facebooklogocolour

Selama masa perjuangan melawan Shah, gerakan masa dengan mantap menunjukkan peningkatan dan kelas pekerja menjadi semakin teradikalisasi. Titik puncak dari proses ini adalah peristiwa revolusi 1979. Revolusi adalah sebuah perbenturan kekuatan secara terbuka dari kekuatan-kekuatan sosial yang saling bertentangan dalam perebutan kekuasaan. Dalam revolusi 1979, kekuatan kolosal kaum proletar dengan segera terungkap. Tiga juta orang turun ke jalan dalam mobilisasi massa terbesar sepanjang sejarah Iran. Dihadapkan dengan sebuah gerakan masa dengan skala sebesar itu, Shah beserta kaki tangannya yang terlihat seperti rezim yang maha kuat, kolaps seperti satu pak kartu yang berceceran. Hanya dalam waktu semalam, keseluruhan situasi mengalami perubahan yang tajam. Negara yang dijuluki sebagai negara digdaya (strong state) jatuh berkeping-keping pada pengujian serius yang pertama kali. Dalam sebuah situasi demikan, peranan partai yang memimpin para buruh memikul unsur utama yang krusial. Di saat perjuangan kelas mencapai sebuah persimpangan kritis, berjuang untuk merebut kekusaan negara, maka persoalan tentang kepemim­pinan pada puncaknya akan menentukan segala sesuatu.

Revolusi Iran sebenarnya dimulai pada awal tahun 1977, ketika unjuk rasa hak-hak sipil yang dilaku­kan oleh para penulis dan pengacara mulai menuntut kebebasan yang lebih. Seperti biasa, intelejensia adalah sebuah barometer yang sensitif, merefleksikan ketidak­puasan yang diam-diam mengakumulasi dalam relung masyarakat yang paling dalam. Mencium adanya baha­ya, maka imperialis Amerika melakukan tekanan terhadap Shah agar segera melakukan langkah reformast dan liberalisasi. Situasi serupa cukup dikenal dengan baik oleh para mahasiswa jurusan sejarah. Tekanan dari bawah pada tingkat tertentu menghasilkan perpecahan dalam tubuh elit pemerintah. Takut mereka akan menggulingkannya, maka elit pemerintah memperke­nalkan reformasi dari atas untuk mencegah revolusi dari bawah. Bagaimanapun, seperti yang pernah dijelaskan oleh Alexis de Tocqueville, gerakan yang paling ber­bahaya bagi sebuah pemerintahan yang buruk, umumnya berupa gerakan yang mengartikulasikan reformasi. Shah yang mengumumkan adanya reformasi, termasuk persidangan majelis (parlemen). Betapapun juga, reformasi ini, jauh dari menyelesaikan masalah, justru membuka jalan untuk menggulingkan peme­rintahan Shah. Mereka menyiapkan cara untuk meng­intervensi secara langsung terhadap panggung sejarah kelas pekerja, bersama dengan massa yang tertindas dan kelas menengah.

Peranan yang menonjol dari kelas pekerja telah memastikan keseluruhan perkembangan yang telah terjadi sebelumnya. Ekonomi Iran yang sangat sukses mendorong penguatan kolosal dari proletar. Mening­ katnya pendapatan minyak bumi niendorong suatu kemajuan yang nienakjubkan dalara industri Iran, yang terakselerasi setelah lompatan harga minyak tahun 1973. Produksi Kotor Nasional (Gross National Product/GNP) naik hingga 33,9 persen pada tahun 1973 - 1974, dan pada tahun 1974 - 1975 adalah 41,6 persen jauh lebih tinggi. Industri juga meningkat dengan pesat, dan be­rikut ukuran serta kekuatan dari kelas pekerjanya. Maka, dengan kemajuan kekuatan-kekuatan produktif, rezini telah mempersiapkan penggali lubang kuburnya sendiri dalam wujud kaum proletar Iran yang kuat. Bukan hanya karena kelas pekerja telah berkembang sedemi­kian besar, tetapi juga karena mereka begitu segar dan muda. Akan tetapi, sejalan dengan luapan pertumbuhan dahsyat dalam industri, segala kontradiksi sosial nienjadi terus-menerus menajam. Inflasi meroket dan jadi alasan bagi timbulnya peristiwa kerusuhan kolosal tahun 1977. Dalam kondisi kesulitan hidup masyarakat yang memuncak, pemerintah di tahun 1976 meng­umumkan adanya program penghematan (pengen­cangan ikat pinggang). Ketika Shah memutuskan un­tuk menghentikan program pembangunan, proyek­proyek ekspansi industri dipotong hingga 40 persen. Kebijakan itu sendiri memiliki arti bahwa lebih dari 40 persen tenaga tidak terampil dan 20 persen tenaga te­ rampil tergusur oleh pemutusan hubungan kerja. Seiring dengan membubungnya tingkat pengangguran, gajipun merosot drastis dan pemerintah menarik kembali keuntungan yang sebelumnya telah diberikan kepada buruh. Reaksi dari kelas pekerja disalurkan dalam gerakan aksi mogok yang terus menguat terjadi di Abad­ an dan Behshahr. Para buruh tekstil menuntut kenaikan upah dan insentif.

