facebooklogocolour

Morsi telah jatuh. Gerakan luar biasa dari massa sekali lagi telah menunjukkan wajah asli rakyat Mesir ke seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Revolusi, yang bahkan banyak di antara kaum Kiri beranggapan bahwa revolusi sudah tidak ada lagi, ternyata masih memiliki cadangan-cadangan sosial yang sangat besar.

Terlepas dari semua propaganda bohong yang mencoba menggambarkan revolusi ini sebagai suatu “kudeta”, ini tidak lain merupakan suatu pemberontakan kerakyatan yang sejati, yang menjalar seperti api ke tiap-tiap kota di Mesir. Ini adalah Revolusi Mesir Kedua.

Selama satu minggu terakhir, berdasarkan perkiraan paling konservatif, terdapat 17 juta orang yang turun ke jalan, dan seruan pemogokan massa kini mengudara. Ini adalah pemberontakan tak tertandingi dan paling besar dalam sejarah. Skala dan sapuannya bahkan melampaui Revolusi yang menggulingkan diktator Mubarak kurang dari dua yang tahun lalu.

Tanpa partai, tanpa organisasi atau kepemimpinan, massa dengan tanpa takut menantang rezim yang dibenci. Dalam kata-kata Marx, mengikuti jejak langkah Komune Paris, mereka “menggempur kahyangan”. Revolusi kini bergerak maju dengan kekuatan besar dan kecepatan tinggi serta menyingkirkan semua yang menghalangi.

Trotsky menelaskan bahwa “sejarah revolusi bagi kita pertama-tama adalah sejarah massa yang memaksa masuk ke ranah kekuasaan dengan takdir mereka sendiri.” Itulah makna dalam Revolusi Mesir. Seperti tiap revolusi besar, Revolusi Mesir telah mengaduk-aduk masyarakat sampai ke tingkat terdalam. Revolusi telah memberikan suara dan bentuk bagi aspirasi-aspirasi tak berbentuk dari massa demi hidup dan masa depan yang lebih layak.

“Namun massa secara politik tengah bingung; mereka tidak memiliki program yang jelas dan tidak tahu apa yang mereka inginkan.” Inilah cara pikir steril dari kaum formalis dan sektarian. Pola pikir ini adalah produk dari sikap abai atas apa sebenarnya revolusi itu.

Sudah merupakan watak aslinya, bahwa revolusi menandai masuknya berjuta rakyat ‘yang secara politik tidak terdidik’ ke dalam panggung sejarah. Mereka tidak membaca buku-buku Marxis dan bukan anggota partai apapun. Namun mereka adalah mata air utama revolusi dan satu-satunya jaminan keberhasilan revolusi.

Dalam tahapan-tahapan awal revolusi, massa bingung dan naif. Hal ini sangatlah alami! Siapa yang bisa mendidik mereka? Siapa yang sekarang bisa melakukannya? Massa hanya bisa belajar melalui pengalaman aksi mereka. Mereka belajar dari buku terhebat—buku kehidupan.

Bagaimanapun juga dalam suatu revolusi, massa belajar dengan cepat. Laki-laki dan perempuan di jalanan Kairo, Alexandria, dan kota-kota lainnya telah belajar lebih banyak selama berhari-hari dan berminggu-minggu belakangan ini daripada seluruh hidup mereka. Di atas segalanya, mereka telah mempelajari kekuatan kolektif mereka sendiri—kekuatan untuk menantang negara dan pemerintahan, menantang para politisi dan birokrat, menantang para jenderal dan petinggi kepolisian—dan mereka menang.

Ini adalah suatu pelajaran yang sangat kuat, namun juga merupakan suatu pelajaran sangat berbahaya dari sudut pandang kelas penguasa—dan ini tidak hanya di Mesir. Para pimpinan Turki, Arab Saudi, Yordania, Moroko, Qatar, semua tengah gemetaran. Namun gelombang mengejutkan dari Mesir bahkan menyebar lebih jauh lagi.

