facebooklogocolour

Pemilu legislatif dan presidensial mendatang telah menjadi lebih menarik dengan resminya keikutsertaan Jokowi sebagai salah satu kandidat presiden. Selama berbulan-bulan rumor dan gosip telah simpang siur mengenai apakah Jokowi akan ikut pemilu atau tidak. Sekarang setelah semuanya menjadi jelas bahwa Jokowi akan ikut pemilu di bawah patronase Megawati dan partainya PDI-P, sejumput harapan pun muncul di antara rakyat pekerja yang mendambakan jalan keluar dari kemiskinan tanpa-akhir mereka, di antara kaum demokrat liberal yang muak dengan politik lama yang korup tetapi mereka sendiri impoten dan tidak mampu melakukan apapun, dan selapisan Kiri Indonesia yang telah lama frustrasi karena kekecilan dan keterisolasian mereka. 

Selama setahun terakhir, survei demi survei telah menempatkan Jokowi sebagai calon presiden paling populer, jauh melebihi kandidat-kandidat lain. Di satu survei, dia mendapatkan 35% dukungan sementara rival terdekatnya, Prabowo, hanya mampu meraih 10% dukungan. Tokoh-tokoh lainnya yang lebih dikenal, seperti Bakrie, Wiranto, Jusuf Kalla dan Megawati, harus puas dengan dukungan yang kecil. Megawati sendiri harus menerima fakta memalukan bahwa dia tidak lagi dilihat sebagai ratu adilnya wong cilik. Semua kapital politik yang dia dan partainya dapati dari periode Reformasi 1998 telah digadaikan untuk membayar setiap kebijakan pro-kapital yang mereka telurkan dan bela, setiap rupiah dan posisi haram yang didapati oleh para elit PDI-P dan setiap skandal politik yang melibatkan mereka. Hari ini PDI-P menemui diri mereka harus meminjam kapital politik dari Jokowi, dan mereka akan terkejut ketika kapital politik pinjaman ini ternyata tidak sebesar yang mereka kira.

Jokowi telah menjadi sebuah fenomena politik selama 2 tahun terakhir di Indonesia. Dia menangkap imajinasi publik luas pada 2012 ketika dia dan pasangannya Ahok ikut pilgub Jakarta dan menang. Gayanya yang sederhana dan blak-blakan, dibandingkan dengan para elit politik hari ini yang suka berkelit-kelit, tak acuh, dan tidak jujur, mendapatkan tempat di hati massa rakyat. Pada kenyataannya, rakyat melihat di dalam Jokowi semua kualitas yang mereka ingin lihat dari seorang pemimpin, terlepas dia sungguh-sungguh memilikinya atau tidak. Sebagai figur politik yang relatif baru, dia dilihat sebagai seorang yang datang bukan dari koridor kekuasaan dan bersih dari politik kotor yang memenuhi setiap sudut pemerintahan ini.

Batalion aktif utama Jokowi dan Ahok selama kampanye mereka datang terutama dari lapisan kelas menengah Jakarta – yakni 1) lapisan kelas pekerja yang lebih mampu, yang meliputi para profesional kerah putih; 2) para pedagang kecil – serta sebagian dari kelas kapitalis menengah dan besar. Lapisan-lapisan yang lebih mampu ini sudah muak dan letih dengan ketidakkompetenan dari para pejabat yang ada untuk menyelesaikan masalah-masalah yang merudung Jakarta. Mereka menginginkan Jakarta dengan standar internasional, Jakarta Baru, yang bebas dari macet supaya mobil mereka bisa meluncur mulus, bebas dari orang miskin, pedagang kaki lima dan pengemis yang mengganggu pemandangan dan kenyamanan mereka, dan bebas dari sampah yang mengotori sepatu mereka. Mereka menginginkan Jakarta yang metropolitan yang sesuai dengan tingkat kehidupan mereka yang tinggi. Survei demografi pemilih yang dilakukan oleh LSI dan Tempa menunjukkan bahwa mereka yang punya ijazah universitas, pendapatan lebih tinggi, rumah lebih besar, dan punya kendaraan mobil cenderung memilih Jokowi-Ahok. Sementara rakyat yang lebih miskin kurang lebih terbagi dua dalam dukungannya terhadap Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, dan di sejumlah kasus bahkan lebih cenderung mendukung Foke-Nara (Pilkada DKI Jakarta, Protes Kelas Menengah; Temuan Survei 2-7 September 2012).

Walaupun ada euforia di sekitar kampanye Jokowi-Ahok, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tingkat golput dibandingkan dengan pilgub sebelumnya. Angkanya masih sekitar 35%, yang menunjukkan bahwa bahkan karisma Jokowi dan fokus media padanya masih belum bisa menghancurkan sinisme politik rakyat pekerja.

Di belakang Jokowi juga ada dukungan rakyat miskin, bukan hanya yang di Jakarta tetapi juga di luar Jakarta, yang melihatnya sebagai seorang yang dapat menyembuhkan bangsa yang sakit ini. Mereka berbagi harapan dengan lapisan kelas menengah yang disebut di atas, walaupun untuk alasan yang berbeda. Cukup penting untuk dicatat bahwa program-programnya bersifat reformis dan administratif, dan tidak berbeda secara fundamental dengan kandidat-kandidat gubernur Jakarta lainnya: membersihkan pemerintahan Jakarta dari korupsi dan birokrasi, menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir, membangun lebih banyak perumahan dan transportasi publik, dan merapikan Jakarta dari kesemrawutan PKL. Program-programnya bahkan tidak mengandung tuntutan-tuntutan reformis yang dapat mengancam kepentingan kapitalis secara umum, seperti peningkatan pajak terhadap orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar. Inilah mengapa masih kita temui respon positif secara umum dari kelas penguasa – kecenderungan lapisan-lapisan masyarakat yang lebih kaya untuk mendukungnya dan melejitnya bursa saham Jakarta ketika diumumkan dia akan ikut dalam pilpres mendatang. Kebencian dari cukup banyak politisi dan pejabat Indonesia terhadap Jokowi tidak boleh diartikan bahwa Jokowi adalah figur yang ditentang oleh kelas penguasa. Dia memprovokasi kebencian dari banyak politisi dan pejabat karena dia mengkonsentrasikan -- dan menjadi simbol dari -- kegeraman rakyat luas yang sudah tak terbendung lagi terhadap ketidakkompetenan, kekerdilan, dan kesombongan mereka yang tidak ada duanya itu.

Sekolah Jokowi

Pada pilkada Jakarta yang lalu, kami menulis ini mengenai Jokowi:

“Di pihak lain, terjadi euforia di kalangan pendukung Jokowi-Ahok. Kaum kelas menengah yang sudah lelah dengan korupnya partai penguasa dan politisi-politisinya kini menaruh harapan yang begitu besar kepada Jokowi-Ahok. Dengan sukarela mereka menjadi penyebar “Injil” atau kabar baik tentang kedatangan Juruselamat Jokowi-Ahok ... Tidak berlebihan kiranya bila kita jadi teringat pada harapan rakyat Amerika – dan bahkan dunia – terhadap Obama dalam pemilu presidensial AS. Dengan ingatan ini kita pun segera menyadari bahwa kemudian rakyat Amerika toh kecewa ketika menyadari harapan mereka layu. Retorika perubahan Obama menemui kontradiksinya, karena ia menjanjikan perubahan untuk rakyat pekerja sembari menghamba kepada kepentingan modal dan kapitalisme. Segera setelah memangku jabatan, ia mengucurkan triliunan dolar untuk menyelamatkan kaum kapitalis dari krisis finansial dan membuat rakyat pekerja membayar untuk krisis kapitalisme ini. Hancurnya harapan dan ilusi terhadap Obama dan kaum Demokrat ini segera termanifestasikan di dalam pemilu legislatif mid-term 2010 di mana kaum Republikan meraih kemenangan cukup besar.” (Pilkada DKI Jakarta: Sikap Apa yang Seharusnya Diambil Kaum Sosialis?)

Enam tahun setelah Obama-mania tidak ada lagi yang berbicara mengenai “Harapan” di AS. Obama dan pesan “Hope” dan “Change”nya telah terdiskreditkan, dan begitu juga kaum Kiri yang berkampanye mendukung Obama. Antara pemilihan presiden 2008 dan 2012 Obama kehilangan 5 juta suara, dan pupus sudah antusiasme akar-rumput di antara pemilihnya. Rakyat pekerja AS terpaksa memilih Obama lagi pada 2012 karena tidak ada pilihan yang lebih baik lagi, dan bukan karena pengharapan akan masa depan yang lebih cerah di bawah Obama. Kaum muda dan buruh AS harus melalui sekolah Obama yang menyakitkan itu. Dengan cara yang sama, rakyat Indonesia juga harus melalui sekolah Jokowi. Dalam kurang dari 2 tahun saja mereka sudah mulai bisa melihat sejumlah keterbatasan dari program-program Jokowi.

Dalam kampanyenya, Jokowi dan Ahok menjanjikan pelayanan kesehatan gratis untuk 4,7 juta rakyat di Jakarta. Akan tetapi pertanyaan mengenai bagaimana program ini akan dibiayai tidak pernah disinggung secara serius. Pada akhirnya masalah penyediaan pelayanan kesehatan untuk rakyat – dan terutama rakyat miskin yang tidak dapat membayarnya – bukanlah masalah administrasi atau manajemen pemerintahan yang lebih baik, atau masalah ada tidaknya “political will” atau kemauan politik seperti yang sering diperbincangkan oleh para pakar politik dan sosial. Ini adalah masalah kelas, seperti halnya semua program sosial lainnya. Ini adalah masalah siapa yang harus membayarnya: rakyat pekerja atau kapitalis.

Ketika rakyat miskin sudah tidak bisa lagi dipajak karena memang tidak ada sesuatu pun yang bisa dipajak darinya, maka anggaran sosial ini harus didapatkan dari pajak kelas-kelas atas (kelas menengah ke atas dan kapitalis). Kelas menengah kita, yakni terutama lapisan kelas pekerja yang kondisinya relatif lebih baik secara ekonomi, tidak suka dipajak. Posisi ekonomi mereka pun sebenarnya sangat rentan, dan hanya menunggu waktu saja sebelum mereka sadar bahwa mereka adalah bagian dari kelas proletar. Sementara kapitalis kita, terutama pada periode krisis ini, sangat alergi dipajak. Ketika ekonomi sudah sangat lesuh seperti hari ini, hal terakhir yang mereka inginkan adalah pajak dan berbagai peraturan yang akan memotong kue pendapatan mereka. Sebaliknya yang mereka inginkan adalah stimulus dan keringanan pajak. Oleh karenanya masalah pembiayaan program sosial menjadi lebih serius ketika kapitalisme hari ini sedang dalam krisis di seluruh dunia. Di mana-mana pemerintahan kapitalis menderita defisit anggaran besar yang harus mereka seimbangkan, dan ini mereka lakukan dengan pemotongan subsidi-subsidi sosial untuk rakyat pekerja.

