facebooklogocolour

bung karnoBulan Juni dirayakan oleh sejumlah orang sebagai bulan Bung Karno, salah satu tokoh terkemuka pergerakan nasional, penggali Pancasila, proklamator kemerdekaan Indonesia, presiden pertama Republik Indonesia. Ada sederetan predikat yang disandang Bung Karno: Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dsb. Sempat pula ia bergelar “Bapa Marhaenisme,” meski kemudian dicabut kembali oleh PNI yang setelah Bung Karno jatuh beramai-ramai ikut dalam barisan Orde Baru.

Selain menyatakan dirinya seorang Nasionalis (dan theist beragama Islam), Bung Karno juga mengklaim dirinya Sosialis, dan bahkan Marxis. Memang, utangnya pada Marxisme besar. Dari Marxisme ia mendapatkan Materialisme-historis, yang memungkinkannya untuk memahami penjajahan oleh negara kolonial Belanda sebagai bagian dari kapitalisme dan imperialisme.

Bung Karno naik ke panggung politik pergerakan nasional di tengah kekosongan kepemimpinan revolusioner setelah kekalahan PKI akibat “avonturisme ultra-kiri” dalam perlawanan terhadap negara kolonial pada pemberontakan 1926-27. Mengarahkan pesan-pesannya pada massa rakyat pekerja (yang disebutnya Marhaen, yang diambilnya dari nama seorang muda tani gurem di pinggiran selatan kota Bandung), Bung Karno menggugah harapan dan semangat mereka untuk merdeka dan memiliki negara nasional yang kelak akan mewujudkan masyarakat baru, yang “adil dan makmur, sama rasa sama rata, tanpa kapitalisme dan imperialisme.” Ia menamai ajarannya Marhaenisme, yang terdiri dari sosio-nasionalisme (=nasionalisme yang sosialistis) dan sosio-demokrasi (=demokrasi politik dan demokrasi ekonomi).

Lebih jauh, ia mengklaim bahwa Marhaenisme adalah “Marxisme yang dijalankan di Indonesia.” Tetapi, kita tidak pernah kekurangan tokoh-tokoh politik yang mengklaim telah mengadaptasi Marxisme pada kekhususan nasional tertentu, yang sesungguhnya hanyalah pemelintiran terhadap ajaran Marxisme. Kita akan telaah di bawah bagaimana Marhaenisme jauh dari Marxisme.

Marhaenisme, alias Sosialisme Bung Karno, memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri menonjol.

Pertama, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi sejatinya tak lain dari sosialisme dalam bingkai negara nasional. Di satu sisi, negara nasional diyakini akan berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan sosialisme. Di sisi lain, negara nasional mendefinisikan watak dari sosialisme itu sendiri. Ini bukan Marxisme, yang tujuan utamanya adalah penghapusan negara. Ini tidak lain adalah impian kawula alit Jawa agar kiranya negeri mereka gemah-ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja dalam sebuah negara yang dipimpin oleh para penguasa yang adibijaksana. Dalam konteks ini, demokrasi-politik berarti “keberesan politik” karena suara-suara rakyat diakomodir oleh para penguasa yang bijaksana; sedangkan demokrasi-ekonomi berarti “keberesan rezeki” karena kebutuhan-kebutuhan dasar (pangan, sandang, dan papan) dan kultural (pendidikan, seni, dsb.) rakyat terpenuhi sebaik-baiknya. Dalam Marhaenisme Bung Karno, sebenarnya kita tidak menjumpai Marxisme dalam artian yang diajarkan oleh Marx, Engels, Lenin, Trotsky, Rosa Luxemburg, bahkan Tan Malaka, melainkan Marxisme yang telah diserap ke dalam imajinasi sosial (gambaran sosial ideal) Jawa, yang berarti mempertahankan masyarakat kelas dan negara.

Kedua, Sosialisme ini meletakkan perjuangan kelas di bawah persatuan nasional. Berargumen bahwa akibat imperialisme Belanda sebagian terbesar rakyat Indonesia menjadi kaum serba kecil dan melarat sehingga tidak memiliki borjuis nasional, Bung Karno menekankan persatuan nasional. Bung Karno mengakui perjuangan kelas sebagai kenyataan sejarah. Tapi berulangkali ia menekankan yang harus diutamakan adalah persatuan nasional. Perjuangan kelas tidak boleh dipertajam. Buruh, tani, kapitalis, orang miskin dan orang kaya, semua punya kepentingan nasional yang sama. Ini berseberangan dengan Marxisme yang meletakkan perjuangan kelas di atas persatuan nasional.

