facebooklogocolour

buruh-kompas(Berikut adalah dokumen perspektif situasi nasional yang didiskusikan dan disahkan pada Konferensi Nasional September 2014)

Setelah menyaksikan gerakan buruh yang meledak-ledak sejak 2012, dengan dua pemogokan nasional dan gelombang aksi massa radikal, gerakan kelas buruh ini tampak terinterupsi oleh “karnival” demokrasi borjuasi. Tetapi euforia yang melanda pilpres tahun ini tidak bisa dilihat terpisah dari perkembangan politik yang melahirkan ledakan gerakan buruh ini, tetapi justru adalah ekspresinya yang lebih luas. Ini adalah ekspresi dari kebuntuan kapitalisme secara ekonomi dan politik yang semakin dalam dan akut, terutama sejak krisis finansial 2008 yang tak kunjung selesai.

Kendati pemerintahan SBY ini mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, terutama pasca krisis 2008, dengan rata-rata mendekati 6%, namun pertumbuhan ini tidak membawa perubahan fundamental pada posisi ekonomi rakyat pekerja. Dari 2005 hingga 2013, koefisien Gini, yakni indikator kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan yang kaya, meningkat dari 0,36 menjadi 0,41. Rakyat mungkin tidak tahu konsep koefisien Gini ini, tetapi mereka merasakannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ekonomi terus tumbuh – seperti yang mereka baca di media dan berbagai pernyataan rejim SBY, seperti yang mereka lihat dengan semakin banyaknya barang-barang mewah yang dijajakan – tetapi mereka bertanya pada diri sendiri: “Tapi, mengapa saya merasa lebih miskin?” Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dirasakan oleh seluruh buruh di dunia.

Ini seperti yang dikatakan oleh Marx, bahwa kapitalisme pada akhirnya akan menghasilkan “akumulasi kesengsaraan seiring dengan akumulasi kekayaan,” bahwa kapitalisme akan menghasilkan “akumulasi kekayaan pada satu kutub ... [dan] sekaligus akumulasi kesengsaraan, penderitaan perbudakan kerja, kebodohan, brutalitas, degradasi mental, pada kutub lainnya, yakni pada sisi kelas yang memproduksi produknya sendiri dalam bentuk kapital [baca kelas buruh].” Dalam bahasa sehari-hari, yang akan disetujui oleh semua rakyat pekerja, “yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin.”

Realitas kapitalisme ini semakin menjijikkan ketika di periode krisis kapitalisme global hari ini di mana rakyat pekerja diminta untuk mengetatkan tali pinggang dan bekerja lebih keras para pemilik modal justru sedang meraup profit besar-besaran. Indeks-indeks saham telah pulih ke level sebelum krisis 2008 dan bahkan melebihi level sebelum krisis, tetapi rakyat pekerja tidak merasa hidupnya lebih baik atau pulih ke level sebelum krisis menghantam mereka.

Ada atmosfer ketidakpastian di antara rakyat, yang bisa mereka rasakan walau tidak – atau belum – sepenuhnya mereka pahami. Perasaan ini adalah perasaan ketidakpastian akan peluang masa depan yang lebih baik, bukan hanya di antara rakyat pekerja miskin tetapi juga di antara “kelas menengah”, yakni lapisan kelas buruh yang secara ekonomi relatif lebih baik. Ini tidak hanya mereka lihat dari kenyataan di sekitar mereka, tetapi juga apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain selama dekade terakhir. Ketidakstabilan sosial, politik dan ekonomi semakin menajam, terutama sejak 2008. Peristiwa-peristiwa yang menggegerkan dunia saling tumpang tindih, datang silih berganti dengan kecepatan yang semakin cepat. Sebut saja: krisis finansial 2008, pemilihan Obama sebagai presiden kulit hitam pertama dengan euforia yang segera disusul dengan kekecewaan; gerakan Okupasi 2011; Revolusi Arab 2011 yang menyebar luas menumbangkan banyak rejim kediktatoran; perang sipil di Suria; kekacauan di Libia; kebangkrutan ekonomi negeri-negeri Uni Eropa; perpecahan di Ukraina; berbagai skandal politik di negeri-negeri Barat; ditutupnya pemerintah AS karena kehabisan uang; pengunduran diri Paus Benediktus, yang tidak pernah terjadi sejak abad ke-12; bahkan Piala Dunia pun tidak luput dari gejolak politik, dengan demo-demo besar menentang pemborosan ini; dsb. dsb.  Rakyat pekerja mungkin tidak mengetahui dengan detil semua peristiwa ini dan hanya mendapat berita sepotong-sepotong secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi insting mereka dengan tepat mengatakan bahwa ada sesuatu yang berbeda pada periode ini, sesuatu yang sedang membusuk dan bau amisnya jelas tercium. Mereka tidak tahu persis apa ini, tetapi mereka merasakannya dan mulai menolaknya. Inilah yang Trotsky sebut sebagai proses molekular dari revolusi.

