facebooklogocolour

 Berikut ini adalah makalah diskusi yang disampaikan oleh Pendeta Rudolfus Antonius dalam diskusi mengenai pemilu yang diadakan di Semarang pada akhir Maret lalu. Di dalam makalah ini, Pendeta Rudolfus memberikan perspektif dialektis mengenai pemilu dan menyampaikan apa tugas yang harus diemban oleh kaum muda Kristen dalam melawan kapitalisme. Militan terbitkan makalah ini sebagai bahan refleksi yang menurut kami cukup menarik untuk para pembaca.

Pemilihan umum 2014 sudah di depan mata. Legislatif, 9 April. Presiden dan Wakil Presiden, 9 Juli. Pesta demokrasi akan segera dihelat. Nasib bangsa dan negara untuk lima tahun ke depan akan segera ditentukan. Begitu kata sementara orang. Kita, warga negara yang beragama Kristen, bersama dengan saudara-saudara sebangsa setanah air lainnya, kiranya sudah siap-siap untuk berpartisipasi.

Orang Kristen berpartisipasi dalam “pesta rakyat” tersebut berdasarkan tiga hal. Pertama, prinsip teologis, yang lazimnya kita ambilkan dari teks-teks Alkitab yang terdengar berkata-kata tentang ketaatan kepada pemerintah. Misalnya Rom 13.1-7. Kedua, nilai etis: orang Kristen turut bertanggungjawab atas kemaslahatan bangsa dan negara Indonesia. Ketiga, pragmatisme yang berakar dari ketakutan terhadap pihak lain yang biasa kita pandang sebagai ancaman. Kita memilih A karena takut kepada B. Bahkan, meski sebenarnya A tidak cukup baik, kita akan memilih A supaya B yang kita pandang sangat tidak baik itu tidak berkuasa. Sering kali pragmatisme begitu kuat, sehingga mengaburkan yang pertama dan yang kedua. Pengaburan itu sedemikian rupa, sampai-sampai yang pertama dan yang kedua digunakan untuk membenarkan yang ketiga. Kita melakukan realpolitik yang dijustifikasi dengan prinsip teologis dan nilai etis.

Belakangan, di era pasca Mei 1998, terutama sejak Pemilu 2004, ada tambahan yang keempat: pengaruh dari pencitraan-pencitraan yang dibangun dan dijejalkan secara masif ke dalam benak kita oleh media massa. Ada perang besar pencitraan, dan kita diminta (dan merasa yakin dan terdorong) untuk memilih salah satu di antara sekian banyak tokoh yang dicitrakan. Demikianlah, bila Demokrasi Pancasila yang represif itu membuat kita berpartisipasi dalam Pemilu dengan sikap pragmatis, Demokrasi Liberal pasca 1998 membuat kita berpartisipasi dalam keadaan terkooptasinya kesadaran kita oleh simulakra. Tentu pragmatisme kita tidak sama sekali lenyap. Justru sebaliknya. Dengan buaian pencitraan, pragmatisme kian tertancap dalam naluri politik kita. Dengan jalan itu, prinsip teologis dan nilai etis pun semakin diperlukan sebagai justifikasi. Kita melakukan real-realpolitik yang juga dijustifikasi dengan prinsip teologis dan nilai etis.

Demikianlah, barang siapa memenangkan perang pencitraan, ia akan memenangkan hati rakyat, termasuk kita. Barang siapa menjadi media darling, ia akan melenggang ke istana.

Formasi Ekonomi Politik Indonesia

Dari sudut pandang realisme kritis-dialektis, gejala-gejala ini mencerminkan tatanan atau formasi ekonomi-politik tertentu. Negara Orde Baru dan Negara Pasca Orde Baru memang menerapkan sistem politik yang berbeda. Dengan menggunakan nama Demokrasi Pancasila, Orde Baru menerapkan sistem politik yang otoritarian, sedangkan Negara Pasca Orde Baru menerapkan sistem politik yang liberal. Yang satu represif, yang satunya lagi berusaha tampil persuasif. Tapi keduanya membela formasi ekonomi-politik yang secara substansial sama: Kapitalisme. Hanya saja variannya agak beda. Di bawah keharusan modernisasi (yang tak lain dari proses integrasi ke dalam formasi ekonomi-politik internasional yang kapitalistik) di satu sisi dan suasana Perang Dingin di sisi lain, Negara Orba mengusung Kapitalisme Negara Kesejahteraan. Sedangkan Negara Pasca Orde Baru beroperasi dalam konteks yang sama sekali berbeda: Indonesia sudah terintegrasi sepenuhnya dengan kapitalisme dunia, sementara Perang Dingin sudah berakhir dengan kemenangan kubu Kapitalis yang membanggakan diri dengan Demokrasi Liberal itu. Karena itu, Negara Pasca Orde Baru tidak lagi mengusung Kapitalisme Negara Kesejahteraan, melainkan Kapitalisme Neo-Liberal. Orde Baru adalah Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan. Negara Pasca Orde Baru adalah Negara Neo-Liberal.