Pada tanggal 8 September 1978 (Jumat Kelabu) para serdadu melakukan pembantaian atas ribuan demonstran di Teheran. Sebagai jawabannya, para buruh melakukan pemogokan. Pemogokan itu adalah percikan yang menyulut dinamit yang telah terpasang di seluruh pelosok negeri. Pada tanggal 9 Spetember 1978, para pekerja kilang minyak di Teheran mengeluarkan seruan pemogokan untuk mengung­ kapkan solidaritas terhadap pembantaian yang dilakukan sehari sebelumnya dan menentang diber­ lakukannya undang-undang negara dalam keadaan ba­haya. Tepat pada keesokan harinya, pemogokan telah menjalar luas seperti api yang tidak bisa dijinakkan ke Shiraz, Tabriz, Abdan dan Isfahan. Para buruh penyu­lingan minyak melakukan mogok dimana-mana. Tuntutan ekonomi dari kaum buruh dengan cepat dirubah menjadi tuntutan politik: "Turunkan Shah!" "Bubarkan Savak!", "Marg Ber, imperialis Amerika!" Kemudian pekeija minyak Ahwaz mengadakan mogok, diikuti oleh buruh non-minyak di Khuzistan yang ber­gabung dengan pemogokan pada akhir September. Di atas segalanya, gerakan para buruh minyak-lah-yang kemudian disebut sebagai kelompok istimewa dari kelas pekerja di Iran - yang paling menentukan dalam peng­ gulingan rezim. Ketika ritme gerakan mogok diperhebat dan diperpanjang, karakternya juga mulai berubah. Semua bidang-bidang kerja barupun ditarik ke dalam perjuangan: para pekerja dari sektor publik-guru, dokter, karyawan rumah sakit, pegawai kantor, pegawai di kantor pos, perusahaan telepon dan stasiun televisi, serta para pegawai dari perusahaan tansportasi, jalan kereta api, bandar udara domestik dan bank semua bergabung dengan gelombang raksasa yang tengah bergolak. Para pekerja kerah putih dengan pengalaman berjuang yang minim atau malahan tidak punya sama sekali, juga bergabung dengan pemogokan umum. Pemogokan di Bank Sentral Iran terutama berdampak sangat efektif. Hal ini diikuti dengan pembakaran ratusan bank oleh masa yang telah kalap oleh amarah. Ketika pegawai bank melakukan mogok, mereka mengungkapkan bahwa dalam tiga bulan terakhir, $1.000 juta telah dilarikan ke luar negeri oleh 178 anggota elit pemerintahan, termasuk keluarga Shah. Shah yang sedang sibuk mengadakan persiapan untuk sebuah pengasingan yang nyaman, telah mengirimkan keluarganya ke luar negeri, dan mentransfer $1 milyar ke Amerika (ini adalah tambahan dari $1 milyar atau lebih yang disimpan di Bonn, Swiss dan di bagian dunia lainnya). Harta Iran telah dijarah oleh otokrasi dan anjing penjaga Savak yang dibenci. Gelombang pasang pemo­gokan telah melumpuhkan mesin kenegaraan; para pegawai negeri juga melakukan aksi mogok. Akan tetapi pemogokan buruh minyak yang hebat selama 33 hari­lah yang hampir melumpuhkan segalanya. Fakta ini dengan sendirinya memperlihatkan kekuatan kolosal dari kaum proletar Iran: satu pemogokan tunggal barisan buruh minyak menyebabkan pemerintah menelan kerugian tidak kurang dari $74 juta perhari berupa pendapatan yang hilang. Buruh minyak bumi telah memotong urat nadi utama penyalur pendapatan negara.

