facebooklogocolour

Apa yang dimulai pada musim panas 2009 di Iran dengan gerakan massa yang menyusul pemilihan presiden jelas-jelas merupakan awal dari sebuah revolusi, yang nampak dari cirinya yang sangat mencolok, yakni massa-rakyat memaksa masuk ke pentas sejarah. Proses ini sejak sangat awal telah mengedepankan pertanyaan tentang kekuasaan dalam masyarakat. Dengan radikalisasi gerakan pertanyaan ini kian memperoleh bobot nilai yang signifikan. Revolusi Iran sudah sedang menawan perhatian massa-rakyat di seluruh dunia. Dalam beberapa bulan terakhir gerakan ini telah mengambil langkah ke depan, yakni ke ranah-ranah yang sebelumnya dianggap tidak mungkin oleh siapapun. Dengan mengabaikan otoritas manapun dan dengan kian menebalnya keyakinan pada kekuatan-kekuatannya sendiri, gerakan massa-rakyat sedang mengilhami jutaan kaum pekerja dan kaum miskin. Sekarang orang berpandangan bahwa kejatuhan rezim Islam Iran sudah tak terelakkan dan akan terjadi cepat atau lambat. Tapi itu hanya akan menjadi awal dari sebuah periode perjuangan klas yang tajam di Iran yang secara potensial dapat berakhir dengan penggulingan sistem kapitalis dan penggantiannya dengan pemerintahan kaum buruh dan massa-rakyat.

Klas-klas penguasa menyadari hal ini dan itulah sebabnya mereka juga telah mengkonsentrasikan semua perhatian mereka pada perjuangan itu. Mereka tahu bahwa perjuangan itu pada satu titik dapat berubah menjadi serangan terhadap sistem kapitalis secara keseluruhan.

Jadi tidaklah mengejutkan bila gerakan itu sedang menarik perhatian semua kaum revolusioner dan kaum Marxis. Kita bermaksud untuk memberikan kepada gerakan itu suatu pemahaman Marxis yang jelas tentang tugas-tugas yang terbentang di depan dan strategi-strategi terbaik untuk mencapai kemenangan. Untuk itu pertama-tama kita harus belajar dan tiba pada pengertian tentang akar-akar dari gerakan tersebut.

Bagaimana ledakan seperti itu bisa terjadi berdasarkan hasil dari pemilihan presiden? Setiap orang Iran tahu dengan sangat baik bahwa tidak ada seorang pun di antara para kandidat presiden yang merepresentasikan perubahan yang riil. Paling banter mereka merepresentasikan warna-warni yang berbeda dari klik klas penguasa ultra-reaksioner Iran. Bahkan bila kita mengabaikan hal ini, manipulasi suara (vote rigging) bukan pula merupakan hal baru di Iran. Faktanya banyak orang Iran percaya bahwa Ahmadinejad meraih kemenangan besar dalam pemilihan presiden yang lalu karena kecurangan yang besar-besaran. Dan akhirnya bila toh Mousavi yang secara resmi menang, ia akan memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa ia sepenuhnya loyal kepada rezim Islam Iran.

Kapitalisme di Iran

Dalam analisis terakhir, sebab-musabab di balik perkembangan-perkembangan revolusioner di Iran harus ditemukan pada krisis umum dari sistem kapitalis yang tidak lagi mampu mengembangkan tenaga-tenaga produktif dan membawa masyarakat melangkah ke depan. Sebaliknya, sistem ini sedang menjadi beban yang paling berat pada masyarakat dan menyeretnya menuju barbarisme.

Di hari-hari permulaan masyarakat kapitalis, kaum borjuasi memainkan peran progresif, yakni mengembangkan tenaga-tenaga produktif dan memajukan masyarakat. Tapi Iran sangat-sangat terlambat memasuki alam kapitalis. Setiap langkah menuju kapitalisme diambil karena tekanan luar-negeri dan campur-tangan langsung, khususnya, dari Imperialisme Rusia dan Inggris. Tapi bahkan dengan faktor ini, relasi-relasi kapitalis di Iran secara ekstrem tetap terpencil atau terisolasi, terbatas, dan nyaris stagnan. Aspek-aspek geografis Iran tidak membantu perkembangannya. Iran adalah negeri terbesar ke-18 di dunia, yang meliputi 1.648.195 kilometer persegi (hampir sebesar Jerman, Prancis, Spanyol, dan Inggris Raya digabung jadi satu!) dan terdiri dari lima rangkaian pegunungan yang mengitari sebuah padang-pasir. Ervand Abrahamian menjelaskan implikasi aspek-aspek geografis ini dalam bukunya yang terkenal, Iran – Between Two Revolutions:

“Bahkan pada akhir abad [1800 – M.A.] jalan yang penting yang menghubungkan pelabuhan selatan Mohammerah (Khorramshahr) dan Teheran begitu lambat sehingga untuk menempuh perjalanan dari Mohammerah ke Teheran lebih cepat bila dilakukan dari Teluk Persia ke Laut Hitam dengan perahu, dari Erzerum ke Laut Kaspia melalui jalan darat, dari Baku ke Enzeli (Pahlevi) dengan perahu lagi, dan akhirnya dari Enzeli ke Teheran melalui jalan darat. Minimnya transportasi menciptakan krisis-krisis periodik yang di dalamnya satu kawasan bisa mengalami bencana kelaparan sementara pada saat yang sama kawasan yang menjadi tetangganya sedang menikmati panen yang melimpah.”