Sehubungan dengan kapitalisme internasional, baik Negara Orba maupun Negara Pasca Orba adalah satelit-satelit dari negara-negara imperialis. Di bawah rezim-rezim ini, Indonesia adalah sebuah negeri neo-kolonial, yang secara yuridis-formal berdaulat secara politis, namun secara faktual ekonomi-politik tidak berdaulat. Kebijakan-kebijakan ekonomi-politik kita ada dalam batasan-batasan imperialisme.

Dalam formasi ekonomi-politik Kapitalisme, kelas yang berkuasa sudah barang tentu adalah kelas borjuis atau kelas kapitalis. Disebut “kelas yang berkuasa”, karena merekalah yang memegang kekuasaan ekonomi-politik. Dengan kekuasaan ekonomi-politik itu, borjuasi menghisap Nilai Lebih dari hasil jerih payah rakyat pekerja (buruh dan tani), memperkaya diri, dan pada gilirannya mengokohkan kekuasaan itu sendiri.

Dalam konteks “Utara”, yang formasi ekonomi-politik kapitalisnya terbentuk melalui konflik borjuasi dengan kaum penguasa feodal, Kapitalisme mula-mula memainkan peran progresif. Untuk memenuhi syarat bagi bertumbuhnya Kapitalisme, borjuasi mendirikan negara bangsa (nation state) dan menciptakan nasionalisme sebagai ideologi penopangnya, melembagakan demokrasi perwakilan, dan menegakkan konsep HAM yang berporoskan hak kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi (massal). Setelah logika Kapitalisme, yakni eksploitasi, akumulasi, dan ekspansi, tidak bisa lagi diwadahi oleh batas-batas negara bangsa, Kapitalisme menginternasionalisasikan dirinya: Kapitalisme menjadi Imperialisme. “Produk-produk” ideologisnya yang progresif, yakni konsep negara-bangsa, konsep nasionalisme, konsep demokrasi perwakilan, dan konsep HAM digunakan untuk melegitimasi dan menjustifikasi perluasan eksploitasi dan akumulasi: pencarian negeri-negeri yang bisa dijadikan pemasok bahan-bahan mentah dan buruh berupah murah, sekaligus lahan investasi dan pasar komoditas (barang dan jasa). Borjuasi nasional Barat menjadi borjuasi imperialis, yang menggunakan negara-bangsa untuk menundukkan negeri-negeri lain demi kepentingan eksploitasi, akumulasi, dan ekspansinya. Melalui negara-bangsanya yang powerful itu, borjuasi imperialis juga mengekspor konsep demokrasi perwakilan dan konsep HAM ke negeri-negeri tersebut.

Dalam konteks “Selatan”, formasi ekonomi-politik kapitalis terbentuk bukan melalui konflik borjuasi vs kaum penguasa feodal. Kapitalisme Indonesia, misalnya, terbentuk dari “perkawinan” antara mesin negara kolonial (yang dikuasai borjuis imperialis) dan kaum penguasa feodal Nusantara di satu sisi, dan hubungan patron-klien antara para pengemudi mesin negara kolonial dan kaum penguasa feodal Nusantara dengan para borjuis Tionghoa Rantau di sisi lain. Mesin negara kolonial mempergunakan kaum penguasa feodal Nusantara untuk memenangkan kepentingan eksploitasi-akumulasi-ekspansi borjuasi imperialis. Sebagai imbalannya, kaum penguasa feodal Nusantara bisa memperkaya diri dari komisi, hadiah, dan berbagai fasilitas istimewa dari negara kolonial. Para borjuis Tionghoa Rantau biasa mempraktikkan suap dan gratifikasi kepada para penguasa negara kolonial dan kaum penguasa feodal Nusantara. Sebagai imbalannya, para penguasa negara kolonial dan kaum penguasa feodal Nusantara memberikan perlindungan dan berbagai kemudahan kepada kaum borjuis Tionghoa Rantau. Dari hubungan-hubungan yang “haram” itulah kaum penguasa feodal Nusantara berangsur-angsur bertransformasi menjadi borjuasi nasional Indonesia. Lahir dan dibesarkan dari hubungan-hubungan tersebut, borjuasi nasional Indonesia mengidap cacat historis yang bersifat kultural. Mereka mengembangkan Kapitalisme Indonesia dengan memainkan peran sebagai komprador (menghamba kepada borjuasi imperialis) dan kroni (ber-patron-klien dengan borjuasi Tionghoa Rantau).