Trotsky menulis dalam Sejarah Revolusi Rusia:

"Fitur sebuah revolusi yang paling tidak bisa diragukan adalah interferensi langsung oleh rakyat dalam peristiwa-peristiwa bersejarah. Pada saat-saat biasa, negara, apakah itu berbentuk monarkhi ataupun demokrasi, mengangkat dirinya sendiri di atas bangsa, dan sejarah dibuat oleh para spesialis dalam urusan semacam itu - raja, para menteri, birokrat, anggota par­lemen, wartawan. Namun pada gerakan krusial itu, ketika tatanan yang lama tidak lagi bisa diterima oleh masyarakat, maka mereka akan menghancurkan hambatan yang membatasi mereka dari arena politik, mengesampingkan wakil tradisional mereka, dan menciptakan, dengan interferensi mereka sendiri, landasan kerja awal bagi sebuah rezim baru. Apakah hal ini baik atau buruk, kita serahkan penilaiannya kepada para moralis. Kita sendiri akan mengambil kenyataan sebagaimana yang mereka berikan dengan tingkat perkembangan yang obyektif. Sejarah sebuah revolusi bagi kita adalah menjadi prioritas dari yang lainnya, sebuah sejarah masuknya masa yang tidak bisa dihindarkan ke dalam tataran pemerintahan yang diperuntukkan bagi nasib mereka sendiri."(1) Hal ini tepat seperti yang terjadi di Iran tahun 1979. Basis material dari Revolusi Februari terletak pada kemajuan kekuatan-kekuatan produktif dan perubahan yang telah dilakukan dalam kapitalisme Iran di seluruh periode sebelumnya. Shah kehilangan dukungan dari segenap kelompok massa, kaum petani, intelektual, kelas menengah dari berbagai lapisan dan kelompok yang paling berhawa jahat, tentara. Negara sendiri terguncang kerasnya pukulan godam yang dilancarkan massa. Hari demi hari demonstrasi terus menerus dan mobilisasi massa yang telah jauh melanggar batas kehidupan normal. Massa menyerang kedutaan Inggris dan Amerika sembari membakar ribuan bendera Amerika. Boneka patung Presiden AS Jimmy Carter dan Shah digantung ribuan kali menghiasi setiap pojok jalan setiap kota Iran. Shah menjadi simbol dari bercokolnya tatanan yang dibenci dan represi Savak yang berdarah.

Negara dalam analisis paling mutakhir, sebagaimana yang diterangkan oleh Marx dan Lenin, terlengkapi dengan lembaga angkatan bersenjata berupa barisan tentara dengan segenap peralatan dan senjata mereka.(2) Dalam setiap masyarakat kelas, komposisi tentara dibentuk dari berbagai lapisan masyarakat yang beragam, dan merefleksikannya secara, kurang lebih, jujur. Di masa-masa biasa, angkatan bersenjata bercokol tak tertandingi, tak tertembus dan kompak. Bagai­manapun juga, selama masa revolusi, ketika angkatan bersenjata mengalami stres dan ketegangan yang hebat, maka dengan segera keretakan dan patah struktur mereka akan tampak membayang, dan akhirnya cenderung membelah sesuai dengan garis kelas pada momentum-momentum revolusi yang krusial. Kerekatan di tubuh tentara bukanlah sesuatu yang absolut, tetapi.tergantung pada intensitas tekanan dari gerakan massa.

Seperti yang telah kita saksikan dalam setiap revolusi di sepanjang sejarah, angkatan bersenjata bisa beralih mendukung ke pihak rakyat. Tendensi di dalam tubuh angkatan bersenjata untuk mengalami perpecahan sesuai dengan garis kelas, adalah proporsional dengan polarisasi dalara masyarakat kelas, manakala rakyat berjuang merebut kekuasaan negara. Sebuah artikel dalam majalah Amerika, Newsweek, berkomentar tentang barisan massa penuh amarah yang telah berkumpul di Jaleh Square bereaksi menentang diberlakukannya undang-undang negara dalam keadaan bahaya dengan meneriakkan slogan-slogan' yang menentang rezim: "Ketika mereka telah mendekat, tentara memerintahkan para demonstran untuk membubarkan diri, tetapi bukannya mundur, para pengunjuk rasa malah mengabaikan perintah dan terus maju melewati garis peringatan, perlahan-lahan tersedak karena asap gas air mata, tetapi tidak mau kembali. Akhirnya para serdadu mengangkat moncong senjata mereka, menembakkan tembakan peringatan ke udara, meski demikian kerumunan bahkan semakin mendekati pagar betis prajurit tersebut. Dan para tentara menu­ runkan pandangan mereka dan, ketika kerumunan tersebut terus bergerak maju, maka menghamburlah para demonstrator dengan berondongan demi beron­ dongan peluru. Perpecahan dalam tubuh tentara sesuai dengan garis kelas tidak muncul dengan proses yang sederhana, tetapi sebaliknya, melalui serangkaian proses, yang mengarah kepada diferensiasi di dalara. Tentara tingkat terbawah mencoba untuk mengira-ngira perilaku massa, sembari menjalankan komitmen mereka, melaksanakan keputusan bulat mereka untuk menjalani hingga akhir untuk mengganti perintah tetua mereka, dengan ketersinggungan mereka. Tepat di persimpangan ini, begitu para serdadu menyadari bahwa massa bersungguh-sungguh, mereka menolak untuk mematuhi perintah dari perwira dan bergabung dengan rakyat, dan mengangkat senjata bersama-sama. Dan inilah apa yang sesungguhnya terjadi di Iran. Ketika ribuan orang pela­yat berarakan menuju gerbang pemakaman Beheste Zahra di Teheran, meneriakkan slogan-slogan menentang Shah, dan menyerang sebuah kendaraan lapis baja, seorang mayor keluar dan berteriak: "Kami tidak mempunyai keinginan untuk membunuh kalian! Kalian adalah saudara kami!" dan memberikan sen­jatanya kepada kerumunan tersebut: "Ini, ambil senjata saya dan bunuhlah saya kalau anda mau!" Orang­orang yang sedang berbelasungkawa bersorak sorai dan meneriakkan slogan-slogan seruan persatuan melawan rezim.(3) Terdapat insiden lain semacam itu. Beberapa serdadu wajib militer menembak perwira mereka atau melakukan bunuh diri karena diperintahkan untuk me­nembaki para demonstran. Di pihak lain, banyak desersi dan pemberontak dieksekusi oleh Savak.