Oleh karenanya, tidaklah mengejutkan kalau program Kartu Jakarta Sehat menemui banyak masalah: rumah sakit yang menolak berpartisipasi karena merugi, pasien yang ditolak, fasilitas dan staf kesehatan yang tidak memadai, antrean yang panjang, dsb. Dalam kata lain, tidak ada sumber daya yang cukup untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas untuk semua orang. Untuk mengatasi masalah kurangnya anggaran ini, awalnya Jokowi dan Ahok mengusulkan meningkatkan premi KJS, dari Rp 23.000 menjadi Rp 50.000. Mereka segera membatalkan niat ini karena mereka tahu betul ini akan ditentang rakyat miskin. Tahun ini, untuk membiayai program-program ambisius mereka, pajak bumi dan bangunan dinaikkan antara 120% hingga 240%. Kebijakan ini telah menimbulkan keresahan di antara lapisan kelas menengah yang sebelumnya adalah pendukung fanatik Jokowi. Ketika mereka dengan begitu kreatif menjajakan Jokowi dan Ahok, tidak ada yang pernah memberitahu mereka kalau pajak mereka akan dinaikkan. Tidak bisa dipungkiri kalau ini akan memberikan efek negatif terhadap dukungan mereka untuk Jokowi dan Ahok ke depannya.

Penataan PKL juga adalah masalah mendesak yang diharapkan oleh banyak rakyat Jakarta dapat diselesaikan oleh Jokowi. Jokowi meraih hati massa dengan cepat ketika dia menggunakan pendekatan yang manusiawi dalam menghadapi masalah PKL: dia melucuti tameng dan pentungan para petugas Satpol PP yang terkenal suka main pukul ketika menertibkan para PKL. Walhasil, usaha-usaha awalnya untuk menertibkan PKL menemui keberhasilan. Para PKL dengan sukarela menerima ditertibkan karena mereka mempercayai janji-janji Jokowi kalau mereka akan ditampung di tempat baru dan mereka juga akan mendapatkan pembinaan. Akan tetapi, tidak lama kemudian para PKL kembali menduduki trotoar dan badan jalan. PKL adalah masalah sosial yang tidak bisa diselesaikan secara administratif dan teknokratis. Selama masih ada kemiskinan maka di setiap sudut Jakarta akan ada selalu pedagang kaki lima yang dengan gerobak mereka berusaha mengais kehidupan. Belakangan ini sudah mulai terjadi kericuhan antara petugas Satpol PP dan para PKL yang mulai menolak dipindahkan. Jokowi dan Ahok sudah mulai resah dengan ketidakberhasilan program penataan PKL mereka. “Tangkap, ambil barangnya, sita!” ancam Ahok. Andai saja kata-kata ini ditujukan kepada para koruptor dan kapitalis besar di Indonesia. Tetapi tidak, ini ditujukan kepada para pedagang kecil di jalanan. Satpol PP yang tanpa tameng dan pentungannya adalah seperti macan tanpa taring yang tidak akan mampu mengimplementasikan kebijakan “tangkap dan sita” ini, dan aparatus negara ini cepat atau lambat harus menggunakan kekerasan untuk menghadapi para PKL yang melawan.

Lebih dari semua ini, yang cukup menentukan dalam mengekspos keterbatasan dari Jokowi dan Ahok adalah sikap dan tindakan mereka selama gelombang pemogokan buruh 2 tahun terakhir. Menanggapi pemogokan nasional pada 3 Oktober 2012, Jokowi hanya mengatakan: “Semuanya yang baik untuk masyarakat, saya setuju-setuju saja.” Tidak jelas apa yang dikatakannya, mendukung atau tidak mendukung mogok nasional dan tiga tuntutannya. Dia tidak memberikan penilaian apakah sistem outsourcing itu baik atau buruk, dan apakah upah minimum hari ini layak atau tidak. Pemimpin yang merakyat ini mencoba memposisikan dirinya “netral” ketika ada gerakan rakyat pekerja yang luas, yang mandiri dan terorganisir. Sementara di dalam masyarakat kelas posisi “netral” berarti berdiri dengan yang berkuasa. Jadi, ketika masalahnya adalah masalah kelas yang konkret, posisi Jokowi dan Ahok menjadi jelas, yakni berdiri di sisi kekuatan modal. Dia menandatangani penangguhan upah minimum untuk ratusan perusahaan di Jakarta, yang secara efektif membatalkan kemenangan kaum buruh pada Getok Monas 2012. Lalu pada pemogokan nasional jilid II pada Oktober-November 2013, dia tidak mengindahkan tuntutan buruh dan menyetujui ketetapan upah murah di DKI. Alasannya: tuntutan buruh untuk upah yang tinggi tidaklah rasional, yakni tidak rasional dari kacamata kapitalis karena akan mencegah profit besar pengusaha. Kita bisa lihat bahwa untuk hal-hal yang fundamental keberpihakan Jokowi sangatlah jelas.

Pendeknya, Jokowi, layaknya seorang reformis borjuis, menjanjikan segalanya kepada semua orang. Dia menjanjikan kapitalisme yang akan berfungsi untuk semua lapisan masyarakat, yakni kapitalisme tanpa kontradiksi. Lebih dari 150 tahun yang lalu Marx dan Engels telah menulis mengenai populisme borjuis macam ini, yang disebutnya “Sosialisme Borjuis atau Konservatif”:

“Sebagian dari kaum borjuasi ingin memperbaiki masalah-masalah sosial guna menjamin keberlangsungan masyarakat borjuis ... Kaum borjuis sosialistis ini menginginkan semua kebaikan dan manfaat dari kondisi-kondisi sosial modern tanpa pertentangan-pertentangan dan bahaya-bahaya yang niscaya timbul darinya. Mereka menginginkan tatanan masyarakat yang ada hari ini, minus elemen-elemen yang revolusioner dan yang mendatangkan kehancuran. Mereka menginginkan borjuasi tanpa proletariat. ... Sosialisme macam ini ingin mengecilkan setiap gerakan revolusioner di mata kelas buruh dengan menunjukkan bahwa ... [hanya] reforma-reforma administratif, yang berdasarkan relasi-relasi [produksi] borjuis, [yang dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi mereka].” (Marx dan Engels, Manifesto Komunis)

Jokowi akan segera berbenturan dengan kontradiksi kapitalisme, terlepas dari niat baiknya untuk membela rakyat miskin. Sekarang pun dia sudah mulai berbenturan dengan kontradiksi-kontradiksi ini, terutama ketika buruh sendiri yang mulai berorganisasi dan bergerak untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri tanpa menunggu seorang Satrio Piningit. Rakyat pekerja luas akan mendapatkan pelajaran berharga namun pahit dari Sekolah Jokowi ini, bahwa permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi membutuhkan solusi di luar kapitalisme dan bahwa mereka hanya bisa mempercayai kekuatan mereka sendiri. Masih banyak sekolah-sekolah lain yang harus dilalui oleh rakyat pekerja kita, dan mereka akan sulit lulus ketika setiap kali ada ujian para Kiri-kiri kita justru mengambil jalan pintas dengan langkah-langkah oportunis: entah dengan nyaleg lewat partai-partai borjuasi atau mendukung tokoh populis seperti Jokowi dengan berbagai dalih dan alasan (memilih yang terbaik dari yang terburuk, memberi dukungan kritis, dsb.)

Jokowi dan Reaksi Pasar

Kaum kapitalis tidak malu-malu dalam mengekspresikan perasaan mereka mengenai Jokowi dan keputusannya untuk ikut pemilihan presiden. Bursa saham Jakarta melejit 3 persen setelah mendengar Megawati mengumumkan Jokowi sebagai kandidat presiden dari PDI-P, yakni kenaikan tertinggi selama 6 bulan terakhir. Rupiah juga menguat sebesar 1,3 persen.

Sementara Kiri-kiri kita mencoba sebisa mungkin menggambarkan kepada rakyat luas bahwa Jokowi adalah kandidat pro-rakyat dan anti neo-liberal, para analis borjuis yang lebih bijak melihatnya secara berbeda. Koran Financial Times menulis bahwa “bank-bank investasi juga telah menerbitkan catatan-catatan mengapa Jokowi ... adalah seorang kandidat yang menggairahkan bagi para investor asing.” (Indonesia elections: five reasons investors like Jokowi. Financial Times, 17 Maret 2014) Salah satu alasan utama dari optimisme para investor terhadap  Jokowi adalah bahwa pemerintahan Jokowi akan menjadi sebuah pemerintahan yang stabil. Mari kita tekankan bahwa ketika para investor kapitalis berbicara mengenai kestabilan maka ia berbicara mengenai kestabilan untuk meraup laba. Sejauh mana rejim Jokowi akan menjaga kestabilan untuk para investor telah ditunjukkan oleh sikap dan tindakannya selama gelombang pemogokan 2 tahun terakhir. Inilah mengapa tidak ada kekhawatiran sama sekali dari para analis borjuis yang serius bahwa Jokowi akan berubah menjadi seorang Soekarno atau Chavez.

Mengenai harapan kaum kapitalis bahwa Jokowi bisa membawa kestabilan bagi mereka, ini sudah kami singgung sebelumnya:

“Sistem politik hari ini sudah begitu bangkrut dan legitimasinya di mata rakyat sudah begitu tipis dan tampak bisa roboh kapan saja. Satu-satunya hal yang mencegah sistem ini dari kerobohan adalah lemahnya kepemimpinan revolusioner dari rakyat pekerja. Inilah mengapa banyak partai politik borjuasi yang sedang berlomba-lomba untuk memenangkan Jokowi ke sisinya. Selain untuk memberikan legitimasi pada partai mereka masing-masing, mereka juga ingin memberikan legitimasi umum kepada sistem politik bangsa ini, bahwa sistem demokrasi politik borjuasi masih bisa menyodorkan seorang pemimpin yang kompeten dan bersih. Bayangkan kalau rakyat luas sama sekali sudah hilang harapan pada para pemimpin politik dan sistem yang ada, dan mulai menengok ke dirinya sendiri sebagai alat perubahan, mulai mengambil nasib ke tangannya sendiri. Jokowi dan Ahok, kendati tidak sedikit elit politik yang mencoba menjatuhkan mereka, adalah angin segar bagi para pembela sistem demokrasi borjuasi, karena mereka memberi bukti bahwa sistem demokrasi ini masih bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin bersih. Tidak perlu aksi massa dan tidak perlu partai kelas pekerja.”

