facebooklogocolour

dump trump

Tahun ini kita memperingati 99 tahun Revolusi Oktober, sebuah peristiwa yang mengubah sejarah umat manusia, yang pengaruhnya masih terasa sampai hari ini. Dalam waktu dekat, menjelang 100 tahun Revolusi Oktober, kita akan mulai melihat bagaimana kelas penguasa akan meluncurkan kampanye hitam besar-besaran terhadap warisan Revolusi Oktober. Berbagai akademisi dan ahli politik akan menerbitkan buku-buku dan artikel-artikel mengomentari Revolusi Oktober, dari yang jelas-jelas mengutuknya dengan membabi buta seperti orang kesurupan, sampai yang berpura-pura bersimpati secara kritis terhadapnya tetapi sebenarnya ingin memelintir konten dan karakter revolusioner yang sesungguhnya terkandung dari Revolusi ini. Intinya, seperti yang ditulis oleh Marx: “Ada hantu berkeliaran di Eropa - hantu komunisme. Semua penguasa Eropa lama telah berhimpun ke dalam satu persekutuan suci untuk mengusir hantu ini.”

Mengapa tidak? Hari ini kapitalisme sedang memasuki krisisnya yang paling akut dalam sejarah, secara ekonomi, sosial, politik dan bahkan budaya. Titik baliknya adalah krisis finansial 2008, yang sudah dipersiapkan jauh hari oleh kontradiksi dasar kapitalisme itu sendiri, yakni kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Rakyat pekerja dimiskinkan karena terlalu banyak barang yang diproduksi, seperti yang dikatakan oleh Marx: “Masyarakat tiba-tiba mendapati dirinya terlempar kembali ke keadaan barbarisme sementara; kelaparan dan perang pembinasaan yang universal memotong suplai kebutuhan pokok; industri dan perdagangan seakan-akan dihancurkan, dan mengapa? Karena terlalu banyak peradaban, terlalu banyak bahan kebutuhan hidup, terlalu banyak industri, terlalu banyak perdagangan.”

Kapitalisme telah usang, jauh melampaui tanggal kadaluwarsanya, tetapi menolak untuk mati dengan tenang karena tidak ada kelas penguasa yang pernah akan melepaskan cengkeraman kekuasaannya dengan sukarela. Marx mengatakan bahwa sosialisme adalah keniscayaan, tetapi keniscayaan yang datang hanya dengan kehendak dan aksi sadar dari proletariat dan barisan pelopornya, yakni kaum Bolshevik.

Periode yang sedang kita masuki hari ini adalah periode penuh gejolak, yang mana karakter utamanya - yang relevan bagi kaum revolusioner - adalah penemuan kembali tradisi Bolshevisme dan Marxisme yang sejati oleh kelas buruh, terutama lapisan mudanya yang bebas dari beban-beban masa lalu.

A. Situasi Internasional

Kekacauan Besar dalam Pemilihan Presiden AS

Kemenangan Donald Trump sebagai Presiden AS merupakan satu kejutan besar bagi semua orang. Tetapi di periode yang penuh gejolak hari ini, seperti yang telah kita jelaskan di atas dan di dokumen perspektif politik kita selama beberapa tahun terakhir, kemenangan Trump adalah gejala dari keseluruhan krisis kapitalisme, dan Trump sebagai presiden AS bukanlah kejutan yang terakhir. Sebelum kita menjabarkan perspektif ke depan menyusul pemilihan presiden ini, ada baiknya kita menoleh ke belakang sedikit untuk memahami proses yang melatarbelakangi terpilihnya Trump. 

Selama 3 bulan terakhir,  dunia disajikan satu tontonan yang di satu sisi mengundang tawa tetapi di sisi lain juga membangkitkan rasa kekhawatiran yang besar, yakni kampanye pemilihan presiden AS antara Hillary Clinton dan Donald Trump. Ajang politik di negeri adidaya ini, yang hasilnya akan mempengaruhi nasib rakyat sedunia, membuat tidak sedikit orang terpingkal-pingkal menyaksikan kekonyolan dan absurditas dari keseluruhan proses “demokratis” ini. Demokrasi dari negeri kapitalis terkuat tidak bedanya dengan sirkus. Tetapi pada saat yang sama rakyat pekerja - dan juga kelas penguasa - tidak bisa tidak merasa khawatir, tentunya untuk alasan yang berbeda yang akan kita kupas di bawah.

Kita hanya bisa memahami apa yang tampak seperti kegilaan dari pemilihan presiden di AS tahun ini kalau kita memahami situasi objektif yang membayanginya, yakni krisis kapitalisme global yang paling dalam. Dan krisis ini hanya bisa mengekspresikan dirinya dalam bentuk yang paling ekstrem di pusat kapitalisme dunia hari ini, yakni Amerika Serikat. Sepanjang yang bisa diingat oleh kelas buruh AS, ada dua partai borjuasi yang mendominasi medan politik: Partai Demokrat dan Partai Republiken. Kedua sayap borjuasi ini bergiliran memegang tampuk kekuasaan untuk posisi eksekutif (Presiden) dan dua kamar legislatif yang ada, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Walau di permukaan kedua partai ini tampak seperti rival yang tak terdamaikan, ada satu perjanjian keramat yang tidak akan pernah mereka langgar: kepemilikan pribadi kelas kapitalis atas alat-alat produksi dan sistem penindasan yang menyertainya.

Partai Republiken menghimpun di barisannya lapisan kelas penguasa yang lebih kasar dan bebal, yang lebih vulgar dalam menindas rakyat pekerja dan umumnya memegang erat-erat prinsip pasar bebas yang sebebas-bebasnya. Sementara di dalam Partai Demokrat terhimpun kelas penguasa yang lebih pintar dan sopan, yang menindas rakyat pekerja dengan senyum hangat nan ramah, dan umumnya memegang prinsip negara kesejahteraan. Partai Demokrat kerap berperan sebagai katup pengaman, menjanjikan reforma dari atas guna meredam revolusi dari bawah. Sistem dua partai ini telah lama mendominasi arena politik AS, tetapi di bawah hantaman krisis sistem ini mulai retak. Ekspresi dari retaknya sistem dua partai ini adalah Bernie Sanders dan Donald Trump.

Sepanjang karier politiknya, Bernie Sanders adalah seorang politisi independen dan seorang reformis kiri yang tipikal. Pada pemilihan presiden kali ini dia bergabung ke Partai Demokrat untuk maju sebagai salah satu calon Presiden dari Demokrat. Sontak rakyat pekerja AS melemparkan dukungannya ke Bernie karena dia dilihat sebagai seorang dari luar koridor kekuasaan dan bukan bagian dari tatanan Partai Demokrat. Tidak hanya itu, Bernie berbicara mengenai sosialisme, mengenai “Political Revolution against the Billionaire class” (Revolusi Politik Melawan Kelas Miliarder), mengenai sistem yang curang ini, yang menjerumuskan jutaan rakyat ke jurang kemiskinan sementara segelintir orang hidup bergelimang emas di atasnya. Dia mendorong program pendidikan gratis, upah minimum $15, pelayanan kesehatan gratis, dan program-program sosial lainnya. Kaum buruh AS, terutama lapisan mudanya, menyambut Bernie dengan antusiasme yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Jutaan orang mengantre untuk menghadiri rally Bernie Sanders. Kampanyenya berhasil menggalang dana sebesar 200 juta dolar dari 2,1 juta donor; yang berarti donornya adalah mayoritas rakyat jelata, dengan donasi rata-rata 100 dolar (sekitar 2 hari gaji bagi rata-rata buruh). 40% donornya berumur antara 18-39, yang lagi mengindikasikan partisipasi besar kaum muda.