Seorang Perwira Angkatan Bersenjata AS yang diwawancarai oleh Newsweek, mengutarakan penda­patnya tentang tentara Iran: "Saya tidak akan sepenuh­nya mempercayai kehandalan mereka, kita tidak tahu dimana titik lemah mereka." Seorang pejabat Iran juga disitir mengatakan: "Semakin lama Shah menurunkan tentara ke jalanan, maka semakin besar pula bahaya kon­taminasi."(4) Peraturan umum ini berlaku di semua negara dimana situasi macam ini terjadi. Pertanyaannya selalu sama: dimanakah titik lemahnya? Bisa dikatakan, di titik manakah kuantitas tertransformasikan menjadi kualitas? Di titik manakah ketakutan prajurit terhadap perwiranya yang bertongkat dan berpistol itu dikalah­ kan oleh perasaan yang membisikkan betapa perkasanya kekuatan massa? Pertanyaan semacam itu, tentu saja, tidak bisa dijawab seketika, tetapi hanya bisa dipecahkan dengan dialektika kekuatan-kekuatan perjuangan hidup.

Di Iran tank-tank dipangkalkan di sekeliling istana untuk pertama kalinya sejak 25 tahun lalu. Shah sendiri mengutarakan kepada Newsweek: "Saya pikir kami dalam sebuah situasi yang mengerikan Selasa kemarin, dan hampir saja semuanya berantakan. Orang­orang tidak memperdulikan hukum. Mereka tidak mengacuhkan sedikitpun terhadap peringatan peme­rintah. Faktanya, mereka bisa saja menguasai apapun yang mereka inginkan. Jadi dalam pandangan ini, ketika tentara dikonfrontasikan dengan massa yang diamuk amarah, maka sebuah polarisasi masyarakat yang menentukan bisa menangkap refleksinya pada suatu perpecahan di tubuh tentara. Pada momenturn itu, serdadu Iran menolak untuk melakukan tembakan terhadap para buruh dan tani bangsa mereka sendiri, dan berbalik mengarahkan senjata kepada kelompok pemerintah. Hal ini terjadi di tahun 1979 pada berbagai kejadian ketika para prajurit dan perwira rendahan menolak untuk menembaki para demonstran. Tetapi mengacu pada ketiadaan satu kebijakan kelas revolu­sioner yang jelas - kesempatan tersebut hilang. Tentara terbelah di Iran tetapi tidak memiliki arah indera kelas yang jelas.

Setelah terjadinya perpecahan yang terjadi dalam tubuh tentara, Shah kehilangan semua kendali terhadapnya. Dalam kepanikan, setelah ragu pada awalnya, beliau melakukan langkah terakhir untuk tetap memegang kendali kekuasaan, menunjuk Shahpur Bakhtiar dari Front Nasional sebagai perdana menteri. Akan tetapi manuver tersebut gagal dan krisis tersebut menjadi lebih parah. Pada tanggal 16 Januari 1979, negara ini dalara sebuah keadaan pergolakan revo­ lusioner. Tidak ada harapan yang tersisa bagi Shah, yang pada akhirnya harus terbang meloloskan diri dengan pesawat terbang ke Mesir. Maka dari itu, ilusi tentang militer yang tak terkalahkan hancur menjadi abu dalam waktu semalam. Revolusi Iran telah menghempaskan tentara terbesar kelima di dunia, tentara yang ditopang oleh imperialis Amerika karena kepentingan vitalnya terlibat dalam peran kunci ini di Timur Tengah. Tetapi dalam kenyataannya, tekanan dari rakyat begitu intensif sehingga tentara perkasa ini luluh lantak berkeping­keping seperti sebuah gelas anggur yang jatuh dari meja

dalara suatu pesta mabuk.