Daratan yang tidak rata dan jarak yang jauh tidak memungkinkan perkembangan dalam perdagangan sama sekali. Hanya setelah penemuan sumber-sumber minyak bumi yang sangat besar di Iran industri negeri ini benar-benar mengalami akselerasi dan produksi kapitalis menjadi modus produksi yang dominan. Meski ini terjadi lebih dari seabad yang lalu masih ada sisa-sisa masyarakat lama di beberapa bagian Iran.

Demikianlah Iran tidak menjadi bagian dari kapitalisme dunia melalui proses perkembangan kapitalis yang linier. Negeri itu diseret paksa untuk memasuki pasar dunia oleh negeri-negeri imperialis, khususnya Inggris dan Rusia yang membagi-bagi Iran di antara mereka. Melalui serangkaian kekalahan besar di abad ke-18 dominasi imperialisme terkonsolidasi.

Khususnya penemuan sumber-sumber minyak bumi yang sangat besar di awal abad 20-lah yang akhirnya membuat Iran menjadi suatu bagian penting dari produksi kapitalis dunia. Jadi kendati hampir semua penduduk negeri itu hidup dan bekerja dalam relasi-relasi pra-kapitalis, negeri itu secara keseluruhan berkembang melalui hukum-hukum kapitalisme dunia. Mencirikan perkembangan ini adalah fakta bahwa infrastruktur industrial, pabrik-pabrik, yang dibangun di Iran setelah mulai-masuknya kapitalisme tidak dibangun oleh dan untuk sebuah klas borjuis yang baru muncul, tetapi oleh dan untuk kebutuhan-kebutuhan sempit imperialisme Rusia dan Inggris. Menghadapi produksi skala besar ini dan harga-harga murah para imperialis, tidak ada pedagang atau pemilik-toko (atau pemerintah) yang mempunyai kesempatan.

Semi-penjajahan terhadap Iran memberikan karakter yang berkombinasi dan tidak merata pada perkembangan sosial negeri itu. Pada waktu borjuasi-kecil Iran, yang dibawa ke depan oleh imperialisme, siap untuk mengadakan sebuah revolusi kapitalis, itu sudah terlalu terlambat. Revolusi-revolusi Konstitusional Iran (sebuah revolusi borjuis pada 1905-1911) menantang aristokrasi bertanah dan kuasa mereka atas negara. Revolusi itu mempunyai sasaran-sasaran menciptakan sebuah demokrasi parlementer, sebuah konstitusi baru, untuk mengenyahkan imperialisme dari Iran, untuk memisahkan institusi-institusi Islam dari negara, dan melaksanakan reforma-agraria. Kendati memberikan pukulan mematikan kepada modi produksi yang lama, aspirasi-aspirasi utama dari revolusi tidak mengkristal. Kapitalisme dalam skala dunia sedang berada dalam periode munculnya antagonisme-antagonisme imperialis. Ia tidak dapat memberikan konsesi apapun – bahkan tidak juga unuk sebuah parlemen boneka atau sebuah konstitusi palsu. Negeri itu memasuki dunia kapitalis yang dilanda sepenuhnya oleh krisis. Di samping itu, klas-klas menengah yang memimpin revolusi terlalu terikat-erat dengan imperialisme sehingga tidak mampu menantangnya secara serius. Pada setiap langkah revolusi ini, gerakan terpecah secara internal. Pada akhirnya gerakan ini bahkan tidak berhasil sepenuhnya mengakhiri modi produksi di kebanyakan daerah pedesaan. Kendati klas-klas bertanah dilemahkan mereka tetap mempertahankan kekuasaan sampai mereka sendiri mengubah basis mereka dan menjadi kaum industrialis 50 tahun kemudian.

Dengan klas pekerja terlalu muda dan lemah untuk memainkan peran, revolusi mempunyai banyak kesulitan dalam mempertahankan dan melanjutkan kemenangan-kememangannya. Sesudah perang sipil dan suatu periode ketidakstabilan yang luar biasa, kediktatoran Reza Shah yang keji muncul pada akhir 1920-an.

Seabad Revolusi dan Kontra-revolusi

Sejak Revolusi Konstitusional stabilitas merupakan sesuatu yang langka dalam masyarakat Iran. Seratus tahun terakhir telah menyaksikan suatu pergeseran yang nyaris konstan antara periode-periode kediktatoran totaliter dan gerakan-gerakan revolusioner atau pra-revolusioner. Periode-periode “ketenteraman” dan hidup-berdampingan “secara damai” ("peaceful" coexistence) terutama merupakan hasil dari represi yang kejam. Kapitalisme Iran, yang bergantung dan tunduk sepenuhnya pada imperialisme, tidak dapat memberikan konsesi-konsesi kepada massa-rakyat. Pada gilirannya ini berarti bahwa perjuangan apapun yang dilakukan oleh bagian manapun dari massa-rakyat, bila berkelanjutan, bakal dengan segera beralih menjadi perjuangan melawan rezim itu sendiri – dan reaksi terhadapnya juga sama-sama eksplosifnya.

