cina9Pada Oktober lalu, Kongres Partai Komunis China (PKC) ke-20 semakin mengonsolidasi kekuasaan partai, dengan Presiden Xi Jinping di tampuk kekuasaan ini. Xi telah secara resmi mensahkan masa jabatan ke-3nya sebagai pemimpin tertinggi China, sebuah pencapaian yang hanya bisa ditandingi oleh Mao dalam sejarah Republik China. Kepemimpinan senior PKC kini sepenuhnya didominasi oleh orang-orang kepercayaan Xi. Tema yang ditekankan dalam Kongres ini adalah perlunya kepemimpinan partai-negara untuk memandu China memasuki periode selanjutnya. Tetapi, hanya 1 bulan setelah kongres partai yang meriah dan penuh kepercayaan diri itu, rejim PKC diguncang oleh gelombang demonstrasi anti-lockdown. Krisis kapitalisme China mulai mendorong massa untuk bergerak.

Tahun ini, Kongres PKC digelar di tengah krisis ekonomi dan sosial yang paling serius. Melambatnya pertumbuhan ekonomi, kegeraman massa yang besar terhadap kebijakan Covid-19 yang drakonian, dan krisis-krisis seperti Evergrande di antara lainnya mulai menggerus kestabilan rejim PKC.

Ketidakstabilan ini diantisipasi oleh selapisan birokrasi PKC, dan Xi Jinping adalah pemimpin yang paling mendorong pengetatan kendali partai-negara atas masyarakat China untuk mengantisipasi ledakan sosial di hari depan. Dan gelombang protes baru-baru ini telah membenarkan perspektif ini. Penguatan kekuasaan Xi dan PKC secara umum mencerminkan tumbuhnya kontradiksi-kontradiksi yang mengumpul di bawah permukaan masyarakat.

Kepemimpinan baru dan konsolidasi partai

Di kongres PKC ini, Xi Jinping memaparkan garis umum bagi birokrasi dalam bentuk perubahan dalam kepemimpinan partai dan amandemen konstitusi. Tahun ini Xi Jinping mengamankan masa jabatannya yang ketiga sebagai pemimpin tertinggi bangsa. Kepemimpinan Deng selepas meninggalnya Mao telah membatasi masa jabatan pemimpin PKC untuk mencegah munculnya diktator tunggal. Tetapi kongres ke-20 ini telah mengakhiri batas masa jabatan tersebut. 

Selain itu, biasanya pemimpin petahana sudah mempersiapkan penggantinya di dalam barisan kepemimpinan tinggi. Tetapi di antara anggota baru yang dipilih ke dalam Komite Tetap Politbiro (KT) tidak ada yang diajukan sebagai calon penerus Xi. Xi kemungkinan besar berencana menjabat lebih lama lagi, dan bahkan seumur hidup.

Konsentrasi kekuasaan ini mengalir dari kebutuhan birokrasi PKC untuk memperkuat cengkeraman kekuasaannya guna menghadapi kontradiksi-kontradiksi yang semakin membesar di dalam masyarakat China dan kapitalisme dunia. Ada gemuruh dari bawah yang membuat mereka khawatir. Xi meyakinkan partai bahwa hanya dengan memusatkan semakin besar kekuasaan ke tangan partai maka kediktatoran partai, privilese, dan profit kapitalis dapat terjamin.

Semua anggota Komite Tetap (KT) yang terpilih adalah orang-orang yang paling dekat dan loyal pada Xi Jinping. Ini berbeda dari KT sebelumnya, yang biasanya mewakili berbagai faksi birokrasi dalam PKC. SC yang baru menyingkirkan tokoh-tokoh besar seperti Perdana Menteri Li Keqiang, Wakil Perdana Menteri Han Zheng, Ketua Konferensi Konsultatif Politik Wang Yang, dan ketua Kongres Rakyat Nasional Li Zhanshu. Walaupun tokoh-tokoh ini sangatlah tunduk pada Xi selama 5 tahun terakhir, mereka telah dilihat sebagai pengimbang terhadap faksi Xi. Belakangan ini, Li Keqiang tidak sependapat dengan Xi mengenai pembatasan Covid-19 yang ketat.