Sejarah berlangsung secara dialektis. Sementara menikmati eksploitasi-akumulasi-ekspansi di negeri-negeri jajahannya, borjuasi imperialis – tanpa disengaja – menciptakan musuh di kalangan borjuasi nasional. Dalam konteks Indonesia, misalnya, muncul faksi-faksi dalam borjuasi nasional yang menyerap nasionalisme dan mengajukan klaim bahwa mereka berhak atas “sejengkal tanah, penduduk, dan kekayaan alamnya.” Meski tidak sama persis, faksi-faksi borjuis nasional ini sejajar dengan borjuasi nasional pada masa awal Kapitalisme di Utara. Mereka progresif, dalam arti menuntut kemerdekaan nasional (sebagai conditio sine qua non negara-bangsa, demokrasi perwakilan, dan HAM). Tapi sebagaimana kaum borjuis nasional di masa awal Kapitalisme membutuhkan dukungan massa rakyat pekerja (terutama kaum tani), faksi-faksi “progresif” borjuis nasional Indonesia juga membutuhkan dukungan massa rakyat pekerja – yakni kaum buruh dan tani. Sebab, tanpa massa actie yang mustahil mereka bisa memenangkan klaim mereka terhadap borjuasi imperialis. Untuk keperluan ini, sama halnya borjuis nasional di Utara, faksi-faksi progresif borjuis nasional Indonesia harus membuat nasionalisme menjadi “ideologi” massa rakyat pekerja. Dengan kata lain, mereka harus mampu membangun apa yang dinamakan Antonio Gramsci sebagai “Blok Historis.”

Maksud ini “dpermudah” dengan kesadaran revolusioner akan keadilan sosial (Sosialisme) yang dibangkitkan oleh Marxisme di kalangan massa rakyat pekerja. Dengan cerdik, faksi-faksi “progresif” dari borjuasi nasional memanfaatkan Marxisme (yang sesungguhnya merupakan ideologi alamiah bagi rakyat pekerja, khususnya kaum buruh). Dengan berusaha mempertahankan elan revolusioner dari Marxisme dalam diri massa rakyat pekerja, mereka membelokkan tesis pokok Marxisme, yakni perjuangan kelas, ke arah-arah yang berbeda. Kaum borjuis “progresif” Islam berkata-kata tentang Kapitalis Baik dan Kapitalis Jahat. Kapitalis Baik adalah kapitalis pribumi dan muslim. Kapitalis Jahat adalah kapitalis londo dan cino yang kafir itu. Kaum borjuis “progresif” sekuler berkata-kata tentang pertentangan antara kepentingan sana (penjajah) dan kepentingan sini (bangsa Indonesia) yang tak terdamaikan. Jargon-jargon revolusioner dipergunakan tanpa isi kelas sama sekali.

Setelah perlawanan yang heroik namun avonturistik dari kaum Komunis pada akhir 1926 dan awal 1927 dipatahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kaum borjuis “progresif” sekular tampil sebagai pemimpin pergerakan nasional. Mereka berhasil membangun Blok Historis, yang bahkan meliputi borjuis “progresif” Islam – bahkan kaum Komunis Indonesia yang setelah 1927 pada umumnya mengalami Stalinisasi dan tunduk pada borjuasi “progresif” sekuler. Dengan memainkan peran kolaborator semasa Pendudukan Jepang, memanfaatkan kekosongan kekuasaan di antara menyerahnya Jepang dan datangnya Sekutu, dan memadukan strategi diplomatik dan militer, faksi “progresif” sekuler berhasil mendirikan negara bangsa, Republik Indonesia (yang diakui kemerdekaannya pada akhir 1949).

