Berikut adalah dokumen Perspektif Dunia yang menyajikan analisa umum kami mengenai proses-proses fundamental yang tengah bergulir dalam perpolitikan dunia, di masa yang ditandai dengan krisis dan gejolak tanpa preseden. Dengan dinamit yang ada di fondasi perekonomian dunia dan pandemi Covid-19 yang masih membayangi seluruh situasi dunia, semua jalan mengarah ke perjuangan kelas yang semakin menajam. Dokumen ini kami terbitkan dalam 6 bagian:
1) Dunia dalam Krisis Tanpa Preseden
2) Amerika Serikat: Prospek Revolusi Mulai Terbuka
3) Eropa & Rusia: Ketidakstabilan Di mana-mana
4) Asia: Badai Pandemi India & Perang Dagang China
5) Apakah Pemulihan Ekonomi Mungkin?
6) Perjuangan Kelas dan Tugas Kita
Eropa
PDB Uni Eropa menyusut 7 persen pada 2020. Ini adalah penyusutan terbesar di Eropa semenjak Perang Dunia Kedua. Angka resmi menunjukkan 13,2 juta orang menganggur, tetapi bila kita ikut sertakan jumlah pekerja yang diberhentikan sementara, angka pengangguran yang sesungguhnya lebih dekat ke sekitar 20 juta (atau 12,6 persen). 30 juta penganggur lainnya hilang dari angka resmi ini, yang dianggap sebagai “pengangguran tersembunyi.”
Komisi UE tidak becus dalam meluncurkan kampanye vaksinasi Covid-19, yang menyebabkan kelangkaan besar di seluruh Eropa. Denmark awalnya hanya menerima 40.000 dosis, padahal mereka mengharapkan 300.000. Belanda awalnya tidak menerima satu pun dosis.
Kegagalan program vaksinasi ini mengulang bencana krisis kelangkaan APD tahun lalu. Ketika Italia tengah menghadapi dampak terburuk pandemi, solidaritas Eropa dicampakkan sepenuhnya. Setiap orang untuk dirinya sendiri. Program Vaksinasi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali solidaritas Uni Eropa, tetapi ini menemui kegagalan.
Lebih parah lagi, eskalasi kebijakan pengetatan (lockdown, dsb.) guna menanggulangi pandemi virus korona di 21 negeri UE telah memperlambat aktivitas ekonomi secara masif, sehingga blok UE menghadapi resesi double-dip.
Pada musim semi lalu, ketika pandemi pertama kali meledak, ekonomi zona euro mengalami guncangan dalam yang mendadak. Gelombang infeksi baru kali ini akan berlangsung lebih lama, yang akan menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi yang lebih lamban tetapi lebih parah.
Sektor pariwisata, retail, perhotelan, tingkat kepercayaan bisnis dan belanja konsumen, semua ini telah terdampak selama minggu-minggu pertama 2021. Ini mengancam menyebabkan gelombang pailit yang tertunda, kecuali bila pemerintah dan bank sentral melanjutkan kebijakan stimulus mereka untuk menopang ekonomi.
Sebagai akibatnya, para ekonom mengantisipasi, kontraksi output di zona euro sebesar 1,8-2,3 persen pada kuartal keempat 2020 akan disusul dengan kontraksi pada kuartal pertama 2021 di kebanyakan ekonomi besar UE, termasuk Jerman dan Italia. Ini dapat menjerumuskan zona euro ke dalam resesi kedua dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun saja.
Setelah Brexit dan Trump, yang tidak pernah menyembunyikan kebenciannya terhadap semua hal yang berbau Eropa, kaum borjuasi Eropa merasa mereka tidak bisa lagi mengandalkan sekutu-sekutu lama mereka. Usaha bodoh Emmanuel Macron untuk menjadi kawan baiknya Trump berakhir dengan kegagalan yang spektakuler.
Trump telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia melihat Eropa sebagai musuh utama, sementara Rusia hanyalah “kompetitor”. Dia menindaklanjuti perkataannya dengan tindakan. Kebijakan proteksionisnya ditujukan tidak hanya ke China tetapi juga ke Eropa. Dan dia mempertahankan sikap keras kepalanya sampai hari terakhirnya sebagai presiden. Pada malam tahun baru, AS mengumumkan kenaikan tarif impor suku cadang pesawat terbang dan anggur dari Prancis dan Jerman.