“Dari pihak rakyat pekerja, banyak yang menginginkan Jokowi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Dari pihak elit politik borjuasi, mereka juga mulai melihat Jokowi sebagai figur yang dapat menyelamatkan Indonesia. Tetapi walau di permukaan kedua harapan ini tampak serupa, ada kepentingan kelas yang jauh berbeda. Keselamatan bangsa yang ada di pikiran rakyat jelata adalah cukup sederhana, yakni: pekerjaan dan upah layak, tempat tinggal yang layak, pelayanan kesehatan, pendidikan, dll. Sementara bagi elit politik borjuasi, keselamatan bangsa adalah keselamatan sistem eksploitasi kapitalisme, yang sudah semakin terdiskreditkan karena ketidakmampuannya untuk memberikan kesejahteraan pada rakyat jelata, ditambah lagi ulah-ulah vulgar dari banyak pemimpinnya yang bermental “aji mumpung”, yang menjarah sistem ini tanpa mempertimbangkan keselamatan kapitalisme dalam jangka panjang. Jokowi dilihat oleh kaum borjuasi sebagai seorang yang dapat menyatukan kedua harapan tersebut, atau lebih tepatnya memberikan kesan atau ilusi bahwa ia sedang memenuhi harapan yang pertama, sementara pada kenyataannya ia sedang memenuhi harapan yang belakangan.” (Berlomba-lomba memenangkan Jokowi ke Pemilu 2014)

Kiri Kita: Pemilu Borjuasi dan Pemilu Rakyat

Lagi dan lagi pemilu menebarkan kebingungan di antara Kiri-kiri kita: ada yang mendukung keterlibatan di dalamnya dengan membonceng partai-partai yang ada dengan berbagai alasan, ada yang mendukung Jokowi dengan berbagai kualifikasi dan kondisi, juga ada yang mendukung Prabowo sebagai sosok anti-imperialis, dan ada yang menolak partisipasi di dalam pemilu secara prinsipil. Kita akan coba telaah satu per satu posisi-posisi ini,

Pertama, kaum Marxis tidak menolak partisipasi di dalam pemilu borjuasi. Oleh karenanya penolakan secara prinsipil untuk turut serta dalam parlemen borjuasi adalah sikap kekanak-kanakan. Seruan dari elemen-elemen Anarkis atau ultra-kiri lainnya untuk memboikot pemilu dengan alasan kalau pemilu ini adalah pemilu borjuasi, dan menuntut diselenggarakannya apa yang mereka sebut “pemilu rakyat”, adalah kenaifan kalau bukan kebodohan. Di bawah sistem dengan relasi-relasi produksi kapitalis, setiap pemilu oleh karenanya adalah pemilu borjuasi. Parlemen borjuis dibentuk dan dirancang sedemikian rupa untuk mempertahankan kekuasaan kapitalis, dan tidak bisa untuk keperluan lain. Ini adalah ABC Marxisme dalam permasalahan teori Negara borjuis, tetapi setelah ABC ada lagi huruf-huruf lain, ada lagi berbagai kombinasi huruf yang membentuk kata-kata, dan kombinasi kata-kata yang membentuk kalimat, dan seterusnya. Hanya mampu mengulang-ulang ABC tidaklah terdengar terlalu pintar.

Sejak kemerdekaan Indonesia, tidak pernah ada pemilu rakyat. Semua pemilu sejak 1955 adalah pemilu borjuasi. Namun tidak semuanya sama, karena ada tingkat kebebasan demokrasi yang berbeda di dalam pemilu-pemilu tersebut yang ditentukan oleh perimbangan kekuatan-kekuatan kelas yang ada. Pemilu 1955 dan pemilu 1999, yakni pemilu yang relatif paling bebas dan “merakyat” dalam sejarah Indonesia, dalam takaran apapun bukanlah pemilu rakyat dan tetap adalah pemilu borjuasi. Namun akan menjadi kebodohan yang tertinggi kalau kita memboikotnya secara prinsipil. Lenin telah menjelaskan ini dengan sangat baik ketika dia mencoba meyakinkan kaum Komunis Jerman untuk tidak menyangkal parlemen borjuasi:

“Parlementerisme sudah tentu, telah ‘usang secara politik’ bagi kaum Komunis di Jerman; tetapi – dan inilah persoalan yang sesungguhnya – kita tidak boleh menganggap apa yang sudah usang bagi kita sebagai sudah usang bagi kelas, sudah usang bagi massa … Kita tidak boleh merosot ke tingkat massa, ke tingkat lapisan-lapisan kelas yang masih terbelakang. Ini tidak dapat disangkal. Kita wajib mengatakan kepada mereka kebenaran yang pahit. Kita wajib menamakan prasangka-prasangka borjuis-demokratis dan parlementer mereka sebagai prasangka-prasangka. Tetapi bersamaan dengan itu kita harus mengikuti dengan realistis keadaan yang sesungguhnya dari kesadaran kelas dan kesiapan seluruh kelas (dan bukan hanya pelopor Komunis saja), dan terutama seluruh rakyat pekerja (dan bukan hanya elemen-elemen kelas pekerja yang maju).” (Komunisme Sayap Kiri: Sebuah Penyakit Kekanak-kanakan)

Bahkan dalam pemilu yang paling “merakyat” sekalipun, dengan kondisi-kondisi yang paling ideal sekalipun – misalnya dengan UU Pemilu yang amat bebas, dengan adanya sebuah partai massa buruh yang dapat ikut pemilu sebagai oposisi yang riil, dsb. – pemilu tersebut akan tetap menjadi pemilu borjuasi, dan kita tetap punya tanggung jawab untuk menjelaskan dengan sabar prasangka-prasangka borjuis-demokratis tersebut kepada rakyat. Jadi, sembari menggunakan taktik-taktik parlementer – ketika memungkinkan; kapan dan bagaimana ini memungkinkan adalah diskusi yang lain lagi yang akan kita coba kupas di bawah nanti – kaum Marxis tidak boleh menyembunyikan kebenaran dari massa bahwa parlemen borjuasi adalah alat untuk mempertahankan kapitalisme, dan bahwa tujuan akhir dari proletar adalah penaklukan kekuasaan secara revolusioner dengan menghancurkan parlemen borjuasi yang kita gunakan sekarang. Kaum Marxis menggunakan parlemen tidak hanya untuk membawa perubahan-perubahan yang dapat meringankan penderitaan rakyat. Kalau hanya untuk tujuan ini saja maka kita tidak bedanya dengan kaum liberal dan kaum reformis sosial-demokrat. Kita menggunakan parlemen juga sebagai platform untuk mengedepankan ide-ide sosialis dan terutama untuk menunjukkan kepada rakyat keterbatasan dan kebusukan parlemen borjuasi, dan dari sini menyiapkan kelas buruh untuk menumbangkan parlemen borjuasi ini.

Jadi jelas kalau kaum Marxis tidak menolak secara prinsipil untuk terlibat di dalam pemilu borjuasi. Kaum Marxis dibedakan dengan Kiri lainnya oleh fleksibilitasnya dalam taktik dan keteguhannya dalam ideologi. Kiri-kiri kita sangatlah fleksibel dalam taktik mereka, yakni melompat-lompat dari satu taktik ke taktik lain, dari satu kampanye ke kampanye lain. Tetapi dalam hal keteguhan dalam ideologi mereka kebanyakan sangatlah malas. Usaha belajar dan mendalami teori sering dicemooh sebagai aktivitas intelektual, dan para Kiri kita lebih suka beraktivitas-ria, turun ke jalan, berorasi, mengorganisir massa, untuk “merakyat” katanya. Alhasil teori Marxis di Indonesia bukannya dikembangkan oleh para pejuang revolusioner itu sendiri, tetapi justru dikembangkan oleh kaum intelektual akademis di universitas-universitas. Cemoohan mereka akhirnya menjadi kenyataan, teori Marxis menjadi dominasi kaum akademis intelektual. Ketika para aktivis ini membutuhkan teori untuk membenarkan kebijakan mereka, mereka lantas mencari teori-teori instan lewat para akademis Marxian, entah yang dari luar seperti Zizek atau lewat para Marxian muda kita yang berkumpul di sekitar Indoprogress dan STF Driyarkara.

Kalau kita tidak menolak secara prinsipil partisipasi dalam parlemen borjuis, lantas pertanyaan selanjutnya adalah: kapan kita menggunakan taktik parlementer dan kapan kita memboikotnya? Bagaimana dan dalam proporsi apa kita mengkombinasikan taktik ini dengan taktik-taktik lain? Tidak ada rumus ajaib yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak ada semacam angket dengan sederet pertanyaan ya-atau-tidak, yang setelah dijawab semuanya akan memberikan skor akhir yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Apa yang kita miliki adalah pengalaman sejarah dan kondisi-kondisi objektif serta subjektif hari ini yang dapat kita kaji dengan pisau Marxisme.

Kiri Kita: “Membonceng” Partai-partai Borjuasi

PRD adalah salah satu dari sejumlah organisasi pergerakan yang memutuskan untuk ikut pemilu borjuasi dengan membonceng – atau dibonceng lebih tepatnya – oleh partai-partai borjuasi. Pembenaran langkah ini datang dari kekeliruan PRD dalam mengkaji kapitalisme dan imperialisme di Indonesia.

Manifesto PRD, setelah dibersihkan dari segala retorikanya mengenai rakyat yang tertindas, tidak lain adalah ajakan untuk melakukan kolaborasi kelas, yakni kolaborasi antara buruh, tani, dan kapitalis nasional. Semua lapisan ini, menurut PRD, adalah korban dari modal asing dan imperialisme dan oleh karenanya dibutuhkan “persatuan nasional” dari semua orang Indonesia, terlepas basis kelasnya dan kepentingan-kepentingan yang menyertainya, untuk menghentikan imperialisme. Begini tulis PRD:

“Untuk melawan imperialisme ini, kita butuh sebuah alat politik, yaitu persatuan nasional. Dampak neoliberalisme yang mengorbankan hampir semua lapisan dan sektor sosial rakyat Indonesia (pekerja, petani, kaum miskin kota, perempuan, pemuda, masyarakat adat, pengusaha kecil/menengah, pengusaha nasional, dll) adalah kondisi yang kondusif untuk menjalin persatuan.” (Manifesto Pemilu PRD)

Logikanya tampak sederhana. Ada sekelompok orang dengan status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda yang menjadi korban dari kebijakan neo-liberalisme dan imperialisme. Oleh karenanya mereka harus bersatu, yang miskin bersatu dengan yang kaya, yang tertindas bersatu dengan yang menindas, pemulung bersatu dengan pengusaha, di atas “prinsip bangsa kita: Bhineka Tunggal Ika”. Logikanya sederhana, yakni logika formalis, dimana 1+1 = 2. Tetapi di dalam politik, logika formalis yang sederhana tidak pernah memadai dan justru membawa kekeliruan. 1+1 tidak selalu menghasilkan 2, karena di dalam politik tiap-tiap kelas menduduki posisi yang berbeda dalam relasi produksi masyarakat kita, dan tiap-tiap kelas saling merasuki satu sama lain, saling bertentangan, saling bersinggungan, dan dalam interaksi yang terus menerus itu mereka terus berubah. Di sini kita berbicara terutama mengenai dua kelas, yakni kelas buruh dan kelas kapitalis, yang karakternya terus berubah sejak kelahirannya: yang pertama semakin menunjukkan kekuatan dan keprogresifannya sebagai kelas masa depan, yang belakangan semakin menunjukkan kebangkrutan, kepengecutannya, dan keimpotenannya dalam memajukan bangsa.

