jokowi prabowoPemilu presiden yang akan digelar kembali menjadi ajang politik “dagang sapi”. Politik “dagang sapi” sudah menjadi style perpolitikan di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru karena memang sudah tidak ada lagi imajinasi lainnya yang bisa diperdagangkan oleh borjuasi kita. Politik “dagang sapi” adalah istilah untuk mendeskripsikan suatu  pola dalam berpolitik yang di dalamnya terdapat transaksi-transaksi—seperti layaknya dalam proses jual-beli sapi. Partai-partai akan berbagi kekuasaan melalui koalisi partai dan koalisi tersebut tidak didasarkan atas kesamaan platform politik, melainkan didasarkan atas kesamaan kepentingan untuk mendapatkan “profit”.

Koalisi Indonesia Raya yang mengusung Prabowo-Hatta, misalnya, dikabarkan sudah membagi jatah kursi kepada setiap partai anggota koalisi (tempo.co, 31 Mei 2014). Partai Gerindra disebut sudah mengklaim jatah kursi untuk pos Kementrian Koordinator Perekonomian, Kementrian Keuangan, Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Kementrian Badan Usaha Milik Negara. Partai Golkar mendapat jatah tujuh kursi menteri dengan tambahan satu kursi menteri utama yang akan diisi oleh Aburizal Bakrie. Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masing-masing mendapat jatah empat kursi. Sedangkan Partai Bulan Bintang (PBB) hanya dua kursi menteri.

Koalisi yang mengusung Jokowi-JK, meskipun tidak se-eksplisit koalisi Prabowo-Hatta, melalui pernyataan ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, telah menjanjikan bahwa menteri agama akan diisi oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU)—yang merupakan basis massa dari PKB (suarapembaruan.com, 31 Mei 2014).

Fakta di atas akan memberikan penegasan teoritik bahwa pemerintahan yang akan terbentuk dari politik “dagang sapi” tersebut adalah “pemerintahan kroni”. Dan “pemerintahan kroni” akan menghasilkan aksi-aksi kriminal di dalam pemerintahan: konspirasi, korupsi, jual-beli posisi, dan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik yang berdampak pada eksploitasi kelas pekerja.

Model “pemerintahan kroni” merupakan hasil yang tak terelakkan dari demokrasi borjuis dan praktek seperti ini sudah dilakukan sejak berdirinya Orde Baru (Orba). Namun, anehnya, pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu tidak membuat jera masyarakat. Pada setiap pilpres, antusiasme masyarakat dalam membela “jago-jago”-nya tidak pernah memudar. Malah, dalam pemilu presiden kali ini, dengan “jago-jago” yang sama-sama kondang, antusiasme masyarakat semakin meningkat.

Pengamatan saya dalam seminggu terakhir melalui media sosial, televisi, koran, dan komunikasi langsung dengan masyarakat menegaskan situasi seperti yang saya tulis di atas. Angka golput yang cukup besar pada pemilu legislatif kemarin, tentu, tidak berbanding lurus dengan berkurangnya partisipasi masyarakat pada pemilu presiden mendatang. Hal ini menandakan bahwa masyarakat masih terus berharap akan hadirnya sang pemimpin dan kepemimpinan yang membawa agenda-agenda perubahan dan pembebasan. Namun sayangnya, semua itu hanya ilusi.

Ilusi-ilusi yang telah (dan akan terus) diciptakan oleh borjuasi berhasil mendekam di pikiran masyarakat—bahkan di pikiran mayoritas kaum buruh yang di dalam kehidupannya sarat dengan dinamika perlawanan. Hal ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan masyarakat dan kaum buruh untuk bersikap kritis; bukan semata-mata tidak adanya lompatan kesadaran politik. Faktor utama terjadinya situasi semacam ini adalah tidak adanya kepemimpinan revolusioner dari kelas yang paling progresif, yakni kelas buruh; dan tentu juga, tidak adanya partai buruh.