Biden berupaya merajut kembali hubungan dengan Eropa. Dia telah menegaskan kembali komitmen pada multilateralisme, termasuk dengan bergabung kembali ke WHO dan perjanjian iklim Paris. Dia juga membeking Dirjen baru WHO. Sikap AS terhadap perjanjian nuklir Iran juga telah berubah. Semua ini adalah langkah yang disambut baik oleh Eropa, yang mendambakan perubahan arah dari Gedung Putih. Trump menyebut strategi baru ini “Amerika Last” (Amerika Terakhir).
Namun, ada sejumlah konflik di antara kedua kubu ini yang jauh lebih sulit diselesaikan. Eropa tidak terlalu yakin akan strategi AS dalam menghadapi China. Mereka juga ingin mengambil peluang dari perang dagang AS dengan China untuk kepentingan mereka sendiri. Pakta Investasi baru yang disetujui oleh China dan UE pada minggu-minggu terakhir masa jabatan Trump dilihat oleh banyak pihak sebagai tamparan memalukan terhadap Joe Biden, yang terpaksa ditelan oleh Biden.
Ada konflik-konflik jangka panjang yang harus dibenahi: konflik bantuan negara Airbus-Boeing yang telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa kepastian resolusi. Nord Stream 2 Pipeline juga menciptakan konflik besar antara AS dan Jerman, dengan AS bersikeras bahwa pipa ini akan memperkuat pengaruh Rusia di Eropa. Relasi baru antara Biden dan Eropa akan diuji di bulan-bulan mendatang tatkala kedua pihak berusaha menghidupkan kembali ekspor mereka selama krisis pasca-pandemi.
Jerman telah menjadi jangkarnya Eropa, sebuah pulau kestabilan di tengah lautan yang bergolak. Angela Merkel dianggap sebagai pemimpin yang kokoh di negeri yang paling penting di Eropa. Tetapi dengan pandemi datang masalah baru.
Uni Eropa sudah mengalami ketegangan yang meningkat antara di antara anggota-anggotanya setelah krisis 2008. Brexit menjadi titik balik dalam dinamika ini, begitu pula krisis pandemi dan nasionalisme yang mendominasi selama krisis kesehatan. Krisis global yang mendalam akan memberikan tekanan besar ke arah ini: UE harus bersaing dengan blok imperialis lainnya sementara pada saat yang sama negeri-negeri anggota UE akan bersaing satu sama lain untuk mengekspor krisis mereka sendiri.
Kapitalis Jerman telah mengakui bahwa mereka harus mengubah metode mereka untuk menghentikan laju keretakan Uni Eropa. Kecenderungan keretakan ini semakin parah ketika pandemi memukul. Pada musim gugur lalu, Jerman terpaksa menanggung 750 juta euro pinjaman untuk European Recovery Fund guna mempertahankan kesatuan UE. Paket stimulus besar ini akan memberikan kelegaan sementara bagi UE, tetapi ini hanya subsidi sekali saja. Seruan untuk melanjutkan subsini ini dengan tegas telah diblokir oleh Jerman. Pada akhirnya, tidak ada satupun problem yang telah diselesaikan.
Merkel terpaksa memperpanjang lockdown di Jerman. Koalisinya saling bertengkar karena laju vaksinasi yang lamban dan persediaan vaksin yang tak memadai. Mood nasional telah bergeser dari suka cita menjadi muram. Financial Times berkomentar: “Medan politik menyongsong pemilu September nanti terlebih lebih terpecah-belah dan bergolak.”
Di Prancis, pemerintahan Macron sekarang sudah terdiskreditkan, dengan tingkat ketidakpercayaan 60%: paling buruk sejak gerakan protes rompi kuning. Tingkat pengangguran resmi mencapai 9 persen, tetapi pada kenyataannya jauh lebih tinggi.
“Debat besar nasional” gagal sama sekali untuk memulihkan dukungan masyarakat untuk pemerintah, begitu juga pemecatan Perdana Menteri Edouard Phillipe. Dan usaha berulang kali Macron untuk berlakon sebagai “negarawan bijak” di lapangan internasional tidak menghasilkan apapun kecuali tawa sarkastis dari semua pihak.
Inggris
Belum lama yang lalu, Inggris mungkin adalah negeri yang paling stabil di Eropa. Sekarang ia telah menjadi mungkin negeri yang paling tidak stabil.