Imperialis Amerika bahkan begitu mabuk dengan ilusi bahwasanya kedigdayaan tentara Iran, yang loyal kepada Shah dan kepentingan USA di Timur Tengah, dianggap demikian kuat tak tergoyahkan, dan ketika melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Tehe­ran, mereka menyaksikannya dengan tatapan kosong seakan tidak percaya. Tiba-tiba dikejutkan oleh bergan­tinya peristiwa demi peristiwa yang tidak disangka­sangka dan dibuat tak berdaya oleh kekhawatiran akan terjadinya revolusi yang telah menyapu bersih institusi yang seharusnya tak terkalahkan, bak seseorang menggerus kutu, membuat Washington membutuhkan waktu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Tentara Iran yang dilatih oleh Pentagon sekarang dengan niudah dihancurkan oleh sebuah revolusi yang membakari bendera Amerika dan meneriakkan: Kema­tian bagi imperialis Amerika." Hal ini adalah perubahan mencengangkan yang memberikan dampak terhadap situasi dunia secara keseluruhan. Suara-suara nyanyian ini dengan cepat bergema ke seluruh penjuru Timur Tengah, memekakkan gendang telinga kaum elit Saudi, bagaikan denging ketel air yang telah mendidih, meng­hentikan detak jantung kelas elit Amerika dan membikin tulang belakang staf jendral AS menjadi bergemeretak.

Pada saat Khomeini kembali dari pengasing­annya di Paris pada 1 Februari 1979, perjuangan mela­wan Shah secara efektif telah selesai. Negara yang lama 72 telah benar-benar terdisintegrasi dan kekuasaannya tumpah ke jalanan, menunggu seseorang, untuk memungutnya. Meskipun ulama tua tersebut tidak memainkan peranan yang nyata dalam menggulingkan Shah, ada orang-orang yang berkeinginan untuk mem­berinya sebuah peran pemuka. Sebagai konsekuensinya, dia dipertemukan dengan para perwira yang men­janjikannya dukungan dari unit-unit utama angkatan bersenjata. Elit militer berkeinginan untuk mendapatkan kembali kendali dan "ketertiban". Di seluruh pelosok negeri, terjadi desersi setiap hari, dan ketika Shah Pur Bakhtiar menggunakan polisi militer serta Prajurit Istana untuk melawan sekelompok pemberontak yang meru­pakan para kadet angkatan udara, meletusiah pertem­puran. Pemberontakan menyebar ke seluruh penjuru unit militer. Satu kubu dari Front Nasional yang dipim­pin oleh Mehdi Bazargan, Sayap Militan Khomeini dan beberapa kelompok ultra-kiri (Fedayeen dan Muja­hiddin), bergabung dengan para pemberontak. Dalam waktu yang tidak terlalu lama mereka meluluhlantakkan mesin perang Shah, merampas pabrik persenjataan, pangkalan militer, stasiun televisi, penjara serta parlemen. Korps perwira tinggi dilumpuhkan. Shah Pur Bakhtiar larf bersembunyi dan Bazargan, yang dide­klarasikan sebagai perdana menteri oleh Khomeini, mengambil alih.

Dalam proses pemogokan massa revolusioner, kelas pekerja mengorganisir shura (soviet/dewan perserikatan buruh-Penerj.) dan organ kekuasaan independen embrionik lainnya. Hal ini serupa dengan dewan perwakilan buruh yang pertama kali muncul dalam pemogokan massa dalara Revolusi Rusia 1905, yang pada akhirnya dihancurkan oleh negara tersebut setelah kekalahan pada revolusi 1905. Akan tetapi pada tahun 1917 dewan perserikatan buruh bangkit sekali lagi dan memainkan peran kunci dalara Revolusi Oktober. Lebih-lebih, sistem soviet bukan merupakan, sejauh klaim dari reformis, suatu fenomena yang eksklusif milik Rusia. Revolusi November 1918 di Jerman secara spontan menghapuskan lembaga yang sama. Mereka adalah perwujudan dari organisasi buruh sendiri. Di setiap pelabuhan, kota, dan barak di Jerman, didirikan dewan buruh, dewan serdadu, dan dewan pelaut Jerman yang menyandang kekuatan politik yang efektif. Soviet didirikan kemudian di Bavaria dan selama masa revolusi Hungaria 1919. Di Inggris juga didirikan dewan aksi pada tahun 1920, yang digambarkan Lenin sebagai "soviet yang hanya sekadar nama", dan didirikan lagi selama masa pemogokan umum tahun 1926 (Komite aksi dan dewan dagang). Meskipun kaum Stalinis dan reformis mencoba untuk mencegah, soviet-soviet selalu bermunculan kembali pada setiap kejadian yang menentukan di sejumlah negara, khususnya pada masa revolusi Hungaria 1956 dengan terciptanya dewan buruh Budapest.(5)