Menurut Bung Karno, di masa pergerakan nasional, persatuan nasional mutlak perlu untuk merebut kemerdekaan. Di hari-hari pertama setelah proklamasi kemerdekaan, persatuan nasional mutlak perlu untuk mempertahankan kemerdekaan dan Republik yang baru dilahirkan. Dan setelah penyerahan kedaulatan pada 1949, persatuan nasional mutlak perlu untuk menuntaskan revolusi nasional.

Dengan meletakkan persatuan nasional di atas perjuangan kelas, di permukaan sepertinya Bung Karno memberikan tempat terhormat kepada kelas buruh dan kaum tani, yakni bahwa mereka sangat dibutuhkan dalam penuntasan revolusi nasional. Tapi pada saat yang sama, dengan jalan itu sebenarnya Bung Karno telah mengekang elan revolusioner kelas buruh dan kaum tani, yang semestinya dapat dikerahkan untuk merebut kemerdekaan dan melakukan transformasi sosialis atas masyarakat paska kolonialisme. Pada kenyataannya, persatuan nasional dengan segala retorikanya – Nasakom, musyawarah mufakat, gotong royong – adalah usaha untuk menundukkan kelas tertindas (buruh dan tani) di bawah kepentingan kaum penindas (kapitalis dan tuan tanah).    

Ketiga, Sosialisme Bung Karno memandang negara Republik Indonesia sebagai negara seluruh rakyat. Ia tahu, Marxisme mengajarkan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan dari kelas yang mendominasi masyarakat berdasarkan cara produksi tertentu. Ia tidak menyangkal hal itu. Tetapi ketika menerapkannya pada Republik Indonesia, ia hanya memotong pandangan Marxis dan menggabungkannya dengan “kondisi Indonesia.” Jadilah: Republik Indonesia adalah organisasi kekuasaan yang berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Pertanyaannya: kelas manakah yang berkuasa dalam republik tersebut? Dalam pidato pembukaan sidang Konstituante (10 November 1956), Bung Karno malah menandaskan bahwa Republik Indonesia bukan negara kelas, entah negara kelas borjuis atau negara proletar, melainkan negara seluruh rakyat Indonesia.

Dalam pidato yang sama, pengingkaran ini segera disusul dengan kekuatiran tentang kecenderungan yang menguat untuk membawa Republik kepada kapitalisme. Dalam kenyataannya, demokrasi liberal yang membingkai percaturan politik nasional sejak November 1945 memperlihatkan dominasi kelas borjuis dalam masyarakat Indonesia. Memang ada partainya kelas buruh dan tani, yakni PKI, yang secara mengejutkan tampil di peringkat keempat dalam Pemilu 1955. Tapi bukankah sebagian terbesar partai adalah partai-partai kelas borjuis (lepas dari pembedaan yang agak kabur antara borjuis nasional dan borjuis komprador)?

Marhaenisme Bung Karno mengusiknya sedemikian rupa sehingga ia tidak rela membiarkan borjuasi menguasai negara. Tapi Marhaenisme juga yang mengekangnya sehingga tidak membiarkan kelas buruh (dengan dukungan kaum tani) menjadi kelas yang berkuasa. Bukankah Marhaenisme mengidealkan persatuan nasional? Solusi yang ditawarkan oleh Bung Karno: mendampingkan kelas borjuis dan kelas buruh (dan kaum tani) di dalam sebuah kerukunan bersama di bawah pimpinan seorang Bapak yang Bijak dan Berwibawa. Dengan perkataan lain: Demokrasi Terpimpin.

Sejatinya, Demokrasi Terpimpin sejatinya adalah kepemimpinan politik Bonapartis yang berkarakter khas Nusantara zaman bahari. Demokrasi Terpimpin, atau democratie met leiderschaap, begitu Bung Karno menyebutnya, memprasyaratkan seorang kepala keluarga atau kepala desa yang sangat bijaksana dan berkharisma, yang mampu menyerap berbagai aspirasi dari semua anggota keluarga atau segenap warga desa (musyawarah), dan membuat rumusan yang mengakomodir kepentingan semua pihak tanpa ada yang dimenangkan atau dikalahkan secara mutlak (mufakat). Di bawah kepemimpinan Bapak yang Bijak dan Berkharisma, tidak ada pertentangan mutlak, yang ada sekadar kesalahpahaman; tidak ada antagonisme kepentingan, yang ada hanyalah kepentingan bersama; demi tujuan bersama, semua harus bergotong-royong, holopis kuntul baris.