Perasaan ketidakpastian,  dan bahkan keputusasaan, akan masa depan yang lebih baik ini sudah dikonfirmasikan oleh berbagai laporan ekonomi dan analisa para ahli ekonomi borjuasi. Paul Krugman, ekonom peraih Nobel, menulis:

“Tetapi, bagaimana jika kondisi 5 tahun terakhir adalah normalitas yang baru? Bagaimana jika kondisi-kondisi yang menyerupai depresi akan tetap tinggal, tidak untuk satu atau dua tahun, tapi selama berpuluh-puluh tahun?

“... Sekali lagi, bukti telah mengindikasikan bahwa kita telah menjadi sebuah ekonomi di mana kondisi yang normal adalah kondisi depresi ringan, di mana kemakmuran adalah episode singkat yang terjadi karena gelembung dan kredit yang tidak dapat berkelanjutan.”

Lalu perspektif ekonomi yang suram ini kembali ditegaskan oleh laporan ekonomi terbaru oleh OECD, salah satu organisasi ekonomi kapitalis besar. (OECD. “Policy Challenges for the Next 50 Years,” Juli 2014) Laporan ini memprediksikan bahwa sampai pada 2060, yakni 50 tahun ke depan, pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat, dari 3,6% (2014-2030) ke 2,7% (2030-2060). Perlambatan ekonomi ini akan diikuti oleh kenaikan ketimpangan ekonomi, yang akan meningkat antara 20-30%. Tidak hanya itu, untuk bisa mencapai prediksi yang suram ini saja menurut OECD dibutuhkan kebijakan tenaga kerja yang “lebih fleksibel” dan perekonomian dunia yang “lebih terintegrasi” atau terglobalisasi. Pasar tenaga kerja yang “lebih fleksibel” pada akhirnya berarti buruh semakin bisa dipecat kapan saja kalau tidak dibutuhkan, semakin tanpa kepastian kerja, semakin tanpa kepastian upah minimum yang layak, semakin tanpa perlindungan hukum yang jelas, dan lain sebagainya. Perekonomian dunia yang “lebih terintegrasi” berarti negeri-negeri kapitalis besar akan semakin mengikat negeri-negeri kapitalis kecil seperti Indonesia ke bawah dominasinya.

Inilah latar belakang yang mendasari peristiwa-peristiwa politik di Indonesia. Kekhususan atau keunikan politik dan ekonomi Indonesia tidak bisa dipahami secara terpisah, dan justru hanya bisa dipahami kalau diletakkan dalam konteksnya dalam perekonomian dan perpolitikan dunia. Para ahli ekonomi dan politik Indonesia yang serius jelas memahami ini, tetapi tidak demikian dengan banyak “teoretikus Kiri” Indonesia yang hanya puas dengan perkarangannya sendiri.

Ekonomi Indonesia

“Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2013” oleh Bank Indonesia dibuka dengan peringatan ini:

“Tahun 2013 adalah tahun penuh perubahan dan tantangan bagi perekonomian Indonesia. Di tengah berbagai masalah struktural yang belum terselesaikan, perubahan kondisi ekonomi global di tahun 2013 memunculkan ancaman terhadap stabilitas makroekonomi dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi.” (Penekanan oleh kami)

Tampaknya para ekonomi BI menarik kesimpulan yang serupa dengan kaum Marxis, karena baris-baris di atas bisa saja ditulis oleh seorang Marxis. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai melambat tahun lalu dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi: meningkatnya defisit transaksi berjalan (yakni menurunnya nilai ekspor dan terus meningkatnya impor), melambatnya arus modal yang masuk ke dalam negeri, anjloknya nilai rupiah sebesar hampir 20%, dan inflasi yang mencapai 8,4% dan jauh dari target 4,5%. Semua ini adalah akibat semakin tidak kondusifnya situasi ekonomi dunia.

Prestasi ekonomi pasca krisis 2008 dengan cepat mulai buyar. Ini karena prestasi tersebut bukanlah karena kekompetenan rejim ini namun karena faktor-faktor global. Pertumbuhan di atas 6% ini terjadi karena dua faktor utama: 1) kenaikan harga ekspor komoditas karena tingginya permintaan dari emerging market terutama dari China dan India; 2) melimpahnya arus modal investasi asing akibat dari program stimulus yang dikucurkan oleh pemerintahan-pemerintahan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kedua faktor ini semakin melemah dan oleh karenanya mulai berimbas negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Setelah krisis finansial 2008, pemerintahan China mengucurkan stimulus terbesar dalam sejarah kapitalisme untuk mendongkrak perekonomian mereka. Puluhan ribu km rel kereta api dan jalan raya diletakkan;  pelabuhan-pelabuhan mega-raksasa dibangun; airport-airport megah dan modern tumbuh seperti jamur; apartemen-apartemen pencakar langit menjulang dimana-mana. China menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia pada periode kelesuan pasca krisis 2008. Dengan rakus China melahap komoditas-komoditas energi dan non-energi dari seluruh dunia: minyak, batu bara, biji besi, tembaga, produk-produk pertanian, dsb.  Permintaan dan harga banyak komoditas naik, dan negeri-negeri pengekspor komoditas seperti Indonesia mendapat imbasnya.