Dalam kurun waktu 1950-1959 terjadi konflik di antara faksi-faksi borjuis nasional Indonesia. Borjuasi Islam menghendaki sejenis negara Islam sementara menjaga hubungan baik dengan Amerika  Serikat. Borjuasi sekuler menghendaki “negara Pancasila”, tetapi mereka terbelah menjadi borjuasi Kanan yang berwatak komprador dan kroni dan borjuasi Kiri yang menginginkan penuntasan Revolusi Nasional demi mencapai Republik Indonesia yang berdaulat penuh secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Belakangan, kaum feodal berbasis keagamaan yang semula turut menghendaki sejenis negara Islam, menyeberang ke kubu borjuis sekuler sambil memainkan kartu dua sisi yang memperlihatkan diri sebagai pendukung borjuasi Kiri namun sesungguhnya lebih dekat dengan borjuasi Kanan. Massa rakyat pekerja, yang terutama memberi diri dipimpin oleh PKI, mendukung borjuasi Kiri yang disimbolkan oleh Presiden Sukarno.

Pertikaian yang berkecamuk dalam kurun waktu 1950-1959 diakhiri dengan “kemenangan” Presiden Sukarno sebagai simbol borjuasi Kiri dan Militer sebagai faksi penubuhan borjuis Kanan yang terkuat. Faktanya, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri Demokrasi Liberal dan mengintrodusir Demokrasi Termpimpin (yang otoritarian itu) adalah hasil pertemuan kepentingan Bung Karno (yang menghendaki Demokrasi Terpimpin demi penuntasan Revolusi Nasional) dan kepentingan Militer (yang menginginkan posisi politik yang menentukan dalam negara RI).

Kapitalisme negeri-negeri Selatan terlambat muncul di panggung sejarah, yakni ketika kapitalisme negeri-negeri Utara sudah maju bahkan bertransformasi menjadi Imperialisme. Hal ini diperparah dengan natur dari Kapitalisme negeri-negeri Selatan sekaligus watak umum borjuasinya. Memang selalu ada lompatan kesadaran karena proses sejarah berlangsung secara dialektis. Tapi borjuasi nasional yang progresif (Kiri) pun tidak memiliki banyak pilihan dalam mengembangkan kapitalisme negerinya. Borjuasi nasional Kanan, yang berwatak komprador (dan kroni) cenderung memilih untuk mengintegrasikan perekonomian nasional dengan kapitalisme dunia/internasional. Mereka rela negerinya menjadi neo-kolonial, terus-menerus menjadi lahan eksploitasi-akumulasi-ekspansi imperialisme, sambil memperkaya diri melalui peran mereka sebagai komprador. Borjuasi nasional Kiri, yang oleh dialektika sejarah konflik dengan imperialisme menginginkan kedaulatan ekonomi-politik, cenderung memilih untuk tidak mengintegrasikan perekonomian nasional dengan kapitalisme dunia. Borjuasi nasional Kiri menghendaki kemandirian dan menolak dikte imperialisme.

Bung Karno mengambil posisi yang kelak dinamainya Berdikari (Berdiri di atas Kaki Sendiri). Masyhurlah kata-katanya: “The crown of independence is not the membership of the United Nations, but the ability to stand on our own feet” (Mahkota kemerdekaanlah tidak terletak dalam hal menjadi anggota PBB, melainkan kemampuan untuk berdiri di atas kaki kita sendiri). Dalam pada itu toh ia menyadari keterbatasan negeri dan bangsanya, baik dari segi kapital maupun kemampuan “sumber daya” manusianya (sementara sumber daya alam berlimpah ruah). Itulah basis material dari berbagai langkahnya: menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (melalui kaum buruh namun kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Militer – dan selanjutnya menjadi sapi perahan para perwira tentara), mendorong “national character building” dan mengirimkan para mahasiswa untuk studi di luar negeri, serta menjalin hubungan akrab dengan Republik Rakyat Tiongkok dan Blok Timur pimpinan Uni Soviet (yang, berbeda dengan pihak imperialis, tidak mendikte Indonesia).

Akan tetapi, bahkan faksi borjuasi nasional Kiri ini juga mengidap cacat historis yang membuatnya tidak mampu secara konsisten melawan imperialisme. Mereka selalu ragu dalam melawan imperialisme, karena harus terus melirik ke massa pekerja revolusioner dengan penuh rasa kewaspadaan. Mereka lebih takut pada massa pekerja, yang naluri revolusionernya akan selalu mendorong mereka ke perjuangan kelas. Inilah mengapa, lewat Soekarno, kaum borjuasi nasionalis Kiri selalu mewanti-wanti agar perjuangan nasional harus didahulukan dari perjuangan kelas. Perspektif keliru inilah yang akhirnya membawa kekalahan, karena imperialisme tidak bisa dikalahkan tanpa mengobarkan perjuangan kelas juga. Sementara kaum borjuasi “progresif” kita akhirnya memilih berbaris rapi di belakang militer untuk meremukkan massa revolusioner dan meninggalkan pemimpin mereka yang tercinta di Istana Bogor.