Krisis hari ini dengan kejam mengekspos kelemahan kapitalisme Inggris. Ekonomi Inggris jatuh sebesar 9,9 persen pada 2020, dua kali lipat Jerman dan tiga kali lipat AS. Sekarang, dihadapkan dengan dampak pandemi dan kekacauan Brexit, resesi lebih lanjut menjadi tak terelakkan.
Brexit adalah tindakan yang murni tidak waras dari Partai Konservatif, yang kini sudah tidak lagi berada di bawah kendali langsung kelas penguasa. Pemerintah dipimpin oleh seorang badut sirkus, yang pada gilirannya dikendalikan oleh kaum sauvinis reaksioner yang tidak waras.
Kendati memenangkan mayoritas besar pada pemilu Desember 2019, Partai Konservatif semakin terdiskreditkan, terutama dengan ketidakbecusannya dalam mengelola pandemi, dengan jumlah kematian yang lebih tinggi dibandingkan semua negeri lain di Eropa. Jumlah kematian (angka resmi jelas lebih rendah daripada yang sesungguhnya) di antara yang tertinggi di dunia. Namun Partai Konservatif terus menolak mengambil kebijakan yang diperlukan, dan hanya mengambilnya setelah situasi menjadi terlalu parah.
Para politisi Konservatif tidak peduli pada nyawa dan kesehatan rakyat. Mereka juga tidak peduli dengan kondisi National Health Service (NHS) yang menyedihkan ini, yang disebabkan oleh kebijakan pemotongan anggaran kesehatan mereka selama puluhan tahun. Mereka hanya dimotivasi satu hal: profit.
Partai Konservatif bermaksud meneruskan produksi dengan segala cara. Inilah mengapa mereka bersikeras ingin membuka kembali sekolah. Ini memicu protes massa dan rapat akbar online 400.000 guru pada hari-hari pertama Januari. Ancaman mogok mereka memaksa pemerintah untuk menutup kembali sekolah.
Namun, kendati tidak populernya pemerintah, Partai Buruh dan kepemimpinan sayap kanan Partai Buruh masih tertinggal di belakang Partai Konservatif. Tidak ada oposisi riil dari Partai Buruh.
Pengunduran diri Corbyn dan McDonnell menyusul kekalahan Partai Buruh pada pemilu Desember 2019 merupakan pukulan serius terhadap sayap kiri dan hadiah bagi sayap kanan. Sayap kiri memiliki semua peluang untuk merombak Partai Buruh. Mereka didukung penuh oleh anggota akar rumput. Perombakan ini memerlukan pembersihan yang menyeluruh terhadap sayap kanan kelompok Parlementer Partai Buruh dan birokrasi. Tetapi Corbyn, McDonnell, dan pemimpin kiri lainnya enggan melakukan ini dan menolak mendukung slogan pemilihan ulang anggota parlemen yang diajukan oleh kaum Marxis dan aktivis-aktivis lainnya dan memperoleh dukungan luas akar rumput.
Pada analisa terakhir, kaum Kiri ini takut membawa perjuangan ini sampai ke konsekuensi akhirnya, yang akan berarti perpecahan penuh dengan sayap kanan. Tetapi sayap kanan tidak bermurah hati terhadap kaum Kiri. Melihat sayap Kiri yang lembek, sayap kanan langsung melakukan pembersihan terhadap anggota-anggota Partai Buruh yang Kiri, termasuk dengan menskors Corbyn. Kelembekan kaum Kiri bukanlah masalah moralitas. Ini adalah masalah politik. Kelembekan ini adalah karakter utama reformisme kiri.
Kapitalis besar kini mengendalikan Partai Buruh. Pemimpin Partai Buruh Keir Starmer berbicara bukan seperti pemimpin oposisi, tetapi seperti anggota kabinet Boris Johnson. Dia menunggu Johnson untuk bertindak terlebih dahulu sebelum dia sendiri menyahut “saya juga”.
Tetapi sekarang sayap kanan telah kelewatan. Karena kebijakannya, sayap kanan tengah mendorong kaum Kiri untuk berjuang melawan. Panggung konflik tengah dipersiapkan di dalam Partai Buruh.
Panggung tengah dipersiapkan untuk benturan di dalam Partai Buruh. Secara efektif, kita membentuk front persatuan dengan kepemimpinan Kiri Partai Buruh, dan terutama, di dalam serikat-serikat buruh. Ini adalah perkembangan yang sangatlah penting. Ini menunjukkan bahwa kamerad-kamerad kami telah memenangkan otoritas sebagai satu-satunya tendensi Marxis yang serius di dalam gerakan buruh.