Diskursus untuk membentuk partai buruh kemudian menjadi urgent. Terbentuknya partai buruh bukan semata-mata untuk meraih kemenangan elektoral, tetapi lebih untuk mengintegrasikan antara proses kesadaran kelas buruh dengan kondisi obyektif. “Kesadaran adalah sekunder,” tulis Trotsky. “…Kesadaran massa bisa saja ketinggalan; maka dari itu tugas politik dari partai ini adalah untuk mengharmoniskan kesadaran massa dengan kondisi objektif, untuk membuat rakyat pekerja mengerti tugas objektif mereka.”

Sudah waktunya kelas buruh memiliki wadah politiknya sendiri. Paradigma yang terbangun di dalam pikiran buruh harus diubah. “Siapa pun yang bakal menjadi presiden,” demikian perspektif yang harus muncul di pikiran buruh, “jika masih berada dalam batasan politik borjuis, akan terus mengeksploitasi kelas buruh.”

Kelas buruh harus berada beberapa langkah lebih maju dari masyarakat umum dalam menyikapi pemilu presiden mendatang. Memilih salah satu dari dua calon presiden merupakan tindakan yang kontra-produktif; yang berarti pula, ikut melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan borjuis. Marx dan Engels telah menggariskan—yang kemudian dielaborasi oleh Rosa Luxemburg dan Lenin—bahwa perjuangan kelas buruh adalah menghancurkan negara borjuis dan menggantikannya dengan negara buruh.

Marx dan Engels, di dalam Manifesto Komunis, telah mengemukakan pandangannya mengenai tugas politik kelas buruh, bahwa tugas kelas buruh adalah mengorganisasikan dirinya secara independen sebagai sebuah kelas dan membentuk partai politik. Namun, sebuah pertanyaan kritis, kenapa partai-partai buruh yang sudah terbentuk di banyak negara cenderung menjadi reformis?

Kecenderungan untuk bersikap reformis memang sering menghinggapi organisasi dan partai buruh. Ini tidak bisa tidak, karena reformisme adalah kecenderungan berpikir utama di dalam masyarakat, yang telah ditempa dengan keras ke dalam kesadaran rakyat pekerja – dan bahkan di antara kaum buruh yang berjuang – oleh kaum borjuasi. Gagasan reformisme ini terutama bersemayam dengan keras kepala di dalam pikiran lapisan kepemimpinan buruh, yang lalu menjadi pengejawantahan dari reformisme itu sendiri dan sering kali justru menjadi batu penghalang bagi berkembangnya kesadaran kelas di antara buruh. Di sinilah maka kaum revolusioner, kaum Marxis terutama, lalu harus mencemplungkan diri mereka ke dalam rawa reformisme – entah itu di dalam partai buruh atau serikat buruh – dan memperjuangkan gagasan revolusioner di dalamnya.

Apa yang sedang dilakukan oleh Said Iqbal, ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya, dengan menggabungkan diri ke poros Prabowo-Hatta, merupakan konfirmasi atas sikap reformis dari lapisan kepemimpinan buruh. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pemimpin buruh yang menyeret serikat-serikat buruh pimpinan mereka ke poros Jokowi-JK. Kekeliruan para pemimpin buruh ini, yang menggiring para buruh ke dua kamp borjuasi yang ada, bukanlah karena mereka tidak jujur, mereka tidak amanah, mereka ingin mendapatkan jabatan di dalam pemerintahan, ataupun alasan-alasan pribadi lainnya. Ini juga bukan karena mereka tidak tahu apa itu pelanggaran HAM. Ini dikarenakan paham reformisme yang menghinggapi cara berpikir mereka. Dengan mendukung salah satu calon presiden, mereka berharap dapat mendapatkan sejumlah konsesi dan reforma yang akan mensejahterakan buruh. Dengan perubahan perlahan-lahan – dari satu reforma ke reforma yang lain – harapan mereka pada akhirnya buruh akan sejahtera, bahkan dalam kerangka kapitalisme masih ada ruang untuk kesejahteraan buruh . Revolusi dan sosialisme tidak ada dalam perhitungan mereka sama sekali. Oleh karenanya kekeliruan para pemimpin ini adalah kekeliruan politik, dan harus dijawab juga secara politik.