Di Iran, shura muncul pada tahun 1979 tapi sayangnya tidak dikembangkan hingga mencapai taraf soviet-soviet zaman Revolusi Oktober 1917. Meskipun demikian, potensi kekuatan buruh mengemuka. Assef Bayat menulis bahwa krisis revolusioner diperlengkapi dengan basis material bagi organisasi semacam itu, dan bentuk organisasional serta fungsional dari kekuatan buruh telah eksis berupa embrio. (Lenin mengajukan poin yang serupa tentang soviet di Rusia di tahun 1905, ketika beliau mengkarakterisasikannya sebagai bentuk embrionik dari pemerintahan kaum buruh.) Pada awal mula, betapapun juga, kesernua soviet adalah perluasan dari komite pemogokan. Mereka sudah merupakan elemen dari dua sisi kekuatan dalara situasi tersebut. Manajemen tidak bisa meraih fungsi "normal" mereka tanpa adanya izin dari kaum pekerja, administrasi demikian juga, tidak akan bisa. Maka dari itu, per­wakilan dari Pabrik Pengolahan Baja Isfahan harus berunding dengan buruh kereta api untuk memintanya mengangkut batubara yang mereka butuhkan dari Kirman supaya tanur pabrik tetap bisa menyala. Perjanjian serupa dicapai antara buruh minyak`dengan pekerja kereta api untuk mengangkut bahan bakar yang diperlukan bagi konsumsi dalara negeri ketika produksi lain masih terhenti. Hal ini sudah merupakan elemen dari sebuah bentuk dasar administrasi sosial kelas pekerja. (6)

Pada bulan Desember dan Februari, rakyat mengambil alih kendali atas sejumlah kota besar dan kota kecil, khususnya di Azeri Utara dan propinsi­propinsi Laut Kaspia, termasuk Zanjan, Orumich, Salmas, Ardabil Maraghel dan Ajabsheer. Ide dasar dari shura datang dari pengalaman spontan dan langsung dari kaum pekerja sendiri. Kelas pekerja belajar melalui pengalaman dan aksi langsung untuk mengembangkan perjuangan melebihi batas tuntutan ekonomi elementer, dan mulai mempertanyakan prinsip-prinsip fundamen­tal tentaug dominasi dan legalitas kapitalis. Tiga hari setelah pemberontakan, pada tanggal 14 Februari 1979, Khomeini memerintahkan semua buruh untuk kembali bekerja. Akan tetapi resistensi buruh minyak memaksa Khomeini untuk mengeluarkan ancaman: "Segala bentuk ketidakpatuhan, dan tindakan sabotase, ter­hadap pemerintahan sementara, akan dianggap sebagai oposisi dari revolusi Islam yang sejati."(7) Dengan mengesampingkan ancaman ini, gerakan masih tidak mereda. Pada awal bulan itu juga sehabis pemerintahan sementara menjabat kekuasaan bulan Februari, setidaknya tercatat 50.000 buruh melakukan pemo­gokan. Kekisruhan di sektor industri ini dipicu oleh adanya transformasi radikal dalam kesadaran para buruh yang telah terjadi dalam rangkaian revolusi dan terutama setelah pemberontakan. Para buruh menuntut pembayaran upah yang tertunda dan menolak peme­catan serta penutupan kesempatan untu bekerja kembali.

Di sejumlah daerah utara, rakyat membentuk shura dalara rangka menjalankan urusan mereka sehari­hari. Untuk jenis administrasi yang serupa, sllura juga dibentuk setelah pemberontakan dalara tubuh angkatan udara -sliuras-e-home farain (dewan dinas angkatan udara). Shura organisasi dan perusahaan milik buruh ini, yang telah bermunculan dimana-mana setelah revolusi, masih terus berdiri kokoh selama beberapa waktu, berjuang gigih demi bertahan hidup dalam kondisi yang sulit. Akan tetapi dengan ketiadaan partai revolusioner kelas pekerja yang murni, maka mereka bertempur untuk kalah. Segera setelah negara baru mengkonsolidasikan diri, suattu kampanye nasional tentang intimidasi, pelecehan dan terorisme mulai meruyak menentang shura kaum buruh. Sesudah pemerintah menginvasi Kurdistan dan mengadakan restorasi gradual dalam kebijakan pemerintah berupa manajernen dari atas, unsur-unsur kekuatan kaurn buruh dalam pabrik-pabrik ditindas secara brutal. Setelah langkah mundur ini, terdapat gejala penurunan gerakan buruh secara umum. Dalam kesemuanya ini, Partai Tudeh secara solid berdiri di belakang pemerintah dan menyokong Khomeini.