Kelas penguasa begitu ketakutan dengan Bernie dan mobilisasi massa di belakangnya. Mereka segera melempar dukungan mereka ke calon favorit mereka, yakni Hillary Clinton, dan seluruh tuas politik digerakkan untuk mendongkrak Clinton. Pada akhirnya Bernie Sander kalah, dan bahkan mengkhianati gerakan yang sebelumnya dia pimpin dengan memberi dukungannya pada Hillary Clinton. Tetapi terlepas dari kekalahan kampanye Bernie Sanders, yang perlu kita pahami adalah bagaimana medan politik di AS telah berubah drastis. Bernie adalah personifikasi dari radikalisasi politik yang sedang terjadi di AS, terutama di antara kaum muda. Mereka mungkin belum tahu secara jelas apa yang mereka inginkan, tetapi mereka tahu apa yang tidak ingin mereka inginkan: dominasi sistem dua partai borjuasi di AS dan semakin melebarnya jurang antara yang kaya dan miskin.

Di kutub yang berbeda kita saksikan munculnya Donald Trump, yang dilihat sebagai kandidat alternatif oleh banyak rakyat pekerja pendukung Partai Republiken. Trump merepresentasikan mood yang sama, yakni kebencian rakyat pekerja terhadap elit politik dan kemunafikan mereka. Seluruh pemimpin dan birokrasi Partai Republiken menggunakan segala macam manuver untuk memastikan agar Trump tidak terpilih menjadi kandidat Presiden dari Republiken, karena kelas penguasa tahu bahwa Trump adalah kuda liar yang akan sulit mereka kendalikan. Terlebih lagi mereka tidak ingin seorang Presiden seperti Trump yang dengan kevulgarannya bisa-bisa memprovokasi perjuangan kelas dan membuat situasi yang sudah bergejolak ini semakin parah. Tetapi calon-calon lain yang diajukan oleh kelas penguasa Republiken (seperti Ted Cruz, Marco Rubio, Jeb Bush, dan John Kasich) sama sekali tidak meyakinkan kepercayaan basis pendukung Republiken. Semakin keras para politisi serta media mencoba menyingkirkan Trump, semakin massa Republiken mendukung Trump dan melihatnya sebagai calon alternatif. Kelas penguasa telah kehilangan kendali atas partai kesayangan mereka.

Donald Trump sendiri adalah seorang kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan dirinya sendiri. Dengan sembarangan dia membeberkan semua kebobrokan sistem ini, yang dia tahu persis karena dia sendiri mengenal secara pribadi banyak elit politik yang busuk. Ketika dia dituduh tidak membayar pajak, dia mengelak dengan mengatakan: “Kalianlah para politisi korup yang menulis peraturan pajak ini untuk kawan-kawan dan donatur kalian.”   

Fenomena Bernie Sanders dan Donald Trump adalah refleksi dari krisis yang sama, tetapi dari dua kutub yang berbeda. Hanya kevakuman politik dan absennya partai politik kelas buruh yang memungkinkan ekses-ekses seperti Donald Trump, yang memungkinkan seorang demagog Kanan seperti Trump muncul untuk mengisinya. Alih-alih terdemoralisasi, seperti kebanyakan kaum Kiri yang karena takut pada Trump lalu mendukung Clinton, kaum Marxis revolusioner harus melihat dari keseluruhan situasi ini sebuah peluang besar untuk membangun organisasi revolusioner, karena di bawah permukaan adalah arus radikalisasi di antara kaum muda yang bisa dijaring. Politik kolaborasi kelas yang kerap diusung oleh para pemimpin serikat buruh dan Kiri-kiri Liberal AS adalah halangan terbesar bagi berkembangnya kesadaran kelas buruh, dan kaum revolusioner harus gigih dalam memeranginya.

Hasil pemilihan presiden kemarin sekali lagi menunjukkan kebangkrutan dari politik “terbaik dari yang terburuk” (lesser evil). Seluruh kelas penguasa dan medianya telah mencurahkan semua kekuatan mereka untuk memenangkan Hillary, tetapi semua rencana mereka kandas. Bukan Trump yang menang tetapi Clinton yang kalah, dan penyebab kekalahan Clinton adalah kemuakan dari mayoritas rakyat pekerja akan tatanan yang ada. Clinton dilihat sebagai perwakilan dari semua yang salah dari sistem yang ada.

Adalah kekeliruan besar untuk mengatakan bahwa kemenangan Trump adalah kemenangan reaksi, kemenangan rasisme atau xenophobia. Yang menang adalah kemuakan rakyat terhadap sistem yang ada, walaupun mengambil bentuk yang terdistorsi dan tersalurkan lewat Trump dan populisme kanannya. Karena kebangkrutan dari Kiri dan kepemimpinan gerakan buruh di AS, yang terus menerus mendukung Demokrat sebagai terbaik yang terburuk, tidak ada alternatif yang dibangun untuk menjadi kendaraan politik dari kemarahan tersebut. Ada satu peluang, yakni gerakan Bernie Sanders. Tetapi Bernie – sebagai pengejawantahan dari kebangkrutan Kiri secara umum di AS – menolak memberi kepemimpinan yang tegas dan konsisten, dan justru terpuruk lagi ke politik praktis dengan mendukung Hillary.

Cukup instruktif untuk membaca statemen Bernie menyusul kemenangan Trump, yang hanya menekankan sekali lagi kebingungan kaum Kiri umumnya:

“Donald Trump tapped into the anger of a declining middle class that is sick and tired of establishment economics, establishment politics and the establishment media.” (Donald Trump menyalurkan kemarahan dari kelas menengah yang terus terpuruk, yang muak dan letih dengan ekonomi establishment, politik establishment dan media establishment.”)

Bila memang demikian, mengapa kamu memberikan dukungan pada kandidat establishment dan dengan demikian membuka jalan bagi kemenangan Trump?

“To the degree that Mr. Trump is serious about pursuing policies that improve the lives of working families in this country, I and other progressives are prepared to work with him.” (“Selama Tn. Trump serius menjalankan kebijakan untuk memperbaiki kehidupan keluarga pekerja di negeri ini, saya dan kaum progresif lainnya siap bekerja dengannya.”)

Tetapi jelas kalau Trump tidak akan melayani kepentingan kaum buruh, karena walaupun dia tidak dijagokan oleh kaum kapitalis umumnya logika dari keseluruhan sistem kapitalis akan mendikte kebijakannya untuk mempertahankan kepentingan kelas kapitalis. Hanya saja dia akan melakukannya dengan cara yang tidak sepenuhnya disetujui oleh mayoritas kelas penguasa. Oleh karenanya tidak ada alasan sama sekali untuk berbicara mengenai “siap bekerja dengannya”.