Kondisi-kondisi seperti ini mencengkram masyarakat Iran pada sebuah deadlock yang nyaris konstan yang diinterupsi oleh ledakan-ledakan yang paling massif. Gerakan-gerakan yang besar terjadi pada akhir 1920-an, akhir 1940-an sampai pertengahan 1950-an, pertengahan 1960-an, akhir 1970-an, dan gerakan masa kini memiliki akar-akarnya pada tahun 1999. Semua gerakan ini, kecuali yang pertama, dapat dikarakterisasikan sebagai revolusioner atau pra-revolusioner. Situasi masakini sepenuhnya sesuai dengan situasi-situasi sebelumnya dan pada dasarnya mencerminkan sebab-musabab yang sama di baliknya. Ciri-ciri utama yang memisahkan tiap-tiap gerakan dari yang sebelumnya adalah klas pekerja yang tumbuh yang mencatatkan dirinya sebagai kekuatan sosial terkemuka yang semakin signifikan.

Akar-akar Revolusi 1979

Revolusi 1979 terjadi pada suatu waktu ketika Iran telah menjalani sebuah periode industrialisasi yang massif. Pada dekade 1960-an Shah telah menyelesaikan “revolusi putih” yang dianggap sebagai sebuah reforma-agraria demi kepentingan jutaan kaum tani tak bertanah. Ini adalah suatu upaya untuk memperkenalkan reforma-reforma dari atas untuk mencegah ledakan-ledakan revolusioner dari bawah. Tapi dalam praktiknya “revolusi putih” ini berdampak pada konsolidasi dan penguatan posisi keluarga kerajaan dan sekutu-sekutu terdekatnya. Dibantu oleh AS, reforma-reforma itu juga turut menggeser basis klik tersebut ke industrialisme.

Dalam proses ini, dan melalui undang-undang lain yang disahkan dalam periode ini, lapisan-lapisan yang sebelumnya ada di bawah kelompok kecil ini mengalami serangan yang berat; khususnya kaum klerus (pemimpin agama) – yang selalu menjadi pendukung yang loyal terhadap Shah – dan kaum bazaari (para pedagang kecil) juga mengalami pukulan berat. Di samping sejumlah sangat besar tanah mesjid yang diambilalih, Shah mendirikan institusi-institusi agamanya sendiri untuk menantang otoritas para klerus. Kaum bazaari diserang dengan dumping harga yang berat, pemajakan yang tidak merata, dan pembangunan supermarket-supermarket negara yang membeli produk-produk secara langsung dari para manufaktur dengan memotong para pengantara tradisional, bazaari.

Di samping menyerang lapisan-lapisan atas dari kaum burjuasi-kecil, reforma-reforma secara menentukan memotong ikatan-ikatan jutaan orang dari daerah-daerah pedesaan dan mendorong mereka ke kota-kota. Dari 1950-an sampai akhir 1970-an penduduk perkotaan tumbuh dari 20% menjadi 50% dari jumlah penduduk secara keseluruhan.

Pada saat yang sama, kelompok penguasa berupaya menggeser basis ekonomi mereka dari tanah ke produksi massal industrial. Harga minyak yang tinggi, proteksionisme, dan bantuan militer dari AS, bersama dengan boom ekonomi pasca perang menciptakan kondisi-kondisi di mana mereka merasa bahwa mereka dapat membangun dan mengkonsolidasi posisi yang kuat untuk Iran di pasar dunia. Penghasilan dari minyak saja meningkat dari $34 juta pada 1954-55 menjadi $437 juta pada 1962-63, menjadi $5 milyar pada 1973-74, menjadi $20 milyar pada 1975-76.

Pendapatan ini adalah tulang-punggung bagi industrialisasi yang dialami negeri tersebut dalam periode ini. Jumlah yang menakjubkan tersalur ke dalam perekonomian melalui pinjaman murah dan investasi langsung, tapi itu sama sekali tidak berarti bahwa semua rakyat Iran beroleh faedah atau manfaat daripadanya. Ini diilustrasikan oleh fakta bahwa 1000 orang memiliki, bukan hanya pertanian-pertanian industrial besar, tetapi juga 85 % dari semua perusahaan swasta utama.

Kendati Shah juga membelanjakan sejumlah uang untuk proyek-proyek kesejahteraan yang tambal-sulam, ketidaksetaraan masih terjadi. Istana-istana megah dan gaya hidup ekstravagan dari kaum oligarki Iran dengan kejam berkontras dengan kehidupan di daerah kumuh atau bahkan kawasan-kawasan klas menengah di Teheran. Pada tahun 1973 keseluruhan belanja rumah tangga perkotaan yang terdiri dari 50 persen penduduk yang paling miskin terhitung 16,8 persen dari belanja keseluruhan. Sepuluh tahun sebelumnya, pada 1960, persentasenya 19,7 persen. Dalam periode yang sama 20 persen penduduk terkaya meningkat, dari 51,7 menjadi 55,4 persen dari belanja rumah tangga perkotaan secara keseluruhan. Ini terjadi pada suatu waktu, ketika PDB sedang meningkat 15-20 persen setiap tahun. Tapi ini belum menceritakan keseluruhan kisah. Statistik hanya memperlihatkan berapa besar belanja rakyat. Kita harus ingat bahwa kaum kapitalis besar jarang membelanjakan semua uang mereka sementara kaum pekerja biasa dan kaum miskin tidak memiliki pilihan lain!