Terutama, Li dan Wang dilihat sebagai elemen yang paling pro-pasar. Disingkirkannya mereka mengindikasikan bahwa Xi memahami krisis kapitalisme dunia yang ada di depan, dan bagaimana ini dapat mempengaruhi pasar China, dan oleh karenanya memerlukan intervensi negara yang lebih besar di hari depan untuk mempertahankan kapitalisme China. Intervensi negara dan kapitalisme bukanlah dua hal yang bertentangan. Di China terutama, kapitalisme dibesarkan dan dijaga oleh negara.

Dengan KT yang baru ini, Xi tengah mengumumkan ke seluruh Partai, negeri, dan dunia bahwa perannya dalam memandu masa depan China adalah absolut. Dan untuk menekankan ini, dia mempermalukan mantan presiden Hu Jintao, yang merupakan pemimpin utama faksi rival Xi. Awalnya Hu Jintao duduk di samping Xi Jinping. Tetapi sebelum sesi kongres ditutup, dua orang datang menyeret Hu Jintao dari kursinya dan menggiringnya keluar dari aula kongres. Episode ini dipertontonkan secara publik di TV. Pesannya jelas: Xi adalah pemimpin absolut di China.

Reformisme dengan Karakteristik China

Selain perubahan personel, juga ada perubahan dalam konstitusi yang menandai perubahan penting dalam perspektif birokrasi. Salah satunya mengenai kontrol terhadap ekonomi pasar dan masalah kesenjangan:

“ ... sistem dimana kepemilikan publik adalah utama dan berbagai bentuk kepemilikan berkembang bersama, sistem dimana distribusi menurut kerja adalah utama sementara beragam bentuk distribusi eksis bersamanya, dan ekonomi pasar sosialis, adalah pilar-pilar penting sosialisme dengan karakteristik China.”

Ini mencerminkan kekhawatiran rejim akan siklus boom-and-bust China dan pasar dunia yang kini mengancam kestabilan rejim. Xi telah secara eksplisit menolak kembali ke perekonomian terencana. Apa yang ditandai di sini adalah niat birokrasi untuk mengintervensi pasar guna “mengoreksi” kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam kapitalisme.

Birokrasi bonapartis yang berkuasa di China telah mengubah negeri ini selama beberapa dekade terakhir dari ekonomi terencana menjadi ekonomi kapitalis, sementara masih mempertahankan sektor-sektor negara yang kuat. Pemerintah mengasuh perkembangan pasar dan mereka percaya mereka masih bisa mengendalikannya. Tetapi dinamika ekonomi kapitalis adalah di luar kendali birokrasi, bahkan bila birokrasi mendisiplinkan sejumlah kapitalis.

Perkembangan kapitalis di China selama 20 tahun terakhir sangatlah pesat. Sebagai konsekuensinya, sekarang ada over kapasitas dalam produksi. Hari ini, penggunaan kapasitas industri hanya sekitar 75 persen. Sementara, di AS ini sekitar 79 persen.

Ini adalah gejala klasik over produksi, yang telah dijelaskan oleh Marx. Pasar yang jenuh membuat investasi produktif semakin tidak menguntungkan, dan sebagai akibatnya investasi semakin diarahkan ke spekulasi yang tidak produktif. Semua ini menunjukkan krisis China berakar pada kontradiksi kapitalisme – seperti halnya di Barat – kendati usaha PKC untuk menutup-nutupi fakta ini.

Tumbuhnya kesenjangan – yang tak terelakkan dalam kapitalisme – juga menimbulkan keresahan besar di antara massa China. Rejim Xi sangat menyadari masalah ini. Xi Jinping bahkan merekomendasikan anggota-anggota partai untuk membaca buku akademis reformis Thomas Piketty, Capital in the 21st Century, untuk mempelajari bagaimana kesenjangan di Barat telah menciptakan ketidakstabilan politik. Rejim berusaha mengatasi ini dengan melakukan redistribusi kekayaan, sekali lagi lewat negara.

Akan tetapi belum jelas bagaimana PKC akan melakukan ini. Tidak ada kebijakan konkret mengenai distribusi ini, walaupun rejim sudah mulai mengetatkan kebijakan terhadap modal swasta. Baru-baru ini, sejumlah kapitalis besar, terutama Jack Ma, dibatasi atau dihukum karena mereka mendulang terlalu banyak profit sehingga mengancam kestabilan ekonomi. Partai-negara telah mengirim kader-kader mereka ke dalam perusahaan-perusahaan swasta untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan. Jumlah perusahaan yang memiliki komite partai telah meningkat sampai 1,6 juta semenjak Xi mengambil kekuasaan 10 tahun yang lalu.