Tetapi perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan India baru-baru ini telah mengakhiri era harga komoditas tinggi. Kinerja ekspor komoditas Indonesia pun mulai terpukul, dan menyebabkan defisit besar pada neraca perdagangan tahun 2013 (nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impor). Defisit neraca perdagangan pada 2013 mencapai US$  4,06 miliar. Dibandingkan tahun sebelumnya, ini peningkatan defisit sebesar 140% (defisit 2012, US$ 1,7 miliar). Bahkan pada tahun 2011 tidak ada defisit, tetapi justru surplus sebesar US$ 26 miliar. Berarti dalam dua tahun, neraca perdagangan ambruk sebesar US$ 30 miliar dan ini karena permintaan ekspor yang semakin menurun.

Pada saat yang sama, pemerintahan AS mulai memberikan sinyal untuk memangkas program stimulus mereka. Sejak krisis finansial 2008, pemerintahan AS memompa US$ 85 miliar setiap bulannya untuk mencegah ambruknya tidak hanya kapitalisme AS tetapi juga seluruh kapitalisme dunia. Negeri-negeri kapitalis maju lainnya juga melakukan kebijakan “uang murah” yang serupa. Uang murah ini lalu digunakan oleh bank-bank dan institusi-institusi finansial untuk melakukan investasi ke negeri-negeri seperti Indonesia yang dapat memberikan tingkat laba tinggi. Akan tetapi AS tidak akan bisa terus menerus menyediakan “uang murah” ini, karena jumlah hutang pemerintahan AS telah mencapai $17,2 triliun, yang berarti setiap penduduk Amerika, dari yang baru lahir sampai yang sudah mendekati liang kubur, punya hutang sebesar 54 ribu dolar Amerika (atau 600 juta rupiah). Jelas kalau kebijakan “uang murah” ini tidaklah dapat terus dilanjutkan tanpa menyebabkan gejolak sosial.

Maka dari itu tidaklah mengherankan ketika pada pertengahan tahun 2013 ada pembicaraan bahwa pemerintahan AS akan mengurangi program quantitative easing perekonomian Indonesia segera terkena imbas. Para investor segera menarik modal-modal mereka dari emerging economies seperti Indonesia untuk mengantisipasi berakhirnya era “uang murah”. Laporan BI juga memberikan peringatan yang serupa bahwa “pengurangan stimulus moneter [AS] ... mengurangi pasokan likuiditas ke negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.” Rencana pengurangan stimulus moneter AS telah menciptakan ketidakpastian global yang juga berimbas negatif pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada akhirnya, semua ini menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia terikat kaki dan tangannya oleh perekonomian dunia. Semua faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia – yakni kebijakan “uang murah” dan stimulus di China, AS dan negeri-negeri maju lainnya – telah mulai berubah menjadi kebalikannya. Krisis defisit di AS dan Eropa telah menciptakan kontradiksi ekonomi yang teramat akut, dan di dalam ranah politik telah menyebabkan gejolak-gejolak besar yang tak pernah terlihat sebelumnya. Sementara pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat karena pemerintahan China juga mulai kesulitan melanjutkan program  Semua kebijakan yang digunakan oleh kapitalis dunia hanya menunda apa yang telah menjadi sebuah keniscayaan, dan bahkan memperburuknya di kemudian hari.

Apa solusi yang ditawarkan oleh Bank Indonesia? “Pengurangan subsidi BBM” dan “perbaikan iklim investasi”. Dan kita tahu apa artinya iklim investasi yang lebih baik, yakni kondisi kerja bagi buruh yang lebih buruk agar laba bisa lebih tinggi. Dalam kata lain, ini berarti serangan lebih lanjut terhadap taraf hidup rakyat pekerja. Kesulitan ekonomi ini sekarang harus diemban oleh pemerintahan Jokowi. Pemerintahan ke depan ini tidak akan punya ruang yang banyak untuk melakukan manuver ekonomi dan akan terdorong oleh logika kapitalisme untuk menerapkan kebijakan-kebijakan di atas. Seperti tutur ekonom bank Standard Chartered, Fauzi Ichsan: “Siapa pun presidennya, harga BBM akan naik.” (Tempo, 4/7/2014)

Gerakan buruh

Dalam dokumen-dokumen politik kita tahun lalu telah kita jabarkan dengan cukup detil dan komprehensif proses radikalisasi gerakan buruh selama 2 tahun terakhir (Kesabaran, Kesabaran, dan Sekali Lagi Kesabaran – Dokumen Perspektif Nasional 2013; Ekonomi dan Politik Indonesia pada Tengah Tahun). Kawan-kawan disarankan untuk membaca kembali dokumen-dokumen politik ini dan juga artikel-artikel analisa gerakan buruh 2 tahun terakhir yang telah kita publikasikan, sebagai satu kesatuan perspektif politik gerakan buruh yang mengalir.