Perlu diadakan sebuah analisa terhadap kandungan kelas dalam revolusi yang sebenamya dan tendensi-tendensi yang terlibat di dalamnya. Khomeini dan kaum fundamentalis mustahil akan pernah mendapatkan kekuasaan jika tidak berkat adanya gerakan kaum buruh. Secara khusus bisa dikatakan bahwa beberapa batalion penuh kelas pekerja di sektor­sektor ekonomi kuncilah yang memainkan peran penting dalam meruntuhkan kekuatan penyokong negara ini. Betapapun fuga, kaum proletar industrial tidak sendirian, tetapi dikelilingi oleh kelas sosial dan lapisan masyarakat yang lain. Komposisi kelas yang kompleks dalam masyarakat Iran, dengan berbagai lapisan unsur­unsur kaum miskin kota, semi proletar, dan borjuis kecil, memiliki arti bahwa kaum proletar yang telah maju dijaga sekelilingnya dari segala sudut, oleh lapisan masyarakat yang terbelakang dan memiliki kesadaran kelas yang lebih rendah. Fakta ini membuat perhitungan revolusioner menjadi sangat kompleks dan meninggalkan pintu yang terbuka bagi adanya penetrasi dari kaum mullah dan ulama demagog seperti Khomeini.

 

Dari bulan Juni 1977 hingga Februari 1979, in­tervensi dari kaum proletar memainkan peranan utama dalam meruntuhkan rezim Pahlavi. Bagaimanapun juga, pada tahap awal (hingga pertengahan tahun 1978), bisa dikatakan bahwa gerakan didominasi oleh lapisan kelas pekerja yang paling bawah: tenaga tidak terampil, bersama borjuis rendahan (bazaaris) dan kaum miskin kota (proletar tak terpelajar). Karena kebanyakan dari mereka baru datang dari pedesaan dan kurang memiliki kesadaran kelas yang mantap, maka mereka mudah di­pengaruhi oleh kaum mullah. Hal ini telah menjelaskan sebagian kenapa pemimpin gerakan jatuh ke tangan para mullah dan pada kasus tertentu di tangan Front Nasional; hal itu merefleksikan karakter kelas gerakan massa yang heterogen dan nir-bentuk, mereka yang baru saja siuman menuju kesadaran. Trotsky menulis bahwa lapisan masyarakat proletar yang paling tidak terampil atau yang paling terbelakang kesadaran politiknya, dan sebagai pihak yang paling tereksploitir, seringkali meru­pakan kelompok pertama yang memasuki medan perjuangan dan dalam hal terjadi kekalahan, merekalah yang paling terakhir meninggalkan medan. (8)

Masuknya kaum proletar sebatalion penuh memainkan peran yang menentukan dalam revolusi anti-Shah. Ketika setelah pertengahan 1978 kaum buruh

terampil menyerukan aksi mogok, pemogokanpun menyebar luas seperti sebuah gelombang pasang kolosal, menyebabkan kolapsnya mesin kenegaraan. Hal inilah yang memberikan revolusi ini keluasan dan kedalaman yang dibutuhkan. Tanpa adanya partisipasi dari lapisan teratas kelas pekerja, Shah tidak akan mungkin terguling pada waktu itu. Tanpa kepemim­pinan dari kaum proletar, massa yang tidak disiplin tidak akan dapat mengesinambungkan perjuangan melawan negara itu. Kaum mullah akan menghianati mereka, sebagaimana yang telah mereka lakukan pada kesempatan sebelumnya. Mari kita mengingat apa yang telah terjadi pada tahun 1963, dimana kaum funda-men­talis telah memenangkan dukungan politik dari lapisan masyarakat yang paling terbelakang ini, tetapi mereka gagal untuk menggulingkan rezim tersebut. Segera setelah kekalahan mereka, mereka melakukan kom­promi dengan kelas elit pemerintah. Hal ini menying­kapkan mitos dari Khomeini yang "revolusioner".

Bagaimanapun fuga, supaya tercapai pema­haman dengan apa yang terjadi pada tahun 1979-80, tidak cukup hanya dengan mengacu pada keseim­bangan kekuatan kelas. Di Rusia pada tahun 1917 kaum proletar jelas lebih lemah daripada kelas pekerja Iran di tahun 1979. Tetapi di bawah kepemimpinan Partai Bol­shevik (yang, jangan lupa, hanya memiliki anggota 8.000 orang dari jumlah penduduk sebesar 150 juta pada Februari 1917), kaum buruh dan kaum tani bisa meraih kemenangan dengan program revolusi sosialis. Alasan kenapa hal ini tidak terlaksana di Iran bukanlah karena situasi obyektif tetapi karena kekeliruan kebijakan dan tindak kepengecutan dari para pemimpin Partai Tudeh. Mengacu pada ketiadaan partai yang memimpin kelas pekerja, maka gerakan dibajak oleh para mullah. Mereka yang disebut sebagai kaum kiri, kalau tidak berada di belakang kaum mullah, mereka menyokong Front Nasional. Tidak satupun dari mereka menganut kebijakan kelas yang independen, menjelaskan kepada para buruh tentang keharusan untuk mengambil alih kekuasaan dengan tangan mereka sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Lenin dan Trotsky di tahun 1917.