Dalam paruh kedua 1970-an faktor-faktor ini diperbesar dengan resesi dan inflasi yang bergerak seperti spiral. Beban-beban krisis ekonomi di bawah kapitalisme selalu dilimpahkan ke bahu klas pekerja dan massa-rakyat yang melarat. Iran pada 1970-an sama sekali bukan pengecualian. Memperoleh faedah yang minim dari boom ekonomi, kaum pekerja dan rakyat miskin sekarang terjerumus ke dalam kemelaratan dengan kecepatan yang bertambah luar biasa.

Dari tahun 1971-76, biaya sewa rumah di bagian-bagian pemukiman Teheran naik 300 persen. Sebuah keluarga klas menengah dapat menghabiskan sampai 50% dari pendapatan pertahun mereka untuk sewa rumah saja. Semua program sosial dihentikan atau dipangkas secara substansial; pengangguran meledak. Standar-standar kehidupan massa-rakyat memburuk dengan cepat.

Berupaya untuk mempertahankan posisinya dalam kondisi resesi, Shah mulai menyerang klas-klas menengah lebih keras lagi. Undang-undang yang keras terhadap “korupsi” dan “pengambilan untung yang berlebihan” (profiteering) dibuat. Dalam kenyataannya undang-undang itu ditujukan kepada para bazaari dan bahkan beberapa sekutu Shah sendiri. Pada saat yang sama ketegangan-ketegangan sosial yang terus meningkat menjadi jelas bagi banyak bagian dari kelompok penguasa. Ini menciptakan perpecahan di antara penguasa tentang bagaimana bertindak menghadapi ketegangan-ketegangan sosial tersebut. Kandidat presiden Amerika, Jimmy Carter, menyatakan bahwa Amerika harus melakukan lebih banyak guna melindungi kebebasan sipil dan politik di Iran – sebuah pernyataan yang harus diletakkan dalam konteks tiga dekade dukungan tetap dan sepenuh hati Amerika terhadap rezim Shah.

Perpercahan-perpecahan di dalam kelompok penguasa menciptakan sebuah kemungkinan bagi massa-rakyat untuk menerobos celah-retakan seperti dengan baji. Demonstrasi-demostrasi dan pemogokan-pemogokan meningkat secara dramatis. Khususnya para penulis, penyair, cendekiawan, mahasiswa, dan kaum bazaari klas menengah ada di garis depan pada awalnya.

Khususnya para Bazaari, yang beberapa di antaranya mengalami pukulan berat sehubungan denda-denda yang dikenakan kepada mereka dengan tuduhan “mengeduk keuntungan yang berlebihan”, dengan segera mampu menciptakan suatu momentum. Dengan semua dari mereka berlokasi di kawasan-kawasan sentral di setiap kota dan mempunyai jejaring di seluruh negeri, itu membuat mereka sangat berbahaya bagi rezim yang bertindak keras terhadap demonstrasi-demonstrasi. Para bazaari menggunakan mesjid-mesjid dan para ulama (mullah), yang dengannya banyak di antara mereka mempunyai hubungan yang baik, untuk berhimpun dan memobilisasi kekuatan. Mesjid adalah salah satu dari sedikit tempat di mana orang dapat berkumpul semasa periode Shah. Kendati pada awalnya mereka menolak untuk terlibat, para mullah segera ditekan untuk memainkan peran mengorganisasi pada tataran nasional. Di mana Bazaar mempunyai jejaring di setiap kota, mesjid mempunyai sebuah jejaring di seluruh negeri.

Dimulai pada awal tahun 1978, pemogokan-pemogokan dan demonstrasi-demonstrasi menjadi lebih sering. Tuntutan-tuntutan demokratis seperti pembebasan para tahanan politik dan kebebasan berekspresi, khususnya bagi pers yang telah dikemukakan sekian lama sekarang didorong ke garis depan dan gerakan terus mengumpulkan momentum.

Melihat bahwa mereka tidak dapat menghentikan gerakan itu, rezim Shah memilih untuk mengendorkan cengkeramannya dan membiarkan kepulan kecil uap panas dari ketidakpuasan yang terus merebak. Perdana-menteri yang baru, Jafar Sharif-Emami, dilantik pada akhir Agustus. Aktivitas oleh partai-partai politik dilegalkan – tentu saja dengan pengecualian kaum Kiri. Tentara ditarik dari jalanan dan sekian banyak tahanan politik dibebaskan. Tapi sebagaimana selalu terjadi, ketika sebuah gelombang revolusioner menggejolak, tidak ada reforma ataupun represi yang dapat menghentikannya.