Di awal perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dimulai pada tahun 1910an, kita melihat adanya persatuan antara kelas buruh dan kelas kapitalis yang kedua-duanya masih-lah sangat muda. Imperialisme, yang merupakan tahapan terakhir dan tertinggi dari kapitalisme, juga baru muncul pada awal abad ke-20. Ia segera menampakkan kontradiksi-kontradiksinya, yang memuncak pada Perang Dunia I. Perang ini tidak lain adalah perang antara kekuatan-kekuatan imperialis utama untuk membagi-bagi dunia. Secara paradoks, justru kontradiksi imperialisme ini, yakni kontradiksi negara-bangsa (nation-state), yang lalu memunculkan kesadaran negara-bangsa di antara rakyat yang terjajah, dimulai dari lapisan intelektualnya. Ini memercikkan perjuangan pembebasan nasional di Indonesia dan juga koloni-koloni lainnya. Beserta rakyat luas kaum kapitalis Indonesia menuntut kemerdekaan nasional mereka dan terlibat dalam perjuangan melawan Belanda dan imperialisme secara umum. Namun sejak awal mereka telah menunjukkan keragu-raguan, kepengecutan, dan kebimbangan mereka. Ini karena mereka lahir di era imperialisme, sehingga mereka punya dua karakter: 1) ketergantungan pada modal asing; 2) ketakutan pada rakyat pekerja. Faktanya mereka lebih takut pada rakyat pekerja daripada tuan imperialis mereka, dan ketakutan ini semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin besarnya kelas proletar di Indonesia dan semakin kuatnya mereka sebagai kelas untuk dirinya sendiri.

Pukulan serius pertama terhadap imperialisme Belanda dihantarkan bukan oleh borjuasi nasionalis kita tetapi oleh kelas buruh lewat partainya, Partai Komunis Indonesia. Di antara kelompok-kelompok politik lainnya di Indonesia pada periode awal perjuangan kemerdekaan PKI adalah organisasi politik dengan jumlah anggota, simpatisan, basis massa, dan pengaruh terbesar. Tan Malaka, dalam karyanya “Aksi Massa”, mengkritik dengan keras partai-partai borjuis di Indonesia. Budi Utomo digambarkannya sebagai “partai yang semalas-malasnya di antara segenap partai-partai borjuis di Indonesia ... ia tidak mendapat cara-cara aksi borjuis radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakkan rakyat dari dulu sampai sekarang.” Sementara kepada National Indische Party (NIP), yang nantinya jadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI), Tan Malaka menulis ini: “Dengan pikiran pincang dan ragu-ragu tidak dapat juga NIP ... “mencium” kebangsaan Indonesia. ... [ia] berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia. ... Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan Indo anggota NIP.”

Mengapa borjuasi Indonesia begitu “malas”, “tidak berani”, “pincang”, dan “ragu-ragu” dalam menjalankan tugas-tugas nasional demokratik mereka? Tan Malaka menjelaskan: “Sesungguhnya bukan kualitas pimpinan itu sendiri yang menyebabkan partai-partai borjuasi Indonesia ‘beriring-iring patah di tengah’. ... Karena kapital besar bumiputra tidak ada, program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup.” Yah, benar. Karena borjuasi Indonesia  ada di bawah jempol kapital asing yang lebih besar dan tergantung padanya, maka dari itu mereka lemah dan beriring-iring patah di tengah dalam usaha mereka untuk memenuhi tugas-tugas nasional dan demokratis.

Bagaimana kelas borjuasi kita hari ini dibandingkan dengan jaman Tan Malaka? Apakah dalam 100 tahun terakhir ini mereka telah menjadi “berani” dan “tegas”? Sebaliknya. Mereka justru menjadi semakin penakut, dan dengan kepengecutan mereka datang juga karakter pengkhianatan mereka. Pada 1945, pemimpin mereka, Soekarno dan Hatta, harus dipaksa oleh kaum muda revolusioner untuk memproklamirkan kemerdekaan. Lalu pada 1945-49, para pemimpin borjuis mengkhianati perjuangan kemerdekaan 100% karena takut pada imperialisme. Mereka persembahkan kepala dari ribuan kader komunis dan para pemimpin mereka kepada Belanda dan imperialisme. Mengenai ini, Soekarno membela tindakannya yang meremukkan elemen-elemen revolusioner pada masa 1945-1949 dengan mengatakan bahwa “revolusi nasional tidak boleh dibikin lemah dengan perjuangan kelas” dan inilah garis politik yang diusung oleh PRD hari ini: dahulukan persatuan nasional, tanggalkan perjuangan kelas. Lalu pada 1965, borjuasi kita berbaris rapi di belakang militer dalam menenggelamkan gerakan buruh ke dalam kubangan darah. PKI pada saat itu membuat kesalahan yang sama dengan PRD hari ini, yakni percaya kepada borjuasi nasional yang menurut mereka progresif. Tidak peduli pada mimpi para pemimpin PKI 50 tahun yang lalu dan para pemimpin PRD hari ini, kaum borjuasi kita telah mengambil pilihan mereka: lebih baik hidup sebagai kacung imperialis daripada hidup bersama dengan kaum buruh dan tani yang mandiri, terorganisir, dan kuat.

Inilah mengapa mereka puas saja hidup di bawah Soeharto, dan tidak pernah sekalipun menggedor – apalagi mendobrak – pintu kediktatoran Soeharto. Pada 1998, setelah pintu tersebut didobrak oleh kaum muda dan rakyat tertindas luas, kaum borjuasi oposisi  kita – Gus Dur, Mega, Amen – justru memainkan peran untuk meredam semangat revolusioner rakyat. Para pahlawan reformasi inilah, yakni perwakilan dari borjuasi kita yang paling progresif, membawa Indonesia semakin di bawah jempol modal asing. Manifesto PRD mengandung informasi yang cukup lengkap mengenai peran pemerintahan Gus Dur dan Mega dalam mencanangkan program-program liberalisasi dan privatisasi, tetapi PRD tetap menolak untuk memahami kemustahilan melakukan persatuan nasional dengan para kapitalis dan perwakilan politik mereka.

PRD terus mencari kelas borjuasi yang progresif, dan berkali-kali mereka hanya menemui bayang-bayangnya. Mereka terus memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia. Mereka ingin kembali ke masa keemasan borjuasi nasional, yakni ketika borjuasi kita menerima dipaksa untuk membacakan secarik kertas yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.  Mereka terus menatap ke masa lalu, sementara masa depan sosialisme ditunda sampai Indonesia bisa menjadi negara kapitalis yang berdikari. Persatuan nasional di atas persatuan kelas! Inilah slogan PRD. Pada kenyataannya sejarah perjuangan kita telah menunjukkan lagi dan lagi bahwa imperialisme hanya bisa dipatahkan dengan persatuan kelas, bahwa pada akhirnya slogan persatuan nasional adalah slogan untuk menundukkan kelas buruh dan tani di bawah borjuasi.

Buruh Go Politik

Selain PRD, kita juga saksikan sejumlah serikat buruh yang membonceng partai-partai politik borjuasi. Mereka mengirim para pemimpin buruh untuk menjadi caleg di bawah bendera sejumlah partai politik seperti PKS, PAN, PPP, PDI-P, Gerindra, dsbnya. Kita harus melihat ini dalam konteks gerakan buruh hari ini di Indonesia.

Gelombang aksi buruh pada 2012-2013 yang melibatkan jutaan buruh telah membuka lembaran baru bagi perjuangan kelas buruh di Indonesia. Buruh mulai menjadi kekuatan politik riil yang tidak hanya diakui dan disegani oleh massa rakyat luas, tetapi juga ditakuti oleh kelas penguasa. Mereka untuk pertama kalinya, sejak diremukkan pada 1965, masuk ke panggung politik nasional sebagai sebuah kelas dengan kepercayaan diri yang meluap-luap.  

Pengalaman perjuangan selama 2 tahun terakhir juga mengajarkan kepada buruh bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan metode-metode perjuangan ekonomis. Berbenturan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, mereka sadar bahwa mereka juga harus melakukan perjuangan politik. Tidak cukup di pabrik saja, buruh mulai merasa bahwa mereka harus keluar dari gerbang pabrik dan masuk ke gerbang parlemen. Ini merupakan bagian dari proses perkembangan kesadaran kelas buruh.

Akan tetapi, hari ini buruh Indonesia belum memiliki partai massa mereka sendiri, seperti Partai Buruh di Brazil, Partai Buruh di Inggris, New Democratic Party di Kanada, dll. Inilah kontradiksi yang ada, antara harapan buruh yang mulai tumbuh untuk berpolitik dan kenyataan tidak adanya kendaraan politik buruh. Tidak dapat menunggu terbentuknya partai massa buruh, buruh lantas mengirim sejumlah rekan mereka untuk menjadi caleg buruh lewat sejumlah partai borjuasi, dan langkah ini mendapatkan dukungan dari selapisan buruh. Ada sedikit kenaifan dari para buruh ini, yang juga lahir karena kemenangan-kemenangan yang mereka cicipi 2 tahun terakhir. Buruh sungguh-sungguh percaya kalau mereka akan bisa mempertahankan kemandirian kelas para caleg buruh mereka.

Kita harus menjelaskan dengan sabar, tetapi juga dengan tegas, bahwa kemandirian kelas dari para perwakilan buruh akan dapat tercapai bila buruh punya kendaraan politik mereka sendiri. Sama halnya ketika buruh hanya bisa meraih kemandirian dalam perjuangan ekonomis lewat organisasi serikat buruh mereka sendiri, maka buruh hanya bisa meraih kemandirian dalam berpolitik lewat organisasi politik mereka sendiri.

Kehendak buruh untuk “go politik” harus kita salurkan pada slogan “Bentuk Partai Buruh dari buruh, oleh buruh, dan untuk buruh”. Buruh harus bergerak “dari pabrik menuju publik”, dan menjadi pemimpin dari seluruh kelas tertindas di Indonesia. Ini hanya bisa dilakukan dengan membangun partai buruh yang bertumpukan pada serikat-serikat buruh massa dan program-program sosialis: nasionalisasi tuas-tuas ekonomi yang terutama dan bangun sistem ekonomi yang terencana secara demokratis oleh rakyat pekerja.

Kiri Kita: Memilih Terbaik dari yang Terburuk

Dengan masuknya Jokowi ke dalam kompetisi pilpres, sejumlah Kiri kita segera tergopoh-gopoh berbaris di belakangnya dengan berbagai alasan. Alasan yang paling populer digunakan adalah bahwa menolak Jokowi berarti membuka jalan bagi Prabowo untuk menjadi Presiden, dan oleh karenanya Jokowi adalah pilihan yang terbaik dari yang terburuk.

Karena trauma kediktatoran militer, ada ketakutan yang menjadi-jadi di antara Kiri kita terhadap tokoh militer. Momok fasisme pun ditebarkan, dengan seruan lantang dari mahasiswa doktoral ilmu politik kita, Iqra Nugraha, untuk “menendang fasisme keluar dari kotak suara di bumi Indonesia” (Iqra Nugraha. Menghadang Fasisme, 7 April 2014). Ketakutan emosional ini lantas mendikte posisi politik mereka: apapun yang bukan militer adalah lebih baik daripada militer. Tidak ada sejumput pun analisa kelas di dalamnya.

Pertama mengenai fasisme. Fasisme adalah gerakan massa borjuis kecil, yang lahir ketika masyarakat menemui jalan buntu yang teramat akut: kelas borjuasi terlalu lemah untuk mengalahkan kelas buruh yang sedang bergejolak, sedangkan kelas buruh sendiri juga tidak mampu membawa periode revolusioner ini ke kesimpulannya. Masyarakat tidak bisa terus menerus berada dalam situasi menggantung atau revolusioner. Harus ada penyelesaiannya. Di sinilah peran kaum fasis dengan batalion massa borjuis kecilnya, yang dilepaskan seperti anjing liar oleh kelas borjuasi untuk mematahkan gerakan revolusioner yang bergejolak. Inilah yang terjadi di Italia (Mussolini) dan Jerman (Hitler), dan pada tingkatan tertentu juga di Spanyol (Franco). Hanya pada periode revolusioner kita biasanya melihat kelas penguasa mulai melepaskan anjing liar fasismenya. Sebelum fasisme bisa menang, kelas buruh akan punya 1001 kesempatan untuk menang, dan hanya setelah ketidakmampuannya untuk merebut kekuasaan maka gelombang pasang reaksi fasisme akan menyapunya.