Ini adalah tragedi dari revolusi Iran tahun 1979. Dalam kenyataannya, hanya partisipasi aktif dari kaum proletar-lah yang membawa kemenangan di tahun 1979. Shah yang semestinya digdaya dikalahkan dan dipaksa untuk kabur ke luar negeri. Kekuasaan sesungguhnya ada di tangan kelas pekerja Iran, tetapi, dalam ketiadaan sebuah partai dan pemimpin revolusioner sejati, mereka tidak mengetahui hal itu, dan tak seorangpun yang menjelaskan kepada mereka. Maka dari itu, kekuasaan lepas dari genggaman mereka dan dengan cepat diram­pas oleh Khomeini dan kaum mullah. Mereka tidak memimpin revolusi tersebut, tetapi semata mengeks­plotasinya untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka melakukan semuanya dalam kekuasaan mereka, untuk membinasakan dan menghancurkan gerakan kelas pekerja yang independen, mengandalkan lapisan masya­rakat yang paling terbelakang dan telantar untuk men­dudukkan mereka dalam tampuk kekuasaan. Dan begitu lava revolusi telah mendingin, mereka tanpa ampun menghabisi gerakan massa.

Revolusi Oktober bisa mencapai kemenangan hanya karena kaum proletar Rusia dipimpin oleh sebuah partai dan pemimpin yang memberikan program yang benar dan slogan yang sesuai dengan zamannya, yang membuat kaum buruh terbimbing untuk mencapai kekuasaan ("semua kekuasaan milik Soviet"). Dengan cara ini mereka membawa revolusi kepada akhir yang sukses. Sampai saat ini, pekerja di Iran merupakan bagian populasi yang jauh lebih besar daripada kelas pekerja Rusia sebelum Revolusi Oktober 1917. Akan tetapi pada revolusi Februari 1979 di Iran, partai revo­lusioner tidak ada. Sliura (soviet) bermunculan selama gerakan pemogokan, tetapi hal itu membutuhkan kepemimpinan yang bervisi luas untuk mengajukan pertanyaan tentang kekuatan kaum buruh dengan jelas seperti hari itu. Tanpa perspektif pengambilalihan keku­asaan, sliura, tidak bisa tidak, akan memudar dan binasa.

Di waktu yang lampau Karl Marx menerangkan bahwa, tanpa organisasi, kelas pekerja hanyalah bahan mentah untuk eksploitasi. Ted Grant mernaparkan: "Memang benar, kaum proletar memiliki kekuatan luar biasa. Tidak ada roda yang akan berputar, tidak akan ada hola lampu yang akan menyala, tanpa seijinnya. Tetapi tanpa organisasi, kekuatan ini tinggal berupa potensi semata. Dengan cara yang sama, turbin uap adalah kekuatan yang kolosal, tetapi tanpa kotak pis­ton, hanya akan berhamburan di udara tanpa ada gunanya. Agar hal itu bisa tercapai, kekuatan kelas pekerja harus berubah dari semata hanya potensi menjadi sebuah realitas, mereka harus diorganisir dan dikonsentrasikan pada satu titik. Hal ini bisa dilakukan melalui sebuah partai politik dengan kepemimpinan yang berani dan berpandangan ke depan serta sebuah program yang benar."(9)

Catatan

1. Leon Trotsky from Trotsky's ereface to The History of the Russian Revo­lution, diterjemahkan oleh Max Eastman.

2. Lenin, The State and Revolution, The Essential Left, hal. 154, Unwin Books.

3. Newsweek, October 1978.

4. Newsweek, 25 September 1978.

5. Ted Grant, Russia from revolution to counter-revolution, hal. 59. 6. Assef Bayat, Workers and Revolution in Iran, hal. 96.

7. Ettelat (daily evening paper), 15 March 1979.

8. Trotsky, Rhythm of Struggle, hal. 25.

9. Ted Grant, Russia from revolution to counter, hal. 55-56

 

DAFTAR ISI

Pengantar oleh Alan Woods

Bab I. Latar Belakang Sejarah

Bab II. Catatan Atas Sejarah Iran

Bab III. Partai Komunis Iran

Bab IV. Revolusi Februari 1979

Bab V. Basis Fundamentalisme Iran

Bab VI. Ekonomi Kontra Revolusi

Bab VII. Perspektif Iran