Salah satu pencapaian terbesar dari gerakan Reformasi 1998 dua puluh tahun yang lalu adalah tercapainya kemerdekaan bagi rakyat Timor Leste. Penjajahan Timor Leste adalah satu dari banyak kejahatan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Revolusi Portugal pada 1974 memercikkan revolusi juga di Timor Leste yang saat itu adalah koloninya Portugal. Rakyat, yang dipimpin oleh Fretilin, melakukan pemberontakan dan memproklamirkan kemerdekaan mereka pada 29 November 1975. Kekuatan imperialis, terutama Australia, Inggris dan Amerika, takut akan lahirnya sebuah negara komunis baru, dan memerintahkan anak buahnya Soeharto untuk menginvasi Timor Leste dan mencaploknya. Oleh karenanya jatuhnya Orde Baru berarti juga berakhirnya penjajahan Orba terhadap Timor Leste, walau ini tidak terjadi secara otomatis dan bukan tanpa pertumpahan darah.

Hampir dua dekade berlalu sejak referendum hak menentukan nasib sendiri berlangsung pada Agustus 1999 di Timor Leste, dan kita semua harus bertanya – tidak hanya rakyat pekerja Timor Leste tetapi juga rakyat pekerja Indonesia – apa yang telah dicapai oleh kemerdekaan ini? Tidak banyak perubahan signifikan baik dari segi ekonomi kesejahteraan rakyat dan infrastruktur. Tingkat pengangguran – terbuka dan tertutup – hampir mencapai setengah populasi; tingkat buta huruf sekitar 30%; lebih dari 40% rakyat Timor Leste hidup di bawah garis kemiskinan; PDB per kapita sekitar 1100 USD, yakni kurang dari sepertiga PDB Indonesia. Penggunaan mata uang dolar AS juga semakin membuat daya beli masyarakat Timor Leste menjadi semakin rendah.

Timor Leste masih menjadi negara termiskin di Asia Tenggara dan terus saja menjadi sumber intrik tak berkesudahan antara kekuatan-kekuataan imperialis seperti Australia, Portugal, dan Amerika yang berambisi menguasai akses cadangan minyak dan gas yang besar disana. Yah, Timor Leste telah merdeka secara formal, tetapi di bawah kerangka imperialisme Timor Leste berada di bawah jempol kekuatan imperialis, terutama Australia.

Kita masih ingat bagaimana saat itu Australia – lewat PBB, sarang penyamun itu – mengirim tentara mereka untuk “membantu” rakyat Timor Leste dari pembantaian yang dilakukan oleh kekuatan paramiliter Indonesia. Tentu kita tidak lupa kalau pemerintah Australia telah lama mendukung Soeharto dan penjajahan terhadap Timor Leste. Namun sejarah telah menunjukkan bahwa “bantuan” dari negeri imperialis selalu disertai dengan kepentingan mereka untuk mendominasi, dan fakta hari ini di Timor Leste sekali lagi membenarkan pernyataan ini.

Masalah yang paling perlu dikedepankan dari sekian daftar masalah yang dihadapi Timor Leste adalah tingkat pengangguran yang tinggi. Angkatan kerja tumbuh dengan cepat, tetapi kesempatan kerja berjalan lambat. Negara ini juga tidak memiliki sektor padat karya seperti industri garmen yang banyak tumbuh dan berkembang di negara-negara sekitarnya. Di sektor pertanian yang menyerap sekitar 60% populasi hanya bersifat musiman, dimana ketika musim panen berakhir orang-orang akan kembali menjadi pengangguran.

Migas oleh karenanya adalah sektor andalan pemerintah.Sebanyak 90% dari pendapatan negara bersumber dari sana. Tetapi masalahnya rakyat Timor Leste tidak mendapatkan nilai penuh dari kekayaan minyak dan gas yang ada. Sebagian besar kekayaan ini didulang oleh perusahaan-perusahaan minyak multinasional yang beroperasi di sana, dan juga memperkaya segelintir orang kaya baru, elite-elite kaya baru di Timor Leste.

Korupsi mengakar sangat dalam, dengan pejabat-pejabat yang memperkaya diri mereka lewat praktik KKN. Misalnya Emilia Pires, mantan menteri keuangan dari 2007-2015, dijatuhi hukuman penjara 10 tahun karena praktik KKN memberi kontrak kerja senilai 1 juta dolar ke perusahaan milik suaminya di Melbourne. Seorang pengusaha dari Australia mengatakan ini mengenai membuka bisnis di Timor Leste: “Banyak orang akan memberitahu kamu bahwa untuk mendekati pejabat kamu harus memberi mereka perempuan dan uang. Bila kamu tidak melakukan ini, kamu tidak akan berhasil.”

Selama masih berada di bawah kapitalisme, rakyat pekerja Timor Leste tidak akan pernah sungguh-sungguh merdeka. Mereka tidak hanya jadi mangsa kekuatan imperialis, tetapi juga elite-elite politik dan ekonomi (kapitalis). Perjuangan kemerdekaan rakyat pekerja Timor Leste oleh karenanya belum selesai, dan hanya bisa selesai lewat perjuangan sosialis. Dalam perjuangan ini, satu-satunya sekutu alami mereka adalah rakyat pekerja Indonesia dan Australia, yang juga berjuang melawan pemerintahan kapitalis mereka sendiri.