Walaupun kaum kapitalis sudah mulai dikendalikan, pemerintah China belumlah menerapkan kebijakan reformis seperti yang telah kita saksikan di sejumlah negeri-negeri kapitalis maju lainnya. Sistem perpajakan China masihlah lebih menguntungkan orang kaya dan sangat membebani buruh. Tetapi usaha untuk memperkenalkan sistem perpajakan yang progresif memiliki potensi mengguncang perekonomian yang sudah tidak stabil ini. Misalnya, rencana untuk memperluas pajak properti pada 2021 dihentikan karena krisis Evergrande meledak. Rejim khawatir pajak baru akan memperparah panik dalam sektor real estate China.

Dengan ketimpangan sosial dan ekonomi yang semakin parah, pemerintah mungkin akan mencoba semacam kebijakan redistribusi kekayaan. Akan tetapi, kebijakan seperti itu tidak dapat menghapus kontradiksi yang dihadapi China. Justru kebijakan ini dapat memicu krisis ekonomi yang ingin dihindari birokrasi. Setiap usaha untuk mengembalikan keseimbangan sosial dapat mengganggu keseimbangan ekonomi.

Rejim Xi memimpikan sebuah ekonomi kapitalis yang secara sempurna dipandu oleh negara. Dalam pidato pembukaan Kongres, Xi menekankan “dua prinsip utama”, yang menekankan bahwa negara dapat menjamin peran utama kepemilikan publik sembari mendorong perkembangan kepemilikan pribadi dalam cara yang menjaga kestabilan. Ini adalah mimpi siang bolong. Kapitalisme China akan terus meluncur ke kekacauan yang sama seperti di Barat.

Momok Militerisme dan Masalah Taiwan

Satu lagi poin penting dalam Kongres ini adalah Taiwan. Banyak yang percaya kalau Xi berambisi mencaplok Taiwan, yang semakin menjadi medan konflik antara AS dan China.

Dalam Kongres Partai, masalah Taiwan ditekankan dua kali. Pertama, dalam laporan pembukaan Kongres, Xi Jinping menyatakan China “tidak akan pernah mencampakkan penggunaan kekerasan” sebagai opsi untuk menganeksasi Taiwan. Dalam laporan yang sama, Xi menekankan pentingnya modernisasi militer sebagai langkah penting untuk menjadi “bangsa sosialis yang kuat dan modern”. Lalu, kalimat, “menentang kemerdekaan Taiwan” dimasukkan ke dalam Konstitusi Partai.

Masalah Taiwan memiliki implikasi penting bagi rejim PKC. Di dalam negeri, “menyatukan” Taiwan telah menjadi janji kunci pemerintah, yang semakin bersandar pada demagogi nasionalis. Bila ini tidak terpenuhi, kredibilitas pemerintah akan terpukul di antara warga China.

AS tengah dengan pesat mempersenjatai Taiwan untuk melawan ambisi China. Ini membuat situasi ini menjadi urgen. Tahun ini, Biden telah lebih dari sekali mengatakan secara eksplisit bahwa AS akan secara militer membela Taiwan. Walaupun Biden telah dibantah oleh pejabat-pejabat lainnya, AS sudah mulai mencampakkan kebijakan “ambiguitas strategis” mereka. Kunjungan Nancy Pelosi pada Agustus kemarin adalah provokasi untuk menguji China. Militer AS secara berkala memperingatkan mengenai bahaya invasi China ke Taiwan. Baru-baru ini Admiral Matt Gilday mengatakan bahwa China akan menyerang Taiwan sedini 2023. Pernyataan-pernyataan ini tidaklah lebih dari kebijakan imperialis yang sinis untuk menggalang dukungan di dalam negeri atas nama “membela demokrasi”.

Sebenarnya, militer China belumlah cukup memadai untuk merebut Taiwan dalam waktu dekat. Akan tetapi, jelas Xi memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin China yang menganeksasi Taiwan. Untuk mencapai ini, dan juga untuk menjaga kepentingan imperialisme China di seluruh dunia, Xi harus dengan cepat memperkuat kekuatan militer China dalam periode mendatang.