Sejarah perjuangan buruh, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia, dipenuhi dengan banyak pengalaman. Bagaimana partai buruh ini harus dibangun dapat kita pelajari dari sejarah kita. Partai Bolshevik dari Rusia masih tetap menjadi referensi yang relevan dalam pembentukan partai buruh mendatang. Ia adalah satu-satunya partai buruh yang berhasil menumbangkan kapitalisme dan memimpin buruh ke tampuk kekuasaan. Dalam sejarah pembentukannya, Partai Bolshevik dibangun di atas dasar yang berbeda secara fundamental dari sosial demokrasi (reformisme), secara politik maupun secara organisasional, dan dengan alasan yang sama pula inilah mengapa ia mampu membebaskan buruh dari kapitalisme di Rusia dan menjadi sinar harapan bagi perjuangan buruh sedunia. Dengan demikian, sebagai sebuah kesimpulan, kita perlu partai buruh yang berkarakter Bolshevik, yakni yang berkarakter revolusioner dan bersandarkan sepenuhnya pada Marxisme sebagai ideologinya. Di dalam partai buruh tersebut kader-kader buruh yang termaju akan dididik untuk menjadi pemimpin massa, tidak hanya mengorganisasi dan mengkonsolidasi massa luas, tetapi juga menulis dan berteori sebagai bagian tak terpisahkan dari praktek.

Tidak ada jalan lurus menuju partai buruh semacam ini. Karena ia harus dibentuk oleh massa buruh luas, lewat serikat-serikat buruh mereka, maka partai ini juga akan menyeret ke dalamnya berbagai prasangka dan gagasan asing yang ada di dalam gerakan buruh secara luas, dan ini akan membuat jalan menuju ke sana penuh dengan berbagai kelokan. Tetapi sebelum semua ini, langkah awal sudah harus kita tempuh. Langkah awal dalam tahapan ini adalah langkah propaganda di antara buruh, yang akan mendiskusikan konsep partai buruh ini dengan lebih detil dan terperinci. Seperti yang telah diajukan oleh Militan dalam sikap politik kami “Lawan Pemilu 2014! Bangun Partai Buruh!”:

Partai buruh ini tidak bisa dibangun secara artifisial tanpa keterlibatan buruh luas yang sadar kelas. Ia juga tidak bisa dibangun dalam waktu semalam oleh segelintir orang ataupun segelintir serikat buruh. Ia adalah partai massa dan oleh karenanya harus datang dari massa buruh lewat serikat-serikat buruhnya. Ia harus dibangun dari bawah, dimulai dengan penyadaran politik di antara buruh. Oleh karenanya, beberapa langkah awal yang dapat dilakukan untuk mencapai ke sana adalah:

1) Propagandakan seruan pembangunan partai buruh di antara kaum buruh, lewat serikat-serikat buruh dan juga organ-organ perjuangan lainnya.

2) Selenggarakan diskusi di antara buruh dari tingkat bawah sampai ke tingkat atas mengenai wacana pembangunan partai buruh; bentuk lingkaran-lingkaran diskusi dan kelas-kelas ekopol untuk mendiskusikan wacana partai buruh ini secara luas: Apa itu partai buruh? Mengapa dibutuhkan partai buruh? Apa saja program yang harus diusungnya? Bagaimana membangunnya?

3) Di antara buruh yang masih berilusi terhadap Jokowi ataupun Prabowo, jelaskan dengan sabar dan “mild in manner, bold in content” (lunak dalam pendekatan, keras dalam prinsip), bahwa yang dibutuhkan adalah buruh yang berdikari dengan partai buruhnya sendiri. Kaum buruh yang telah terpecah ke dalam dua kubu borjuasi ini harus disatukan kembali, dan slogan persatuannya adalah “Bangun Partai Buruh!”

Pada analisa terakhir, krisis kemanusiaan hari ini dapat direduksi menjadi krisis kepemimpinan proletariat. Pada pemilu tahun ini, momentum yang ada harus digunakan oleh setiap buruh yang revolusioner dan sadar kelas untuk menyatakan kemandirian kelasnya dan kepemimpinan kelasnya, bukannya memilih antara Jokowi atau Prabowo, bukannya memilih mana borjuasi yang lebih baik. Kita harus serukan dengan lantang dan konsisten: Kaum Buruh, Tegaskan Kemandirian Kelas dan Kepemimpinan Kelasmu! Bangun Partai Buruh!