Pengenduran cengkeraman rezim hanya menyulut gerakan yang telah bergolak di bawah permukaan. Dengan segera pembentukan serikat-serikat buruh dimulai dan aktivitas pemogokan meningkat dengan cepat. Pada awalnya tuntutan-tuntutan gerakan-mogok hanya mempengaruhi perusahaan-perusahaan tertentu dan terbatas pada tuntutan-tuntutan ekonomi seperti upah yang lebih tinggi, tapi ini segera berubah.

Pada awal September sebuah gerakan-mogok dimulai, yang kemudian mengakibatkan sebuah pemogokan umum yang menentukan. Setelah beberapa demonstran ditembak, kaum pekerja perkakas-mesin di Tabriz dan kaum pekerja penyulingan minyak di Teheran bergerak melancarkan pemogokan. Ini merupakan percikan yang menyalakan lidah api. Di pabrik baja Isfahan 30 ribu orang melancarkan pemogokan; dan di seluruh negeri ratusan ribu kaum pekerja industrial melancarkan pemogokan.

Secara khusus kaum pekerja minyak sangat penting. Pemogokan mereka, yang menyebar ke hampir seluruh instalasi, adalah yang paling terkenal dan juga paling penting. Ini membuat rezim Shah kehilangan $50 juta dollar per hari.

Pemogokan umum melumpuhkan rezim; memotong semua pasokan uang dan barang. Ini adalah faktor yang menentukan, yang membuat rezim bertekuk-lutut. Pemogkan bukan hanya melumpuhkan rezim secara ekonomi. Pemogokan juga mengedepankan pertanyaan tentang kekuasaan dalam masyarakat dengan cara yang paling konkret. Siapa yang mempunyai hak untuk memerintah atau berkuasa? Ini merupakan sebuah pertanyaan yang mendesak dan terbuka yang akan diselesaikan melalui perjuangan lebih lanjut. Pada saat yang sama pemogokan membuka ruang bagi protes-protes massa-rakyat untuk tumbuh semakin kuat.

Rezim Shah, dalam upaya terakhir yang sia-saia, memutuskan untuk menyerahkan kekuasaan kepada sebuah pemerintahan militer pada November 1978. Tapi pemerintah militer ini hanya berhasil menekan pemberontakan untuk beberapa hari saja. Sesudahnya aktivitas mogok dimulai lagi. Pada akhir November kemenangan sudah jelas. Dari situ dan seterusnya, semua tindakan pemerintah dilakukan dengan tujuan mengulur waktu untuk memindahkan sebanyak mungkin asset ke luar negeri.

Dampak ekonomi dari pemogokan berkombinasi dengan demonstrasi kekuatan oleh klas pekerja dan jutaan orang di jalan-jalan setiap hari, menciptakan kondisi-kondisi di mana sejumlah tentara menyeberang ke pihak revolusi. Ini merupakan pukulan terakhir yang membuat para pembela rezim yang masih tersisa menyerah atau melarikan diri pada Januari 1979. Puncak pimpinan tentara, atas nasihat dari administrasi AS, berjanji tidak berintervensi atau turut-campur dalam politik. Sebagai balasannya, mereka terhindar dari disintegrasi dan pembubaran.

Batu nisan kediktatoran totaliter Shah telah diletakkan dan itu ditandatangani oleh klas pekerja dan massa-rakyat melarat Iran. Shah melarikan diri pada pertengahan Februari 1979.

Kekosongan kekuasaan yang diciptakan oleh kejatuhannya seharusnya dapat diisi oleh klas pekerja. Tetapi kebijakan-kebijakan yang keliru dari organisasi-organisasi utama klas pekerja telah memberi jalan bagi kekalahan revolusi. 

Sebuah Revolusi “Islam”? Revolusi dan Kontra-Revolusi, 1979 sampai 1983

Banyak “analis”, “sejarawan”, dan “pakar” merujuk pada Revolusi Iran 1979 sebagai Revolusi Islam. Tapi kenyataannya, Khomeini dan kepemimpinan klerus merepresentasikan sebuah kontra-revolusi yang berdarah-darah. Dalam analisa terakhir mereka merepresentasikan kepentingan-kepentingan klas-klas lama yang berprivilese dan kapitalisme dunia. Ini digambarkan dalam satu fakta tunggal, bahwa kendati segala seruan menggelegar tentang “kematian bagi Amerika” mereka tidak pernah melakukan apapun untuk merugikan atau bahkan melemahkan posisi imperialisme Amerika. Sebaliknya, belakangan tersingkap bahwa mereka telah meminjam uang dan membeli senjata dari banyak negeri Barat, termasuk Amerika.