Dalam kenyataannya, Demokrasi Terpimpin tidak dapat menghentikan menajamnya perjuangan kelas. Para petinggi militer, wabil chusus Angkatan Darat, dengan cara yang tidak normal sedang menjadi borjuasi baru, dengan menjadi raja-raja perang dan menguasai perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasikan. Lapisan-lapisan borjuis lainnya berkubu di belakang mereka. Musuh mereka: PKI, partainya kaum buruh dan tani Indonesia. Sementara Ekonomi Terpimpin, yang tidak lebih dari ekonomi terencana yang sangat birokratis dan menjadi ajang korupsi besar-besaran para petinggi militer, terbukti tidak efisien. Perjuangan kelas semakin menajam. Dalam situasi tersebut, pimpinan PKI D.N. Aidit justru membuat tesis Marxis “baru” tanpa perspektif kelas, yakni tesis tentang dua kekuatan dalam negara Republik: kekuatan pro-rakyat yang semakin kuat di bawah pimpinan Bung Karno vs kekuatan anti-rakyat yang semakin terdesak di bawah pimpinan kaum reaksioner.

Tesis Kawan Aidit ini mengecoh kelas buruh dan kaum tani. Sebab, dalam kenyataannya, pemimpin “kekuatan pro-rakyat,” yakni Bung Karno, tidak pernah rela membiarkan kelas buruh, dengan dukungan kaum tani, berkuasa dalam Republik Indonesia. Pembunuhan massal atas sekurang-kurangnya setengah juta buruh, tani, dan unsur-unsur rakyat pekerja lainnya, memperlihatkan bahwa Demokrasi Terpimpin, yang berusaha berdiri di atas kelas-kelas antagonistis dan aliran-aliran politik, sebenarnya telah memberi peluang yang seluas-luasnya bagi konsolidasi kelas borjuis. Kehancuran PKI, tumbangnya Bung Karno, dan berdirinya rezim Orde Baru di atas ladang pembantaian kaum buruh, tani, dan unsur-unsur rakyat pekerja lainnya, mengukuhkan sekali lagi bahwa Republik ini adalah sebuah negara kelas: kelas borjuis.

Dalam surat kepada Wedemeyer, sobatnya, Karl Marx (1852) pernah mengemukakan tiga pokok ajarannya: (1) bahwa kelas-kelas dalam masyarakat sekarang merupakan kenyataan historis dan oleh karenanya bersifat sementara; (2) perjuangan kelas niscaya akan bermuara pada diktatur proletariat, yaitu kekuasaan proletariat dalam negara corak baru, yakni negara buruh; dan (3) diktatur proletariat adalah kekuasaan transisi yang dibutuhkan dalam rangka transformasi masyarakat kelas menjadi masyarakat tanpa kelas. Ditakar dari “Marxisme menurut Marx” ini, Marhaenisme alias Sosialisme Bung Karno jelas melenceng jauh Marxisme.

Lenin, dalam buku Negara dan Revolusi, menandaskan bahwa penerimaan seorang atas teori tentang perjuangan kelas belum membuat yang bersangkutan menjadi seorang Marxis. Seorang dapat dikatakan sebagai Marxis bila ia menindaklanjuti teori tentang perjuangan kelas secara konsekuen, yakni revolusi yang bermuara dalam Diktatur Proletariat. Ditakar dari pandangan Lenin, Bung Karno, terlepas dari klaimnya, bukan seorang Marxis. Bung Karnoisme atau Marhaenisme yang sering dianggap oleh sejumlah kaum Kiri sebagai Marxismenya Indonesia – pada dasarnya hanyalah sebuah gagasan populisme yang mengambil irisan-irisan dari Marxisme.

Bagi kita jelas, Sosialisme Bung Karno menampung harapan dan semangat Marhaen alias rakyat pekerja Indonesia untuk mengubah nasib dari kemelaratan dan kesengsaraan akibat imperialisme dan kapitalisme, dan lalu menyalurkan energi ini ke kanal-kanal yang aman dan mencegah mereka untuk benar-benar mewujudkannya. Persoalannya jelas: Sosialisme Bung Karno menanggalkan unsur-unsur yang sejatinya merupakan jiwa dari Marxisme. Bila Marhaen benar-benar ingin mengubah nasib, mereka harus menggulingkan kapitalisme, baik nasional maupun internasional (melalui tentakel-tentakelnya di Indonesia) dan mendukung didirikannya rezim baru, yang akan menempatkan politik dan ekonomi di bawah kontrol rakyat pekerja – dalam pimpinan kelas revolusioner dalam epos kapitalisme: kelas buruh. Untuk itu mutlak perlu sebuah partai sosialis revolusioner yang memiliki pemahaman Marxisme yang utuh, bukan yang setengah-setengah, bukan yang telah dipelintir atas nama “kekhususan nasional”, bukan yang telah “disesuaikan”. Revolusi Rusia bukanlah dimenangkan dengan Sosialisme ala Rusia, ataupun Sosialisme Lenin. Lenin mengacu langsung pada Marx dan Engels, tanpa embel-embel lainnya. Inilah yang hari ini dibutuhkan di bumi Indonesia bila kita ingin mengakhiri kapitalisme dan segala horor yang menyertainya.