Secara umum, kita telah melihat bangkitnya buruh Indonesia sebagai sebuah kelas. Setelah diremukkan pada 1965 secara fisik dan ideologi, kelas buruh Indonesia kembali memasuki gelanggang politik dan mulai menemukan tradisi revolusionernya yang telah lama hilang. Akan tetapi, gerakan buruh bukanlah sesuatu yang bergerak dalam garis lurus dan terus naik. Setiap dua langkah maju yang diambilnya, ia dapat mengambil satu langkah mundur atau langkah ke samping. Ini terutama benar ketika para pemimpin buruh tidak memiliki perspektif revolusioner yang tepat.

Setelah gerak yang begitu gagah dari para buruh, para pemimpin mereka dengan segera – walau bukannya tanpa kesulitan – berusaha mengerem laju gerakan buruh. Para pemimpin reformis dan konservatif ini menjadi penghalang berkembangnya kesadaran kelas buruh ke tingkatan selanjutnya. Momen pemilu juga untuk sementara waktu mengalihkan perhatian gerakan buruh dari ranah industrial ke ranah parlemen. Namun, alih-alih menggunakan momen pemilu ini untuk menekankan perlunya buruh memiliki partai politik mereka sendiri, para pemimpin buruh yang reformis ini justru menyalurkan aspirasi politik buruh lewat partai-partai borjuasi. Pada pemilihan legislatif dengan taktik menitipkan caleg buruh lewat berbagai partai borjuasi, pada pemilihan presiden dengan melemparkan dukungan mereka pada Jokowi (KSPSI dan SBSI) dan Prabowo (KSPI).

Taktik titip caleg telah memberikan hasil yang mengecewakan. Dari 32 caleg dari FSPMI-KSPI, hanya 2 yang terpilih di Bekasi, pusat gerakan buruh 2 tahun terakhir. Bahkan di antara yang terpilih ini, suara yang mereka peroleh jauh lebih kecil dari jumlah basis buruh yang ada di dapil mereka. Antusiasme buruh pada pileg 2014, kendati telah dimobilisasi oleh para pemimpinnya untuk mendukung para caleg mereka di partai-partai borjuasi, sangatlah jauh dari antusiasme mereka selama mogok nasional dan gelombang aksi 2012-2013. Ini tidaklah mengherankan. Insting mereka adalah menolak partai-partai borjuasi yang mereka lihat korup, busuk, dan tidak kompeten.

Pada pilpres ini, garda terdepan gerakan buruh – yakni buruh-buruh FSPMI – justru menemukan dirinya mendukung Prabowo. Sementara, KSPSI dan SBSI yang menentang Monas II pada Oktober 2013 lalu mendukung Jokowi yang secara umum lebih populis. Mungkin bagi banyak orang ini akan tampak seperti sebuah paradoks yang membingungkan, dimana lapisan buruh yang 2 tahun terakhir jadi pelopor justru mendukung capres yang lebih reaksioner, dan bukannya Jokowi yang lebih populis dan membangkitkan euforia. Tetapi kalau kita lihat lebih dekat, tidaklah demikian.

Selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi justru menunjukkan sikap tak acuh pada gerakan buruh yang begitu meledak-ledak di perkarangannya sendiri dan sekitarnya, yakni di Jabodetabek. Tidak hanya itu, kemenangan buruh pada Monas 2012 segera dihapusnya dengan surat penangguhan penetapan UMP. Lalu pada Monas 2013, Jokowi meneken kenaikan upah hanya 10% dan menepis tuntutan buruh sebagai tidak rasional. Karena tindakannya ini ia lalu diberi gelar “Bapak Upah Murah” oleh para buruh.

Kemudian, pada pilpres ini, kubu Jokowi juga diisi oleh para kapitalis besar, terutama Sofjan Wanandi yang mereka benci. Lalu, para buruh FSPMI, yang merasa dikhianati oleh para pemimpin KSPSI dan SBSI pada Monas II tahun lalu, juga melihat para pemimpin ini di kubu Jokowi. Semua yang telah menjadi penghalang gerakan buruh 2 tahun terakhir dapat ditemui di kubu Jokowi. Dengan semua ini, apa tidak mengherankan kalau para buruh FSPMI sulit melihat diri mereka mendukung Jokowi?