Secara vulgar, tanpa analisa kelas dan situasi politik yang serius, Iqra Nugraha menarik sejumlah “kemiripan” antara Prabowo dan Mussolini dan mencapai kesimpulan: Prabowo mewakili fasisme, dan oleh karenanya harus dihadang dengan cara apapun. Dalam hal ini, walau dia malu-malu mengungkapkannya, maksudnya adalah cobloslah Jokowi – atau politisi manapun selain Prabowo.  Tetapi hari ini di Indonesia tidak ada situasi yang kondusif untuk lahirnya fasisme. Kelas kapitalis Indonesia tidak memerlukan reaksi fasisme sekarang. Mereka cukup puas berkuasa dengan sistem demokrasi. Fasisme tidak lahir hanya karena ada seorang bernama Prabowo yang mungkin punya mimpi untuk menjadi seorang fasis ala Mussolini. Harus ada perimbangan kelas tertentu, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Penyebar momok fasisme seperti Iqra berpikir bahwa mendukung politisi borjuis seperti Jokowi akan menghadang fasisme, tetapi justru mereka sedang mempersiapkan datangnya fasisme yang sesungguhnya di masa depan. Politik kolaborasi kelas yang diusung oleh mereka justru membuat lemah gerakan buruh untuk menumbangkan kapitalisme. Ketika kelas buruh tidak mampu menumbangkan kapitalisme yang memasuki krisis, dikarenakan kebijakan kolaborasi kelas yang disebarkan oleh para intelektual dan pemimpin reformis, di situasi seperti inilah reaksi fasisme hadir. Selain itu, kita tidak menghadang kaum fasis dengan jalan parlementer, seakan-akan kaum fasis yang sesungguhnya akan menghormati jalan parlementer. Seperti yang Trotsky katakan, kita kalahkan kaum fasis dengan “memperkenalkan kepalanya pada aspal jalanan”. Hanya kekuatan buruh yang terorganisir dengan milisi pertahanannya yang dapat menghadang fasisme. Pengalaman buruh dalam menghadang preman-preman kapitalis pada gelombang pemogokan tahun lalu adalah pelajaran yang konkret dan berharga bagaimana melawan elemen-elemen fasis: yakni aksi massa.

Kedua, mengenai negara dan militer. Kekerasan yang dilakukan oleh tentara (dan aparatus pemaksa lainnya) tidaklah ditentukan oleh latar belakang militer sang presiden atau kepala negara. Negara akan tetap menggunakan – dan telah menggunakan – aparatus-aparatus pemaksanya (tentara dan polisi) untuk melindungi kepentingan kelas penguasa, dan ini tidak ditentukan oleh karakter sipil atau militer dari para pemangku jabatan negara. Ini karena negara, pada analisa terakhir, adalah organ penindas oleh satu kelas terhadap kelas yang lain, dan dalam hal negara borjuasi organ penindas kaum borjuasi terhadap kelas buruh.

Kaum liberal demokrat dan borjuis kecil di Indonesia memimpikan sebuah negara yang dipimpin oleh tokoh-tokoh politik sipil, dengan harapan bahwa negara sipil seperti ini maka akan menjadi demokrasi modern yang menghormati keabsahan hukum dan HAM. Demokrasi paling modern di muka bumi ini seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman, di mana pemerintahannya adalah pemerintahan sipil justru, justru adalah pelanggar HAM terbesar. Pejabat-pejabat sipil inilah yang mengirim tentara ke Irak, Afghanistan, Mali, Libia, dan berbagai daerah konflik lainnya. Para politisi sipil inilah yang mengesahkan dan mendukung secara aktif kudeta-kudeta militer terhadap pemerintahan-pemerintahan terpilih di Amerika Latin, Afrika, Asia, dll. yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Dengan argumen liberalistis borjuis-kecil yang serupa, PRP juga mencoba membenarkan posisi mereka dalam mendukung Jokowi. Cakupan mereka lebih luas, bukan hanya militer, tetapi tokoh-tokoh yang memiliki kaitan langsung dengan rezim Orde Baru:

“Perlawanan terbuka terhadap tokoh-tokoh yang memiliki kaitan langsung dengan rejim Orde Baru tentunya menjadi penting untuk diusung kembali oleh seluruh rakyat Indonesia ... maka dari itu, kami dari Partai Rakyat Pekerja (PRP), menyatakan sikap mendukung calon presiden yang populis dan tidak memiliki kaitan langsung dengan rezim Orde Baru [baca Jokowi].” (Munculnya Kepemimpinan Populis, Apa Artinya Bagi Rakyat Pekerja? -- 21 Maret 2014)

Mungkin kawan-kawan PRP akan menyatakan keberatan mereka kalau kita hanya mengungkit poin pertama dalam program mereka, karena selain mendukung Jokowi masih ada 4 poin lainnya. Namun akan lebih baik sebenarnya kalau mereka tidak mencantumkan 4 poin lainnya di dalam program mereka, karena poin-poin ini hanya menunjukkan lebih lanjut kebingungan mereka, ketidakkonsistenan mereka dan tendensi-tendensi borjuis kecil di dalam program mereka.

Mengenai nasionalisasi yang disebut di poin ke-3, mengapa hanya “aset negara yang telah diprivatisasi”? Program sosialis yang konsisten akan mengusung nasionalisasi seluruh tuas-tuas ekonomi yang penting, tidak hanya yang telah diprivatisasi. Terlebih lagi, nasionalisasi tidaklah lengkap kalau tidak disertai dengan sistem ekonomi terencana di bawah kontrol demokratis rakyat pekerja. Ini karena kapitalis pun telah dalam sejarahnya mendukung nasionalisasi untuk kepentingan mereka, selama nasionalisasi ini dilakukan dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis.

Kembali lagi ke poin ke-3, PRP juga mengusung pajak transaksi keuangan. Namun pajak transaksi keuangan adalah program borjuis kecil. Pajak transaksi keuangan ini dikenal sebagai “Tobin Tax” atau “Robin Hood Tax”, dan pada awal krisis finansial 2008 diajukan oleh sejumlah Kiri borjuis-kecil sebagai solusi. Pajak Tobin ini secara esensi adalah usaha untuk meregulasi kapitalisme, untuk mengurangi spekulasi jangka-pendek yang dilakukan oleh para pemain saham. Tidak heran kalau pajak Tobin juga didukung oleh sejumlah ekonom borjuis – termasuk Bill Gates, George Soros, Joseph Stiglitz, Paul Krugman – yang khawatir akan kerusakan yang disebabkan oleh spekulasi jangka-pendek terhadap keselamatan kapitalisme secara keseluruhan. Gagasannya adalah bahwa pajak Tobin akan mendorong spekulasi kapitalis yang lebih bersifat jangka panjang. Para ideolog PRP akan membantah, mungkin dengan argumen demikian: dengan pemerintahan yang pro-rakyat, dana yang dikumpulkan dari pajak Tobin dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat, untuk “mewujudkan perlindungan sosial transformatif”. Terlepas dari mimpi kawan-kawan kita di PRP dan para pendukung Pajak Tobin lainnya bahwa pajak Tobin bisa “menghasilkan miliaran dolar untuk pelayanan-pelayanan pulik dan mengatasi kemiskinan dan perubahan iklim” (www.robinhoodtax.org.uk), pajak Tobin adalah kampanye borjuis kecil yang tujuan utamanya adalah meyakinkan kelas pekerja kalau kapitalisme bisa berfungsi untuk kesejahteraan mereka kalau saja ia diregulasi dan diatur sedemikian rupa.

Tidak ada satu pun hal yang progresif – apalagi revolusioner – dalam program pajak Tobin  yang dapat membangun kesadaran kelas buruh. Sebaliknya, ia justru menebar ilusi bahwa kapitalisme dapat berfungsi kalau saja diregulasi dengan baik. Mungkin kawan-kawan PRP tidak bermaksud demikian karena pada poin ke-5 mereka menyatakan dengan lantang bahwa “kapitalisme-neoliberalisme terbukti telah gagal ... dan hanya dengan Sosialisme lah maka rakyat akan sejahtera” dan setiap pernyataan mereka diakhiri dengan seruan sosialisme sebagai satu-satunya jalan keluar. Namun tidak sedikit kaum sosialis yang berslogan ria mengenai sosialisme tetapi melakukan kebijakan-kebijakan borjuis kecil yang justru berseberangan dengan cita-cita sosialisme yang sesungguhnya. Kita sebut orang-orang semacam ini dengan nama mereka yang sesungguhnya, yakni kaum sosialis sosial-demokrat atau kaum sosialis borjuis kecil.

Pada poin ke-4, PRP agak benar kalau kita harus “[membangun] kekuatan politik alternatif”, walaupun sebenarnya kita harus lebih jelas dengan apa yang dimaksud kekuatan politik alternatif ini, yakni partai buruh massa. Akan tetapi, bagaimana kita bisa menyerukan kepada buruh untuk membangun kekuatan politik mereka sendiri ketika pada saat yang sama kita serukan kepada mereka untuk menggantungkan harapan pada tokoh populis borjuis? Mungkin kawan-kawan PRP berpendapat bahwa mendukung Jokowi dan membangun kekuatan politik alternatif dapat dilakukan bersandingan tanpa efek negatif pada tujuan yang belakangan ini. Namun ketika salah satu tugas utama hari ini adalah membangun kesadaran kemandirian kelas di antara kelas buruh – terutama hari ini ketika mereka baru saja mulai bangkit dan menemui kepercayaan diri kelas mereka – maka mendukung Jokowi tidak membawa kita semakin dekat tugas ini.

Prasangka borjuis kecil yang melanda PRP dapat kita lihat lebih lanjut dari paparannya bahwa “sistem pemilu di Indonesia malah membuat kepentingan rakyat pekerja semakin jauh, karena tidak ada yang mewakili kepentingan rakyat pekerja di dalam negara” dan  “sikap untuk tidak menggunakan hak pilih .... menyebabkan rakyat pekerja di seluruh Indonesia semakin jauh dari  dasar perjuangannya selama ini, yakni merebut kekuasaan politik dari rejim neoliberalisme.” Adalah prasangka borjuis kecil kalau rakyat pekerja dapat terwakili kepentingannya di dalam negara, seakan-akan ada negara “murni” non-kelas yang bisa mewakili kepentingan berbagai kelas. Negara yang ada hari ini adalah negara kelas borjuasi, yakni organ penindas kelas borjuasi terhadap kelas proletar. Bahkan bila ada 100 perwakilan buruh di dalamnya, ini tidak mengubah karakter fundamental negara borjuasi tersebut. Perjuangan parlementer kita bukanlah untuk memperjuangkan perwakilan di dalam pemerintah borjuasi, tetapi untuk meraih telinga massa luas dengan tujuan mengekspos kebangkrutannya, menumbangkannya dan membangun negara yang baru di atas puing-puingnya.