Kaum Kiri liberal pendukung Hillary, dan bahkan tidak sedikit yang mengaku anti-kapitalis seperti Noam Chomsky, akan mencoba menyalahkan kebodohan dan kedunguan dari kaum buruh kulit putih. Mereka akan berteriak “fasisme telah tiba, fasisme telah tiba”, namun menolak untuk meluncurkan perjuangan massa yang tajam melawan kapitalisme, yang merupakan sumber dari semua kebusukan yang kita saksikan. Pada dasarnya mereka telah menyerah, tidak lagi percaya pada kekuatan massa dan masa depan sosialisme. Tetapi tidak demikian dengan generasi muda, yang setelah mendengar kabar kemenangan Trump segera turun ke jalan dalam jumlah ribuan di berbagai kota. Merekalah generasi pejuang yang baru, yang tidak terbebani oleh kebingungan dan demoralisasi dari generasi sebelumnya.  Merekalah yang akan menjadi batalion segar untuk menghantam kapitalisme di masa depan. Tugas kaum revolusioner adalah meraih telinga mereka dan memenangkan mereka ke gagasan Marxisme, serta menghimpun mereka ke dalam partai Bolshevik.

Rejim Trump tidak akan mungkin bisa menyelesaikan kontradiksi fundamental dari krisis kapitalisme yang ada. Trump telah menjanjikan era kemakmuran yang baru bagi kaum buruh yang mendukungnya, tetapi dia akan menemukan bahwa mustahil untuk memenuhi janji ini di bawah sistem kapitalisme. Ilusi dari jutaan buruh yang mendukungnya akan segera pupus, dan benturan-benturan tajam yang baru sedang dipersiapkan.

Brexit dan Uni Eropa

Sementara di Eropa hasil referendum Inggris (Brexit) telah mengguncang fondasi Uni Eropa. Masa depan UE sekarang dipenuhi ketidakpastian. Lenin mengatakan bahwa krisis kapitalisme ditandai pertama-tama oleh perpecahan di pucuk kepemimpinan borjuasi, dan hari ini dimana-mana kita saksikan ini. Kelas penguasa bertengkar di antara diri mereka sendiri mengenai bagaimana caranya menanggulangi krisis kapitalisme dan menyelamatkan keseluruhan sistem kapitalisme dari amuk massa dan revolusi. Sementara ada juga lapisan kelas penguasa yang berpikiran sempit dan hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri yang sempit, alih-alih kepentingan keseluruhan kelas kapitalis. Referendum Inggris untuk tetap atau keluar dari UE adalah ekspresi dari keretakan di antara para penguasa, antara yang percaya bahwa kepentingan mereka akan terjaga kalau tetap di UE dan yang percaya bahwa pilihan terbaik untuk keselamatan kapitalisme Inggris adalah keluar dari UE.

Secara umum mayoritas kelas penguasa menginginkan agar Inggris tetap di UE. Dari Barack Obama hingga Angela Merkel, mayoritas politisi dunia berkampanye mendukung UE. Argumen mereka: di dalam Uni Eropa rakyat pekerja Inggris akan lebih makmur. Tetapi kenyataannya tidak demikian seperti yang dirasakan secara langsung oleh kaum buruh. Puluhan tahun berada di dalam Uni Eropa mereka mendapati diri mereka semakin miskin dan kehidupan mereka semakin tidak pasti. Usaha untuk menakut-nakuti kaum buruh dengan konsekuensi ekonomi yang buruk kalau mereka memilih keluar dari UE tidak mempan, karena pikir kebanyakan buruh: “Hidup saya sudah begitu sulit, bisa sesulit apa lagi kalau keluar dari UE?”

Di sisi lain, lapisan kelas penguasa yang reaksioner dan rasis, seperti Nigel Farage dari UKIP, mencoba menggunakan situasi ini untuk mendorong agenda mereka sendiri. Dengan demagogi rasis mereka berkampanye kalau Inggris akan aman dari serbuan imigran dari Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur kalau mereka keluar dari UE.

Yang juga sama menggelikan adalah tindak tanduk dari para pemimpin gerakan buruh Inggris, yang begitu tergesa-gesa menjilat bokong kelas penguasa dengan mendukung Uni Eropa. Tidak mampu lagi membayangkan masa depan sosialisme para pemimpin ini menerima nasib mereka di bawah Uni Eropa yang kapitalis, yang coba mereka haluskan dengan nama “Eropa Sosial”. Posisi kaum Marxis revolusioner berkaitan dengan referendum Brexit kemarin adalah menolak kedua kamp “Tetap” dan “Keluar”, dan menjelaskan dengan sabar kepada rakyat pekerja yang terpecah ke dalam kedua kubu ini bahwa solusi untuk masalah yang mereka hadapi tidak akan bisa ditemui di luar atau di dalam Uni Eropa selama ini masih dalam basis kapitalisme.

Hasil referendum Brexit tidak diduga oleh kelas penguasa. Mereka dikejutkan ketika rakyat memilih keluar dari Uni Eropa. Tidak seperti yang diteriakkan oleh kaum liberal bahwa Brexit adalah kemenangan reaksi (rasisme dan xenophobia), ada mood progresif menentang establishment atau status quo ketika rakyat memilih keluar dari Uni Eropa. Tetapi mood progresif ini tidak mendapatkan saluran politik yang tepat dan dikaburi oleh sentimen nasionalis sempit dan rasisme yang sengaja disebar oleh politisi reaksioner seperti Boris Johnson dan Nigel Farage, pemimpin kubu “Keluar”. Namun sebenarnya sentimen rasisme dan anti-imigran sejak lama sudah ditabur oleh para politisi partai Konservatif (yang mayoritas ada di kubu “Tetap”) dan media mereka, dan sungguh munafik ketika sekarang untuk membela Uni Eropa mereka menyalahkan rasisme dan xenophobia kaum buruh. Ketika rakyat pekerja selalu hidup dalam kekurangan dan kemiskinan, moralitas kapitalisme (persaingan bebas, saling injak dan saling sikut untuk bisa naik ke atas) niscaya membuat subur prasangka SARA di antara rakyat pekerja.

Kaum muda kembali lagi menunjukkan elan revolusioner mereka ketika mereka secara spontan turun ke jalan untuk menyuarakan oposisi mereka terhadap racun rasisme dan sentimen anti-imigran dari Brexit. Ini seperti ketika Partai Konservatif menang pemilu tahun lalu (Mei 2015), dimana puluhan ribu kaum muda spontan turun ke jalan untuk menyuarakan oposisi mereka pada Partai Konservatif; dan juga baru-baru ini selepas kemenangan Trump. Di pundak kaum muda inilah masa depan sosialisme akan kita temui.

Revitalisasi Partai Buruh dan Jeremy Corbyn

Partai Buruh Inggris selama 20 puluh tahun terakhir didominasi oleh sayap kanan borjuis (kaum Blairite). Kaum borjuasi pikir mereka telah menghancurkan Partai Buruh Inggris, yang merupakan organisasi politik tradisional dari kelas buruh Inggris. Tidak sedikit kaum Kiri di Inggris yang juga mengira bahwa Partai Buruh sudah menjadi partai borjuis. Tetapi kemenangan Jeremy Corbyn sebagai pemimpin Partai Buruh dan mobilisasi massa yang ada di belakangnya mengubah segalanya.

Sekarang kelas penguasa Inggris panik, karena kelas buruh mulai bergerak untuk mengklaim kembali partai politik mereka. Para politisi kanan Partai Buruh yang selama puluhan tahun mendominasi juga panik, takut, dan geram. Terbentuk persekutuan haram Partai Konservatif, kaum Blairite, dan media mainstream kapitalis untuk menjegal Jeremy Corbyn. Segala macam manuver diluncurkan untuk menghancurkan Corbyn dan massa yang ada di belakangnya. Tetapi semakin keras mereka berusaha menyingkirkan Corbyn, semakin besar dukungan kaum buruh untuk Corbyn.