Militerisme di semua sisi dan potensi perang sebagai akibat dari persaingan imperialisme terus tumbuh setiap harinya. Tidak ada gunanya memohon agar kelas penguasa berpikir secara rasional. Kapitalisme adalah sebuah sistem yang secara inheren mendorong negeri-negeri ke konflik, karena mereka harus bersaing untuk memperebutkan pasar. Taiwan tidaklah lebih dari biji catur dalam usaha China untuk mendominasi Asia, dan bagi AS ini adalah langkah yang harus mereka cegah.

Ekonomi China goyah

Masa jabatan ketiga Xi tidak akan semulus yang digambarkan oleh Kongres. Jelas bahwa kapitalisme China tengah memasuki krisis ekonomi yang besar, yang sudah dipersiapkan oleh pertumbuhan masif di dekade-dekade sebelumnya. Pandemi hanya memperparah masalah ekonomi China. Sebelum pandemi, rejim bahkan sudah sangat khawatir akan kemampuan mereka untuk mempertahankan pertumbuhan di atas 5 persen. Hari ini, pemerintah harus menerima pertumbuhan di bawah 5 persen. IMF telah menurunkan prediksi mereka untuk China pada 2023 menjadi 4,3 persen. Majalah Caixin di China memprediksi 2,4 persen pada 2022 dan 4,6 persen pada 2023, dengan asumsi pelonggaran pembatasan Covid-19 setelah bulan Oktober.

Bila China berakhir dengan laju pertumbuhan seperti Barat, maka ini sangat bermasalah bagi PKC. Ekonomi-ekonomi maju seperti AS dan UK sudah terbiasa dengan pertumbuhan 2 persen. Tetapi skenario ini bagi China akan berarti PHK massal dan kredit macet. 

Melambatnya pertumbuhan dan masalah hutang adalah ancaman besar bagi perekonomian China. Krisis Evergrande disebabkan oleh hutang korporasi yang tidak sehat, tetapi ini hanyalah gambaran kecil dari masalah hutang di China secara keseluruhan. Sekarang, total hutang nasional mencapai 230 persen GDP China, sementara rasio hutang dan pendapatan adalah 273 persen. Rata-rata rasio hutang dan pendapatan rumah tangga China adalah 70 persen.

Negara sendiri memiliki hutang besar. Hutang pemerintahan pusat sekitar 43 persen. Akan tetapi hutang di tingkatan provinsi sangatlah beragam. Provinsi seperti Qinghai, Heilongjiang, Ningxia dan Inner Mongolia memiliki diferensial pengeluaran-versus-pendapatan mencapai 300 persen pada 2020. Selain itu, untuk menggeliatkan ekonomi setelah lockdown di banyak wilayah, pemerintahan pusat telah memerintahkan pemerintahan provinsi untuk meluncurkan kebijakan Keynesian secara drastis guna menopang ekonomi. Ini mendorong banyak provinsi untuk mengambil hutang besar. BUMN yang memainkan peran kunci dalam ekonomi kini memiliki hutang lebih dari 63,7 persen total aset. Hutang terus membengkak di mana-mana dan rejim belum mengambil langkah untuk menekan ini.

Kapitalisme China sudah kehabisan jalan keluar. China semakin tergantung pada sektor properti untuk pertumbuhan. Tetapi sektor ini memiliki tingkat hutang sebesar 75 persen, kira-kira sama seperti sektor properti AS pada 2008. Konstruksi real estate telah menjadi sumber pendapatan banyak pemerintahan daerah, karena 40 persen pendapatan mereka datang dari penjualan lahan ke perusahaan developer. Ini pada gilirannya sangatlah penting, karena pemerintahan daerah bertanggung jawab mendorong perekonomian dengan meminjamkan uang untuk investasi infrastruktur.

Pada Agustus perusahaan-perusahaan developer properti terlambat membayar cicilan hutang mereka sebesar 31,4 miliar USD. Ini karena penjualan rumah telah anjlok 30 persen dibandingkan tahun lalu, yang mendorong banyak perusahaan real estate bangkrut. Dengan jatuhnya pendapatan developer, mereka memangkas pembelian lahan. Ini pada gilirannya memangkas pendapatan pemerintahan daerah. Pendapatan yang mengering ini dapat membuat tidak stabil hutang pemerintahan daerah yang mencapai 7,8 triliun USD, dan dapat memicu krisis ekonomi.

Gunung hutang pemerintahan daerah ini sangatlah tidak sehat, begitu juga boom properti yang terkait dengannya. Hutang ini ditumpuk untuk menyelamatkan China, dan seluruh dunia, dari depresi 2008.