Argumen bahwa Prabowo mewakili Orde Baru dengan sinis dicibir oleh para buruh FSPMI. Bukankah Jusuf Kalla, mantan ketua Golkar dan patron Pemuda Pancasila, juga ada di kubu Jokowi dan bahkan jadi cawapres Jokowi? Bukankah juga ada jenderal-jenderal dari Orde Baru dan pelanggar HAM juga di kubu Jokowi? Lalu apa bedanya? Para Kiri pendukung Jokowi hanya bisa berteriak “pelanggar HAM, pelanggar HAM! Orba, Orba!” dan memandang rendah buruh yang tidak memiliki euforia Jokowi yang sama dengan mereka. Padahal, justru tindakan-tindakan Jokowi dan kubu “demokrat”nya yang membuat buruh sangsi.

Lalu, mengapa banyak buruh FSPMI yang lalu melemparkan dukungannya ke Prabowo, yang jelas juga adalah bagian dari kelas pemilik modal? Ini karena para buruh FSPMI masih terikat pada pemimpin-pemimpin mereka, sementara para pemimpin ini terikat pada kelas borjuasi. Tidak bisa dipungkiri kalau para pemimpin reformis di FSPMI masih memiliki otoritas yang besar di antara kaum buruh. Pengalaman perjuangan yang tajam selama 2 tahun terakhir telah mengikat erat para buruh anggota pada pemimpin-pemimpin mereka. Kita kaum Marxis jelas tahu bahwa reformisme, konservatisme, dan birokratisme dari para pemimpin ini akan menjadi batu penghalang terbesar dari gerakan buruh, bahwa implisit di dalam reformisme adalah pengkhianatan, tetapi tidak begitu di mata kebanyakan kaum buruh. Di sinilah tugas kita untuk menjelaskan dengan sabar dan santun, tetapi dengan pendirian yang tegas.

Di dalam agitasi kita untuk memenangkan buruh ke sisi kita, kita tidak serta-merta mencaci maki para pemimpin yang masih mereka percayai. Ini tidak akan meraih telinga mereka dan justru ini akan mendorong mereka menjadi defensif. Kita juga tidak memulai dengan mencibir mereka atau menyerang mereka: “Loe sudah kena tipu sama pemimpin loe”, “Prabowo khan pelanggar HAM, jadi loe mendukung pelanggaran HAM juga?”. Kita selalu memulai dengan hal yang positif, tanpa menyerang tetapi dengan tegas menyatakan ketidaksetujuan politik kita. Kita tekankan bahwa kemandirian kelas yang telah diperjuangkan dengan gigih oleh buruh selama 2 tahun terakhir dengan metode-metode aksi massa tidak seharusnya dititipkan ke elit politik borjuasi pada momen pemilu ini, bahwa buruh dengan mogok-mogok nasionalnya telah membuktikan bahwa mereka punya kemampuan untuk membangun partai politiknya sendiri, dan bahwa rejim yang mendatang karena logika kapitalisme akan menyerang buruh dan kita harus bersiap melawan kembali. Ringkasnya, kita harus selalu memulai dengan sikap ini: buruh – dan semua rakyat pekerja dan kaum muda -- yang mendukung Prabowo ataupun Jokowi bukanlah musuh untuk diserang, tetapi kawan untuk dimenangkan ke barisan kita.

Perjuangan kelas buruh yang meningkat selama 2 tahun terakhir telah terinterupsi sementara waktu oleh momen pemilu ini. Para pemimpin reformis dari serikat-serikat buruh ini berhasil mengarahkan aspirasi politik kaum buruh ke salah satu kubu: KSPSI dan SBSI ke Jokowi dan FSPMI-KSPI ke Prabowo. Namun, kaum buruh akan cepat belajar kalau tidak satu pun dari kedua pasangan ini yang akan bisa memenuhi tuntutan-tuntutan mereka. Ini akan menjadi pembelajaran politik bagi kaum buruh, bahwa mereka tidak bisa menitipkan nasib mereka ke partai politik borjuasi seperti halnya mereka tidak menitipkan nasib mereka pada para majikan. Di sinilah seruan agar serikat-serikat buruh mulai bergerak ke pembentukan partai buruh menjadi penting dikumandangkan secara konsisten, tegas, dan konsekuen. Ini akan mempercepat pembelajaran politik kaum buruh, agar mereka tiba ke kesimpulan yang tepat: hanya kemandirian kelas buruh yang bisa menunjukkan jalan ke depan bagi kaum buruh dan seluruh rakyat tertindas.

