Berikut adalah dokumen Perspektif Dunia yang menyajikan analisa umum kami mengenai proses-proses fundamental yang tengah bergulir dalam perpolitikan dunia, di masa yang ditandai dengan krisis dan gejolak tanpa preseden. Dengan dinamit yang ada di fondasi perekonomian dunia dan pandemi Covid-19 yang masih membayangi seluruh situasi dunia, semua jalan mengarah ke perjuangan kelas yang semakin menajam. Dokumen ini kami terbitkan dalam 6 bagian:
1) Dunia dalam Krisis Tanpa Preseden
2) Amerika Serikat: Prospek Revolusi Mulai Terbuka
3) Eropa & Rusia: Ketidakstabilan Di mana-mana
4) Asia: Badai Pandemi India & Perang Dagang China
5) Apakah Pemulihan Ekonomi Mungkin?
6) Perjuangan Kelas dan Tugas Kita
Perubahan Perimbangan Kekuatan
Yang berhasil mengeluarkan AS dari Depresi 1930an bukanlah New Deal-nya Roosevelt tetapi Perang Dunia Kedua. Tetapi sekarang jalan keluar ini sudah tertutup. Kekuatan imperialisme Amerika telah melemah relatif dengan kekuatan-kekuatan lain, dan begitu juga kemampuannya untuk melakukan intervensi militer.
Kebutuhan untuk menaklukkan pasar dan sumber bahan mentah telah mendorong China untuk lebih agresif dalam mengintervensi pasar dunia. China telah merenggut akses ke sumber daya alam di berbagai belahan dunia. Misalnya, China telah mengamankan kendali atas sebuah pelabuhan dan airport di Sri Lanka; mendirikan pangkalan militer di Djibouti; membangun rel kereta api di Ethiopia; mengamankan tembaga dan kobalt di Kongo; tembaga di Zambia; minyak bumi di Angola; dan seterusnya. China juga mengklaim Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya, yang merupakan rute terpenting untuk perniagaan dunia.
Ini secara langsung mengancam kepentingan imperialisme AS. Semua ini niscaya berarti ketegangan lebih besar antara China dan AS. Di masa lalu, ini jelas akan mengarah ke perang. Tetapi perimbangan kekuatan telah berubah sepenuhnya.
Trump tidak mampu membuat Korea Utara mencampakkan program senjata nuklirnya. “Si Roket Kecil” (Kim Jong-Un) mempermainkannya. Jadi, mengapa AS tidak menyatakan perang terhadap Korea Utara, yang jelas-jelas adalah sebuah negeri Asia yang mungil?
Di masa lalu, Amerika mengobarkan perang di Korea yang berakhir dengan seri. Tetapi di Vietnam, setelah mengucurkan begitu banyak darah dan emas, mereka dikalahkan untuk pertama kalinya. Setelah itu, mereka dipermalukan di Irak, Afganistan, dan Suriah.
Trump tampaknya sedang mempersiapkan serangan udara ke Iran, tetapi di menit terakhir mengurungkan niatnya, karena takut pada konsekuensinya. Semua ini menggarisbawahi fakta bahwa perang bukanlah sebuah masalah abstrak, tetapi sangatlah konkret.
AS tidak mampu mempertahankan Ukraina atau Georgia dari serangan Rusia, yang memiliki angkatan bersenjata yang sangat kuat, yang menunjukkan efektivitasnya di Suriah. AS terpaksa mundur, dan membiarkan Rusia dan Iran menguasai Suriah. Amerika mengirim sejumlah pasukan ke negeri-negeri Baltik untuk “melindungi” mereka dari Rusia. Tetapi Putin tidak punya niatan menginvasi negeri-negeri kecil ini dan tidak terlalu ambil pusing dengan ini.
Perkara China bahkan lebih jelas. China hari ini bukanlah negeri miskin seperti dulu. Ia adalah sebuah negara dengan ekonomi yang berkembang dan angkatan bersenjata yang kuat, dengan senjata nuklir dan misil-misil balistik interkontinental yang dapat menyasar ke kota-kota AS.
Fakta bahwa China baru-baru ini meluncurkan satelit yang mengorbit di bulan dan mengirim misi ke Mars jelas menggarisbawahi poin ini, yang dicatat dengan baik oleh Washington. Oleh karenanya, tidak ada prospek perang di masa depan yang dekat antara AS dan China, atau antara AS dan Rusia.