Seperti yang kita lihat, tidak ada solusi di bawah kapitalisme. Pertumbuhan rendah dan hutang tinggi adalah gejala sistem yang sedang menderita krisis over produksi. Pemusatan kekuasaan di tangan partai dan negara tidak akan mampu menyelesaikan problem ini.

“Decoupling”

Masa jabatan ketiga Xi Jinping akan menghadapi dunia yang penuh dengan konflik dan proteksionisme. China akan bersaing dengan sengit dengan AS dan sekutu-sekutunya. Maka dari itu, China menyadari perlunya melindungi dirinya secara ekonomi dengan memisahkan dirinya dari rantai pasok internasional yang didominasi oleh Barat.

AS telah berusaha melumpuhkan industri teknologi China dengan sanksi microchip yang diterapkannya pada Oktober 2022. Sebagai respons, China melakukan investasi masif untuk mencapai “kemandirian microchip”. Secara umum, China meluncurkan rencana untuk menggantikan semua suku cadang komputer dari luar negeri dengan buatan dalam negeri dalam waktu tiga tahun ke depan. Pemasok suku cadang komputer untuk pasar China telah semakin didominasi oleh perusahaan dalam negeri. Lenovo dan Founder sekarang adalah pemasok utama, dengan pangsa pasar 57 persen dan 15 persen, sementara Intel dan Dell hanya memiliki pangsa pasar satu digit saja.

Usaha China untuk melakukan membangun rantai pasok teknologi mereka sendiri adalah bagian dari usaha untuk melindungi dirinya dari serangan ekonomi Barat. 

Usaha decoupling serupa telah dilakukan oleh Xi dalam medan diplomasi. Sebelum Xi, China mengadopsi posisi yang kompromis terhadap badan-badan diplomasi yang didominasi AS. Sekarang, diplomasi di bawah Xi ditandai dengan serangan-serangan tajam terhadap Barat, dengan usaha untuk meluaskan badan-badan internasional alternatif dimana China dapat menggalang dukungan dari negeri-negeri lain.

Dalam dunia yang semakin tidak stabil dan multi-polar, China di bawah Xi akan semakin menjadi kutub utama dalam melawan blok imperialis AS. Kelas buruh China akan jadi korban dengan satu cara atau lainnya dalam rivalitas imperialis yang semakin menajam ini.

Perjuangan massa dari bawah

Kelas buruh China telah menderita karena kebijakan lockdown yang sangat ketat, yang dipaksakan oleh pemerintahan dalam usaha sia-sia mereka untuk mempertahankan “Zero Covid”. Jutaan rakyat hidupnya terganggu, sementara yang terjangkiti virus (dan tetangga mereka) harus tinggal di pusat-pusat karantina yang kualitasnya buruk. Puluhan ribu orang telah kehilangan pekerjaan mereka. Harga makanan melejit di zona-zona karantina. 

Kebijakan semena-mena yang diterapkan oleh pemerintah ini, yang dilakukan tanpa mempertimbangkan mood massa, telah mendorong gerakan massa baru-baru ini. Awalnya ini hanya terekspresikan lewat internet dan media sosial, dengan keluhan-keluhan terpisah mengenai kesulitan selama masa pandemi ini. Tetapi dalam waktu pendek, ini meledak menjadi gerakan massa, yang dimulai oleh buruh Foxconn. Perubahan kuantitas menjadi kualitas.

Buruh Foxconn melawan

Buruh pabrik Foxconn di Zhengzhou, Henan, adalah yang pertama kali bergerak. Pabrik raksasa ini memproduksi 70 persen iPhone dunia. Untuk operasi raksasa ini, pabrik ini memiliki 130 ribu buruh yang bermukim di pabrik.

Pabrik ini, yang pada 2021 dianugerahi “Workers’ Vanguard” oleh Federasi Serikat Buruh Seluruh China, pada kenyataannya adalah neraka eksploitasi bagi buruh. Sampai pada Oktober, puluhan ribu buruh Foxconn sudah melarikan diri dari kompleks pabrik untuk menghindari lockdown brutal yang diterapkan oleh manajemen, yang sangatlah mengabaikan protokol kesehatan. Sekarang, buruh yang sama bangkit melawan karena upahnya dicuri oleh manajemen.