Rakyat Mesir memberikan pelajaran berbahaya bagi para pekerja dan pemuda di seluruh dunia. Di Portugal, pemerintah tengah berada di tepi jurang keambrukan akibat demonstrasi dan pemogokan massa. Rakyat Portugal menolak menerima pemaksaan penderitaan oleh gang borjuis di Brussels dan Berlin. Seluruh rencana “pengetatan untuk para pekerja dan laba untuk para bankir” kini terancam oleh hal ini—dan bahkan masa depan Euro juga ikut terancam.

Apakah Ini Kudeta?

Reaksi para Imperialis terhadap peristiwa-peristiwa di Mesir merupakan kombinasi ketakutan, impotensi, dan pengkhianatan. Amerika sama tak berdayanya untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa ini sebagaimana yang terjadi dua tahun lalu. Mereka telah terdorong untuk bergerak di balik layar dengan bermanuver dan melakukan intrik-intrik dengan pucuk-pucuk pimpinan Militer Mesir, didukung dengan segenap ancaman dan gertakan.

Suatu lelucon “pers bebas” di Eropa dan di AS telah memproduksi banjir dusta dan distorsi beracun. Dusta pertama dan paling kentara adalah bahwa Morsi digulingkan bukan oleh gerakan massa namun melalui “kudeta” militer. Ini adalah “penjelasan” yang tidak menjelaskan apapun.

Semua orang tahu bahwa para petinggi Militer mengadakan kesepakatan dengan Morsi dan Ikhwanul Muslimin setahun yang lalu, dan menyerahkan kekuasan nominal para pencuri dan perampok tersebut dengan menyisakan aparatus rezim lama sebagai imbalannya. Para pembunuh dan penyiksa dari rezim lama kemudian dibiarkan bebas.

Tidak satupun jenderal ataupun petinggi kepolisian yang diadili atas kejahatannya terhadap rakyat Mesir. Mereka dibiarkan terus menjarah negara dan mengisi kantong mereka sendiri seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya, namun kini para pengusaha besar yang berdiri mendukung Ikhwanul Muslimin mendapat imbalan ijin untuk turun berpartisipasi dalam penjarahan pula.

Bila para petinggi militer kini memutuskan mencampakkan Morsi, hal itu mereka lakukan karena terdesak oleh gerakan massa yang tidak dapat dibendung lagi. Para jenderal takut bila mereka tidak bertindak, massa akan bergerak lebih lanjut dan mengambil alih kekuasaan ke tangan mereka sendiri. Mereka memutuskan untuk mengorbankan Morsi demi menyelamatkan apapun yang bisa mereka selamatkan dari aparatus rezim lama dan di atas segalanya, menyelamatkan kekayaan, kekuasaan, dan hak istimewa mereka sendiri.

Media borjuis terus berkoar-koar bahwa “kudeta” ini bukanlah pertanda baik bagi “demokrasi” di Mesir. Melalui layar-layar televisi, ditampilkanlah para perwakilan Ikhwanul Muslimin yang berurai air mata memprotes bahwa ini merupakan serangan serius terhadap demokrasi, terhadap presiden “yang terpilih secara sah“ dan membanding-bandingkannya dengan kudeta tahun 1950an yang berujung pada kediktatoran selama berpuluh-puluh tahun.

Dengan secara terus menerus menggembar-gemborkan bahwa militer lah yang menggulingkan Morsi, mereka berusaha mengalihkan perhatian dari kenyataan bahwa massa lah yang sebenarnya menggulingkan Morsi.

Ini bukanlah kudeta. Sebaliknya, ini dipaksakan oleh massa rakyat kepada militer. Para Jenderal telah menegaskan bahwa mereka tidak ingin mengambilalih pemerintahan. Hal ini tidaklah mengejutkan. Tinggal melihat bobot besar kemanusiaan di alun-alun Tahrir untuk mengerti betapa mustahilnya bagi militer untuk menguasai gerakan sebesar itu. Sebaliknya, para jenderal memutuskan untuk menungganggi sang macan. Masalahnya sang penunggang macan akan menghadapi kesulitan sangat besar saat ia berusaha turun dari tunggangannya.

“Demokrasi”

Dusta besar kedua yang terus disebarkan oleh media adalah bawah Morsi adalah “Presiden pertama yang dipilih secara bebas”, bahwa dia oleh karena itu adalah seorang presiden yang “sah” dan rakyat seharusnya sabar dan menunggu pemilu-pemilu baru, sebagaimana yang dilakukan di AS, Perancis, dan Inggris yang “beradab”.

