facebooklogocolour

Barisan Keamanan RakyatTujuh puluh satu tahun yang lalu, tepat pada tujuh belas Agustus, rakyat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Peristiwa ini tidak hanya menandai pembentukan sebuah negara bangsa, tapi juga menandai sebuah perjuangan kelas di Indonesia. Eropa yang saat itu baru menyelesaikan tahapan pertama menyapu tatanan feodalis dan melapangkan sistem perdagangan bebas, membuat mereka tanpa mengenal lelah mencari pasar dan sumber bahan mentah, yang mengharuskan mereka berebut dan mencari koloni untuk dihisap. Indonesia adalah salah satu dari negeri koloni yang terhisap itu. Jauh sebelum datangnya penjajah Indonesia bukanlah negara bangsa seperti apa yang kita lihat sekarang. Wilayah Indonesia masih terpecah-pecah oleh partikularisme sempit feodal yang dengan begitu mudah dipermainkan oleh penjajah untuk mendapatkan buruh murah serta mengeksploitasi sumber daya alamnya.

Selama tiga setengah abad rakyat pekerja Indonesia diperas keringat dan darahnya untuk memenuhi nafsu buas kapitalisme Belanda. Pertama-tama lewat kompetisi perdagangan, Belanda datang ke Indonesia. Kebutuhan untuk terus mengeruk keuntungan membuat pemerintah Belanda tidak cukup hanya dengan mengandalkan monopoli perdagangannya, sehingga semua ini menuntut diperlukannya cara-cara penindasan yang baru. Rel-rel kereta api dibangun; pabrik-pabrik didirikan; pendidikan ala Barat diperkenalkan―meskipun terbatas pada anak-anak bangsawan; dan segala infrastruktur yang dibangun pada periode itu adalah untuk mendorong perkembangan kapital yang besar. Bersamaan dengan itu, pada periode inilah kelas proletariat Indonesia menapaki panggung sejarahnya.

Mula-mula kelas proletariat yang baru lahir ini tidaklah memiliki sebuah organisasi mereka sendiri, selain karena pada saat itu kapitalisme sedang boom (dari sekitar 1880-1910), di sisi lain juga dikarenakan ketatnya otoritas Belanda dalam memberikan izin bagi pendirian sebuah organisasi. Sayangnya, periode boom kapitalisme ini dengan singkat berakhir sebelum serikat-serikat buruh di Indonesia melewati perkembangan normal mereka. Krisis ekonomi Eropa berubah dengan cepat menjadi Perang Dunia Pertama pada 1914 yang membuat gelombang krisis semakin dalam dan tajam. Aktivitas-aktivitas kaum Sosial Demokrat semakin meningkat di kalangan kaum buruh, sehingga pembangunan-pembangunan serikat buruh yang diinisiasi kaum Sosial Demokrat Eropa yang berada di Indonesia (seperti Henk Sneevliet) mendorong terbentuknya serikat-serikat buruh di Indonesia. Situasi demikian tidak hanya menciptakan situasi yang meledak-ledak, tapi juga memaksa kelas proletariat memasuki panggung sejarah sebelum kelas borjuasi Indonesia dapat melangkah menyelesaikan tugasnya. Oleh karenanya, kelas borjuasi Indonesia tidak hanya terlambat menapaki panggung sejarah, tapi juga telah bangkrut secara moral dan impoten secara politik.

Situasi ini unik, bahkan bisa diparalelkan dengan kebangkitan kelas buruh Rusia yang juga tanpa preseden melangkahi borjuasi mereka dan merebut kekuasaan di tangan mereka sendiri. Namun, yang membedakan di sini adalah kelas buruh Rusia memiliki kaum Bolshevik yang telah tertempa bertahun-tahun melewati bara api revolusi, kontra-revolusi, serta melewati perjuangan bertahun-tahun melawan kekuatan reaksi.

Seperti hukum materialisme dialektika itu sendiri, aksi akan menimbulkan reaksi, begitu pula sebaliknya. Aksi kelas buruh Rusia yang berujung pada kemenangan Revolusi Oktober mendorong kebangkitan gerakan buruh di mana-mana. Tidak hanya negeri-negeri Imperialis besar seperti halnya Inggris, Belanda, dan Prancis; namun juga mendorong kebangkitan gerakan buruh di negeri-negeri kolonial seperti  Indonesia. 

Kolom koran Sosial Demokrat Hindia Belanda, Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) menurunkan artikel  “Zegepraal” (Kemenangan) untuk menyambut kemenangan Revolusi Oktober ini. Isinya kurang lebih demikian, “… pemerintah Belanda akan bernasib sama seperti Tsar Rusia, bila rakyat pekerja Indonesia menghendakinya!” Pernyataan menggugah serta tegas ini membuat Pemerintah Belanda bergidik mendengar berita ini dan memutuskan untuk mengusir kaum Sosial Demokrat Eropa yang ada di Indonesia.

Gelombang penangkapan dan pengusiran yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap kaum Sosial Demokrat Hindia Belanda tidak mampu menahan laju perjuangan kelas yang semakin tajam. Semakin gencar penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, semakin cepat pula mereka-mereka yang ditangkap digantikan oleh rekrut-rekrut baru. Elemen baru dan segar, yang terbangunkan oleh gelombang revolusioner, mulai memasuki organisasi-organisasi Sosial Demokrat yang semula banyak beranggotakan mereka-mereka yang dari Eropa. Hal ini memberikan karakter “nasional” pada organisasi ini.