Bagi pihak  imperialis, Berdikari adalah tak bermoral. Indonesia adalah hadiah dari Asia Pasifik untuk AS dan kaum imperialis lainnya. Perekonomian Indonesia, mau tidak mau, suka tidak suka, harus diintegrasikan dengan kapitalisme dunia alias imperialisme. Indonesia harus masuk sebagai satelit ke dalam orbit imperialisme. Itulah basis material pengambilan kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto, tumbangnya Demokrasi Terpimpin dan bangkitnya Orde Baru. Tumbalnya: ratusan ribu bahkan jutaan rakyat Indonesia yang dikenakan cap Komunis dibantai atau dimasukkan ke dalam kamp-kamp kerja paksa, menyusul. Pecahnya konflik internal dalam tubuh Angkatan Darat berupa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama pada dinihari 1 Oktober 1965 menjadi pretext (dalih) penumbalan rakyat pekerja yang kemudian mengintrodusir kejayaan imperialis dan kemenangan borjuis komprador Indonesia. Nusantara dikapling-kapling di antara perusahaan-perusahaan multinasional. Indonesia masuk ke dalam orbit imperialisme dan menjalani proses pengintegrasian ke dalam kapitalisme dunia.

Setelah pengintegrasian itu sempurna, dan Perang Dingin berakhir, pihak imperialis tidak lagi membutuhkan rezim Negara Kesejahteraan Berwajah Leviathan, yakni Soeharto dan Orde Baru-nya. Krisis ekonomi yang parah, yang dalam mekanika revolusi sosial bisa bertransformasi menjadi revolusi sosialis, dibelokkan demi kepentingan imperialis oleh para reformis (kelas penguasa lama) dengan mengorbankan pentolannya, Sang Bapak Pembangunan. Itulah Reformasi, Mei 1998. Selanjutnya, melalui para reformis itu imperialisme menggantikan Demokrasi Pancasila yang otoritarian itu dengan Demokrasi Liberal yang “demokratis” serta menggelar pemilu-pemilu yang memungkinkan borjuasi komprador dan kroni bercokol di kursi-kursi kekuasaan guna menjamin kepentingan imperialisme melalui legislasi-legislasi yang memelaratkan rakyat pekerja dan memporakporandakan ekologi Indonesia. Sejak Soeharto, lalu Habibie, Gus Dur, Mega, dan SBY, imperialisme betul-betul merasa nyaman di Indonesia.  

Pemilu dalam Formasi Ekonomi Politik Kapitalis

Dari paparan singkat di atas barangkali kita sudah bisa mencandra posisi dan fungsi Pemilu dalam formasi ekonomi-politik Kapitalis. Diberi label “pesta demokrasi” atau “pesta rakyat”, pada ghalibnya Pemilu adalah alat untuk mengesahkan dan mempertahankan kekuasaan ekonomi-politik borjuasi. Sumber untuk mengesahkan dan mempertahankan kekuasaan itu adalah rakyat, terutama rakyat pekerja. Borjuasi tahu persis bahwa tanpa dukungan rakyat pekerja, mereka tidak bisa berkuasa. Padahal kekuasaan tersebut penting untuk menjamin kepentingan fundamental mereka, yakni penciptaan kekayaan berdasarkan Modus Produksi Kapitalis yang eksploitatif itu. Pemilu penting untuk menabur dan memperkuat ilusi dalam diri rakyat pekerja bahwa kepentingan mereka mendapat tempat yang signifikan dalam formasi ekonomi-politik yang ada.  Rakyat pekerja diajak untuk memberi suara supaya wakil-wakil kelas borjuis bisa menduduki kursi-kursi kekuasaan dan menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menjamin kepentingan fundamental borjuasi.