Kami adalah satu-satunya yang memahami apa yang tengah berlangsung dalam Partai Buruh. Kita tidak terkejut ketika massa buruh dan kaum muda berbondong-bondong dalam jumlah ratusan ribu memasuki kembali Partai Buruh. Krisis kapitalisme cepat atau lambat akan menghancurkan kerak-kerak yang telah lama mengekang organisasi-organisasi massa buruh (dari partai buruh hingga serikat buruh). Tidak ada satupun relasi lama yang akan bertahan di bawah hantaman keras krisis sosial, politik, dan ekonomi hari ini. Tidak hanya Partai Buruh Inggris, tetapi juga organisasi-organisasi buruh lainnya di seluruh dunia mengalami krisis internal. Massa terus mencari jalan keluar dari krisis ini melalui organisasi massa mereka, tetapi para pemimpin reformis (Kiri dan Kanan) terus merintangi mereka. Cepat atau lambat akan terjadi ledakan atau perubahan kualitatif. Partai-partai massa buruh ini entah akan hancur berkeping-keping dan ditinggalkan oleh kaum buruh (seperti di Spanyol dengan PSOE dan di Yunani dengan PASOK), atau bertransformasi menjadi alat juang kelas buruh seperti yang tengah berlangsung di Partai Buruh Inggris.

Kaum sektarian tidak pernah memahami perkembangan kesadaran massa. Mereka hanya bisa mengulang-ulang: “Kita membutuhkan partai revolusioner yang mandiri”, dan dengan dogma ini mereka secara prinsipil menolak untuk melakukan kerja di dalam organisasi massa, dan terus berusaha membangun partai massa mereka. Masalahnya massa buruh masih memiliki ilusi pada organisasi massa tradisional mereka. Kita harus memulai dari mana kesadaran kelas buruh berada, bukan dari apa yang ada di skema pikiran kita sendiri.

Jeremy Corbyn sendiri adalah seorang reformis Kiri, dan program-programnya sangatlah terbatas. Tetapi ia merepresentasikan sebuah gerakan massa yang ingin kembali merebut kendali Partai Buruh dari kaum Blairite. Kaum revolusioner akan mendukung dan terlibat aktif dalam gerakan ini, membela Corbyn dari serangan-serangan yang diluncurkan oleh kaum kapitalis, dan sembari mengkritik keterbatasan dari program politik Corbyn. Tujuannya adalah memenangkan lapisan termaju, terutama kaum muda, yang terradikalisasi oleh gerakan Corbyn ini.

Proteksionisme dan Globalisasi

Secara umum ada dua tendensi ekonomi kapitalis hari ini yang saling berbenturan: tendensi proteksionisme dan tendensi globalisasi. Globalisasi adalah motor pendorong utama ekonomi kapitalis. Perluasan pasar dan penyebaran kapital ke seluruh dunia adalah prasyarat bagi kemajuan kapitalisme. Tetapi pada saat yang sama, globalisasi menyiapkan krisis kapitalisme yang semakin besar dan dalam di hari depan. Ia mempertajam krisis overproduksi dan membuatnya global, sehingga tidak bisa diisolasi dan akan terus menyebar seperti epidemik penyakit menular. Inilah yang sedang kita saksikan hari ini: krisis finansial 2008 yang tak kunjung selesai dan terus menyebar dari satu negeri ke negeri yang lain. Baru beberapa tahun yang lalu para ekonom memuja-muji negeri-negeri BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) sebagai negeri yang imun dari krisis dan akan menyelamatkan perekonomian dunia. Hari ini sudah tidak ada lagi yang berbicara mengenai BRICS, karena mereka semua tengah mengalami keterpurukan atau kemunduran.

Di tengah krisis seperti ini tendensi proteksionisme menguat. Tiap-tiap kapitalis nasional ingin menyelamatkan diri mereka sendiri dengan kebijakan proteksionis. Dengan kebijakan proteksionis, mereka berharap bahwa ini akan melindungi industri dan perekonomian dalam negeri mereka. Tetapi bila semua negeri melakukan ini – atau setidaknya negeri-negeri kapitalis utama - maka ini akan memangkas perdagangan dunia, dan dengan demikian memperparah krisis. Inilah mengapa para politisi dan ekonom umumnya memperingatkan bahaya proteksionisme. Di setiap pertemuan dan konferensi mereka lagi dan lagi sampai mulut mereka berbusa menekankan pentingnya menjaga perdagangan bebas. Namun walau di luar mereka mengecam proteksionisme, di belakang mereka melakukan manuver-manuver diplomasi perdagangan untuk menjaga dominasi industri dalam negeri mereka sendiri.

Negeri-negeri kapitalis yang mendominasi tentu saja ingin menjaga globalisasi dan perdagangan bebas, karena dengan kekuatan ekonomi mereka yang besar merekalah yang mendapat keuntungan besar dari perdagangan bebas. Jerman adalah negeri penerima keuntungan terbesar dari Uni Eropa misalnya, sementara negeri-negeri kelas dua seperti Yunani dan Spanyol hanya mendapat ampas saja. Inilah mengapa Jerman adalah negeri yang paling mendukung nilai-nilai perdagangan bebas Uni Eropa. Begitu juga AS, yang selalu mendorong perdagangan bebas dan bahkan dalam banyak kesempatan memaksakan perdagangan bebas dengan kekuatan militer dan dominasi ekonominya. Negeri yang besar memaksa negeri yang kecil untuk membuka pasar mereka atas nama “pasar bebas”.

Tetapi ketika industri besi baja AS dan UE terancam oleh China – yang hari ini memproduksi lebih dari 50% total produksi besi baja – mereka segera menerapkan bea impor yang besar, yang tidak lain adalah kebijakan proteksionis. Di bawah kapitalisme, kebebasan (entah itu dalam perdagangan atau politik) tidak lain adalah kebebasan untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dengan cara apapun.

Brexit, kemenangan Trump – yang mendorong program proteksionis dengan slogan “America First” (“Amerika yang Pertama”), dan munculnya berbagai kekuatan politik reaksioner anti Uni Eropa (anti imigran dan anti asing) adalah ekspresi dari menguatnya tendensi proteksionis pada masa krisis hari ini. Lapisan kapitalis pendukung proteksionisme menggalang dukungan massa rakyat dengan retorika bahwa globalisasi telah menghancurkan kesejahteraan buruh (ini benar dan massa rakyat meresponsnya secara positif) dan kebijakan proteksionis akan menyelamatkan mereka. Yang belakangan adalah keliru, yang akan kita kupas di bawah. Selain itu, para politisi proteksionis macam Marine Le Pen dari Prancis dan Trump juga menggunakan demagogi-demagogi reaksioner (rasisme, anti-imigran, anti-Islam, dsb.) untuk memobilisasi lapisan buruh yang paling terbelakang sebagai batalion mereka.

Apakah proteksionisme jalan keluar bagi rakyat buruh? Jawabannya adalah tidak, karena proteksionisme pada kenyataannya adalah usaha kapitalis untuk mengekspor pengangguran ke negeri lain. Proteksionisme tidak mengubah relasi eksploitasi antara majikan dan buruh, tetapi justru akan membenturkan buruh dari satu negeri dengan negeri yang lain, memecah belah buruh sedunia, dan mengembangbiakkan racun nasionalisme di antara mereka. Dan bahkan dari sudut pandang ekonomi kapitalis proteksionisme akan mendorong perekonomian seluruh dunia ke jurang krisis yang lebih dalam. Tetapi bagi selapisan kapitalis, mereka hanya memikirkan kepentingan sempit diri mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan kelas mereka secara keseluruhan.