Tendensi borjuis kecil di dalam PRP bahkan sudah mulai terlihat dalam metode organisasinya. Pada pidato politik KP PRP (Pusatkan Pandang untuk Mematangkan Kontradiksi dalam Borjuasi Kapitalis, 13 Mei 2013), PRP menyatakan bahwa partai tidak akan mendukung pemenangan salah satu partai ataupun kandidat caleg. Namun, “anggota PRP yang mendapat kartu untuk mencoblos pada saat pemilu yang ditetapkan nanti, diwajibkan pergi ke bilik suara untuk mencoblos kandidat yang disukainya sebagai pilihan pribadi.” Ini adalah metode Menshevik, metode borjuis kecil, dimana “pilihan pribadi” anggota atau kader diletakkan di atas kedisplinan ideologi partai. PRP bahkan mengharuskan anggotanya untuk memilih salah satu partai borjuasi di pemilu nanti, sesuai dengan selera pribadi masing-masing. Dokumen politik yang menyerukan agar kita “jangan bingung dengan hajat pemilu” justru membuat yang membacanya menggaruk-garuk kepala.

Kebingungan pun berlanjut.

Pidato politik tersebut lalu berbicara berputar-putar mengenai “gerakan kontrol untuk melembagakan kekuasaan rakyat pekerja”. Mungkin PRP berbicara mengenai rakyat pekerja yang merebut kekuasaan. Tetapi mengapa tidak mengatakan itu saja: bahwa kelas proletar harus melakukan perebutan kekuasaan politik dan ekonomi secara revolusioner, bahwa negara yang ada adalah negara borjuasi yang harus dirobohkan dan negara yang baru, yakni negara buruh, harus dibangun. Kebingungan ini ditambahi lagi dengan seruan “meminimalisir kepemilikan pribadi, sehingga pemerataan dan keadilan dalam tata kepemilikan menjadi niscaya bagi rakyat pekerja.” Apa yang dimaksud dengan “meminimalisir kepemilikan pribadi”? Mengapa menggunakan frase-frase yang abstrak, yang tampaknya bisa diisi dengan konten apapun tergantung dari “pilihan pribadi” pembaca? Tugas kaum proletar adalah merebut kepemilikan pribadi kaum kapitalis, pabrik-pabrik mereka, bank-bank mereka, institusi-institusi finansial mereka, tambang-tambang mereka, tanah-tanah pertanian mereka mereka, dengan metode revolusioner, dan meletakkan semua alat produksi ini dalam sistem ekonomi terencana yang demokratis.

Kami harus meminta maaf kepada para pembaca karena telah lari sedikit ke luar dari topik pembicaraan, yakni masalah pemilu dan tantangannya bagi kaum revolusioner. Tetapi kami tidak puas dengan analisa dan kritik dangkal yang hanya dipenuhi slogan-slogan “tolak pemilu borjuasi” atau kutukan emosional terhadap Kiri-kiri yang mendukung parpol borjuasi dan tokoh populis borjuis seperti Jokowi. Sesungguhnya, masalah pemilu ini terkait erat dengan pemahaman revolusioner mengenai watak fundamental negara borjuasi, tugas-tugas historis kaum proletar berkaitan dengan negara borjuasi tersebut, serta program ekonomi sosialis yang menjadi tugas historisnya pula. Semua ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Kiri Kita Mengawal Jokowi

Tokoh populis seperti Jokowi lahir karena kebuntuan politik yang dirasakan oleh rakyat pekerja. Krisis kapitalisme yang tak tertanggungkan tidak bisa menunggu terbentuknya kepemimpinan revolusioner yang dapat memimpin rakyat pekerja. Rakyat tidak dapat menunggu hadirnya Partai Bolsheviknya Lenin. Ketika serikat-serikat buruh tidak bisa menjadi organisasi perjuangan rakyat luas, ketika partai-partai buruh massa dengan pemimpin reformis mereka lantas menjadi halangan terbesar bagi perjuangan rakyat pekerja, rakyat akan menggunakan saluran-saluran apa pun untuk mengekspresikan kehendak mereka. Inilah mengapa di tengah keabsenan kepemimpinan revolusioner, kita temui beragam formasi politik – dari yang kiri sampai yang kanan – yang mencuat begitu cepat dan sering kali pupus juga dengan kecepatan yang sama.

Sebut saja gerakan Occupy yang mendunia, gerakan Indignados di Spanyol, gerakan Idle No More di Kanada, dan gerakan-gerakan spontan lainnya di berbagai negeri. Sebut saja Obama di AS, lalu Beppe Grillo di Italia, Marine Le Pen di Prancis dari sisi kanan, dan bahkan munculnya Chavez adalah ekspresi dari keabsenan kepemimpinan revolusioner di Venezuela, akibat kegagalan Partai Komunis Venezuela, para pemimpin serikat buruh, dan kebangkrutan dari taktik “gerilya-isme” yang mendominasi perpolitikan revolusioner dari 1960an hingga 1980an tidak hanya di Venezuela tetapi seluruh Amerika Latin. Faktor-faktor historis inilah yang membuka jalan untuk lahirnya berbagai formasi politik. “Sejarah mengenal berbagai macam metamorfosa,” ujar Lenin. Di periode inilah kaum Marxis harus melipatgandakan usaha mereka untuk menanamkan gagasan Marxis di antara kadernya, agar mereka tidak terseret ke dalam pusaran badai politik yang akan semakin besar dengan semakin dalamnya krisis kapitalisme.

Sejumlah pendukung Jokowi menerima bahwa Jokowi mungkin saja akan mengecewakan harapan rakyat seperti Obama atau banyak tokoh populis lainnya. Coen Husain Pontoh, salah satu akademisi Marxian kita dalam tulisannya terakhir (Dukungan Kritis, 31 Maret 2014), lalu menawarkan konsep “dukungan kritis”, dimana kaum Kiri bisa memberikan dukungan kritis kepada Jokowi dengan membangun semacam “lingkaran-lingkaran pendukung Jokowi” untuk “mengalang dukungan elektoral”, sebagai “wadah pengorganisiran politik” dan “menyebarkan gagasan dan program Jokowi”. Intinya, kaum Kiri harus memobilisasi rakyat untuk mendukung Jokowi dan terus memberi tekanan kepada Jokowi agar bergerak ke kiri dan tidak mengecewakan rakyat. Kalau ini dilakukan, maka Jokowi akan bisa menjadi Hugo Chavez dan tidak menjadi Obama.

Ini adalah proposisi yang sangat menarik, dengan model siap-jadi yang sudah terbukti berhasil: Chavez sang populis dikawal oleh lingkaran-lingkaran Bolivarian, dan lalu menjadi Chavez seperti yang kita kenal hari ini. Dalam model ini, maka kekeliruan kaum Kiri di AS adalah mereka tidak cukup giat dalam mendukung Obama. Seandainya mereka membentuk “lingkaran-lingkaran Obama” dari “struktur pusat hingga struktur terendah, dari pusat kota hingga ujung desa, dari tingkat pabrik hingga bantaran sungai”, maka Obama akan menjadi lebih berani dan tidak bertekuk lutut pada tekanan borjuasi. Kita dihadapkan pada persimpangan Chavez-Jokowi-Obama, di mana semuanya tergantung pada tekad Kiri kita untuk memobilisasi rakyat dalam mendukung dan mengawal seorang populis. Berhasil maka kita akan dapatkan sosok Chavez, gagal maka Obama. Hanya sampai di sinilah analisa teoretikus Marxis kita, yang ahistoris dan idealistis. Skemanya sangat sederhana, dan oleh karenanya hanya cocok untuk anak kecil. Setiap kali ada seorang tokoh populis -- dalam takaran apapun dan dalam konteks historis apapun -- para Marxian borjuis kecil kita tergopoh-gopoh melemparkan dukungannya.

Perkembangan Chavez dari seorang perwira militer yang tak dikenal sampai ke sosoknya yang dikenal hari ini jauh lebih panjang dan dalam daripada perkembangan politik Jokowi. Tidak ada perbandingan sama sekali. Dari 1982 dia telah terlibat dalam lingkaran perwira progresif MBR 200. Peristiwa Caracazo 1989 – dimana rakyat yang bangkit melawan kebijakan pemotongan subsidi Carlos Andrez Perez diremukkan oleh tentara – adalah satu peristiwa politik yang menentukan. Ini mendorong Chavez dan para perwira progresif lainnya untuk  memimpin pemberontakan bersenjata pada 1992. Dari sini dia sudah mulai menarik garis yang tegas yang memisahkannya dari kelas penguasa yang ada. The rest is history. Hubungan antara Chavez dan gerakan massa terus berkembang secara dialektis, saling menarik dan mendorong satu sama lain, di mana Chavez merespon secara positif gerakan massa yang terus terbangun. Di sini kata kuncinya adalah keterlibatan massa dalam politik, yang menemukan pengejawantahannya di dalam sosok Chavez.

Tentu Jokowi tidak ada dalam posisi untuk melakukan pemberontakan bersenjata. Namun pada Getok Monas 2012 dan lagi pada Mogok Nasional 2013, dan serangkaian aksi massa buruh militan yang terjadi dari 2012 hingga 2013, dia punya kesempatan untuk menarik garis kelas yang lebih jelas, untuk berpihak pada buruh pada momen-momen historis di mana kelas buruh Indonesia mulai menunjukkan taringnya. Ada gerakan buruh yang historis, dengan pemogokan nasional yang melibatkan jutaan buruh, yang terorganisir luas, demokratis dan berakar-rumput. Kita sudah tahu apa yang dilakukan oleh Jokowi.

Mengenai Obama, dia jelas adalah perwakilan borjuis dari sayap Demokrat. Coen mengeluh tidak ada usaha lebih lanjut dari rakyat pekerja Amerika untuk terus mengawal Obama, dan inilah mengapa Obama lalu berkhianat. Begini tulis Coen:

“Ini juga yang terjadi pada Obama, di mana dukungan rakyat yang masif berhenti persis ketika ia diumumkan sebagai pemenang pemilu. Setelah itu politik Washington kembali kepada rutinitasnya.”

Tidak ada yang bisa lebih keliru daripada ini. Secara historis, serikat-serikat buruh AS dan berbagai organisasi kiri lainnya adalah “relawan pengawal Partai Demokrat”, yang terus melakukan lobi politik, pendekatan politik, mobilisasi massa pada para politisi Demokrat dengan harapan bahwa para politisi ini bisa mewakili kepentingan rakyat pekerja. Tetapi setiap kali mereka dikecewakan. Harapan dan dukungan rakyat pekerja AS terhadap Obama terus berlanjut setelah Obama terpilih, tetapi harapan ini terus dikhianati dalam setiap langkahnya. Coen mencoba menyalahkan rakyat AS, tetapi dukungan rakyat pekerja AS terhadap Obama pupus justru karena pengkhianatan Obama, dan bukan sebaliknya. Dan ini bukan masalah kepribadian Obama, tetapi masalah basis kelas Obama dan dari mana dia datang. Kita harus memahami sistem politik borjuasi di AS, yang berakar pada sistem dua-partai: Republiken dan Demokrat, yang terus berganti tempat sebagai penguasa. Mereka adalah dua sayap kelas borjuasi: Republiken secara umum mewakili kapitalisme laissez-faire (kapitalisme dengan pasar bebas yang sebebas-bebasnya, privatisasi, dll.), dan Demokrat secara umum mewakili kapitalisme berwajah humanis. Setiap kali rakyat pekerja AS hanya diberi dua pilihan, dan dipaksa memilih terbaik dari yang terburuk. Tugas utama kaum revolusioner di AS bukanlah terus memupuk ilusi terhadap Partai Demokrat, tetapi membebaskan gerakan buruh dari rantai yang mengikat mereka pada Partai Demokrat.

