Students support the strikeKaum muda di seluruh dunia semakin muak dengan kapitalisme. Itulah kesimpulan yang dirasakan oleh borjuasi. Dalam sebuah artikel Losing the generation game: could economic setbacks radicalize graduate yang diterbitkan oleh The Financial Times (FT),  para ahli strategi kapitalis mengkhawatirkan bagaimana krisis saat ini tengah memicu radikalisasi kaum muda. Tetapi bagi kaum Marxis, radikalisasi ini sendiri saja tidak cukup untuk mengakhiri kapitalisme. Energi kaum muda ini perlu diarahkan ke dalam organisasi revolusioner yang berlandaskan Marxisme.

The Financial Times bukan sekadar surat kabar, tetapi buletin khusus untuk investor dan kaum kaya, yakni kelas penguasa. Dari sudut pandang kelas kapitalis, FT mencoba memahami mengapa generasi muda kehilangan kepercayaan pada sistem kapitalisme. Mereka mengatakan bahwa sekarang sangat sedikit peluang pekerjaan bagi kaum muda. Pengangguran di negara-negara OECD telah mencapai 18 persen. Pasar tenaga kerja untuk mahasiswa lulusan Juli 2020 telah mengalami penyusutan 30 persen di beberapa negara, termasuk Italia, Irlandia Utara dan Denmark.

Tetapi penyebab kandasnya harapan kaum muda terhadap sistem kapitalisme lebih dalam daripada faktor tersebut. Ini bukan hanya masalah nasi atau roti semata. Ada keresahan umum di antara kaum muda terhadap keseluruhan masa depan umat manusia. Di mana-mana apa yang mereka saksikan adalah perang, perusakan lingkungan hidup, rasisme, diskriminasi, skandal dan korupsi di antara kaum elite, dan segala macam degenerasi moral dan intelektual.

Kita telah menyaksikan bagaimana krisis dan pandemi telah memukul masa depan kaum muda dengan sangat keras. Kesengsaraan telah menjadi kenyataan sehari hari dan telah menjadi ancaman bagi seluruh masa depan umat manusia. “Kaum muda memiliki pandangan masa depan yang jauh lebih suram,” begitu kata seseorang yang diwawancarai oleh FT.

Faktanya kaum muda di berbagai negara merasakan bahwa hidup mereka berputar-putar pada kekacauan dan ketidakstabilan. Jajak pendapat FT menunjukkan, sekitar 80 persen anak muda berusia 18-34 tahun di Spanyol, AS dan Inggris setuju dengan pernyataan, “Saya merasa bahwa hal-hal di negara saya ada di luar kendali sekarang.” Lebih dari 60 persen setuju di Afrika Selatan, Brasil, India, Prancis, Kanada, Italia, Meksiko dan Rusia.

Bila mereka menggali lebih dalam lagi mereka akan menemukan bahwa kaum muda tidak hanya kecewa, tapi juga mulai memahami bahwa kapitalisme adalah biang kerok atas masalah mereka.

Sebuah laporan dari Institute of Economic Affairs (IEA) pada Juli tahun lalu menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen anak muda di Inggris secara eksplisit menyalahkan kapitalisme sebagai penyebab krisis iklim dan rasisme. 67 persen responden menjawab, mereka lebih memilih hidup di bawah sistem sosialisme. Sementara yang luar biasa adalah sebanyak 75 persen setuju dengan pernyataan “sosialisme adalah ide yang bagus, tetapi gagal di masa lalu karena diterapkan dengan buruk.”

Kaum muda di Amerika Serikat juga tengah melalui proses radikalisasi yang serupa. Dalam beberapa tahun terakhir dukungan terhadap ide-ide sosialisme semakin meningkat di antara kaum muda. Sebagian besar generasi muda AS memandang sosialisme lebih baik daripada kapitalisme. Pada 2021 Victims of Communism Foundation, sebuah lembaga anti-komunis di Amerika, merilis survei tahunannya yang menunjukkan 49 persen Generasi Z (yang lahir antara 1997 dan 2012) memiliki pandangan yang positif mengenai sosialisme.

The Guardian menerbitkan artikel dengan judul “Eat the rich! Why millennials and generation Z have turned their backs on capitalism” yang menjelaskan kemurkaan di antara anak-anak muda terhadap orang kaya. Eat the rich! bukan hanya slogan, melainkan sentimen luas anti-kapitalisme di antara generasi muda. Kaum muda merasa geram melihat bagaimana orang-orang kaya memamerkan properti mereka sementara mayoritas luas harus hidup kesusahan dan melarat. Gaya hidup menimbun kekayaan memicu kemarahan, terutama ketika orang-orang seperti Jeff Bezos memperoleh banyak kekayaan dari buruh Amazon yang bergaji rendah. Menurut Forbes, 1 persen lapisan terkaya AS memiliki kekayaan 15 kali lebih banyak daripada 50 persen lapisan termiskin.