Di sini kita melihat bahwa kelas kapitalis bukanlah satu blok kelas yang homogen. Mereka disatukan oleh kepentingan mereka untuk menindas buruh, tetapi tidak berarti mereka akan selalu seiya sekata dalam semua hal. Terutama ketika krisis kapitalisme menghantam, mereka akan terpecah karena tidak bisa setuju bagaimana cara terbaik untuk keluar dari krisis. Sementara akan ada selapisan kapitalis yang hanya memikirkan kepentingan sempit mereka sendiri.

Bagi kelas buruh tidak ada jalan keluar sama sekali selama mereka berada di bawah sistem kapitalisme, entah dengan kebijakan globalisasi atau proteksionis. Pesan inilah yang harus kita terus kumandangkan, tentunya dengan sabar, telaten, dan cerdik. Kita harus menggunakan program transisional sebagai alat untuk menjembatani kesadaran buruh yang ada hari ini ke tugas historis mereka untuk menumbangkan kapitalisme.

B. Situasi Nasional

Perekonomian yang merangkak

Dua tahun setelah disumpah sebagai Presiden, Jokowi dan pemerintahannya gagal memenuhi harapan dari rakyat pekerja yang mendorongnya ke tampuk kekuasaan. Rakyat awalnya mengelu-elukan Jokowi karena melihatnya sebagai alternatif dari elit-elit politik busuk yang ada, tetapi sekarang mulai meragukan kinerja dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi sehari-hari.

Walau angka pengangguran terbuka resmi menurun dari tahun lalu, dari 7,45 juta sekarang 7,02 juta[1], dan pemerintah kerap menggunakan angka ini untuk menunjukkan kinerja mereka, ini tidak memberikan gambaran sepenuhnya dari kondisi yang dihadapi rakyat pekerja luas. Jumlah pekerja sektor informal di Indonesia mencapai hampir 60%, dan pekerja informal kerap menerima upah jauh di bawah upah minimum, kondisi kerjanya buruk dan rentan, dan tanpa perlindungan. Ini bukan berarti buruh sektor formal kondisinya jauh lebih baik. Dari studi ILO, ketetapan Upah Minimum efektif hanya berlaku bagi 7% dari buruh sektor formal, yakni sekitar 2,7 juta buruh. Selebihnya bekerja tanpa Perjanjian Kerja Bersama dan dalam kondisi yang sama rentannya dengan sektor informal.

PP78 yang berhasil diloloskan oleh rejim Jokowi juga akan mematok kenaikan upah minimum tahun 2017 sebesar 8,25 persen, jauh dari apa yang dituntut oleh buruh untuk bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Ini telah mendorong puluhan ribu buruh turun ke jalan selama beberapa bulan terakhir menuntut dihapusnya PP78, kenaikan upah sebesar 650 ribu, penghapusan sistem kerja outsourcing, dan penolakan tax amnesti untuk pemilik modal.

Tidak hanya rakyat pekerja saja yang kecewa dengan kinerja Jokowi, tetapi juga kaum kapitalis. Ini tidak berarti kelas buruh dan kelas kapitalis punya kepentingan yang sama. Sebaliknya kekecewaan kapitalis terhadap rejim Jokowi datang dari sudut yang sepenuhnya berbeda. Mereka menuntut agar rejim Jokowi bekerja lebih keras dan tegas untuk bisa memastikan iklim ekonomi yang baik demi peningkatan laba mereka. Berbagai paket ekonomi yang ditelurkan oleh rejim ini dianggap kurang dalam. Misalnya janji Jokowi untuk membuka pintu investasi asing ke Indonesia hanya membuahkan hasil yang kecil; selama dua tahun terakhir investasi asing langsung hanya meningkat 4,5 persen. Janji kampanye untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi 7% meleset jauh, dan pertumbuhan ekonomi bahkan tidak bisa mencapai 5%. Janji Jokowi untuk membangun infrastruktur besar-besaran – yang tujuannya untuk menggenjot ekonomi karena ini berarti bisnis besar bagi perusahaan konstruksi dan juga untuk meningkatkan efisiensi bagi produksi kapitalis – berjalan terlalu lambat. Bahkan tahun ini karena pendapatan pajak yang jauh di bawah target Sri Mulyani harus memotong anggaran belanja sebesar 130 triliun rupiah.[2]

Para pengamat politik dan ekonomi, seperti Kevin O’Rourke, seorang analis kebijakan dan editor majalah Reformasi Weekly, mengeluh: “It’s puzzling why it’s taken so long for him to put things in motion. He’s got great instincts and principles with regards to economic policy making, but he isn’t pursuing them energetically enough, aggressively enough, or deeply enough.” (“Mengherankan bagaimana begitu lambat sekali Jokowi mengimplementasikan kebijakannya. Dia punya insting dan prinsip yang hebat dalam hal membuat kebijakan, tetapi dia tidak mendorong kebijakan ini  sekuat, seagresif, dan sedalam yang diperlukan.”)

Namun di sini letak kekeliruan dari tuan dan nyonya pengamat kita. Ketidakmampuan Jokowi dan kabinetnya untuk memperbaiki situasi ekonomi Indonesia bukan berakar dari kompetensi administratif atau karakter mereka – walaupun tidak ada satupun kualitas ini yang boleh dibilang baik sama sekali. Akar dari kebuntuan ekonomi Indonesia adalah sistem kapitalisme yang telah jenuh secara global. Permintaan komoditas dari Tiongkok yang terus menurun – seiring dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok – berimbas buruk pada kinerja ekonomi Indonesia yang bersandar pada ekspor komoditas. Sementara kapitalis umumnya enggan melakukan investasi karena krisis overproduksi. Ketika kapitalis sudah kesulitan untuk menjual barang produksinya, investasi untuk membangun kapasitas produksi yang baru adalah hal terakhir yang ada di pikiran mereka.

Segala usaha yang dilakukan pemerintah untuk mendorong investasi – dengan program stimulus dan menurunkan suku bunga – tidak efektif. Bahkan pemerintahan AS mulai memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga pada Desember ini, yang akan memangkas aliran kapital ke negeri-negeri berkembang, termasuk Indonesia. Oleh karenanya tidak heran kalau kendati semua usaha dari Jokowi untuk menjual Indonesia ke luar negeri tingkat pemasukan investasi asing hanya meningkat sedikit. Sementara melambatnya perekonomian juga otomatis berimbas pada pemasukan pajak, yang mendorong Jokowi untuk memangkas anggaran belanja. Ini pada gilirannya menggerus pertumbuhan ekonomi tahun ini, yang diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani akan menggerus pertumbuhan sebesar 0,1 persen dari target.[3]

Harapan awal pemerintahan Jokowi untuk bersandar pada belanja negara sebagai motor penggerak ekonomi kandas. APBN 2017 dinilai oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak akan mampu mendorong pembangunan ekonomi menjadi lebih akseleratif. [4] Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang baru dilantik oleh Jokowi Juli lalu untuk menggenjot ekonomi, terpaksa mengakui bahwa pertumbuhan kuartal III kemungkinan akan melambat[5] dan ini terbukti ketika BPS mengeluarkan angka terakhir: pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2016 sebesar 5,02 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya, 5,18 persen. “Ekonomi global menjadi salah satu risiko yang membuat pelemahan di beberapa sektor ekonomi kita,” ungkap Sri Mulyani. Seperti yang telah kita katakan jauh-jauh hari bahwa perlambatan ekonomi global akan menyeret Indonesia, seperti halnya ia telah menyeret negeri BRICS yang belum lama yang lalu dielu-elukan sebagai penyelamat ekonomi dunia.