Selalu ada kemungkinan teoretis kalau Jokowi mungkin akan bergerak lebih jauh ke kiri daripada yang pernah dimimpikannya sendiri. Sebagai kaum Marxis kita tidak menampik kemungkinan teoretis tersebut, namun kita tidak mendasarkan posisi politik dan tugas kita hari ini pada peruntungan atau perjudian akan kemungkinan teoretis tersebut. Kita akan mengubah posisi dan taktik politik kita sejalan dengan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di hari depan. Kalau Jokowi bisa pecah dari kelas kapitalis, tentu saja kaum Marxis juga bisa mengubah posisi dan taktiknya. Seorang revolusioner harus memiliki pemahaman metode dialektis yang mengambil titik awalnya bukan dari definisi-definisi, aksioma aksioma atau model-model abstrak yang sudah jadi dan siap pakai, tetapi dari kenyataan yang hidup dan bergerak, dalam semua kekonkretannya, dengan semua keberagaman dan kontradiksi-kontradiksinya.

Sebaliknya, Coen menyajikan kepada kita sebuah model siap-pakai: ada tokoh populis (yakni disukai oleh rakyat miskin), berikan dan galang dukungan sebesar-besarnya. Kalau sang tokoh populis berkhianat, ini karena dukungan rakyat kurang besar. Ulangi lagi di hari depan dengan tokoh populis lainnya hingga berhasil! Tidak ada analisa kelas yang dialektis sama sekali. 

Mengenai varian-varian politik yang lahir akibat kebuntuan kapitalisme dan absennya kepemimpinan revolusioner, cukup instruktif untuk mengutip apa yang ditulis Alan Woods dalam artikelnya “Kaum Marxis dan Revolusi Venezuela”:

“Faktor yang terpenting dari situasi hari ini adalah absennya sebuah kepemimpinan Marxis yang kuat dan memiliki otoritas dalam skala dunia. Tendensi Marxisme sejati telah terlempar ke belakang selama puluhan tahun dan saat ini hanyalah mewakili minoritas. Tendensi Marxis belumlah dapat memimpin massa ke kemenangan. Tetapi masalah-masalah yang dihadapi oleh massa sangatlah akut. Mereka tidak akan menunggu sampai kita siap memimpin mereka. Mereka akan mencoba dengan berbagai cara untuk mengubah masyarakat, untuk mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Ini terutama benar untuk negara-negara eks-koloni di Afrika, Asia dan Amerika Latin, dimana tidak mungkin sama sekali untuk membawa maju masyarakat di atas basis kapitalis.”

“Dengan absennya tendensi Marxis massa, segala macam varian yang unik dapat terbentuk – dan pada kenyataannya mereka niscaya terbentuk. Kita harus memiliki pendekatan yang kreatif untuk memahami watak dari perkembangan semacam ini, dan membedakan di setiap tahapan apa yang progresif dan apa yang reaksioner.” (Alan Woods, Marxists and the Venezuelan Revolution, 4 Mei 2004)

Yah, sekali lagi, kemampuan membedakan di setiap tahapan apa yang progresif dan apa yang reaksioner, inilah yang dibutuhkan.

Tugas Kita

Cukup menarik untuk membaca karya Martin Suryajaya “Marxisme dan Percakapan di Tengah Hutan”, yang dengan begitu gamblang menunjukkan situasi psikologis dari para Marxian kita dan sejumlah Kiri kita hari ini: yakni frustrasi akan kekecilan mereka, tanpa kepercayaan pada dirinya sendiri dan gagasannya sendiri, dan mencari-cari jalan pintas. Baik sekali kalau Martin belakangan ini mencoba turun dari menara gading intelektualnya dan mulai mengambil posisi politik yang tendensius. Belum lama yang lalu -- dalam acara bedah buku di kantor PPR sekitar 2 tahun yang lalu -- kawan Martin menolak untuk mengambil posisi politik dan stratak yang partisan dengan alasan bahwa dia ingin menjadi nara sumber Marxisme yang objektif dan mampu memberikan masukan intelektual yang tak bertendensius. Mimpi kekanak-kanakannya mengenai objektivisme seorang akademis tampaknya sudah buyar, dan kita bisa melihat dengan jelas keterbatasan dari Marxisme Akademis ketika dihadapkan dengan kenyataan realitas yang hidup.

Tulisan Martin bisa menjadi pedoman “What is not to be done” (apa yang tidak seharusnya dilakukan) bagi kaum Marxis revolusioner di Indonesia. Mari pertama-tama kita periksa situasi Kiri kita secara umum, dan situasi Marxisme Indonesia khususnya. Kiri kita tidak pernah kekurangan aktivis yang gemar “keluar dari hutan” untuk turba mengorganisir massa. Justru kecenderungan utama dari gerakan Kiri kita adalah super-aktivisme. Bahkan di antara mereka yang memiliki organisasi kader, kita harus akui – dan mereka akan akui sendiri – bahwa tugas membangun organisasi kader tersebut sering kali terbengkalai.

Kita berangkat dari preposisi yang sudah terbukti di dalam sejarah – secara positif oleh kemenangan Bolshevik Rusia dan secara negatif oleh kegagalan atau deformasi dari banyak revolusi lainnya – bahwa krisis kemanusiaan hari ini disebabkan oleh krisis kepemimpinan proletar. Rakyat pekerja telah lagi dan lagi bergerak dengan berani, tetapi kepemimpinan mereka – kaum reformis dan Stalinis terutama, dan mereka-mereka yang menyebut diri mereka sosialis atau Marxis tapi sesungguhnya dipenuhi prasangka-prasangka borjuis kecil – tidak mampu memberikan jalan keluar revolusioner dan justru menjadi batu penghalang terbesar bagi runtuhnya kapitalisme.

Keruntuhan Uni Soviet pada 1989-1991 membuka pintu dam bagi ofensif ideologis borjuis. Gagasan Marxisme revolusioner, yakni Bolshevisme, diserang dari berbagai arah: dari kanan maupun dari kiri. Yang dari Kiri ini yang paling berbahaya, karena mereka menawarkan alternatif “revolusioner” terhadap apa yang mereka sebut kegagalan Bolshevisme. Mereka tawarkan: “Marxisme Baru” dengan berbagai varian; “sosialisme abad ke-21” yang bisa diisi apapun sesuai dengan prasangka yang termuktahir hari ini; dan tren-tren terbaru. Kekalahan-kekalahan politik yang besar – dan periode 1980an hingga 90an merupakan satu periode tersebut – selalu melahirkan kekacauan politik dan ideologi di dalam barisan kaum revolusioner. Trotsky menulis:

“Kekalahan-kekalahan politik yang besar mendorong pertimbangan ulang kembali nilai-nilai yang ada, dan biasanya ini terjadi dalam dua arah. Di satu pihak, kaum pelopor sejati, yang diperkaya oleh pengalaman kekalahan, dengan gigih mempertahankan warisan pemikiran revolusioner. Berdasarkan itu kaum pelopor berupaya mendidik kader-kader baru demi perjuangan massa yang akan datang. Di lain pihak, para rutinis, sentris, dan orang-orang yang tidak memiliki komitmen, yang tercekam oleh kekalahan, berusaha sehebat-hebatnya untuk menghancurkan otoritas tradisi revolusioner dan bergerak mundur untuk mencari sebuah “Dunia Baru.” (Leon Trotsky. “Stalinisme dan Bolshevisme”, 1937)

Tugas kita saat itu dan masih pada hari ini adalah “mempertahankan warisan pemikiran revolusioner”. Kita kadang-kadang menggunakan kata Bolshevisme untuk membedakan diri kita dari ujaran “Marxisme” yang suka dipelintir oleh berbagai pihak dan diisi dengan berbagai prasangka. Kita tidak malu untuk mengatakan bahwa kita mendasarkan diri kita pada Bolshevisme, yakni Marxisme “Lama” yang berdasarkan gagasan Marx, Engels, Lenin dan Trotsky, yang menemukan ekspresi tertingginya pada kemenangan Revolusi Oktober 1917. Beberapa tahun yang lalu, Martin mencemooh kami yang katanya berkutat “tak lebih dari Rusia dan Rusia, seabad yang lalu” dan menjunjung tinggi Ragil (sang Tikus Merah hari ini) yang katanya berpijak pada “kenyataan” dan pada “realisme materialis”. Hari ini Martin dan Ragil sudah berpisah jalan, dimana yang belakangan mengutuk para pendukung Jokowi sebagai tak ubahnya “pelacur”. Entah siapa sekarang yang berpijak pada “realisme materialis”, Martin atau Ragil.

Pendek kata, tugas kaum Marxis revolusioner hari ini – di Indonesia dan juga seluruh dunia – masihlah dalam tahap pembangunan organisasi kader Marxis, menggali kembali gagasan Marxisme dan tradisi Bolshevisme yang sudah hilang. Ini adalah tugas yang selalu terbengkalai karena para aktivis kita sibuk beraktivis ria, melompat dari satu kampanye ke kampanye yang lain, atau keluar dari kapal yang kecil dan melompat ke kapal yang lebih besar seperti Budiman dan Dita (keluar dari hutan dalam kosakata Martin). Pembangunan ideologi dan pemikiran Marxis dilakukan ala kadarnya. Indikatornya jelas: berapa jumlah terbitan koran dari organisasi-organisasi kiri yang reguler? Berapa jumlah terbitan teoritik yang reguler? Seberapa besar jumlah penerbitan buku-buku teori Marxis oleh kiri? Tugas-tugas teoritik ini malah sering jatuh ke tangan kaum akademisi dan bukannya datang dari dalam gerakan itu sendiri.

Jadi masalahnya bukan agar Kiri-kiri kita keluar dari hutan, tetapi apa yang dilakukan di hutan sana selama ini?  

Kaum Marxis memang harus keluar dan bersentuhan dengan massa, tetapi untuk tujuan apa? Kalau hanya karena “rindu hingar bingar politik” seperti yang diutarakan oleh Martin lewat alter-egonya Joko, ini namanya oportunisme – atau lebih buruk lagi, kecentilan kaum intelektual untuk turba. Adalah ABC Marxisme kalau kaum Marxis harus berorientasi ke massa buruh. Tetapi masalah terutama adalah bahwa gerakan membutuhkan sebuah kepemimpinan Marxis, dan maka dari itu tujuan utama kita hari ini ketika bersentuhan dengan massa buruh adalah untuk membangun organisasi kader Marxis dengan merekrut elemen-elemen terbaik darinya. Ini adalah perjuangan yang dimulai dengan memenangkan satu dua kader. Satu-satunya cara untuk membangun gerakan adalah dengan membangun partai Marxis, dan setiap Marxis yang serius tidak perlu malu-malu dan menutup-nutupi tujuannya ini.