Saat argumen konyol ini dilemparkan pada seorang demonstran di alun-alun Tahrir, sang demonstran langsung menjawab “Tapi ini adalah Revolusi!” Jawaban yang sangat bagus. Sejak kapan revolusi tunduk pada hukum, pemerintahan, dan institusi-institusi? Suatu revolusi dengan watak-watak alaminya, melawan, menantang, dan mencoba menggulingkan tatanan yang ada beserta hukum, aturan, dan nilai-nilainya. Menyuruh agar revolusi menghormati institusi dan individu-individu yang berusaha digulingkannya sama saja dengan menyuruh revolusi menyangkal dirinya sendiri.

Dalam perkara apaun, pernyataan bahwa pemerintahan Morsi itu demokratis adalah pernyataan yang salah hingga ke inti-intinya. Baik caranya berkuasa maupun bagaimana berkuasa rezim Morsi sangat tidak demokratis. Mayoritas rakyat Mesir tidak memilih Morsi, sebagaimana yang sering dikemukakan. Hanya 46,42% pemilih resmi yang mencoblos di putaran pertama pemilihan presiden. Sedangkan banyak yang memilih Morsi di putaran kedua melakukannya di bawah ilusi bahwa mereka memilih untuk capres yang “terbaik dari yang terburuk”, demi mempertahankan “demokrasi”, dan seterusnya. Bahkan beberapa kelompok dari Kiri di Mesir pernah menganjurkan memilih Morsi di atas basis ini, yang meruakan suatu posisi yang sangat salah, yang telah kita kritik dengan tajam saat itu. Kini kebenaran kritik kami semakin terbukti dengan apa yang kemudian terjadi.

Morsi bukanlah “terbaik dari yang terburuk”. Metode-metode kekuasaan Morsi tidak ada bedanya dengan metode-metode Mubarak. Pada kenyataannya, metode-metode itu dilaksanakan oleh orang-orang yang sama. Selama dua belas bulan kekuasaannya, ratusan demonstran dibunuh dan ribuan aktivis disiksa, dipukuli, dan dipenjara oleh preman-premannya hanya karena kaum demonstran bergerak dalam mobilisasi secara politis untuk menentang Morsi.

Kekerasan berdalihkan agama dikobarkan terhadap umat Kristen, Syiah, dan kaum minoritas keagamaan lainnya. Hak-hak pekerja dikebiri secara sistematis. Morsi mengorganisir kudeta legal di federasi-federasi serikat resmi. Morsi bahkan memberikan vonis hukuman mati bagi 21 suporter sepakbola yang sama sekali tidak bersalah. Perempuan dilecehkan di jalanan sebagai intimidasi agar mereka tunduk. Mesir kian didorong ke arah konstitusi Islamis yang represif dan tidak demokratis. Morsi memberikan dirinya sendiri kekuasaan besar yang bahkan melampaui hak-hak konstitusionalnya. Puncaknua, dia menyatakan niatannya untuk mendorong Mesir ke dalam pertikaian sektarian di Suriah.

Kaum “demokrat” kini menyarankan agar kaum pekerja sabar, menunggu hingga pemilu berikutnya, untuk “memberi kesempatan bagi demokrasi”, dan seterusnya-dan seterusnya. Namun kaum “demokrat” ini hidup mapan, makan enak, dan tinggal di rumah yang menyenangkan. Mereka bisa saja bersabar, karena demokrasi borjuis yang mereka pertahankan telah memberikan mereka hasil-hasil yang memuaskan. Namun massa tidak bisa menunggu. Mereka telah menderita kelaparan selama 12 bulan sementara yang lain hidup berkelimpahan. Mereka hidup menggelandang sementara yang lain tinggal di rumah mewah. Bahkan mereka yang memilih Morsi karena mengharapkan sejumlah peningkatan akhirnya menyadari bahwa harapan mereka telah terkoyak-koyak. Intensitas kemarahan mereka sesuai dengan derajat harapan mereka.