Apapun yang terjadi, tendensi Marxis dapat meraih pencapaian dan banyak pintu baru yang akan terbuka bagi kami. Seni politik adalah merenggut setiap peluang yang muncul.
Italia
Italia tetap merupakan mata rantai terlemah dari keseluruhan rantai kapitalisme Eropa. Kelemahan kroniknya telah terpampang jelas oleh krisis pandemi. Tidak mampu bersaing dengan perekonomian-perekonomian lebih besar seperti Jerman, Italia semakin tertinggal di belakang, dan semakin terjerumus ke dalam lubang hutang.
Sistem perbankannya terus ada di ujung tanduk, dan keruntuhannya dapat menyeret seluruh Eropa. UE terpaksa menopangnya persis karena itu, tetapi ini dilakukannya sembari mengumpat di belakang.
Para bankir Jerman, terutama, telah menjadi semakin tidak sabar dan belum lama yang lalu mereka menuntut dicanangkannya kebijakan-kebijakan serius untuk memangkas anggaran pemerintah dan menggerus taraf hidup rakyat. Dalam kata lain, mereka tengah mendorong Italia ke jurang. Nada mereka agak berubah setelah pandemi mendorong mereka semua untuk memohon bantuan pemerintah. Segera setelah pandemi selesai, mereka akan kembali menuntut pemangkasan dengan lebih buas.
Untuk menavigasi krisis hari ini, kelas penguasa Italia memerlukan sebuah pemerintah yang kokoh. Tetapi ini mustahil. Rejim politik Italia busuk sampai ke akar-akarnya. Tidak adanya kepercayaan pada para politisi terekspresikan dalam krisis permanen yang melanda pemerintahan. Berbagai koalisi goyah susul menyusul, sementara di antara rakyat pekerja tidak ada perubahan. Massa putus asa, dan dalam mencari jalan keluar mereka mengayun keras dari kanan ke kiri dan sebaliknya.
Krisis ini sangat diperparah oleh pandemi, yang memukul Italia lebih awal dan lebih keras dibandingkan banyak negeri lain. Saat dokumen ini ditulis, jumlah kematian akibat Covid-19 telah mendekati 100.000.
Kelas penguasa berharap dapat mempertahankan koalisi Kiri-Tengah selama mungkin guna mencegah ledakan sosial. Tetapi ini menjadi mustahil, karena satu per satu opsi politik sudah dihabiskan. Merasa bokongnya dipanggang api, partainya Renzi, Italia Viva, menarik keluar tiga menterinya dari kabinet koalisi Conte dengan dalih kegagalan pemerintah dalam menangani Covid-19, yang menyebabkan jatuhnya pemerintah dan membuka pintu bagi terbentuknya pemerintah Draghi.
Presiden Republik turun tangan, dan alih-alih menyatakan pemilu awal, dia mengundang Draghi, mantan gubernur Bank Sentral Eropa untuk membentuk pemerintah. Di sini kita saksikan lagi sebuah contoh bagaimana seorang “teknokrat” dipasang sebagai perdana menteri, tanpa dipilih oleh seorangpun.
Kebangkrutan “Kiri-Tengah” memberi kesempatan bagi formasi Kanan-Jauh seperti Partai Brothers of Italy. Mereka tidak ikut serta dalam koalisi yang membeking Draghi, pertama karena mereka tidak dibutuhkan, dan kedua karena mereka berusaha menggerus dukungan dari kanan dari Partai Lega yang kini berada di dalam koalisi.
Cepat atau lambat, sandiwara parlemen ini akan digantikan oleh pertempuran terbuka antar kelas. Di atas basis sistem yang ada, tidak akan mungkin ada kestabilan. Di Italia, tidak ada partai buruh massa. Tetapi massa semakin geram dan tidak sabar setiap harinya. Aksi-aksi buruh yang militan pada bulan pertama pandemi adalah peringatan akan apa yang akan datang.
Jatuh bangunnya pemerintah berkali-kali niscaya akan mengarah ke ledakan perjuangan kelas. Pada akhirnya, problem-problem masyarakat Italia tidak akan diselesaikan di dalam parlemen, dan harinya akan cepat tiba ketika pusat gravitasi peristiwa akan berpindah dari parlemen ke pabrik-pabrik dan jalan-jalan.