Perang besar seperti 1914-18 atau 1939-45 hampir mustahil terjadi hari ini karena perubahan perimbangan kekuatan. Di bawah kondisi modern, perang seperti ini akan berarti perang nuklir, yang akan jadi bencana bagi seluruh dunia.
Akan tetapi, ini bukan berarti periode yang mendatang akan penuh dengan kedamaian. Justru sebaliknya. Akan selalu ada perang – perang-perang lokal yang kecil tetapi menghancurkan – terutama di Afrika dan Timur Tengah. Imperialis AS, bersama-sama dengan kekuatan-kekuatan imperialis lainnya, telah terlibat dalam perang-perang lokal dengan membeking pasukan-pasukan proksi untuk mengobarkan perang melawan kompetitor-kompetitor mereka, dan di masa depan ini akan dilakukannya untuk melawan China. Tetapi, AS sangat enggan membahayakan nyawa serdadu AS di perang-perang asing, karena opini publik Amerika ini sangatlah menentang perang semacam ini.
Situasi ini hanya dapat berubah bila rejim polisi militer Bonapartis mengambil kekuasaan di AS. Tetapi ini hanya bisa terjadi setelah kelas buruh AS menderita serangkaian kekalahan menentukan, dan ini sama sekali bukan perspektif kita. Jauh sebelum kebangkitan rejim Bonapartis, kelas buruh akan memiliki banyak peluang untuk merebut kekuasaan. Kegaduhan terus-menerus dari kaum Kiri dan sekte-sekte mengenai fasisme yang katanya diwakili oleh Trump adalah kekanak-kanakan semata, dan harus kita abaikan sepenuhnya.
Pada masa kini, imperialisme AS menggunakan otot ekonominya untuk menegakkan dominasi globalnya. Administrasi Trump berulang kali menggunakan ancaman sanksi ekonomi untuk mem-bully seluruh dunia untuk manut pada kebijakan Washington. Imperialisme AS telah menjadikan niaga sebagai senjata.
Setelah secara sepihak membatalkan kesepakatan dengan Iran, yang telah dengan susah payah dibroker oleh administrasi AS sebelumnya dan sekutu-sekutu Eropanya, Trump memperketat sanksi terhadap Iran untuk mengacaukan perekonomiannya, dan lalu memaksa perusahaan-perusahaan dan bank-bank Eropa untuk mematuhi sanksi ini, kalau tidak mereka akan dilarang mengakses pasar AS.
Di masa lalu, bila imperialis Inggris punya masalah dengan negeri semi-kolonial seperti Persia, mereka akan mengirim kapal perang. Hari ini, imperialisme AS mengirim sepucuk surat dari Dewan Perniagaan. Pada kenyataannya, dampak surat ini jauh lebih menghancurkan dibandingkan misil-misil dari kapal perang.
Clausewitz mengatakan bahwa perang adalah politik dengan cara lain. Hari ini kita harus menambahkan bahwa perniagaan adalah perang dengan cara lain.
“Ekonomi Dukun”
Tatkala kelas penguasa dihadapkan dengan situasi dimana mereka akan kehilangan semuanya, mereka akan meluncurkan kebijakan-kebijakan nekat untuk menyelamatkan sistem. Demikianlah hari ini. Dalam keputusasaan mereka untuk mencari solusi bagi krisis sekarang, kaum borjuasi seperti orang mabuk yang terhuyung-huyung.
Mereka mengobrak-abrik tong sampah sejarah dan menemukan gagasan tua Keynesianisme. Mereka mendadak mabuk dengan ilusi baru ini, yang sebenarnya adalah teori lama yang sudah terdiskreditkan, yang sebelumnya telah mereka campakkan dengan keji.
Ted Grant menyebut Keynesianisme “ekonomi dukun”. Ini sebutan yang sangat tepat. Gagasan bahwa borjuasi bisa menghindari krisis atau keluar dari krisis dengan menyuntik sejumlah besar dana dari pemerintah terdengar atraktif, terutama bagi kaum reformis kiri karena ini tidak memerlukan perjuangan untuk mengubah masyarakat. Tetapi ada satu masalah kecil.