Krisis internal juga akan menyambut serikat-serikat ini ketika taktik “membonceng partai borjuasi” yang diusung oleh sejumlah pemimpin mereka terbukti impoten. Kaum buruh tidak akan diam saja, seperti halnya mereka tidak diam saja ketika dieksploitasi oleh majikan mereka. Mereka akan merespons ini, dan akan ada perubahan di dalam serikat-serikat tersebut. Kepemimpinan yang reformis akan mulai terdiskreditkan dan mendapat perlawanan dari para anggotanya. Akan ada benturan-benturan dan friksi-friksi di dalam serikat-serikat ini.

Setelah berduyun-duyun bergerak ke bilik suara, kaum buruh akan mulai membalikkan langkah mereka ke jalan-jalan lagi. Selama masalah upah dan kesejahteraan buruh tidak terselesaikan, dan ini tidak akan bisa diselesaikan oleh rejim Jokowi terutama pada periode krisis kapitalis dunia hari ini, maka kaum buruh akan kembali ke ABC perjuangan kelas. Tetapi kali ini mereka telah belajar banyak, dari pengalaman 2 tahun terakhir dan dari pemilu ini, dan perjuangan ini akan lebih tinggi tingkatannya daripada sebelumnya. Monas selanjutnya tidak akan menjadi pengulangan semata.

Krisis legitimasi dan politik

Pemilu dan peristiwa-peristiwa politik di seputarnya dapat memberikan kita sebuah potret perimbangan kekuatan kelas-kelas dan situasi politik yang ada. Walaupun ia bukanlah sebuah potret yang menyeluruh, tetapi hanya parsial, namun bila disandingkan dengan pengamatan-pengamatan lainnya (situasi ekonomi nasional dan internasional, pergerakan kelas buruh; seperti yang kita lakukan di atas) ia dapat menjadi pelengkap yang memperjelas dan mempertajam perspektif kita.

Munculnya tokoh populis seperti Jokowi adalah ekspresi dari ambruknya legitimasi sistem perpolitikan Indonesia di mata rakyat. Tidak ada lagi satu pun elit politik lama yang punya kredibilitas, sehingga dibutuhkan sosok yang jauh dari koridor kekuasaan lama untuk bisa memeriahkan “pesta demokrasi” 5 tahunan ini. Tidak hanya itu, para politisi pun harus kembali menghidupkan kembali Soekarno, walaupun dalam bentuk yang vulgar dan kasar. Inilah mengapa dalam pilpres tahun ini, kedua calon menggunakan imej Soekarno. Tiba-tiba semua politisi kita menjadi Soekarnois.

Hasil pileg menunjukkan dengan jelas krisis perpolitikan Indonesia. Tidak ada satu pun partai yang dapat dikatakan keluar sebagai pemenang. Kalau pada pemilu 2009 tiga partai terbesar (Demokrat, Golkar dan PDI-P) meraup total 49%, maka pada 2014 tiga partai terbesar (PDI-P, Golkar, dan Gerindra) hanya meraup total 45% suara. Ini bahkan lebih parah daripada hasil 1999 (68%) dan 2004 (50%). Walaupun pemerintahan SBY dan Partai Demokrat sudah sangat tidak populer, tidak ada satu pun partai yang dapat menggunakan peluang ini untuk melejit menjadi pemenang besar. PDI-P mencoba menggunakan kartu As-nya, Jokowi, tetapi hasilnya tidak lebih baik daripada pemilu 2004 lalu.

Uletnya masalah koalisi pilpres dan pemilihan cawapres bagi kedua kandidat ini juga merupakan indikasi krisis di antara lapisan-lapisan kelas penguasa. Hanya sampai pada menit terakhir koalisi pilpres terbentuk dan cawapres ditentukan. Segala retorika populisme dan Soekarnois – kerakyatan ini kerakyatan itu, berdikari ini berdikari itu – akhirnya kandas ketika pilihan cawapres Jokowi dan Prabowo justru adalah mereka yang berperan sentral dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pro-modal and pro-asing rejim SBY 10 tahun terakhir: Jusuf Kalla yang adalah wakil presiden pemerintahan SBY yang pertama dan Hatta Rajasa, menteri ekonomi di pemerintahan SBY yang ke-2.

Bahkan koalisi pilpres yang terbentuk ini pecah segera setelah mereka terbentuk. Koalisi formal yang terbentuk tidak mencegah anggota-anggota partai untuk memberikan dukungannya pada kubu yang lain. Golkar de facto pecah, dengan sebagian besar kadernya menyebrang ke kubu Jokowi: dimulai dari mantan ketua umumnya sendiri Jusuf Kalla, dan menyebar ke hampir seluruh jajaran, Luhut Pandjaitan (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan), Fahmi Idris (DP Golkar), Gumiwang Kartasasmita, Andi Hartanto (Ketua Departemen Badan Pemenangan Pemilu), dan banyak lainnya.