Khomeini, yang adalah seorang mullah yang tak dikenal yang diasingkan di Najaf, Irak, hanya tampil ke depan manakala kaum imperialis Inggris, Prancis, dan Amerika membawanya ke Paris, menaruhnya di bawah lampu sorot dengan tampil secara reguler di media seperti BBC dan akhirnya pada Konferensi Guadeloupe mereka memutuskan untuk mendukung upayanya meraih kekuasaan. Ini sejalan dengan dukungan yang diberikan AS kepada kaum Islamis reaksioner, yang sampai saat itu masih merupakan kekuatan-kekuatan yang sangat marjinal, di negeri-negeri kawasan seperti Pakistan dan Afghanistan, dengan tujuan membangun sebuah “Sabuk Hijau” (Green Belt) Islamisme di sekitar Uni Soviet. Mereka telah memahami bahwa Revolusi Iran mungkin bercorak Kiri dan berpotensi sosialis. Mereka mendukung Kontra-revolusi Khomeini karena potensinya yang anti-Kiri, anti-sosialis.

Para pemimpin sejati dari Revolusi Iran adalah para pemimpin kaum buruh yang memimpin pemogokan umum. Tanpa klas buruh yang bergerak melancarkan pemogokan, barangkali Shah tak akan terguling dan sejarah gerakan revolusioner ini bakal sekian kali lebih berdarah, barangkali berakhir dengan suatu kekalahan yang massif atau paling banter sebuah perang sipil yang berdarah-darah. Basis utama pemogokan ada pada industri minyak, sebuah industri dengan tradisi-tradisi komunis yang kuat.

Para pemimpin ini, lepas dari apakah mereka secara resmi anggota atau bukan, mengikuti politik, kepemimpinan, dan tradisi-tradisi Partai Tudeh atau partai-partai yang dalam analisa terakhir mengikuti kepemimpinan dari Partai Tudeh. (Adalah suatu fakta bahwa 35% dari para pemimpin kaum pekerja dalam pemogokan menyebut diri mereka Marxis). Organisasi Gerilya Rakyat yang Berkorban (Organization of People Fadayi [Sacrificing] Guerrillas), sebuah kelompok borjuis-kecil dengan kecenderungan-kecenderungan Narodnik, mula-mula dibentuk, di antara kelompok-kelompok lain, dalam perlawanan terhadap apa yang digambarkannya sebagai “Pengkhianatan” Tudeh dan sikap-tunduknya kepada birokrasi Soviet dalam setiap hal. Pada waktu kejatuhan Shah, kaum Fadayi adalah kelompok kecil kaum militan Kiri. Tapi dalam periode yang relatif bebas menyusul kejatuhan Shah, mereka dengan cepat tumbuh setidak-tidaknya sampai setengah juta pendukung yang dapat diandalkan. Kita juga melihat sebuah pertumbuhan yang eksplosif dari semua organisasi Kiri yang dengan cepat memperluas basis mereka. Ini membuktikan bahwa kontradiksi-kontradiksi klas sedang tampil ke depan dan terdapat minat-minat yang sangat besar terhadap idea-idea Sosialis. Namun, herannya, pada saat yang menentukan, mayoritas besar dari organisasi ini terpecah untuk membentuk Mayoritas Fadayian yang memberikan dukungan penuh kepada partai yang didikte Moskow, Tudeh, dengan menyebutnya Partai Baru Klas Buruh Iran. (Kita akan secara singkat berurusan dengan nasib faksi-faksi Fadayi lainnya yang tidak mendukung Tudeh atau rezim).

Tudeh dan Teori Tahapan Menshevik

Di sepanjang sejarah abad yang silam, banyak revolusi, yang dipimpin oleh apa-yang-disebut Partai-partai Komunis, gagal dan berakhir dengan kekalahan yang pahit. Ini juga terjadi di Iran. Ini membuat banyak orang berpikir bahwa kapitalisme terlalu kuat, bahwa Islam mempunyai pengaruh magis terhadap rakyat Iran, bahwa klas buruh terlalu lemah, atau bahwa konsep-konsep tentang sosialisme, revolusi, dan kekuasaan kaum buruh adalah gagasan-gagasan utopis, sehingga niscaya akan menggiring ke dalam kekalahan. Ini tidak bisa lebih jauh dari kebenaran.

Dalam semua revolusi pada abad yang silam, dan khususnya dalam Revolusi Iran 1979, ada banyak kesempatan bagi partai-partai pekerja untuk mengambilalih kekuasaan dan mendirikan sebuan negara buruh yang demokratis. Kunci dari masalah ini harus ditemukan dalam teori tahapan Menshevik yang diadopsi oleh partai-partai Stalinis di seluruh dunia, dan yang pada akhirnya menjerumuskan revolusi demi revolusi ke dalam kekalahan yang berdarah-darah.

Logika dari teori “Dua Tahap” ini adalah sebagai berikut: Karena kita hidup di sebuah negeri yang terbelakang secara ekonomi atau di bawah suatu kediktaturan, tugas pertama revolusi adalah tugas yang berwatak burjuis – yakni untuk mengimplementasikan demokrasi-borjuis. Ini harus berarti bahwa borjuasi atau borjuasi-progresif yang harus memimpin revolusi dan karena itu, pertama-tama kita harus mendukung kekuatan-kekuatan ini.