Krisis Politik di antara Kelas Penguasa

Kesulitan ekonomi yang menolak pergi ini adalah salah satu alasan utama di balik tiga kali reshuffule kabinet Jokowi dalam 2 tahun terakhir. Selain itu Jokowi juga merombak kabinetnya untuk kompromi politik, guna mendapatkan dukungan legislatif dari partai-partai yang sebelumnya ada di Koalisi Merah Putih. Satu kursi diberikan ke Golkar, dan satu lagi ke PAN, sebagai imbalan atas dukungan mereka. Semua pembicaraan mengenai kabinet teknokratik non-partisan sudah tak terdengar lagi karena berbenturan dengan realitas politik yang penuh dengan kompromi kepentingan.

KMP sendiri secara de jure dinyatakan mati pada Februari tahun ini oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani. “Sekarang hampir setahun setengah satu per satu 'merotol' karena itu, secara de facto KMP sudah bubar,” ujar Ahmad Muzani.[6] Jauh hari kami telah mengatakan bahwa KMP de fakto telah menguap dengan meledaknya krisis internal di partai-partai kubu KMP (PPP, Golkar dan PAN) usai kekalahan Prabowo (Dokumen Perspektif Nasional, 25 September 2014). Tinggal menunggu waktu saja bagaimana partai-partai ini mengubah orientasi mereka.

Sementara dua partai utama dari era Orde Baru, Golkar dan PPP, mengalami krisis internal berkepanjangan selama dua tahun terakhir usai kekalahan Koalisi Merah Putih dalam memenangkan Prabowo. Walau kedua faksi dalam tubuh Golkar baru saja rujuk, tetapi kestabilan dalam partai ini hanya akan bersifat temporer. Masalah Pilkada DKI sudah mulai menciptakan gesekan di dalam partai. Sementara PPP yang sudah pecah menjadi dua faksi usai pemilihan presiden kemarin pecah lagi menjadi tiga dengan datangnya Pilkada DKI, dengan tiga kubu mendukung 3 pasangan yang berbeda.[7] Kelas penguasa terpecah-pecah, yang di satu sisi merefleksikan situasi penuh gejolak di dalam masyarakat dan di sisi lain kepicikan dari para politisi borjuasi yang hanya memikirkan kepentingan sempit sendiri-sendiri. Untuk sementara Jokowi masih berhasil menjaga agar gesekan-gesekan yang ada tidak meluas menjadi api liar. Tetapi dunia dimana-mana dipenuhi dengan daun-daun kering yang mudah terbakar.

Sementara gerakan buruh masih mencoba pulih dari pukulan yang ia derita tahun lalu dengan lolosnya PP78.  Akan butuh waktu bagi kaum buruh untuk mendapatkan orientasi mereka kembali, belajar dari pengalaman beberapa tahun terakhir, dan kembali meluncurkan ofensif. Dan waktu ini bisa jadi lebih pendek dari yang kita perkirakan, karena situasi objektif yang ada tidak memberi banyak ruang yang nyaman bagi kaum buruh untuk duduk menunduk dan berkeluh kesah.

Pada pilkada yang mendatang, selain Obon Tabroni di Bekasi tidak ada satupun kandidat signifikan yang bisa didukung oleh kaum buruh. Majunya Obon Tabroni sebagai kandidat pilkada Bekasi yang didukung oleh buruh memberi kita satu gambaran kecil mengenai kemampuan kelas buruh untuk berpolitik kalau dimobilisasi dengan serius. Walau program yang diusung Obon adalah reformis dan sosial demokrat, dan kritik Marxis terhadap keterbatasan dari program reformis tidak perlu kita ulang di sini, majunya seorang kandidat independen dari buruh bisa membuka pintu untuk perkembangan gerakan politik buruh ke depan.

Tetapi di sini kita harus memperjelas satu hal, bahwa secara umum mayoritas kepemimpinan serikat buruh masih belum serius dalam mendorong pembangunan partai kelas buruh. Masalah membangun partai buruh kerap hanya jadi layanan bibir.

Gelombang Reaksi

Pada pertengahan tahun ini kita juga saksikan gelombang reaksi anti-komunis yang diluncurkan oleh aparatus negara dan kelompok-kelompok reaksioner. Merasa lebih percaya diri setelah kemunduran gerakan buruh beberapa tahun terakhir, kelas penguasa mencoba meregangkan otot reaksi mereka dengan melakukan pogrom terhadap “bahaya komunisme”. Mereka menyasar sejumlah acara dan pertemuan Kiri (seperti Turn Left Festival,  pemutaran film Pulau Buru, Tanah Air Beta, pementasan drama Saya Rusa Berbulu Merah) dan juga melakukan sweeping penyitaan barang-barang dengan simbol palu arit. Toko-toko buku digrebek dan buku-buku mengenai 1965 disita. Spanduk-spanduk berisi “himbauan” mengenai bahaya laten komunisme juga ditemui di banyak tempat.

Namun teror anti-komunis ini juga mengungkapkan satu hal: ketakutan dari kelas penguasa akan bangkitnya komunisme. Ketakutan ini memiliki basis material yang nyata. Selapisan kelas penguasa dapat melihat dengan jelas bahwa dunia sedang memasuki krisis sosial, politik dan ekonomi yang akut, dan mereka khawatir kalau keresahan rakyat akan menjelma menjadi hantu komunisme. Mereka telah melihat tanda-tanda dari hantu komunisme ini. Mogok nasional 3 Oktober 2012 dan gelombang pemogokan yang menyusul adalah salah satu tanda tersebut. Walaupun gerakan buruh sementara mengalami kemunduran, kelas penguasa tidak bisa tidak merasa bahwa kaum buruh akan belajar dari kesalahan mereka, bangun dari tidur mereka, dan menghantarkan pukulan yang lebih besar di hari depan, yang semakin dekat. Hari ini kaum buruh sedang menundukkan kepala mereka, tetapi kekecewaan dan kegeraman mereka begitu terasa oleh kelas penguasa.

Kelas penguasa bisa merasakan gemuruh di bawah tapak kaki mereka seiring dengan terguncangnya kapitalisme dalam skala dunia. Mereka masih ingat perasaan yang sama pada 1960an, sehingga mereka selalu menyamakan periode yang penuh gejolak dengan keberadaan PKI. Tetapi tidak ada PKI hari ini dan tidak ada kepemimpinan komunis hari ini dalam gerakan, yang merupakan masalah tersendiri bagi gerakan proletariat yang harus kita pecahkan.

Kemunduran gerakan buruh juga memberi ruang bagi kekuatan reaksi untuk unjuk gigi. Kalau biasanya selama 5 tahun terakhir setiap bulan Oktober dan November kaum buruhlah yang tumpah ruah ke jalan-jalan ibukota, dengan bendera, spanduk, dan atribut serikat yang membuat merah ruas-ruas jalan utama Jakarta, tahun ini Jakarta “diputihkan” oleh reaksi pada 4 November kemarin. Prasangka-prasangka terbelakang rakyat pekerja dikobarkan oleh kelompok-kelompok reaksioner seperti FPI. Tidak sedikit buruh yang sebelumnya maju ke depan melawan sistem penindasan kapitalisme kini terseret mundur kesadaran kelasnya oleh demagogi keagamaan yang disebar oleh para “penjaja agama”, yang siap menjual layanannya kepada siapa saja yang bisa membayar mahal.