Bagi massa, demokrasi bukanlah kata kosong belaka. Ujian utama demokrasi adalah bisakah demokrasi mengisi perut-perut yang kosong. Revolusi Mesir tidak diperjuangkan untuk menyediakan pekerjaan menguntungkan buat para politisi profesional. Revolusi adalah pemberontakan massa melawan penindasan, pengangguran, dan kemiskinan. Di dalam revolusi, semangat massa berubah dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya mesin parlementer demokrasi sangatlah lamban dan ketinggalan di belakang berbagai peristiwa. Legitimasi yang disangkutkan pada Morsi hanyalah berdasarkan segelintir suara pemilih saja, bahkan dukungan yang semula didapatkanya pun kini semakin sirna.

Tahapan-Tahapan dalam Revolusi Mesir

Suatu Revolusi bukanlah drama satu babak. Revolusi bergulir melalui serangkaian tahapan, dimana massa mencoba menemukan jalan keluar dari krisis, pertama dengan mencarinya di satu partai politik ke partai politik lainnya, dari satu pimpinan ke pimpinan lainnya. Dalam tahapan-tahapan pertama, yang dicirikan dengan ledakan masuknya massa ke dalam arena politik, kurangnya pengalaman politik dan kenaifan akan mendorong mereka mengambil jalan yang paling mudah. Namun segera mereka menyadari bahwa jalan “mudah” ternyata merupakan jalang paling sulit.

Trotsky menjelaskan:

“Massa masuk ke dalam revolusi bukan dengan sebuah rencana rekonstruksi sosial yang matang, namun dengan perasaan tajam bahwa mereka tidak lagi bisa menahan menanggung derita di bawah rezim lama. Hanya lapisan-lapisan pembimbing dari suatu kelas yang memiliki program politik, dan bahkan hal ini masih memerlukan ujian peristiwa-peristiwa, dan persetujuan massa. Proses politik revolusi yang fundamental dengan demikian terdiri dalam pemahaman bertahap oleh suatu kelas terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dari krisis sosial—orientasi aktif massa dengan metode penaksiran berturut-turut. Tahapan-tahaopan yang berbeda dari suatu proses revolusioner, yang terlihat dari perubahan partai-partai dimana partai yang lebih ekstrim selalu menggantikan partai yang kurang ekstrim, mengekspresikan tekanan massa yang semakin ke kiri — sepanjang ayunan gerakan ini tidak terbentur pada halangan-halangan obyektif. Dan ketika terbentur pada halangan-halangan objektif, maka mulai bermunculan reaksi: kekecewaan-kekecewaan dari berbagai lapisan kelas revolusioner, tumbuhnya apatisme, dan dengan ini penguatan kekuatan-kekuatan kontrarevolusi. Hal-hal demikian, setidaknya, adalah garis umum dari semua revolusi-revolusi sebelumnya.”

Kita bisa melihat adanya pola serupa di Revolusi Mesir. Di tengah ketiadaan partai revolusioner yang kuat, satu seksi massa menengok ke Ikhwanul Muslimin, yang mana merupakan satu-satunya partai yang terorganisir dengan serius saat itu. Para pimpinan Ikhwanul Muslimin, mahir dalam tipu muslihat, pandai menyembunyikan kepentingan kelas dan sosok nyata di balik retorika mereka.

Namun sekali mereka berkuasa, mereka menunjukkan warna aslinya. Membuat kesepakatan dengan para petinggi militer dan mengkhianati semua harapan para pendukungnya. Opini massa langsung berayun menentang mereka, hingga berujung pada situasi seperti saat ini. Hal ini merepresentasijan tahapan Revolusi Mesir yang secara kualititatif lebih tinggi.

Akan terdapat serangkaian pergerakan dan pemberontakan, dan serangkaian pemerintah yang tidak stabil karena di atas basis kapitalis tidak ada solusi yang memungkinkan bagi permasalahan-permasalahan Mesir. Akan ada perlawanan baru namun juga akan ada periode kelelahan, kekecewaan, keputusasaan, kekalahan, bahkan reaksi. Namun setiap interupsi akan disusul oleh letupan-letupan baru. Letupan-letupan yang berakar di watak periode tersebut.

Bisakah Massa Merebut Kekuasaan?