Buruh telah menandatangani kontrak yang menjanjikan bonus sebesar 3000 RMB (5 juta rupiah) untuk kerja 30 hari, dengan tambahan bonus 3000 RMB lagi untuk kerja 30 hari selanjutnya. Tetapi mereka lalu mengetahui perusahaan ternyata telah mengubah tanggal kontrak sehingga buruh tidak akan menerima bonus pertama mereka sampai mereka bekerja lebih dari 60 hari. Banyak buruh yang sangat marah dengan ini, karena mereka sedang menabung untuk liburan Imlek pada Januari 2023 nanti.

Pada 22 November, buruh-buruh yang marah berkumpul untuk memprotes manajemen yang mencuri upah mereka. Mereka disambut dengan kekerasan satpam pabrik, yang mereka tanggapi dengan perlawanan berani. Karena satpam pabrik kewalahan menghadapi aksi massa, PKC lalu mengerahkan polisi ke pabrik untuk menumpas aksi ini.

Tetapi skala aksi buruh Foxconn begitu besar sehingga pemerintahan Henan harus mengerahkan 20 truk polisi dari kota-kota sekitarnya di Luoyuang, Kaifeng, Zhumadian, dan Xuchang. Kendati demikian, buruh tidak takut menghadapi polisi yang dipersenjatai dengan tameng, gas air mata, dan meriam air. Bentrokan antara buruh dan polisi terus berlangsung di seluruh kompleks pabrik, dan semakin banyak polisi dikerahkan. Pada akhirnya, manajemen pabrik memenuhi tuntutan buruh dan menjanjikan 10.000 RMB untuk setiap buruh yang bersedia meninggalkan pabrik sekarang juga.

Berita perjuangan buruh Foxconn ini menyebar luas ke seluruh China. Gerakan buruh Foxconn menunjukkan bahwa rakyat dapat berjuang melawan penindasan rejim dan menang. Ini telah menginspirasi selapisan luas massa untuk melawan kebijakan lockdown rejim yang drakonian. Semua ini menunjukkan sekali lagi watak sesungguhnya PCK sebagai penjaga kepentingan kapitalis.

Bangkit melawan lockdown

Awalnya kebijakan PKC yang ketat dalam menghadapi virus Covid-19 berhasil jauh lebih baik daripada negeri-negeri lainnya. Tetapi mempertahankan strategi “Zero COVID” di satu negeri untuk durasi yang begitu panjang tidaklah memungkinkan. China tidak bisa memisahkan dirinya sepenuhnya dari seluruh dunia. Selain itu, varian baru yang lebih menular membuat strategi ini semakin sulit dipertahankan.

Rakyat China telah membayar mahal untuk kebijakan “Zero Covid”, yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan mereka. Pemerintah telah melanjutkan kebijakan lockdown jauh lebih lama daripada negeri lain. 

Menyusul Kongres ke-20, rejim melonggarkan aturan karantina untuk pendatang dari luar negeri dari 7 hari menjadi 5 hari. Tetapi rejim terus memberi instruksi kepada birokrat-birokrat daerah untuk mempertahankan kebijakan Zero Covid. 

Tetapi dengan melonjaknya kasus Covid-19 karena aturan karantina dan travel yang dilonggarkan, para birokrat daerah merespons dengan lockdown yang bahkan lebih drakonian dan panik. Birokrasi yang buta dan tuli ini mengira rakyat akan terus saja menuruti perintah mereka. Tetapi kesabaran massa sebenarnya sudah sangat tipis.

Akhirnya terjadi luapan kemarahan massa. Pemicunya adalah kebakaran di apartemen di Urumqi, Xinjiang, yang menyebabkan 10 korban  jiwa. Banyak orang yang lalu menyalahkan kebijakan lockdown yang menghalangi akses bagi pemadam kebakaran. Ini tidak lagi diterima oleh massa, yang langsung turun ke jalan. Awalnya protes ini hanya dimulai oleh beberapa individu yang marah. Tetapi semakin banyak orang bergabung. Ratusan hingga ribuan orang secara spontan bergerak ke kantor walikota.

Kemarahan rakyat di internet sudah tidak terbendung, sehingga sensor pemerintah tidak bisa menutupi berita ini yang menyebar ke seluruh penjuru negeri. Dalam waktu beberapa hari, ada protes-protes solidaritas untuk korban kebakaran Urumqi. Api Urumqi menyebar luar ke kota-kota utama China. Kebanyakan demonstran adalah rakyat jelata yang tidak pernah berpolitik atau melakukan demo, dan mereka menyebarkan video-video protes solidaritas mereka dan membuat sensor pemerintah kewalahan.

