facebooklogocolour

 

Bangladeshi students protest AFP PhotoRibuan pelajar berusia antara 13 sampai 17 tahun keluar memenuhi jalan-jalan utama di Dhaka Ibu Kota Bangladesh selama lebih dari satu pekan terakhir. Aksi ini dipicu setelah dua pelajar Abdul Karim Rajib dan Diya Khanam Mim tewas tertabrak bus yang saling menyalip di jalanan karena sedang mengejar target setoran. Setelah kejadian tersebut, pelajar dari berbagai sekolah menengah memobilisasi demonstrasi. Mereka menuntut agar Pemerintah segera membuat regulasi tentang keamanan berkendaraan di jalan. Para pelajar ini memblokir lalu lintas dan menghentikan bus, truk, dan mobil-mobil yang lewat untuk memeriksa SIM pengemudi dan apakah kendaraan tersebut layak jalan. Demonstrasi ini membuat kota Dhaka nyaris lumpuh total.

Pada hari ketujuh demonstrasi ini kian membesar dan meluas. Para pelajar mendapat serangan balik dari orang-orang yang disinyalir berasal dari partai penguasa. Polisi-polisi juga tidak kalah brutal. Mereka menggunakan peluru karet dan gas air mata untuk menembaki demonstran, meskipun, tentu saja, polisi membantahnya. Namun rumah sakit-rumah sakit yang memeriksa luka dari demonstran ini mengatakan sebaliknya, bahwa luka menunjukkan penggunaan peluru karet. Pemerintah juga mematikan akses jaringan internet karena foto-foto kekerasan tersebut menyebar luas di media sosial.Ini justru menimbulkan kemarahan baru diantara netizen.

Aksi ini tentu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ini adalah puncak gunung es yang menemukan pemicu ledakannya. Menurut data dari Komite Nasional untuk Pengiriman, Jalan dan Kereta Api (NCPSRR), selama 2017, lebih dari 4000 orang tewas dan lebih dari 9000 terluka akibat kecelakaan di jalanan Bangladesh. Data dari koran nasional Bangladesh, Photom Alo, menunjukkan hal serupa. Sebanyak 25000 orang tewas setidaknya dalam 3,5 tahun terakhir.

Dr. MB. Shamsul Hoque, seorang mantan direktur Lembaga Penelitian Kecelakaan di Universitas Mesin dan Teknologi-Bangladesh, melakukan penelitian berdasarkan observasi dengan polisi secara individu dan operator tol di rute utama di Bangladesh. Dia mengatakan: “Anda mungkin harus mengambil angka dari pemerintah dan lalu melipatgandakannya dua atau tiga kali lipat untuk melihat data sebenarnya”.

Carut marutnya kondisi lalu lintas ini secara umum terikat dengan benang merah korupsi dan sistem pemerintahan yang buruk.Tidak hanya di Bangladesh, negara lain seperti Indonesia, Thailand, dan negara berkembang lainnya memiliki tingkat kematian di jalan raya yang tinggi. Problemnya ada pada masalah infrastruktur yang buruk, standar keamanan berkendara yang buruk dan hukum berkendara yang tidak memadai.

Di Bangladesh ada sejumlah masalah mencolok yang selama bertahun-tahun menumpuk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengemudi memperoleh SIM dengan cara memberi suap. Para supir transportasi publik seperti bus tidak mendapatkan pelatihan formal dan biasanya hanya belajar saat berada di tempat kerja. Yang paling mencolok adalah penegakan hukum yang lembek dari polisi dan tentunya berkaitan dengan kurangnya konsekuensi hukum untuk pengemudi.

Kita juga bisa melihat kualitas transportasi kereta api yang buruk. Setiap hari rakyat pekerja berjuang untuk berangkat dan pulang dari tempat kerja dengan menggunakan kereta api yang jumlahnya tidak memadai dan tidak layak. Penumpang banyak yang naik ke atap kereta atau bergelayut di samping kanan kiri dan depan belakang kereta. Tidak hanya laki-laki, perempuan dan anak-anak turut berebut untuk bergelayut di tiap bagian kereta yang bisa mereka raih dengan tangan mereka. Sungguh ini adalah realitas dari infrastruktur yang buruk. Sementara pada saat yang sama anggaran publik banyak dikorupsi oleh pemerintahan mereka sendiri.

Kondisi-kondisi transportasi yang begitu buruk inilah yang lalu memuncak menjadi aksi besar yang kita saksikan selama lebih dari satu minggu terakhir. Kaum muda yang sensitif dengan situasi dalam masyarakat mulai bergerak dengan berani dan jelas mereka turun ke jalan bukan hanya untuk memprotes kondisi transportasi yang mengenaskan. Keresahan rakyat pekerja secara umum terhadap kemiskinan dan kesengsaraan yang mereka hadapi setiap harinya tersalurkan lewat energi kaum pelajar ini. Gerakan ini untuk sementara tampaknya akan mereda tetapi ia telah menjadi peringatan kepada yang berkuasa bahwa ada badai yang lebih besar menanti yang akan menyapu rejim mereka yang korup dan busuk.