Seorang mahasiswa yang diwawancarai oleh The Guardian mengungkapkan keresahan umum di antara kaum muda: “Bahkan planet ini sudah tidak akan ada lagi: Jeff Bezos meluncurkan dirinya ke luar angkasa, sementara Las Vegas kehabisan air dan separuh dunia terbakar. Jika para miliarder ini berhenti menghasilkan uang, mereka dapat menyelesaikan semua masalah ini dan masih memiliki miliaran di bank.” Ini menunjukkan bahwa kaum muda tidak hanya geram dengan ketimpangan kekayaan yang ditunjukkan oleh orang-orang kaya tapi juga memahami bagaimana kaum kapitalis ini lebih memilih profit daripada menyelamatkan dunia. Mereka tengah menuju ke kesimpulan bahwa kapitalisme sudah menjadi sistem yang uzur, yang tidak akan mampu menyelesaikan problem-problem masyarakat dan oleh karenanya perlu ditumbangkan.

Di Indonesia sendiri beberapa pakar politik telah mengakui bagaimana Generasi Z mulai kritis terhadap tatanan yang ada. Seperti yang dikataan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, “Saya melihat sudah cukup relatif lebih baik ada mulai geliat generasi Z terhadap politik, yang sebelumnya sangat anti dan alergi dengan diksi serta frasa politik.” Ini juga diperlihatkan dalam aktifnya Generasi Z dalam debat-debat di media sosial. Mereka lebih peka terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka aktif menyuarakan keluhan-keluhan politik mereka. Meskipun tidak ada statistik serupa yang menyebutkan sentimen anti-kapitalisme, tapi kita bisa mengatakan dengan pasti bahwa generasi muda sekarang mulai ragu terhadap masa depan mereka di bawah sistem kapitalisme. Mereka membenci dan tidak puas dengan status quo.

Ada daftar panjang mengenai sentimen anti-kapitalisme yang berkembang di antara kaum muda bila kita sebutkan satu per satu. Keresahan ini bukanlah sebuah kebetulan. Ini berakar dari sistem kapitalisme yang menemui jalan buntu. Di mana-mana kaum muda menghadapi ancaman pengangguran dan kemiskinan.

Situasi seperti ini jauh lebih buruk di negara-negara miskin. Di Afrika Selatan saja pada 2021, kaum muda yang menganggur meningkat mencapai 66,5 persen. Di Indonesia, angka pengangguran kaum muda juga tinggi. Pada Februari 2020 saja terdapat 14,3 persen, dan memasuki Februari 2021 terdapat 17,66 persen. Ini terjadi pada kelompok berusia 20-24 tahun. Sementara yang berusia 25-29 tahun, pada Februari 2020, terdapat 7,01 persen menjadi 9,27 persen pada Februari 2021. Kondisi seperti inilah yang membuat mereka mulai mempertanyakan sistem masyarakat sekarang.

Selama dekade terakhir, banyak sekali demonstrasi yang dipelopori kaum muda yang mengguncang rezim di seluruh negeri secara bergiliran dan berturut-turut. Dari BLM, Gerakan Hong Kong sampai Myanmar, kaum muda sangat aktif memainkan peran kepeloporan. Sering kali kaum muda menjadi barometer dari keresahan yang terjadi di masyarakat. Kelas penguasa telah merasakan hal ini. Bila penguasa telah kehilangan dukungan generasi muda yang menopang sistem mereka, maka inilah gejala dari sistem kapitalisme yang sedang memasuki kematiannya.

Dalam kesimpulannya FT dan The Guardian dengan sinis berkomentar bahwa gerakan kaum muda tidak akan ke mana-mana. Para komentator borjuis ini mengacu pada fakta bahwa “orang-orang kaya masih belum dimakan” dan kebanyakan kaum muda ini belum menjadi kaum “sosialis revolusioner berkomitmen”. Ini mungkin ada benarnya. Selama radikalisasi kaum muda ini belum tersatukan menjadi gerakan revolusioner bersama kaum buruh dan tertindas lainnya, selama mereka belum memeluk gagasan “sosialis revolusioner” (atau Marxisme), maka radikalisasi ini masih merupakan sebuah potensi.

Radikalisasi kaum muda ini tidak bisa dibiarkan berlangsung tanpa organisasi yang memiliki gagasan yang tepat dalam menumbangkan kapitalisme. Kemampuan kaum muda dalam memobilisasi massa untuk aksi jangka pendek, baik dalam skala kecil maupun yang besar, sudah tidak kita ragukan lagi. Hanya ketika kaum muda ini telah memahami gagasan Marxisme dan menjadi kaum “sosialis revolusioner berkomitmen”, maka bersama kelas buruh radikalisasi kaum muda bisa mengubah dunia. Radikalisasi kaum muda ini membutuhkan sebuah partai revolusioner yang dapat menghimpun dan mendidik mereka dalam gagasan dan sejarah perjuangan kelas proletariat. Tanpa organisasi dan teori Marxis, radikalisasi kaum muda ini akan menguap atau dialihkan ke berbagai gagasan borjuis kecil yang impoten, seperti postmodernisme, politik identitas, dan berbagai variannya.

Krisis di hari depan akan membawa sentimen anti-kapitalisme semakin luas. Krisis dan radikalisasi kaum muda telah menyediakan semua potensi bagi kemenangan revolusi sosialis. Ini adalah tugas partai Marxis revolusioner, untuk membawa sentimen anti-kapitalisme ini mengarah pada persiapan kemenangan revolusi sosialis. Pada akhirnya semua itu tergantung pada kita untuk membawa semua potensi ini menjadi kenyataan.