Banyak pemimpin serikat buruh yang menemukan dirinya entah mendukung demo 4 November atau diam seribu bahasa. Yang belakangan karena mereka tahu kalau mereka menentang demo reaksioner ini maka mereka akan kehilangan dukungan dari para anggota buruh mereka yang terseret oleh histeria “penistaan agama”. Posisi seperti ini tidak membuat mereka lebih baik daripada para pemimpin yang mendukung demo 4 November. Mereka sama-sama mengekor pada kesadaran buruh yang terbelakang, alih-alih memberikan kepemimpinan kelas.

Posisi GSBI (dan FPR) yang mendukung demo 4 November – GSBI yang dikenal luas sebagai serikat “merah” – adalah satu contoh dari mundurnya kesadaran buruh dalam hal ini. Kita bisa “memaklumi” para pemimpin reformis dan oportunis yang dengan begitu tergesa-gesa menggabungkan diri ke demo reaksioner 4 November. Bahkan Said Iqbal, pemimpin KSPI, ingin menggabungkan mogok nasional dengan demo “bela Islam” selanjutnya pada 2 Desember nanti. Mereka adalah kaum reformis (dan bahkan terlalu baik untuk menyebut mereka reformis), dan implisit dalam reformisme adalah pengkhianatan. Jadi kita tidak perlu terkejut dengan oportunisme mereka, dengan ketidakmampuan mereka untuk memberikan kepemimpinan revolusioner untuk gerakan buruh. Tetapi ketika hal yang sama dilakukan oleh serikat “merah”, oleh pemimpin-pemimpin buruh yang dikenal radikal, maka kesalahan ini bahkan lebih besar dan harus kita kritik lebih keras. Kita harus melawan rejim Ahok dan semua rejim penguasa kapitalis yang ada, dan mengekspos kemunafikan kelas penguasa dalam menerapkan hukum. Hukum kapitalis hanya ditegakkan untuk membela penguasa dan menindas buruh. Tetapi ketika hari ini jelas yang berkoar-koar mengenai “penegakan hukum” adalah FPI, SBY, dan elemen-elemen kelas penguasa lainnya (yang juga telah diuntungkan oleh sistem peradilan kapitalis), ketika hari ini jelas bahwa elemen-elemen reaksioner ini menyerang Ahok untuk kepentingan sempit mereka, bahwa demagogi SARA yang disebarkan akan dan telah memundurkan kesadaran kelas buruh, maka kaum revolusioner tidak boleh mendukung aksi 4 November sama sekali dalam bentuk apapun. Kepemimpinan aksi demo 4 November ini jelas ada di tangan kaum reaksioner, dan mendukung aksi ini dalam kapasitas apapun -- bahkan kalau para pemimpin GSBI mengatakan bahwa mereka independen dan tidak mendukung FPI dan elemen reaksioner lainnya -- berarti melempar kaum buruh ke rangkulan reaksi gelap.

Akan tetapi ini tidak berarti kita sedang memasuki masa reaksi atau kembalinya Orde Baru. Kondisi objektif secara umum masih menguntungkan bagi perjuangan kelas proletariat. Kemunduran gerakan buruh ini hanya akan bersifat sementara karena masalah-masalah fundamental kapitalisme masih belum terselesaikan dan gerakan buruh Indonesia belum dipatahkan secara menentukan. Mereka sedang mundur hari ini tetapi batalion utama mereka masih utuh. Mereka akan belajar dari pengalaman mereka dan maju kembali di hari depan dengan pemahaman yang lebih tinggi. Lapisan lama yang letih mundur sementara lapisan-lapisan baru yang masih segar akan mulai masuk ke arena perjuangan dan memberi dorongan segar. Guncangan-guncangan yang baru sedang dipersiapkan.

Gerakan Pembebasan Nasional Papua

Tahun ini kita saksikan ledakan aksi massa rakyat Papua yang memperjuangkan aspirasi nasional mereka. Demo-demo massa meledak di seluruh penjuru Papua. Tidak hanya itu, kaum muda Papua mulai mendalami sosialisme dengan harapan mencari fondasi gagasan yang kokoh yang bisa membebaskan rakyat Papua dari penindasan nasional.  Masalah kebangsaan Papua adalah salah satu tugas yang menjadi bagian krusial dari perjuangan sosialisme di Indonesia. Tidak mungkin kaum proletariat Indonesia bisa memimpin revolusi sosialis tanpa posisi dan pemahaman yang tepat akan masalah kebangsaan. Hanya Marxisme yang bisa menjadi panduan ideologi untuk menavigasi masalah kebangsaan yang kompleks ini, dan kita akan memulai analisa kita mengenai masalah kebangsaan Papua dari sini.

Kemerdekaan Papua yang sesungguhnya hanya bisa diperjuangkan di atas basis program sosialis. Kalau ia diperjuangkan dalam kerangka nasionalisme borjuis atau borjuis-kecil, skenario terbaik yang bisa dicapai oleh rakyat Papua adalah kemerdekaan formal, yakni hanya di atas kertas tetapi pada kenyataannya masih berada di bawah jempol imperialisme lewat dominasi ekonominya. Dan perlu kita tambahkan, yang akan terbentuk dari kemerdekaan Papua di bawah kerangka kapitalisme dan nasionalisme borjuis adalah sebuah negara kapitalis Papua, yang akan menjadi boneka dari imperialisme untuk menindas rakyat pekerja Papua. Kaum revolusioner harus menjelaskan kebenaran ini tanpa menutup-nutupinya.

Oleh karenanya prasyarat utama dari kemerdekaan sejati rakyat pekerja Papua adalah perjuangan yang berbasiskan program sosialis dan keberadaan organisasi Marxis revolusioner sebagai motor penggeraknya. Perlu kita tambahkan bahwa nasib perjuangan pembebasan nasional rakyat Papua terikat erat dengan perspektif perjuangan proletariat Indonesia secara keseluruhan.

Karena berpegang pada prinsip ini, kaum Marxis dituduh ingin menunda referendum sampai adanya organisasi sosialis, atau bahkan tidak setuju dengan referendum untuk rakyat Papua. Mereka yang menuduh ini merasa pintar dan mengira mereka telah menemukan kelemahan dari program Marxis. Tetapi sebaliknya, mereka sebenarnya telah mengekspos diri mereka sebagai tidak lebih dari kaum reformis liberal. Kaum Marxis mendukung hak demokratik, dan masalah kebangsaan pada dasarnya adalah hak demokratik, yakni hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam hal ini kita mendukungnya. Tetapi kaum Marxis juga punya hak – dan tanggung jawab revolusioner – untuk menjelaskan dengan sabar dan bersahabat kepada rakyat dari bangsa yang tertindas kalau kebebasan nasional mereka hanya bisa dipenuhi lewat perjuangan sosialis yang konsisten, dan memberi mereka peringatan bahwa mereka tidak boleh mempercayai kaum borjuasi nasional mereka. Seperti halnya kaum Marxis mendukung perjuangan untuk upah dan reforma-reforma lainnya, tetapi mengatakan bahwa ini saja tidak cukup dan gerakan buruh harus mengadopsi program sosialisme revolusioner kalau sungguh-sungguh ingin bebas dari kapitalisme. Hanya kaum reformis yang lalu menuduh kalau kaum Marxis tidak setuju dengan upah dan reforma, dengan tujuan ingin memisahkan kaum Marxis dari kelas buruh.