Gerakan inspiratif ini merupakan gerakan massa sejati. Komite-komite Revolusioner terbentuk di seluruh negeri. Pemogokan massa telah diluncurkan. Jutaan rakyat turun ke jalan. Pemerintahan mengambang di tengah udara. Kaum demonstran mengepung Istana Kepresidenan, menggembok gerbang dan memasang poster bertuliskan “Ditutup Atas Perintah Revolusi”.

Gedung-gedung diduduki oleh rakyat jelata—oleh buruh bangunan, tukang kayu, buruh toko, juru tulis, pelajar, mahasiswa, dan pengajar. Dalam beberapa kesempatan prajurit dan polisi rendahan berseragam turut bergabung dengan mereka dan menunjukkan solidaritasnya.

Tak ada upaya untuk mengerahkan tentara ke Alun-Alun Tahrir, sebagaimana yang terjadi dua tahun lalu karena takut bahwa mereka akan tertular semangat revolusioner. Para pucuk pimpinan militer bergerak melawan Morsi karena mereka tidak punya pilihan lain. Kalau mereka tidak melakukannya, maka akan ada resiko serius dimana mereka akan kehilangan kontrol bahkan terhadap tentara mereka sendiri. Di bawah tekanan kuat gerakan berjuta massa rakyat, tidak akan ada jaminan bahwa tentara tidak akan terpecah, dengan lapisan para perwira junior bergerak ke kiri sebagaimana yang terjadi dengan Nasser di tahun 1952. Di tengah ketiadaan partai revolusioner yang kuat, skenario demikian masihlah mungkin terjadi.

Selama beberapa hari belakangan ini, kekuasaan Mesir tergeletak di jalanan menunggu siapapun untuk mengambilnya. Sayangnya, sungguh merupakan suatu tragedi karena tidak ada kepemimpinan riil yang bisa mengambil alihnya. Morsi digulingkan oleh revolusi sebagaimana Tsar digulingkan di Rusia pada Februari 1917. Namun pengalaman Revolusi Rusia menunjukkan bahwa tidaklah cukup untuk menggulingkan rezim lama. Harus ada sesuatu yang menggantikannya. Dalam konteks Rusia, keberadaan Partai Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky merupakan faktor menentukan yang menyebabkan Revolusi menang. Namun partai macam itu tidak ada di Mesir. Karena itu partai demikian harus dibangun di atas bara panasnya peristiwa-peristiwa disana.

Pada kenyataannya, kekuasaan ada di tangan rakyat. Namun kekuasaan ini tidak diorganisir, sehingga bisa jatuh dari sela-sela jemari mereka. Ketika gerakan surut dan rakyat kembali ke kehidupan mereka sehari-hari, para politisi profesional, para kariris dan para pedagang akan membajak Revolusi dan membikin kesepakatan-kesepakatan kotor di belakang punggung rakhat. Tak ada yang berubah dan dengan demikian dalam setahun atau dua tahun berikutnya, rakyat harus kembali turun ke jalan.

“Rakyat bertingkah tidak masuk akal”, kritik kaum borjuis terhadap Revolusi. “Masalah-masalah Mesir terlalu besar dan tidak dapat diselesaikan hanya dalam beberapa bulan.” Ya, benar bahwa  permasalahan-permasalahan Mesir sangat serius. Namun karena alasan itulah, permasalahan-permasalahan demikian tidak bisa dipecahkan hanya dengan tindakan setengah-setengah. Masalah yang mendesak menuntut solusi yang mendesak. Dan merupakan suatu fakta bahwa akar persoalan ini  bukanlah administrasi ini atau itu, atau presiden ini atau itu. Akar permasalahan krisis adalah sistem kapitalisme. Dan hanya bisa diselesaikan dengan penghapusan kapitalisme dan digantikan dengan ekonomi terencana secara nasional di bawah kontrol demokratis kelas pekerja.