Pemerintah bukanlah pohon uang ajaib. Gagasan bahwa pemerintah bisa menjadi sumber dana tak-terbatas adalah sepenuhnya omong kosong. Namun omong kosong ini telah diadopsi oleh hampir semua pemerintah. Sesungguhnya, kebijakan ini lahir dari keputusasaan. Dan ini telah menciptakan gunung tinggi hutang yang tidak ada presedennya kecuali pada saat peperangan.
Sekarang, pemerintah di mana-mana menghamburkan uang seperti minum air. Mereka berbicara mengenai membelanjakan miliaran dolar, pound, atau euro layaknya recehan.
Sebagai akibatnya, ada bom waktu hutang yang terus berdetak di bawah fondasi perekonomian. Dalam jangka panjang, dampaknya akan lebih menghancurkan dibandingkan bom teroris manapun. Inilah yang konon pernah disebut ekonom Alan Greenspan sebagai “kegembiraan irasional pasar.”
Kata yang lebih tepatnya adalah “kegilaan.” Kegilaan ini cepat atau lambat akan menyebabkan kemerosotan ekonomi, yang secara halus disebut “koreksi pasar.”
Peran Negara dalam Ekonomi
Pada 8 Mei 2020, Financial Times menerbitkan sebuah editorial yang kami kutip seperti berikut:
“Kecuali bila ada revolusi komunis, akan sulit membayangkan bagaimana pemerintah dapat mengintervensi pasar swasta – untuk tenaga kerja, untuk kredit, untuk pertukaran barang dan jasa – secepat dan sedalam seperti selama dua bulan lockdown ini.”
“Dalam sekejap, jutaan pegawai swasta menerima upah mereka dari anggaran publik dan bank-bank sentral telah membanjiri pasar finansial dengan uang elektronik.”
Tetapi bagaimana statemen ini bisa didamaikan dengan mantra yang sering kali kita dengar bahwa negara tidak memainkan peran apapun dalam “ekonomi pasar bebas”? Financial Times memberikan jawaban yang sangat menarik:
“Tetapi kapitalisme liberal demokratik tidak bisa berdiri sendiri, dan harus dilindungi dan dipertahankan supaya tangguh.”
Dalam kata lain, “pasar bebas” sama sekali tidak bebas. Dalam kondisi hari ini, pasar bebas harus bersandar pada pemerintah sebagai penyokong. Pasar bebas hanya bisa selamat berkat subsidi negara yang masif dan tanpa-preseden. IMF menghitung jumlah total sokongan fiskal di seluruh dunia mencapai 14 triliun dolar AS. Hutang pemerintah di seluruh dunia sekarang telah mencapai 99 persen PBD untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Ini merupakan pengakuan kebangkrutan kapitalisme, dalam makna kata yang sesungguhnya. Problem sentralnya dapat diringkas dengan satu kata: hutang. Total hutang global (termasuk pemerintah, rumah tangga, dan korporasi) pada akhir 2020 telah mencapai 356% PDB, naik 35% dari tahun 2019, dan mencapai rekor $281 triliun. Ini terus melambung tinggi. Inilah bahaya terbesar yang dihadapi sistem kapitalis.
Jepang menghabiskan $3 triliun untuk melunakkan pukulan ekonomi dari Covid-19, yang menumpuk hutang publiknya, yang sudah 2,5 kali lipat dari total ekonominya. Problem ini terutama parah di China, dimana total hutang telah melampaui 280% PDB, yang berarti tingkat hutang China telah mencapai level kebanyakan negeri kapitalis maju, dan hutang ini meningkat pesat di banyak sektor ekonomi.
Pada Januari 2021, Bank Dunia memberi peringatan mengenai bahaya “gelombang hutang ke-4”, yang terutama parah di luar negeri-negeri kapitalis maju. Bank Dunia sangat khawatir akan keruntuhan finansial dengan konsekuensi-konsekuensi jangka panjang.
Kaum borjuasi bertingkah seperti penjudi tak bertanggung jawab, yang menghabiskan sejumlah besar uang yang tidak dia miliki. Mereka menderita delusi dan lupa daratan, menghabiskan begitu banyak uang dengan harapan bahwa keberuntungannya tidak akan pernah habis, sampai akhirnya momen fatal pun tiba, dan selalu tiba, ketika hutang harus dibayar.