Apa yang akan dilakukan oleh kepemimpinan Golkar terhadap kader-kadernya yang mbalelo? “Lebih baik diajak bicara,” tutur Ketua DPP Partai Priyo Budi Santoso. Dalam kata lain, tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka. Memecat para pembelot ini berarti mendorong partai ini ke dalam krisis internal yang tidak mereka inginkan. Melihat apa yang terjadi di PPP ketika para pemimpinnya bersikeras menerapkan disiplin partai, mereka dapat melihat apa yang akan terjadi kalau mereka mencoba melakukan hal yang sama.

Sedangkan partai-partai lain seperti Hanura di dalam internalnya sendiri telah berpisah arah. Meskipun secara resmi tubuh partai ini mendukung Jokowi-JK, namun pentolan utamanya, yakni Hary Tanoe, memilih berpisah dengan Wiranto dan mendukung Prabowo. Rachmawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem, menyebrang ke kubu Prabowo. Nasdem juga tidak bisa melakukan apa-apa, dengan dalih bahwa ini adalah sikap politik pribadi Rachmawati.

Perseteruan dan perpecahan di antara kelas penguasa ini bukanlah karena ada lapisan penguasa yang lebih “pro-rakyat” dan di sisi lain ada lapisan penguasa yang lebih “anti-rakyat”. Para perampok ini bertengkar di antara diri mereka sendiri mengenai bagaimana cara terbaik mengelola situasi politik dan ekonomi yang semakin sulit ini agar tidak meledak dan membahayakan seluruh sistem kapitalisme. Dalam kaitannya dengan pilpres, maka perdebatan di antara mereka adalah: Capres mana yang lebih baik dalam menebarkan ilusi pada sistem ini? Mana di antara mereka berdua yang lebih bisa menjalankan program-program kapitalis tanpa menyebabkan gejolak sosial berlebihan? Siapa yang lebih bisa membawa stabilitas untuk pasar, Jokowi atau Prabowo? Inilah kekhawatiran utama bersama di antara mereka.

Rejim Krisis

Stabilitas adalah mantra yang terus diulang-ulang oleh kelas penguasa, tetapi harapan ini akan cepat kandas. Seperti yang telah kita jabarkan di atas, situasi ekonomi dan politik yang ada hari ini – nasional dan internasional – tidak memungkinkan terciptanya kestabilan. Ini bukan berarti akan selalu ada gejolak setiap hari, atau kalau revolusi sudah dekat. Dalam beberapa waktu mungkin akan bisa ada semacam kestabilan, tetapi ini adalah kestabilan yang rapuh, yang dibangun di atas pasir.

Pemerintahan ke depan tidak hanya akan ditentukan oleh presiden yang terpilih, tetapi juga oleh hasil pileg yang telah menghasilkan sebuah parlemen yang lemah dan terpecah-pecah. Kalau SBY dan Partai Demokrat saja kesulitan mempertahankan koalisi parlemennya, apalagi pemerintahan ke depan yang akan mewarisi situasi ekonomi yang semakin sulit. Harapan besar yang digantungkan pada kedua capres ini oleh rakyat pekerja, bahwa mereka akan lebih kompeten daripada rejim sebelumnya dalam menyelesaikan berbagai permasalahan pelik bangsa ini, juga akan menjadi buah simalakama bagi rejim ini.

Pilpres tahun ini telah mengungkapkan banyak hal. Pasangan Jokowi-Kalla yang awalnya diprediksikan akan menang telak – dimana Jokowi pada sejumlah survei sebelum nominasinya sempat memimpin 30 poin di atas Prabowo – ternyata hanya mampu menang dengan selisih 6%. Bahkan SBY  menang telak dengan selisih 20% pada pemilu 2004 dan lagi dengan selisih 34% pada pemilu 2009. Euforia Jokowi ini – yang digembor-gemborkan secara artifisial di satu pihak oleh media dan di lain pihak oleh sejumlah “Kiri” – ternyata lebih dangkal daripada yang disangka. Kubu Jokowi berharap bisa terus mengendarai citra “ndeso”, jujur dan bersih ini sampai ke tampuk kekuasaan, tanpa secara serius mengedepankan program-program yang jelas dan tegas untuk mengatasi permasalahan rakyat pekerja. Tidak ada perbedaan fundamental antara program Jokowi dan Prabowo, yang kedua-duanya menggunakan retorika vulgar Soekarno. Majalah The Economist juga mengatakan dengan gamblang bahwa “Pada kenyataannya platform mereka [Jokowi dan Prabowo] tidaklah berbeda secara fundamental.” Kampanye hitam dan negatif yang gencar dilakukan oleh kubu Prabowo hanya bisa memiliki pengaruh karena program Jokowi yang abstrak dan kabur tidak bisa menangkap imajinasi rakyat pekerja. Walhasil, sampai pada menit terakhir, tidak jelas siapa yang akan memenangkan pilpres ini.