Tentara tidak bisa terus berkuasa, namun mungkin mereka akan membentuk suatu pemerintahan yang mereka sebut-sebut sebagai pemerintahan teknokrat yang dipimpin oleh borjuis “liberal” macam El Baradei. Bisa jadi ada sejumlah ilusi terhadap militer di antara elemen-elemen rakyat yang terbelakang, meskipun otoritasnya tidak sebesar yang diklaim media-media Barat. Namun rakyat yang paling sadar tidak memiliki ilusi terhadap militer. Elemen-elemen paling militan dari kaum pemuda berkumpul di sekitar koalisi longgar bernama Tamarrod, yang telah memberi bentuk pada aspirasi-aspirasi revolusioner massa. Tamarod mengeluarkan pernyataan sebelum jatuhnya Morsi, yang kira-kira berbunyi seperti ini: “AS berusaha mempengaruhi militer dan Morsi, namun semua pihak harus tahu bahwa kehendak revolusioner rakyat lebih kuat.”

Hal ini seratus kali tepat. Slogan kaum revolusioner paling konsisten haruslah berupa: “Jangan percayai politisi borjuis yang ingin mencuri Revolusi dan menjual pencapaiannya bagaikan tawar-menawar pedagang pasar. Jangan percayai orang semacam El Baradei, yang hanya mewakili dirinya sendiri namun mengaku berbicara atas nama Revolusi.”

Orang-orang demikian tidak bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan mendesak rakyat Mesir. Namun bagaimana hal ini bisa dipecahkan? Kelas buruh Rusia mendirikan soviet-soviet—yaitu dewan-dewan pekerja –demi memberikan ekspresi terorganisir bagi gerakan. Di Mesir pula komite-komite Revolusioner telah mulai bermunculan. Inilah bagaimana caranya agar aspirasi-aspirasi massa bisa sepenuhnya diekspresikan. Komite-komite perlu terhubung di basis lokal, regional, serta nasional. Hal ini akan merepresentasikan alternatif revolusioner dan demokratis yang sejati terhadap negara borjuis dan represif yang ada saat ini.

Rakyat Mesir tidak bisa menunggu Militer atau pihak lain untuk mengambil keputusan bagi mereka. Kontrol-kontrol buruh haruh segera dikenalkan dan dijalankan di pabrik-pabrik dan di tempat-tempat kerja untuk menjamin produksi, menjamin perlindungan hak-hak dan kondisi-kondisi pekerja, serta menyoroti korupsi, tipu daya, dan mismanajemen kaum majikan dan kaum birokrat.

Demi mempertahankan Revolusi dari serangan teroris dari para pendukung Presiden dan elemen-elemen fasis berkedok Islam, kaum pekerja harus mempersenjatai diri, dan mengorganisir laskar-laskar pekerja yang terhubung dengan komite-komite revolusioner. Pengadilan-pengadilan revolusioner rakyat perlu didirikan, terhubung dengan komite-komite revolusioner, untuk menangkap, mengadili, serta menghukum kaum kontra-revolusioner dan mereka yang bersalah atas tindak kejahatan terhadap rakyat.

Jadikan slogan kita berupa:

1.         Roti! Kerja! dan Rumah!

2.         Sita harta kaum kaya yang telah merampas kekayaan Mesir selama sekian keturunan lamanya dan gunakan untuk membangun kembali negeri yang porak poranda ini!

3.         Gulingkan kaum kapitalis dan para birokrat yang telah merampok dan menindas kita!

4.         Dirikan pemerintahan pekerja dan petani yang akan menasionalisasi bank-bank besar dan perusahaan-perusahaan di bawah kontrol demokratis kaum pekerja, dan kumpulkan kekayaan Mesir untuk para pembanting-tulang bukan untuk keuntungan para parasit kaya!

5.         Dirikan program pekerjaan umum untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, dan perumahan, baik untuk menyediakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dan untuk memecahkan permasalahan perumahan buruk dan permasalahan tuna wisma

6.        Bentuk komite-komite aksi yang dipilih di tiap tempat kerja, di tiap lingkungan, di tiap sekolah, dan di tiap universitas.

7.         Hanya percayai diri kalian sendiri dan komite-komite demokratis kerakyatan kalian.

8.         Kendalikan para pemimpin kalian, bila mereka tidak bertindak sesuai amanat kalian, maka singkirkan mereka dan gantikan mereka dengan siapapun yang kalian kehendaki.

9.         Semua kekuasaan untuk komite-komite revolusioner!

10.       Panjang umur Revolusi Sosialis Arab!