Dalam hal ini kaum revolusioner berbicara jujur kepada rakyat Papua, dan terutama kepada lapisan muda revolusioner yang sedang mencari jalan keluar dari kebuntuan yang ada. Misalnya dalam hal keanggotaan ULMWP dalam MSG. Kaum Marxis akan menyuarakan penentangan mereka terhadap pemerintahan kapitalis Indonesia yang memblokir keanggotaan ULMWP dalam MSG. Tetapi ini tidak berarti kita mendukung taktik ini, yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan Papua lewat diplomasi dengan apa-yang-disebut komunitas internasional (MSG, PBB, dsb.). Kaum Marxis harus mengatakan bahwa taktik ini keliru, karena bersandar pada kerangka legal borjuasi. Pembebasan nasional rakyat Papua tidak akan bisa tercapai lewat institusi-institusi borjuasi ini, atau lewat diplomasi internasional, yang merupakan taktik yang disukai oleh elemen-elemen nasionalis moderat. Ini adalah perangkap yang akan menjerumuskan gerakan pembebasan nasional Papua ke channel-channel yang aman.

Jadi bisa kita melihat bagaimana kaum Marxis menavigasi masalah kebangsaan: fleksibel tetapi teguh dalam prinsip, dan berbicara jujur. Di sini kami merasa hanya perlu mempublikasi ulang bagian dari dokumen perspektif kami yang pertama pada 2010 untuk menekankan lagi apa program umum kami mengenai masalah kebangsaan:

“Kita menentang segala macam penindasan terhadap kelompok-kelompok nasional, budaya, bahasa, dan agama. Kita berdiri dengan solidaritas penuh untuk kelompok-kelompok nasional yang tertindas dalam perjuangan mereka untuk membebaskan diri dari rumah penjara Indonesia. Secara konkret ini berarti kita mendukung tanpa syarat hak demokratis dari kelompok-kelompok nasional tertindas untuk menentukan nasib mereka sendiri, termasuk sampai hak memisahkan diri.”

“Akan tetapi kita berdiri dengan jelas untuk kebijakan kelas. Ini berarti bahwa adalah tugas kita untuk memberitahukan kepada saudara-saudari kita di Aceh dan Papua bahwa sekutu sejati mereka adalah kelas pekerja Indonesia. Kelas borjuasi di Aceh dan Papua tidak bisa dipercayai dan diandalkan untuk memimpin gerakan pembebasan nasional. Ketika para pemimpin borjuis Aceh dan Papua berbicara mengenai kemerdekaan dari Jakarta, mereka hanya berharap untuk dapat mengeksploitasi rakyat mereka sendiri tanpa campur tangan dari Jakarta, mereka hanya ingin kue eksploitasi yang lebih besar.

“Satu-satunya cara untuk memenangkan kepercayaan kamerad-kamerad tertindas kita, untuk memotong masalah kebangsaan dengan garis kelas, adalah dengan mengatakan kepada mereka bahwa kita mendukung hak mereka untuk menentukan nasib sendiri, bahkan hak untuk berpisah, bahwa kita akan berjuang untuk membentuk sebuah pemerintahan buruh yang akan memberikan mereka hak penuh untuk menentukan nasib sendiri. Dengan posisi ini, kita mengatakan kepada kamerad-kamerad kita di Aceh dan Papua bahwa buruh Indonesia tidak punya kepentingan untuk menindas mereka.”

“Pengalaman Timur Leste adalah sebuah bukti bahwa pembebasan yang sejati tidak dapat dicapai di bawah kapitalisme, dan bahwa pembebasan sejati dari kelompok-kelompok nasional di Indonesia terikat dengan perjuangan untuk sosialisme di Indonesia. Sudah lebih dari 10 tahun setelah kemerdekaan, populasi Timor Leste masih di antara yang termiskin di dunia. Ia telah menjadi sumber intrik antara kekuatan-kekuatan imperialis (Australia, Portugal, Tiongkok, AS, dan lainnya) untuk akses ke cadangan gas dan minyaknya yang besar dan sedang menghadapi eksploitasi yang semakin besar dari “pemerintahan nasional”nya sendiri. Tanpa perubahan sistem politik di Indonesia, propinsi-propinsi yang terbebaskan masih akan ada di bawah dominasi ekonomi dan politik dari imperialisme Indonesia. Satu-satunya jalan ke depan adalah pembentukan sebuah persatuan sukarela dari Federasi Sosialis Indonesia, sebagai satu langkah menuju Federasi Sosialis Asia Tenggara dan Federasi Sosialis Dunia.”

Ke mana dari sini?

Dari satu negeri ke negeri lain akan kita saksikan serangkaian ledakan-ledakan. Krisis hari ini akan berkepanjangan, dan terutama karena absennya faktor subjektif, yakni sebuah partai massa revolusioner dengan kepemimpinan Bolshevik. Proses yang sedang bergulir ini tidak akan bergerak dalam garis lurus. Akan ada patahan-patahan, akan ada langkah maju dan juga langkah mundur. Akan ada polarisasi ke kiri dan juga ke kanan. Tetapi yang pasti lapisan yang baru, yakni generasi muda buruh dan pelajar, akan memasuki arena politik. Mereka akan mencari gagasan revolusioner. Inilah generasi yang akan menjadi batalion baru untuk revolusi sosialis di hari depan. Seperti kata Lenin, mereka yang memiliki kaum muda akan memiliki masa depan. Prasyarat untuk bisa memenangkan lapisan ini adalah menjaga identitas revolusioner kita dan menjaga agar gagasan kita tajam dan jelas. Usaha untuk mencari jalan pintas dengan menumpulkan gagasan kita hanya akan berakhir ke bencana.

Sembilan puluh persen kerja revolusioner adalah persiapan, yakni kerja propaganda yang telaten untuk memenangkan lapisan-lapisan termaju ke program sosialis. Gerakan proletariat akan selalu mengalami pasang naik dan surut, tetapi ini bukan proses yang berputar-putar tanpa akhir. Dari proses pasang-surut tersebut lapisan buruh yang paling sadar kelas akan tertempa. Akan ada proses pemilahan pemimpin, semacam “seleksi alam”. Namun seleksi ini tidaklah otomatis, dan harus ada aksi yang sadar untuk melakukan pemilahan ini. Inilah Bolshevisme. Seperti yang dikatakan Trotsky, “Bolshevisme bukanlah sebuah doktrin (yakni, tidak sekedar sebuah doktrin) tetapi adalah sebuah sistem pelatihan revolusioner untuk pemberontakan proletariat.”


[1] BPS: Pengangguran Terbuka di Indonesia Capai 7,02 Juta Orang. Tempo, 4 Mei 2016

[2] Sri Mulyani Diminta Tidak Lagi Pangkas Anggaran di Tengah Jalan. Kompas, 26 Oktober 2016

[3] Menkeu Akui Pemangkasan Belanja Negara Gerus Laju Ekonomi. CNN Indonesia, 1 September 2016.

[4] APBN 2017 Kurang Taji, Wapres JK Minta Semua PNS Berhemat. CNN Indonesia, 27 Oktober 2016.

[5] Sri Mulyani Khawatir Laju Ekonomi Kuartal III Melambat. CNN Indonesia, 24 Oktober 2016.

[6] Gerindra: Koalisi Merah Putih Bubar. CNN Indonesia, 4 Februari 2016.

[7] PPP Pecah Tiga di Pilgub DKI, Muncul Kubu Pendukung Anies-Sandiaga. DetikNews, 22 Oktober 2016.