Para demonstran memegang kertas putih kosong sebagai simbol perlawanan mereka. 

Protes telah menyebar ke setidaknya 18 kota: Nanjing, Chongqing, Chengdu, Shanghai, Guangzhou, Wuhan, dan Beijing di antara lainnya. Kaum muda dan mahasiswa terutama ada di garis depan. Menurut laporan terakhir, setidaknya 79 universitas di 15 provinsi telah menyaksikan protes oleh mahasiswa. 14 darinya ada di Beijing.

Di Nanjing, mahasiswa Nanjing University School of Journalism turun ke jalan pada malam hari dalam jumlah besar. Mereka terdengar menyanyikan lagu kebangsaan China dan lagu Internasionale, dan secara terbuka melanggar aturan lockdown. Demo ini begitu besar sehingga rektor kampus mendatangi mereka dan berusaha meyakinkan mahasiswa untuk bubar. Dia banyak berjanji, kalau mereka bubar mereka akan dimaafkan. Tentu saja mahasiswa tidak percaya pada dusta ini dan terus berdemo.

Demo-demo lainnya juga berlangsung di Beijing. Sampai 1000 mahasiswa berdemo di Tsinghua University.

Di luar kampus, warga juga turun ke jalan-jalan, meneriakkan slogan: “Kami tidak ingin PCR, kami ingin makan. Kami tidak ingin lockdown, kami ingin kebebasan.” Slogan ini awalnya dimajukan oleh seorang demonstran tunggal yang memasang spanduk besar di Beijing sebelum Kongres PKC ke-20. Walaupun dia dengan cepat ditangkap, slogannya dengan cepat menyebar di antara massa lalu. Sepanjang hari, para demonstran berkumpul di Jembatan Sitong dimana spanduk ini awalnya dipasang beberapa minggu yang lalu, atau mereka berkumpul di sungai Liangma untuk melanjutkan demo mereka. Malam harinya, lagu Internasionale dapat terdengar.

Di Shanghai, kerumunan massa berkumpul di jalan bernama Urumqi Road. Mereka langsung dibubarkan oleh polisi, tetapi esok harinya lebih banyak orang lagi berkerumun di sana. Situasi ini berkembang dengan pesat. 

Beberapa hari kemudian, memang demonstrasi-demonstrasi ini akhir berhasil dibubarkan dan polisi dikerahkan berjaga-jaga di banyak titik. Tetapi situasi dapat berubah kembali dengan pesatnya.

Otoritas dan prestise pemerintah kini tengah terancam. Kesabaran rakyat sudah mencapai limitnya. Sementara perusahaan-perusahaan besar menerima pemotongan pajak dan stimulus, banyak rakyat jelata yang kesulitan bahkan untuk makan daging, dan sering kali kesulitan mendapatkan bahan makanan selama lockdown.

Walaupun rejim ini menyebut diri mereka ‘Komunis’, tetapi tidak ada komunisme di China. Tidak ada kontrol buruh demokratis di tempat-tempat kerja, ataupun dalam masyarakat luas. Tidak adanya demokrasi buruh dari bawah ini telah menciptakan kekacauan dan penderitaan bagi massa karena kebijakan yang dipaksakan oleh birokrasi.

Bila ada demokrasi buruh yang sejati di China, tantangan dalam melawan pandemi akan melibatkan massa untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan yang diperlukan untuk mencegah penularan, memvaksin populasi, melindungi pekerjaan dan mata pencaharian rakyat, dan menjamin akses ke kebutuhan pokok selama karantina atau pembatasan. Rakyat jelata akan dilibatkan dalam usaha kolektif demi kesehatan publik, alih-alih kebijakan semena-mena dan drakonian yang dipaksakan kepada mereka tanpa konsultasi sama sekali.

Jangan percaya pada kaum liberal

Pada titik ini, kami ingin memberikan peringatan kepada gerakan massa untuk tidak mempercayai kaum liberal. Walaupun tidak ada tanda-tanda keterlibatan elemen-elemen liberal borjuis dalam gerakan spontan ini, kita harus menolak program kaum liberal yang biasanya memohon bantuan dari Barat. Ini adalah kekeliruan fatal yang menyebabkan kekalahan gerakan protes Hong Kong pada 2019. Jelas, pemerintah-pemerintah Barat akan menawarkan solidaritas munafik mereka kepada para demonstran, atas nama ‘demokrasi’, tetapi dukungan ini harus kita tolak dengan tegas. Imperialisme Barat bukanlah sahabat kaum buruh dan muda China. Mereka hanya ingin melemahkan China dalam persaingan imperialis mereka.