Masalah dengan teori ini, yang telah digunakan dalam banyak bentuk yang berbeda di sepanjang seratus tahun terakhir, adalah bahwa teori ini sama sekali menafikan fakta bahwa kapitalisme dalam skala dunia telah kehilangan semua ciri progresifnya dan tidak pernah dapat memainkan sebuah peran yang progresif. Dalam kasus borjuasi di negeri-negeri kapitalis yang terbelakang, kenyataannya lebih parah. Tanpa pecah sepenuhnya dengan kapitalisme, tidak ada progres yang riil yang dapat dicapai. Kepentingan-kepentingan material borjuasi, entah bagian-bagian manapun dari klas tersebut, sama sekali berlawanan dengan kepentingan-kepentingan massa-rakyat dan revolusi.

Lenin menjelaskan pada tahun 1905:

"Kaum borjuasi tidak bisa tidak akan beralih-menyeberang kepada kontra-revolusi, dan melawan rakyat segera setelah kepentingan-kepentingannya yang sempit dan serakah terpenuhi, segera setelah ia ‘mundur’ dari demokrasi yang konsisten (dan nyatanya ia sedang bergerak-mundur daripadanya!)." (Lenin, Collected Works, vol. 9, hal. 98)

Trotsky menjelaskan lebih jauh dengan Teori Revolusi Permanen:

"Berkaitan dengan negeri-negeri yang perkembangan borjuisnya terlambat, terutama sekali di negeri-negeri kolonial dan semi kolonial, teori Revolusi Permanen menunjukkan bahwa solusi utuh dan sejati dari tugas-tugas mereka untuk mencapai demokrasi dan emansipasi nasional hanya dapat dicapai melalui kediktatoran proletariat sebagai pemimpin bangsa yang tertindas, terutama sebagai pemimpin semua massa kaum tani bangsa tersebut.

“Kediktaktoran proletariat yang telah naik ke tampuk kekuasaan sebagai pemimpin revolusi demokratik secara tak terelakkan dan dengan segera dihadapkan pada tugas-tugas, yang pemenuhannya terikat sangat dalam dengan hak kepemilikan pribadi borjuis. Revolusi demokratik berkembang secara langsung menjadi revolusi sosialis dan oleh karena itu menjadi sebuah revolusi permanen." (Leon Trotsky, Revolusi Permanen, 10. Apakah Revolusi Permanen? Postulat-postulat Dasar, 1928)

Partai Tudeh pada tahun 1979 mengikuti teori Dua-Tahap. Karakterisasi mereka tentang tahapan revolusi diformulasikan dalam program Partai dan diadopsi pada sidang pleno XVI:

"Revolusi ini, dalam tahapan-historis dari perkembangan masyarakat kita sekarang ini tidak bisa lain kecuali sebuah revolusi popular dan demokratik dalam karakternya. Isi revolusi ini adalah untuk mengeliminir dominasi monopoli-monopoli imperialisme dari sumber-sumber daya ekonomi dan alam negeri kita, untuk memastikan kemerdekaan ekonomi dan politik yang total, untuk menyingkirkan semua sisa sistem sosial pra-kapitalis dan mengadopsi orientasi sosialis tentang pembangunan, untuk mendemokratiskan kehidupan politik dan kebudayaan di negeri ini. Pada tahap ini, kondisi niscaya bagi perkembangan revolusioner di Iran adalah penggulingan rezim monarkis lama,  untuk menghentikan mesin pemerintahan yang reaksioner, untuk mengakhiri kekuasaan para kapitalis-dan-pemilik-tanah-besar dan memindahkan kekuasaan dari klas-klas ini kepada klas-klas dan strata nasional dan demokratis, kepada para pekerja, kaum tani, borjuasi-kecil, kaum intelektual-patriotik dan juga strata borjuasi nasional, dengan kata lain berdirinya republik nasional dan demokratis … Jalan satu-satunya untuk mencapai revolusi popular dan demokratis adalah dengan partisipasi massa-rakyat dalam perjuangan dan bukan dengan aksi-aksi heroik entah orang-perorangan atau kelompok dan partai politik tunggal." (Documents and viewpoints, hlm. 690)

Tidak pada satu titik pun partai mempedulikan kebutuhan untuk pecah dari kapitalisme dan tidak pada satu titik pun mereka mempersiapkan klas pekerja untuk menghadapi pengkhianatan Khomeini. Sebaliknya mereka memasok Khomeini dengan dukungan yang luar biasa dan bahkan memberikannya sebuah basis di dalam gerakan pekerja dan secara parsial massa-rakyat yang lebih luas. Bahkan pada Agustus 1979 di mana sudah jelas bagi banyak orang bahwa Khomeini sedang bergerak melawan kaum buruh dan organisasi-organisasi Komunis, Tudeh masih berpaut pada idea tentang aliansi dengan para mullah:

"Dengan penyesalan yang paling dalam, kita sedang menyaksikan bahwa suatu peralihan ke kanan dalam situasi politik di negeri kita telah muncul beberapa pekan terakhir. Perubahan ini telah melayangkan pukulan yang menyakitkan dan menakutkan pada basis persatuan kekuatan-kekuatan nasional dan demokratis … Meski demikian, kita sedang menghadapi suatu realitas sekarang ini pada satu pihak suatu serangan besar telah dimulai untuk menindas kebebasan dan pada tempat pertama kebebasan kekuatan-kekuatan revolusioner Kiri sejati yang berjuang di bawah panji Islam ..." (Documents and statements of TPI)"

Kesalahan dari apa-yang-disebut karakter “demokratis dan nasional” Khomeini dengan jelas diperlihatkan ketika, setelah menggunakan dukungan Tudeh untuk membingungkan kaum buruh, kemudian ia beralih melawan mereka dan membantai ribuan militan Komunis serta melarang partai tersebut.