Di lain pihak, koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta segera menguap setelah jelas kalau Prabowo tidak akan masuk istana. Hatta menghilang entah kemana ketika Prabowo mengumumkan penolakannya terhadap hasil Pilpres. Mahfud MD, ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta, “diberhentikan”. PPP dan Golkar mengalami krisis internal setelah kekalahan Prabowo, dengan sebagian kadernya menuntut agar partai-partai ini keluar dari koalisi. Bapak dan anak pun menjadi berseberangan, ketika Hanafi Rais mengucapkan selamat kepada Jokowi sementara bapaknya Amien Rais bersikukuh menolak hasil pilpres. Demokrat dan SBY dengan cepat telah memberikan selamatnya kepada Jokowi.

Usaha Prabowo untuk menggugat hasil pilpres di MK menjadi lelucon yang tidak lucu ketika semua orang telah meninggalkannya. Prabowo layaknya seorang raja yang mengira ia sedang mengenakan pakaian kebesaran yang mewah, tetapi sebenarnya tidak ada sehelai benang pun di tubuhnya dan tidak ada lagi seorang pun di sekitarnya yang dapat memberitahunya.

Secara objektif, kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya kelas penguasa ada dalam posisi yang lemah. Mereka tidak tahu bagaimana mengakhiri krisis yang ada. Tetapi mereka tampak kokoh hanya karena faktor subjektif atau kepemimpinan kelas buruh yang absen. Hanya kelemahan gerakan Kiri – dan terutama kelemahan Marxisme di Indonesia – yang terus menopang kelas borjuasi yang sudah di ambang keambrukan ini. Dari waktu ke waktu kemandirian kelas buruh digadaikan oleh para pemimpin mereka untuk mendapatkan capaian-capaian jangka pendek, entah atas nama “realisme politik”, “pragmatisme”, atau “menghadang fasisme atau Orba dengan mendukung borjuasi yang lebih progresif”. Selalu ada 1001 alasan untuk tidak mempercayai kemandirian kelas buruh. Ini tidak hanya dilakukan oleh para pemimpin buruh yang reformis, tetapi juga oleh Kiri-kiri yang mengaku “Marxis”, “radikal”, dan “revolusioner”.

Setelah festival “demokrasi” ini bubar dan lampu-lampu neon yang membutakan mata dimatikan dan diturunkan, kaum buruh dengan cepat akan menyadari apa yang telah mereka beli. Pemerintahan yang akan datang akan menemukan dirinya kehabisan ruang untuk melakukan manuver. Tekanan besar dari krisis yang belum usai ini akan mendorong pemerintahan Jokowi untuk menyerang buruh dengan lebih ganas. Perjuangan kelas akan menajam kembali, dan kali ini di tingkatan yang lebih tinggi karena buruh akan sudah belajar dari pengalaman mereka untuk hanya mempercayai kekuatan mereka sendiri.

Akan tetapi tidak ada yang otomatis di dalam semua ini. Dibutuhkan faktor subjektif, yakni kaum revolusioner yang memahami gerak dialektis sejarah dan perjuangan kelas, yang tertempa dalam Marxisme revolusioner, dan yang tersatukan dengan rapat di dalam sebuah partai. Tanpa faktor subjektif ini, tanpa kepemimpinan revolusioner ini, maka kekuatan buruh yang meledak-ledak ini hanya akan menguap begitu saja. Partai adalah seperti piston mesin uap yang mengkonsentrasikan tenaga kelas buruh menjadi satu kekuatan yang dapat meruntuhkan seluruh bangunan kapitalisme dan membangun di atas reruntuhan ini sebuah masyarakat baru, sosialisme.

Penghalang kemajuan umat manusia hari ini adalah kapitalisme, atau lebih tepatnya: sistem ekonomi yang berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan dijalankan lewat mekanisme pasar “bebas”. Kapitalisme tidak hanya mencekik kemajuan umat manusia tetapi juga mengancam keberlangsungan dari seluruh peradaban kita. Selama kapitalisme tidak ditumbangkan secara sadar dan revolusioner, maka semakin kapitalisme akan menyeret seluruh umat manusia ke dalam barbarisme. Bahkan hari ini hampir setengah populasi bumi ini hidup di bawah kondisi yang barbar, yang tidak layak disebut “hidup” sama sekali. Merebut seluruh kekuatan ekonomi dari tangan kelas kapitalis, menjadikannya milik bersama  dan menjalankannya di bawah sistem ekonomi yang terencana secara demokratis masih merupakan tugas historis kelas buruh, satu-satunya kelas revolusioner yang bisa membuka jalan ke sosialisme.