Kita tidak boleh memiliki ilusi pada rejim kapitalis PKC hari ini. Rejim ini mungkin akan terpaksa membuat sejumlah konsesi. Baru-baru ini, pemerintahan pusat mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan mempertimbangkan perubahan kebijakan Covid-19, dan telah menyalahkan birokrat-birokrat daerah yang terlalu ketat. Ini menunjukkan bahwa rejim memahami dengan baik bahaya aksi massa China baru-baru ini. Tetapi kita tidak boleh mempercayai ini. Setelah gerakan mengendor, rejim akan meluncurkan represi untuk menangkap siapapun yang terlibat dalam gerakan ini. 

Untuk sekarang, mayoritas protes memusatkan tuntutan mereka pada masalah kebijakan lockdown. Mereka menuntut agar lockdown ini diakhiri, atau dibuat “lebih manusiawi”. Tuntutan untuk menumbangkan PKC dan Xi Jin Ping, atau tuntutan seperti kebebasan pers dan kebebasan berpendapat, masihlah minoritas. 

Represi dan konsesi adalah pedang bermata dua. Konsesi akan membuat massa lebih berani, karena ini akan menunjukkan bahwa aksi massa merupakan metode perjuangan yang membawa hasil, dan menunjukkan bahwa rejim ini bukanlah maha kuasa. Di sisi lain, represi dapat memperluas kemarahan massa.

Terlepas bagaimana gerakan ini berkembang, pengalaman ini akan menjadi sangat penting bagi massa. Lapisan termaju akan menarik kesimpulan revolusioner, bahwa problem masyarakat China tidak bisa diselesaikan dalam batasan kapitalisme yang ada. Satu-satunya jalan adalah perjuangan revolusioner untuk mengakhiri rejim PKC dengan mengedepankan program sosialis. 

Rejim Xi tidak akan diam saja. Mereka mungkin saja memberikan konsesi sekarang, tetapi mereka pasti akan meluncurkan represi dengan menangkapi semua yang terlibat. Sudah ada laporan bahwa sejumlah buruh yang menerima konsesi 10.000 RMB mereka sudah ditangkapi di rumah mereka.

Gerakan protes ini telah menunjukkan adanya keresahan rakyat yang begitu dalam. Karena rejim PKC yang memiliki aparatus represi yang hebat, dengan sensor dan kontrolnya terhadap semua jalur komunikasi, banyak orang yang mengira rejim China adalah rejim yang stabil. Tetapi semua berubah ketika gerakan seperti ini meletus. Ketidakstabilan yang ada terungkap, dan potensi untuk revolusi sosial menjadi nyata bagi semakin banyak orang. Ada proses polarisasi kelas yang semakin menajam, yang disebabkan oleh perkembangan kapitalisme China selama beberapa dekade terakhir.

Selama restorasi kapitalisme ini tampaknya berhasil – dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang – massa rakyat dapat menerima ketimpangan yang ada. Mereka dapat merasa hari ini lebih baik dari pada kemarin, dan esok hari akan lebih baik daripada hari ini. Tetapi pertumbuhan pesat kapitalisme China tengah mencapai batasannya.

Masa pertumbuhan ekonomi 2 digit sudah berakhir. Kontradiksi kapitalisme China tengah mendorong massa untuk menempuh jalan perjuangan kelas. Hari ini mungkin saja gerakan massa ini hanya terbatas pada masalah kebijakan lockdown, tetapi esok hari semakin banyak orang yang dapat menghubungkan problem-problem mereka pada kapitalisme. Selama 40 tahun terakhir, perkembangan kapitalisme di China telah menciptakan batalion proletariat terbesar di dunia, dengan jumlah ratusan juta, yang terkonsentrasikan dalam pabrik-pabrik raksasa seperti Foxconn. Kekuatan ini sudah mulai bergerak. Inilah yang membuat cemas kelas penguasa China. Kekuasaan absolut Partai Komunis China ternyata tidak seabsolut yang dibayangkan oleh Xi Jinping dan para peserta Kongres.