Cepat atau lambat, hutang ini akan mengejar mereka. Tetapi dalam jangka pendek, mereka cukup senang melanjutkan kegilaan ini, dengan terus mencetak uang yang tidak punya basis ekonomi yang riil dan membanjiri ekonomi dengan kapital fiktif yang memabukkan.
Akan tetapi, ini bukan sekadar 'krisis utang', seperti yang dikemukakan oleh beberapa kaum liberal dan reformis. Masalah sebenarnya adalah krisis kapitalisme – krisis overproduksi, di mana hutang yang sangat besar ini merupakan gejalanya. Dalam dirinya sendiri, hutang besar tidak selalu menjadi masalah. Jika ada pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam jangka panjang, seperti selama periode pasca perang, maka hutang tersebut dapat dikelola dan secara bertahap dihilangkan. Tapi perspektif seperti itu tidaklah ada di masa depan. Sistem kapitalis tidak berada di era kebangkitan ekonomi, tetapi era stagnasi dan kemerosotan. Akibatnya, beban hutang ini akan menjadi hambatan yang semakin besar bagi perekonomian dunia. Satu-satunya cara untuk mengurangi hutang ini adalah melalui penghematan; inflasi, yang pada gilirannya akan berakhir dengan keruntuhan dan periode baru penghematan; atau dengan pailit langsung. Tetapi salah satu dari skenario ini akan mengarah pada ketidakstabilan yang lebih besar dan menajamnya perjuangan kelas.
Apakah mungkin ada pemulihan?
Terbawa oleh euforia, mereka bahkan menerbitkan artikel-artikel yang dengan penuh keyakinan memprediksi pemulihan pesat – tidak hanya pemulihan tetapi pertumbuhan masif. Di kolom-kolom pers borjuis, kita dapat membaca prediksi-prediksi pemulihan. Prediksi semacam ini sangat optimis tetapi minim fakta.
Krisis hari ini berbeda dengan krisis-krisis di masa lalu dalam beberapa aspek. Pertama, krisis ini terikat erat dengan pandemi virus korona, dan tidak ada yang dapat memprediksi dengan pasti berapa lama pandemi ini akan berlangsung.
Untuk alasan ini, prediksi ekonomi oleh IMF dan Bank Dunia hanyalah tebakan semata.
Tetapi apakah ini berarti tidak akan ada pemulihan? Tidak. Akan menjadi kesalahan untuk menarik kesimpulan ini. Pada titik tertentu, semacam pemulihan adalah tak terelakkan. Sistem kapitalis selalu bergerak dalam siklus boom-and-slump. Pandemi ini telah mengganggu siklus ini, tetapi tidak menghapusnya.
Lenin menjelaskan, sistem kapitalis mampu keluar dari krisis yang paling dalam sekalipun. Kapitalisme akan terus eksis sampai akhirnya ia ditumbangkan oleh kelas buruh. Cepat atau lambat, kapitalisme akan menemukan jalan keluar dari krisis ini juga. Tetapi mengatakan ini saja tidak cukup.
Masalah ini harus diajukan secara konkret, di atas landasan apa yang telah kita ketahui. Bentuk persis siklus boom-and-slump dapat berubah-ubah secara besar. Dan pertanyaan yang harus ditanyakan adalah: pemulihan macam apa yang sedang kita bicarakan?
Apakah pemulihan ini akan menandai awal masa pertumbuhan dan kemakmuran yang panjang? Atau, pemulihan ini hanyalah jeda sementara sebelum krisis selanjutnya menghantam? Klaim paling optimis mengenai pemulihan ini didasarkan pada adanya “permintaan yang terakumulasi” (setidaknya di negeri-negeri kapitalis maju).
Selama pandemi, konsumen tidak dapat mengeluarkan uang mereka untuk membeli barang-barang, pergi ke restoran, kafe, bar, atau melakukan perjalanan ke luar negeri. Menurut teori ini, berakhirnya pandemi akan melepaskan uang yang tersimpan ini, yang lalu mendorong maju perekonomian dan memulihkan kepercayaan pasar. Fakta ini, bersamaan dengan stimulus uang publik lebih lanjut, dapat mengarah ke pemulihan pesat.