Di Indonesia pasca Demokrasi Terpimpin, Pemilu diadakan oleh rezim-rezim Demokrasi Pancasila (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1992), dan Demokrasi Liberal (1999, 2004, 2009, dan sebentar lagi 2014). Sebagaimana kita ketahui, Rezim Demokrasi Pancasila alias Orde Baru bercorak otoritarian, sedangkan Rezim Demokrasi Terpimpin bercorak “demokratis.” Pemilu-pemilu yang digelar oleh Orde Baru dipergunakan untuk mengukuhkan kekuasaan faksi utama borjuasi nasional yang terorganisir dalam ABRI, Birokrasi, dan Golongan Karya. Faksi-faksi lain (yang tidak dominan) dari borjuasi nasional, yang terorganisir dalam partai-partai di luar Golkar, “ditakdirkan” kalah. Golkar selalu menang. Namun, karena dibutuhkan sebagai aksesoris demokrasi, mereka diberi tempat sejauh tidak dipandang sebagai ancaman bagi faksi utama. Demokrasi Liberal Pasca Orba menggunakan Pemilu-Pemilu sebagai arena pertarungan faksi-faksi borjuis nasional yang terorganisir dalam partai-partai borjuis yang muncul setelah Soeharto lengser. Yang menang sudah barang tentu berkuasa, sedangkan yang kalah menempatkan diri sebagai oposisi. Siapa berkuasa dan siapa oposan bisa berganti-ganti, demikian juga konfigurasi koalisinya. Dalam pada itu, yang selalu keluar sebagai pemenang adalah kelas borjuis meski dari faksi-faksi yang berbeda. Pada gilirannya, faksi borjuis manapun yang memenangkan Pemilu, mereka akan terus berperan sebagai komprador dan melestarikan oligarki.

Entah sebagai caleg atau sebagai pasangan capres-cawapres, mereka adalah representasi-representasi dari faksi-faksi kelas borjuis nasional Indonesia, yang kelak akan mengamankan kepentingan borjuis imperialis dan borjuasi yang selama ini beroleh manfaat dari posisi sebagai klien dalam relasi patron-klien dengan borjuasi nasional. Karena itu, para pemenang itu akan mengusung kepentingan kelas-kelas tersebut. Penciptaan kekayaan melalui eksploitasi-akumulasi-ekspansi berjalan terus. Borjuasi semakin kaya-raya dengan mengorbankan rakyat pekerja dan kekayaan alamnya. Karena itu jelaslah: meski diberi label “pesta demokrasi” atau “pesta rakyat”, sesungguhnya Pemilu dalam Negara Kapitalis adalah pesta kelas penguasa, kelas borjuis. Kalaupun menjadi arena pertarungan antarfaksi borjuasi, toh kepentingan-kepentingan borjuasi, baik komprador, oligarki, maupun imperialis, tidak terganggu. Sebaliknya, kepentingan-kepentingan mereka akan semakin terjamin sentosa.

Rakyat Pekerja dan Pemilu dalam Formasi Ekonomi Politik Kapitalis

Bila dalam formasi ekonomi politik Kapitalis Pemilu adalah alat untuk mengesahkan dan mengokohkan kepentingan kelas borjuis, apakah itu berarti rakyat pekerja tidak perlu ikut Pemilu?

Pertanyaan harus dijawab dengan memperhatikan ada tidaknya alat perjuangan politik rakyat pekerja. Prinsipiil, rakyat pekerja harus mempunyai partainya sendiri. Disebut “partainya sendiri” berarti partai “pelopor revolusioner kelas pekerja.” Partai ini terdiri dari kader-kader yang merupakan elemen-elemen terbaik kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya, yang ditempa dengan disiplin baja seturut “teori dan praktek revolusioner kelas pekerja.” Partai ini harus mampu membangun Blok Historis: mempersatukan kelas buruh, tani, pemuda/mahasiswa progresif, dan kaum miskin kota dalam kepentingan, kehendak, tujuan, dan gerak perjuangan bersama.

Saat formasi ekonomi-politik Kapitalisme sedang mengalami pasang naik, dengan dukungan rakyat pekerja yang menjadi konstituennya partai kelas buruh harus terjun ke gelanggang elektoral. Ikut Pemilu, partai kelas buruh harus memenangkan kursi di parlemen guna mendapatkan corong untuk membeberkan secara publik kebusukan Kapitalisme dan Imperialisme serta borjuasi selaku kelas yang kepentingan fundamentalnya diuntungkan. Ia juga harus memenangkan kursi di parlemen guna memperjuangkan reforma-reforma yang menguntungkan rakyat pekerja tanpa jatuh ke dalam reformisme – yakni ilusi bahwa kemenangan rakyat pekerja (=Sosialisme) bisa dicapai di dalam dan melalui mesin negara borjuis.