Rusia
Pergolakan dan ketidakstabilan yang serupa bisa dilihat di mana-mana. Di Rusia, kembalinya dan tertangkapnya Alexei Navalny menjadi sinyal untuk gelombang protes yang menyapu seluruh negeri. Ada demonstrasi 40.000 orang di Moskow, 10.000 di Petersburg, dan ribuan lagi di 110 kota lainnya, termasuk Vladivostok dan Khabarovsk.
Protes-protes ini tidaklah dalam skala masif yang sama seperti yang kita saksikan di Belarus belum lama ini, ketika jutaan tumpah ruah di jalan-jalan untuk menumbangkan Lukashenko. Namun dalam konteks Rusia, demo-demo ini masif. Komposisinya sangat heterogen, dengan banyak kaum kelas menengah, intelektual, liberal – tetapi juga cukup banyak buruh, dan terutama kaum muda.
Polisi menanggapi dengan represi. Baku hantam di jalan-jalan terjadi di banyak kota. Massa menerobos barikade polisi, dengan sekitar 40 polisi yang luka-kula. Ribuan demonstran ditangkap.
Protes-protes ini sebagian merupakan cerminan kegeraman terhadap ditangkapnya Navalny. Tetapi masalah Nalvany hanyalah satu elemen dari keseluruhan situasi, dan bukanlah yang paling penting.
Alexei Navalny dilukiskan oleh media Barat sebagai pahlawan pembela demokrasi. Pada kenyataannya, dia adalah seorang oportunis ambisius dengan masa lalu politik yang disangsikan. Dia akan figur aksidental.
Tetapi figur aksidental juga memainkan peran dalam sejarah pada momen tertentu. Seperti dalam ilmu kimia, sebuah katalis diperlukan untuk memulai sebuah reaksi kimia tertentu, begitu juga dalam proses revolusioner, sebuah titik rujuk diperlukan untuk bertindak sebagai detonator untuk memercikkan kekecewaan massa yang sudah terakumulasi. Watak persis katalis ini tidaklah relevan. Dalam kasus ini, katalis ini adalah penangkapan Navalny. Tetapi ini bisa saja dimainkan oleh faktor lain.
Taraf Hidup Memburuk
Keniscayaan mengekspresikan dirinya lewat aksiden, dan hal terutama bukanlah aksiden tetapi keniscayaan itu sendiri. Penyebab utama kebangkitan gerakan di Rusia adalah kemarahan rakyat yang menumpuk akibat memburuknya taraf hidup, krisis ekonomi, skandal-skandal korupsi, dan rejim yang represif.
Semua indikator menunjukkan menurunnya dukungan untuk Putin. Sebelumnya, survei biasanya memberinya dukungan di atas 70 persen. Bahkan pada saat aneksasi Crimea, dukungannya menanjak sampai lebih dari 80 persen. Tetapi sekarang dukungannya berkisar 63 persen, dan pada titik terendahnya hanya di atas 50 persen. Hasil-hasil survei ini pasti menimbulkan kecemasan besar di Kremlin.
Di masa lalu, Putin dapat membanggakan sejumlah keberhasilan dalam ekonomi, tetapi tidak lagi demikian. Dari 2013-2018, sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi per tahunnya hanya 0.7 persen, dalam kata lain stagnan. Pada akhir 2020, ekonomi menyusut 5 persen. Pengangguran melambung tinggi dan banyak keluarga yang kehilangan rumah mereka.
Untuk sementara, terutama menyusul aneksasi Crimea, yang mayoritas penduduknya Rusia, Putin memainkan kartu nasionalisme. Ini mendorong popularitasnya, tetapi asap sauvinisme yang memabukkan ini sudah mulai menghilang, dan kredibilitas Putin terpukul secara serius oleh reforma pensiunnya.
Ada kebencian yang membesar setiap harinya terhadap korupsi buas dan gaya hidup mewah para elite penguasa. Dua hari setelah dia ditangkap, Navalny mengedarkan sebuah video, yang ditonton oleh jutaan, yang membongkar praktik korupsi Putin, dengan menunjukkan istana megah yang dia bangun di Laut Hitam. Semua ini mengumpul menjadi mood yang meledak-ledak.
