milik borjuasi sana dan sini. Kelas buruh harus memulai untuk memikirkan bagaimana membangun partainya sendiri di atas ideologinya sendiri. Ini sebagai kebutuhan politik yang sangat urgen. Bahkan tidak dapat ditawar. Karena jika kelas buruh tidak segera mengambil momentum ini, maka borjuasi akan meraihnya kembali. Dan kelas buruh selamanya akan menjadi obyek eksploitasi.