Sebaliknya, saat formasi ekonomi-politik Kapitalisme sedang mengalami krisis, kesadaran massa rakyat mengalami radikalisasi. Partai kelas buruh harus menjalankan kepemimpinan revolusioner, yakni menyalurkan kesadaran massa rakyat yang sedang mengalami radikalisasi itu ke dalam aksi revolusioner: membentuk dewan-dewan pekerja, memindahkan kekuasaan politik dari tangan kelas borjuis ke tangan kelas buruh, dan menggantikan mesin negara borjuis dengan mesin negara yang sama sekali baru – negara kelas pekerja – guna mengakhiri kekuasaan ekonomi-politik kelas borjuis di satu sisi dan membangun masyarakat baru yang demokratis-partisipatoris secara ekonomi dan politik di sisi lain. Semua ini harus dilakukan dengan perspektif internasionalis guna menghindari perangkap ilusi membangun “Sosialisme di dalam satu negeri” (Socialism in one [single] country).

Tapi bagaimana rakyat pekerja tidak memiliki partainya sendiri? Dalam kasus Indonesia, misalnya, meski terdapat elemen-elemen “Kiri”, tidak satu pun di antara mereka yang (bisa) terjun ke gelanggang elektoral yang berbiaya sangat mahal itu. Dalam situasi seperti ini kita harus jeli melihat perkembangan situasi politik dalam setiap tahapannya, dan membedakan apa yang progresif dan apa yang reaksioner. Terutama, ketika hari ini tidak ada partai massa rakyat pekerja, maka kita berangkat dari keabsenan partai ini dan keperluan untuk mulai membangun partai tersebut. Semua hal yang menghambat pembangunan partai kelas buruh ini adalah reaksioner, dan semua yang mengarah ke sana adalah progresif.


Dalam pemilu 2014 hari ini, tidak ada satu pun partai atau capres-cawapres yang bisa didukung oleh kelas buruh, bahkan bila ada sejumlah wakil-wakil buruh yang ikut pemilu lewat partai-partai borjuasi tersebut, atau bila ada satu dua wakil partai borjuasi yang punya rekam jejak yang bersih dan terlihat merakyat. Kita tidak memulai analisa kita dari situasi-situasi parsial seperti itu, tetapi dari tugas segera yang ada di depan rakyat pekerja hari ini: ketiadaan kendaraan politik untuk rakyat pekerja dan keperluan untuk membangunnya.

Rakyat pekerja berhak untuk tidak berpartisipasi dalam pesta atau pertarungan kaum borjuis yang mengatasnamakan rakyat itu. Alih-alih, rakyat pekerja harus mendirikan dan membentuk partainya sendiri – partai pelopor revolusioner kelas pekerja – yang akan menjadi alat perjuangan demi mengakhiri formasi sosial yang menghisap, menindas, dan meminggirkan mereka, serta membangun formasi sosial yang berkeadilan, yakni formasi sosial yang demokratis-partisipatoris ekonomi dan politik.

Posisi Orang Kristen

Analisis kelas terhadap masyarakat Indonesia berlaku juga terhadap umat Kristen Indonesia. Toh umat Kristen Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ada orang Kristen dalam borjuis nasional Indonesia, baik komprador maupun oligarki. Ada juga orang Kristen rakyat pekerja, yang terhisap dalam kelas buruh, tani, pemuda/mahasiswa progresif, dan kaum miskin kota.

Secara natural, orang Kristen yang terhisap dalam kelas borjuis akan memilih para caleg (dan capres-cawapres) dari partai-partai borjuis. Karena calon-calon itu kelak akan bekerja demi kepentingan fundamental mereka. Tentu ada embel-embel “nasionalis”, mengingat borjuasi Kristen (termasuk Tionghoa Kristen) Indonesia takut kalau-kalau faksi borjuis pengusung Islamisme berkuasa. Borjuasi Kristen (termasuk Tionghoa Kristen) adalah bagian dari faksi borjuis yang berorientasi ke imperialisme Barat adalah lawan-faksi dari borjuasi Islam yang berorientasi ke imperialisme Timur Tengah (meski imperialisme ini tidak sekuat imperialisme Barat). Alih-alih kekuasaan jatuh ke tangan kaum borjuis Islamis, para borjuis Kristen akan memilih calon-calon dari partai-partai “nasionalis” pelayan kepentingan imperialis Barat – entah yang bercorak otoritarian (bahkan bertendensi fasis) atau yang bercorak “demokratis”. Bila calon-calon itu memang, kepentingan mereka akan terjaga. Untuk itu, para bos besar di antara borjuis Kristen siap menggelontorkan dana besar-besaran untuk pemenangan “jago-jago” mereka.