Basis dukungan rejim Putin semakin menyempit. Di luar klik oligarki Kremlin yang terkenal korup itu, basis rejim terutama terdiri dari pegawai negeri yang pekerjaan dan kariernya tergantung pada atasan mereka, selapisan kroni yang tergantung pada kontrak pemerintah dan relasi bisnis dengan Kremlin, dan lapisan lainnya yang telah menjadi kaya raya lewat nepotisme.
Terakhir, Putin mengandalkan aparatus keamanan dan militer. Rejim Putin adan rejim Bonapartis borjuis. Pada analisa terakhir, Bonapartisme adalah kekuasaan lewat pedang. Putin adalah “tangan besi” yang berdiri di tampuk negara dan menyeimbangkan kelas-kelas, yang memperkenalkan dirinya sebagai pengejawantahan bangsa Rusia.
Tetapi Putin layaknya raksasa berkaki lempung. Seiring dengan tergerusnya basis dukungan massanya, untuk mempertahankan kekuasaannya dia semakin harus mengandalkan penipuan, kecurangan pemilu, dan represi terbuka.
Talleyrand konon pernah berkata pada Napoleon bahwa kau bisa melakukan banyak hal dengan pisau bayonet, tetapi kau tidak bisa duduk di atasnya. Putin sebaiknya mendengarkan petuah ini. Menangkapi, memenjarakan, dan meracuni musuh-musuh politik bukanlah tanda kekuatan tetapi tanda kelemahan dan rasa takut.
Terlebih lagi, teror sebagai senjata dapat digunakan secara efektif hanya untuk sementara, tetapi hukum diminishing returns (hasil lebih yang semakin berkurang) berlaku. Cepat atau lambat, rakyat mulai kehilangan rasa takut mereka. Ini adalah momen paling berbahaya bagi setiap rejim otoriter. Demonstrasi-demonstrasi belakangan ini adalah bukti bahwa proses ini telah dimulai.
Pada kenyataannya, satu-satunya hal yang mempertahankan rejim ini adalah kelembaman massa, tetapi ini hanya untuk sementara saja. Mustahil untuk mengatakan secara pasti berapa lama kesetimbangan yang labil ini akan terus berlangsung. Untuk sementara, represi masif telah berhasil meredam gerakan protes. Tetapi tidak ada satupun akar permasalahan yang telah diselesaikan.
Protes-protes baru-baru ini telah membuat kuatir rejim Putin, yang menggunakan kombinasi represi dan konsesi. Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk membantu keluarga-keluarga termiskin. Ini mungkin akan membeli mereka sejumlah waktu. Tetapi harga minyak yang relatif rendah terus berdampak buruh pada perekonomian Rusia, dan sanksi-sanksi ekonomi dari AS masih berlaku dan bahkan akan semakin diperketat.
Partai “Komunis” Rusia
Di Rusia, peran faktor subjektif sangatlah jelas. Bila CPRF adalah Partai Komunis yang sejati, mereka sudah akan bersiap mengambil kekuasaan. Tetapi klik Zyuganov tidak punya niat untuk berkuasa. Mereka memiliki sebuah kesepakatan yang nyaman dengan Putin, yang menjamin privilese-privilese mereka dengan syarat mereka tidak mengganggu cengkeraman kekuasaannya.
Sikap para pemimpin CPRF telah membuat anggota-anggota akar rumput partai semakin gelisah. Telah terjadi sejumlah pembangkangan di tingkatan lokal dan daerah, yang telah diredam dengan pemecatan. Sejumlah organisasi daerah telah dihancurkan dengan cara ini. Zyuganov khawatir akan munculnya sentimen oposisi radikal di dalam partai. Dan berkembangnya oposisi semacam ini dan semakin dalamnya krisis di dalam Partai Komunis membuat peluang untuk menguatnya pengaruh Marxis yang sejati di antara kaum komunis akar-rumput.
Perdamaian yang penuh kegelisahan sekarang mungkin dapat bertahan selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun. Tetapi tertundanya gerakan hanya akan berarti bahwa kontradiksi akan terus tumbuh, dan mempersiapkan jalan untuk ledakan yang bahkan lebih besar di masa depan. Elemen paling menentukan dalam persamaan ini adalah kelas buruh Rusia, yang sampai sekarang belumlah menunjukkan kekuatan penuhnya.
Mustahil untuk memprediksi secara persis bagaimana peristiwa akan bergulir. Rusia belumlah memasuki situasi pra-revolusioner, tetapi peristiwa tengah bergerak dengan sangat pesat. Kita harus mengikuti apa yang terjadi di negeri ini.