Partai Komunis Indonesia lahir di tengah badai peristiwa dunia ini. Untuk pertama kalinya kelas proletariat Indonesia memiliki partai mereka sendiri. Pendirian partai ini menyatakan dengan tegas bahwa tujuan terdekat mereka adalah menggulingkan kekuasaan kolonial. Namun, tugas-tugas penggulingan kekuasaan kolonial saja tidak cukup. Tugas penggulingan kekuasaan kolonial terikat erat dengan tugas-tugas transformasi sosialis. Ini berangkat dari pemahaman bahwa kelas borjuasi Indonesia terlambat menapaki panggung sejarah ketika sejarah telah berulang kali memanggilnya dan ketika seluruh dunia terbagi-bagi oleh perang imperialis. Kelas proletariat Indonesia yang saat itu masih muda dihadapkan dengan tugas langsung ini.

Tidak lama setelah kelahirannya, partai ini terpaksa harus tenggelam selama beberapa dekade. Sampai kemudian Perang Dunia Kedua berkecamuk membangkitkan gelombang perjuangan kelas di Indonesia partai ini bangkit kembali dengan digantikannya elemen sebelumnya dengan lapisan baru. Namun, situasi dunia telah berubah sepenuhnya. Kontra-revolusi Stalinis selepas meninggalnya Lenin pada 1924 menenggelamkan Bolshevisme ke dalam kubangan darah. Internasional Ketiga sebagai kendaraan untuk mengobarkan revolusi dunia diubah menjadi alat kepentingan luar negeri birokrasi Stalinis. Tidak hanya itu, kebijakan internasional mereka di negara-negara Dunia Ketiga telah memainkan peran kriminal, terutama di Tiongkok mereka menganjurkan mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional yang berujung pada pembunuhan terhadap banyak kader komunis.

Faktanya, birokrasi Stalinis tidak memiliki kepercayaan kepada kelas pekerja untuk menyelesaikan revolusi. Mereka lebih terpikat pada borjuasi daripada kelas proletariat. Mereka tahu bahwa ketika sebuah revolusi berhasil di negeri lain, ini akan membawa ingatan kelas pekerja Rusia akan Revolusi Oktober dan bisa mengancam hak-hak istimewa mereka. Inilah yang mereka benci dan inilah yang mereka takutkan.

Seluruh periode ini telah menumbuh-suburkan tradisi Stalinisme dan membangkitkan kebingungan di antara partai-partai komunis dunia. Sayangnya, Partai Komunis Indonesia dibesarkan oleh tradisi yang sama dengan Partai Komunis Tiongkok. Dengan dalih bahwa Indonesia mengemban tugas-tugas Revolusi Demokrasi Borjuis, maka tugas Partai Komunis Indonesia bukannya harus melaksanakan perubahan-perubahan sosialis melainkan perubahan-perubahan demokratis. Seperti apa yang dikatakan oleh Musso bahwa, “Revolusi kita adalah Revolusi Nasional atau Revolusi Demokrasi Borjuis dalam zaman imperialisme dan Revolusi Proletar dunia. Menurut kodratnya dan dipandang dari sudut sejarah maka hanya klas buruhlah, sebagai klas yang paling revolusioner dan konsekwen anti-imperialisme, yang semestinya memimpin revolusi ini, dan bukan klas lain.”

Jelas, bahwa tugas-tugas yang dihadapi kelas proletariat Indonesia adalah tugas-tugas demokratik borjuis. Kendati demikian, kelas proletariat setelah merebut kekuasaan tidak bisa membatasi dirinya pada tugas demokratik tersebut, ini dikarenakan karakter revolusi proletariat bertentangan langsung dengan kepemilikan pribadi borjuis. Sebab itu, revolusi demokratik di bawah kepemimpinan kelas proletariat akan berkembang secara langsung menjadi kenyataan dari revolusi sosialis, dan oleh karena itu menjadi sebuah Revolusi Permanen.

Kenyataannya, Partai Komunis Indonesia tidak melihat ini, bahkan membatasi tujuan-tujuan mereka dan mengatakan bahwa, “... kewajiban PKI pada saat ini dalam tingkatan revolusi sekarang ini ialah tidak melebihi daripada penyelesaian REVOLUSI NASIONAL atau REVOLUSI DEMOKRASI BORJUIS TYPE BARU, sebagai tingkatan persediaan untuk revolusi yang lebih tinggi yaitu Revolusi Sosialis atau Revolusi Proletar.”  Kebijakan ini tidak hanya menjadikan Partai Komunis Indonesia sebagai halangan bagi perjuangan kelas melainkan juga sebagai rem bagi perjuangan kelas itu sendiri. Dalam kata lain, seperti apa yang dikatakan oleh Trotsky, ”partai yang ketinggalan di belakang tugas-tugas historis kelasnya sendiri akan menjadi, atau berisiko menjadi, alat tidak-langsung dari kelas-kelas lain.

Bila saja saat itu Partai Komunis Indonesia tidak membatasi dirinya pada revolusi demokratik tentu Revolusi Agustus akan berakhir klasik seperti Revolusi Oktober Rusia. Meskipun begitu, sejarah tetaplah berjalan. Revolusi Agustus tidak pernah gagal menunaikan tugasnya. Ia telah berhasil mendemonstrasikan tidak hanya kegagalan teori kolaborasi kelas, tapi juga membuktikan bagaimana kelas-kelas lain melapuk di telan zaman. Hanya kelas proletariat karena posisi ekonomi dan politiknya di dalam sistem kapitalisme yang mampu membawa revolusi ke garis akhir kemenangan. Dan akhirnya generasi masa depan akan memetik buah dari pelajaran Revolusi Agustus yang megah ini.