Orang Kristen dari kalangan rakyat pekerja lazimnya terhegemoni oleh orang Kristen borjuis. Hal ini bisa dimengerti karena Kekristenan yang mereka kenal dan hidupi terutama merupakan reproduksi kelas borjuis Kristen, baik yang imperialis maupun komprador dan oligarki. Rakyat pekerja Kristen menganut “teologi negara” yang memandang negara (borjuis) sebagai wakil Allah di dunia serta diliputi sentimen Islamofobia (yang kadang-kadang seperti dibenarkan oleh aksi-aksi intoleran kalangan Islam tertentu, yakni berbasis sosial lumpenproletariat yang dimainkan entah oleh borjuasi “nasionalis” dalam tubuh aparat bersenjata entah oleh borjuasi Islamis). Belum lagi triumfalisme Kristen, yang memandang umat Kristen sebagai “umat pemenang” dan menginginkan sebuah “Indonesia bagi kemuliaan-Nya” (Indonesia yang dikristenkan?). Reproduksi Kekristenan borjuis ini berdampak pada preferensi rakyat pekerja Kristen dalam Pemilu: memilih calon-calon dari partai-partai borjuis seperti halnya para borjuis Kristen. Sudah barang tentu, tanpa pertimbangan berdasarkan perspektif kelas sama sekali.

Tantangan bagi Kaum Muda/Mahasiswa Kristen

Lantas bagaimana dengan kita, kaum muda dan/atau mahasiswa Kristen? Lagi, berdasarkan analisis kelas, kaum muda dan/atau mahasiswa Kristen berasal dari kelas-kelas atau lapisan-lapisan kelas yang berbeda. Ada yang berasal dari kelas borjuis (karena orang tua kita). Ada yang berasal dari lapisan borjuis kecil. Ada pula yang berasal dari kaum tani atau kaum miskin kota. Ada juga yang berasal dari kelas buruh. Apa implikasinya? Dalam situasi status quo ideologis, kita akan cenderung memilih yang sama dengan yang dipilih oleh para “orang tua” kita. Tapi bila kita bersedia berpikir dialektis-kritis dan mempertimbangkan pilihan etis-politis Tuhan kita Yesus Kristus, preferential option for and with the poor and the oppressed (pilihan untuk mengutamakan dan berjuang bersama kaum miskin dan tertindas, Lukas 4.18-19), kita bisa mengambil posisi yang secara radikal berbeda.  

Kaum muda yang berasal dari kelas buruh, kaum tani, dan kaum miskin kota hendaklah bangkit dari keadaan terhegemoni, berpikir kritis, dan mengarahkan perhatian pada ideologi alamiah rakyat pekerja, yakni ideologi yang menuntut demokrasi-partisipatoris ekonomi dan politik. Sudah selayaknya kaum muda Kristen ini menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi perjuangan rakyat pekerja – yang tidak mengenal sekat-sekat agama dan kepercayaan.

Kaum muda yang berasal dari kelas borjuis atau setidaknya berasal dari lapisan borjuis kecil hendaklah melakukan “bunuh diri kelas”, yakni mengkomitmenkan diri kepada working people’s cause, bergabung dengan organisasi-organisasi perjuangan rakyat pekerja, dan menentukan keputusan elektoral sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan politik rakyat pekerja.

Bila kaum muda dan/atau mahasiswa Kristen yang berasal dari kelas-kelas dan lapisan-lapisan kelas yang berbeda menentukan pilihan etis dan politis untuk berdiri di pihak rakyat pekerja dan berjuang bersama mereka (vis-a-vis borjuasi komprador, oligarksi, dan imperialis), mereka menjadi bagian dari kaum muda/mahasiswa progresif – dan dengan demikian terhisap dalam barisan rakyat pekerja.

Dalam kepemimpinan partai pelopor revolusioner kelas pekerja, mereka akan menunaikan Misi Yesus dari Nazaret: mewartakan Kerajaan Allah – yakni kehadiran Allah yang membebaskan kaum miskin (=tertindas, terhisap, dan terpinggirkan) dan membangun dunia baru yang bercirikan shalom (perdamaian, damai sejahtera, dan kesejahteraan) karena kemenangan kasih dan keadilan. Sesungguhnya, apa yang diperjuangkan partai revolusioner kelas pekerja, yakni masyarakat demokratis-partisipatoris ekonomi dan politik, adalah suatu tanda yang kelihatan dari Kerajaan Allah yang tidak kelihatan. 

Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit

kedatangan pembawa berita,

yang mengabarkan berita damai

dan memberitakan kabar baik,

yang mengabarkan berita selamat

dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!"

(Yesaya 52.7)

 

TERPUJILAH ALLAH!

Bumi Mataram, 23-30 Maret 2014