Martin terburu-buru ingin keluar dari hutan, untuk melemparkan dirinya ke hingar-bingar politik, ke samudra biru yang lebih luas. Tetapi di dalam hutan ini – yakni hutan gerakan Kiri – Marxisme masihlah pemikiran minoritas. Di dalam Kiri yang kecil ini Marxisme masihlah minoritas kecil dan belum menemukan pijakannya yang kuat.

Martin merasa frustrasi kenapa Marxisme Indonesia masih kecil-kecil saja. Dia mencari-cari apa yang salah dengannya, ketika sebenarnya ia cukup bercermin saja. Apakah dia sudah memulai tugas membangun partai kader Marxis? Apakah kaum Marxis Indonesia – atau yang mengaku Marxis dalam berbagai takaran – sudah memahami metode Bolshevisme dalam membangun Partai Marxis? Tidak memahami sebab musabab yang sebenarnya mengapa Marxisme Indonesia masih dalam kondisi yang menyedihkan, Martin dan Kiri-kiri sepertinya lantas mencoba mencari jalan pintas: mungkin kalau kita menceburkan diri ke “hingar bingar politik” yang terbaru kita akan bisa “memperbesar gerakan”?

Kita harus punya sense of proportion, yakni paham akan kekuatan diri sendiri dan situasi di sekitar kita, dan apa saja yang bisa dicapai. Kaum Marxis Indonesia masihlah minoritas kecil dan belum punya kekuatan untuk memenangkan massa luas. Mimpi utopis untuk “mendesakkan agenda-agenda Kiri” ke massa hanya akan berujung pada oportunisme. Tetapi di dalam gerakan kiri yang lebih luas – dimana kaum Marxis adalah minoritas di dalamnya – kaum Marxis bisa memenangkan elemen-elemen yang lebih maju ke dalam program dan organisasinya. Luasnya gerakan kiri tidak bisa diremehkan; mungkin ada sepuluh ribu aktivis dari berbagai spektrum politik kiri; dan lalu lewat serikat-serikat buruh, tani, organ-organ massa lainnya, mungkin ada seratus ribu massa buruh, tani, dan kaum muda yang terorganisir. Ini masihlah kecil untuk bisa memenangkan revolusi di negeri yang berpenduduk 250 juta jiwa, tetapi adalah medan yang luas bagi kaum Marxis yang masih minoritas, yang jumlahnya paling-paling 100an.

Pada akhirnya, jalan menuju massa niscaya harus melewati pembentukan dan konsolidasi sebuah organisasi kader yang solid. Dengan merekrut satu dua ke barisan Marxisme, kita sedang mempersiapkan jalan untuk memenangkan ratusan dan ribuan di hari depannya.

Bagaimana bekerja di tengah “populisme”

Akan menjadi kesalahan yang sama buruknya juga kalau atas nama membangun Partai Marxis yang independen kita lantas menolak secara prinsipil semua bentuk pendukungan kepada tokoh-tokoh populis, kalau kita lantas mengutuk semua varian politik yang berkembang tidak sesuai dengan skema kita yang kaku. Misalkan figur seperti Hugo Chavez, atau Evo Morales. Kami memberikan dukungannya kepada Hugo Chavez, tetapi bukan dengan mimpi utopis untuk “mendesakkan agenda-agenda Kiri” kepada rakyat Venezuela dan “memberikan dukungan kritis pada sosok populis [Chavez] untuk melaksanakan agenda tersebut.” Kita mendukung Chavez untuk bisa meraih telinga lapisan rakyat yang termaju dan memenangkan mereka ke gagasan dan barisan Marxis.

Proses revolusi Venezuela telah menarik jutaan massa ke dalam arena politik untuk pertama kalinya. Banyak kaum buruh dan kaum muda yang terradikalisasi dan terdorong ke jalan revolusi, dan tidak hanya di Venezuela tetapi bahkan di seluruh dunia. Mereka tertarik pada proses revolusi yang terjadi di Venezuela dan sosok yang mengejawantahkan proses revolusi tersebut, Hugo Chavez. Mengutuk Chavez sebagai populis borjuis, seperti yang dilakukan banyak sekte kiri, berarti memotong akses kita ke kaum muda yang terradikalisasi ini dan membiarkan mereka jadi bulan-bulanan berbagai gagasan sosialisme setengah-matang dan bahkan terombang-ambing oleh kebingungan Chavez sendiri.

Kita bela Revolusi Venezuela sambil terus propagandakan langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukannya untuk bisa menang, bukan untuk meyakinkan Chavez atau massa luas yang mana kita masih terlalu kecil untuk melakukannya, tetapi untuk memenangkan satu dua – yah, satu dua – lapisan termaju ke gagasan dan barisan Marxisme. Mengapa? Karena kemenangan revolusi Venezuela yang sesungguhnya hanya bisa tercapai kalau ada Partai Bolshevik di Venezuela, dan pelajaran dari revolusi Venezuela telah mengkonfirmasikan ini. Kendati heroisme Chavez dan rakyat pekerja Venezuela selama 15 tahun terakhir, revolusi Venezuela terbentur tembok dan mengalami kebuntuan. Maka dari itu kita harus gunakan cara apapun untuk membangun Partai Bolshevik ini, dengan fleksibilitas dalam taktik dan keteguhan dalam prinsip karena sejarah tidak selalu bermurah hati dan memberikan jalan yang mudah dan sederhana.

Penutup

Pada masa pemilu seperti sekarang ini, ada kelatahan di antara Kiri kita untuk melakukan sesuatu. “Kita harus melakukan sesuatu sekarang juga!” ujar para aktivis kita. Tekanan untuk melakukan sesuatu yang konkret dan praktis sekarang juga adalah tekanan yang biasanya mendorong para aktivis kita untuk menjadi pragmatis. Mari kita berhenti sejenak dari melakukan sesuatu, dan berpikir dalam mengenai apa yang telah kita lakukan di masa lalu, apa yang sedang kita lakukan, dan apa yang perlu kita lakukan.

Pemilu ini justru harus dijadikan momentum untuk mengkonsolidasikan gagasan revolusioner, karena pemilu kali ini menyodorkan berbagai masalah yang masih perlu kita jawab: masalah Negara, masalah fasisme, masalah populisme, masalah pembangunan Partai Marxis, masalah penyeruan Partai Buruh, dsbnya. Kita tidak boleh puas hanya dengan posisi menolak pemilu, dengan alasan-alasan dangkal dan slogan-slogan pendek emosional. Kita harus bisa menjawab semua masalah yang disodorkan oleh pemilu ini, merespon secara kritis berbagai posisi menolak dan mendukung pemilu yang ada di antara Kiri, dan menganalisa peristiwa-peristiwa politik sebagai proses yang hidup.

Kebangkitan gerakan buruh dalam 2 tahun terakhir ini adalah faktor penting yang harus diikutsertakan dalam analisa kita mengenai pemilu ini. Gelombang aksi buruh yang melibatkan jutaan buruh dalam berbagai aksi massa –  mogok nasional, mogok daerah, mogok lokal, sweeping dan grebek pabrik, aksi May Day, melawan preman, aksi menentang kenaikan BBM, vergadering raksasa – merupakan peristiwa yang lebih penting daripada euforia Jokowi dan pemilu kali ini. Di sini kita saksikan massa buruh yang terorganisir, yang aktif dan sadar kelas. Mereka bukan massa yang cair seperti massa pendukung Jokowi atau massa pendukung parpol. Di antara massa buruh inilah terletak masa depan bangsa Indonesia.

Lewat pengalaman perjuangan mereka, buruh mulai beranjak ke kesadaran bahwa mereka harus keluar dari gerbang pabrik dan berangkat ke gerbang parlemen. Namun karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner di dalam gerakan buruh ini, semangat berpolitik ini malah disalurkan lewat parpol-parpol borjuasi yang ada dan bukannya seruan dan langkah menuju pembentukan partai massa buruh. Berangkat dari situasi objektif ini, maka tugas propaganda utama dari kaum Kiri Revolusioner adalah mempropagandakan secara sabar kepada massa buruh yang mulai terbangunkan ini mengenai perlunya pembentukan partai buruh massa. Lewat pengalaman pemilu ini, buruh akan belajar bagaimana mereka tidak akan bisa meraih kemandirian kelas mereka selama mereka terus membonceng parpol borjuasi. Kita harus dengan sabar menjelaskannya, dengan metode mild in manner, bold in content (santun dalam penyampaian, tegas dalam isi).

Kawan-kawan yang tergabung dalam Komite Politik Alternatif telah berjalan ke arah yang tepat dengan menyerukan perlunya kehadiran partai alternatif, namun kita harus lebih konkret. Partai alternatif ini adalah partai massa buruh, yang berbasiskan terutama pada serikat-serikat massa buruh dari berbagai warna dan merangkul seluruh lapisan rakyat pekerja.

Terlebih lagi, partai buruh massa hanya akan terbentuk lewat peristiwa-peristiwa politik besar. Sejarah telah membuktikan ini. Partai buruh massa tidak akan terbentuk serta-merta lewat seruan sejumlah organisasi Kiri kecil, atau bahkan lewat merger dari sejumlah organisasi Kiri yang kecil. Partai massa dengan akar yang dalam hanya bisa terbentuk ketika ada mayoritas massa yang mulai beranjak ke panggung politik, yakni periode di mana rakyat pekerja bergejolak. Partai Buruh Brazil misalnya terbentuk pada tahun 1980an, dimana pada masa itu ada gelombang pemogokan buruh dan kebangkitan massa luas dalam melawan rejim militer.

Yang dapat dan perlu dilakukan oleh organisasi-organisasi Marxis adalah menyiapkan simpul-simpul revolusioner di antara kaum proletar, yang merupakan pelopor dari seluruh lapisan rakyat tertindas. Kalau akan ada partai massa yang terbentuk, ini akan lewat kepemimpinan kaum proletar, yang lebih terorganisir dan sadar kelas. Dengan cara demikianlah kaum Marxis akan mulai membangun akar yang dalam di antara kaum pelopor proletar. Tugas kaum Marxis revolusioner selalu adalah tugas persiapan untuk menghadapi momen-momen politik yang tiba. Kita tidak bisa menciptakan revolusi atau mendorongnya secara artifisial. Revolusi akan datang, dengan atau tanpa intervensi kita, karena ia diciptakan oleh kontradiksi kapitalisme itu sendiri.

Akan tetapi kita juga harus mengingatkan diri kita bahwa partai buruh massa sendiri bukanlah obat ajaib yang akan menyelesaikan segala masalah. Karena karakter massanya, maka partai buruh juga akan mencakup elemen-elemen reformis, konservatif dan birokratis yang ada di dalam gerakan buruh, dan juga prasangka-prasangka dari rakyat pekerja luas. Di dalam partai buruh akan ada pertarungan antar berbagai sayap, dimana di dalamnya kaum Marxis revolusioner dengan partainya (atau tendensinya) akan bertarung untuk memenangkan pengaruh dan kepemimpinan buruh. Di sinilah menjadi teramat penting untuk menyiapkan partai atau tendensi Marxis yang kuat yang akan bertarung di dalam organisasi-organisasi massa buruh, dari serikat buruh hingga partai buruh.

7 April 2014