Pada akhirnya kebijakan-kebijakan Tudeh yang memberikan dukungan kepada para mullah, yang mereka identifikasi sebagai bagian dari kekuatan-kekuatan “nasional demokratis”, secara efektif melucuti dan membingungkan kaum buruh. Apa yang seharusnya mereka lakukan adalah memiliki sebuah garis klas yang independen yang membuatnya jelas bahwa kepentingan-kepentingan kaum buruh, tani, dan massa-rakyat miskin sama sekali bertentangan dengan kepentingan-kepentingan borjuasi. Tanpa melakukan hal ini, mereka membuka sebuah jalan raya bagi demoralisasi dan disintegrasi kekuatan-kekuatan Kiri, dan dengan demikian meninggalkan klas pekerja dan kekuatan-kekuatan revolusioner lainnya tanpa dipersenjatai melawan serangan-serangan fasis dari kaum klerus dan gerombolan-gerombolan mereka.

Tentu para anggota Komunis dalam pengertian yang luas hanya mengadopsi kebijakan ini di atas dasar ketiadaan alternatif yang jelas dan memadai, tapi bagi para pemimpin Tudeh yang mengikuti garis Moskow dengan teori Dua Tahap ini hanya merupakan suatu sarana menggelincirkan revolusi sebagaimana telah mereka lakukan pada masa lalu.

Kepemimpinan Tudeh (dan partai-partai massa lainnya, seperti Mayoritas Fadayian yang mengekornya) karena loyalitasnya kepada rezim Stalinis Uni Soviet tidak mempunyai minat dalam penggulingan Shah, yang dengannya birokrasi Soviet berhubungan baik. Lagipula, bila negara buruh yang demokratis berdiri di tapal batas Uni Soviet, ia bisa jadi bakal mengilhami para pekerja Soviet untuk bangkit melawan birokrasi.

Jadi meski para pemimpin di lapangan adalah kaum Tudeh dan Komunis, organ-organ dan institusi-institusi yang memegang peran kepemimpinan tidak memberikan kepimpinan terhadap gerakan pada level nasional. Sebaliknya, mereka mempertahankan suatu posisi yang enggan dan bahkan damai terhadap klerus, yang mereka anggap sebagai borjuasi “progresif”.

Terlepas dari hal itu, para buruh berinisiatif bergerak lebih jauh, dengan memperluas komite-komite pemogokan mereka menjadi komite-komite yang secara praktis mengontrol pengoperasian pabrik-pabrik sehari-hari dan dalam beberapa kasus menghubungkan mereka pada level kota. Meski perkembangan ini hampir semuanya mengalami percepatan setelah Shah hengkang, pembentukan mereka telah dimulai semasa pemogokan umum.

Komite-komite ini merepresentasikan embrio kekuasaan buruh. Perkembangan lebih jauh yang mereka buat seharusnya bisa membawa mereka untuk menjadi organ-organ utama dari negara buruh demokratis. Tapi lagi, para pemimpin Tudeh gagal pada saat yang menentukan.  Alih-alih mempromosikan sebuah kampanye yang massif dari komite-komite dan dewan-dewan pekerja (Shoras) di semua pabrik dan lingkungan sekitarnya, yang terhubung pada level kota dan nasional,  kampanye-kampanye utama mereka justru untuk mengembalikan komite-komite ini menjadi serikat-serikat buruh.  Dalam situasi yang berlangsung saat itu, jelas ini merupakan sebuah tuntutan yang nyata-nyata reaksioner! Adalah benar bahwa kaum Marxis selalu mendukung tuntutan-tuntutan demokratis seperti hak untuk membentuk serikat buruh, hak untuk melancarkan pemogokan, dsb. Tapi, dalam situasi ketika para pekerja seharusnya dapat memimpin gerakan untuk menggulingkan rezim dan mengambilalih kekuasaan, menghapuskan hubungan-hubungan kapitalis, sekedar mengedepankan tuntutan-tuntutan itu semata adalah bermi-mil di belakang situasi obyektif dan mood gerakan, dan itu hanya berfungsi untuk menaburkan kebingungan di kalangan klas pekerja, yang mengekang mereka dari pelaksanaan tugas-tugas mereka yang sangat mendesak.

Kebijakan dari para pemimpin Tudeh ini secara efektif melucuti para buruh, yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan senjata-senjata alami mereka untuk perjuangan politik dan kekuasaan. Jadi ketika Shah akhirnya melarikan diri, tidak ada aparatus yang kuat di dalam klas buruh yang dapat mengambilalih kekuasaan.

Pada setiap titik-balik utama dalam revolusi para pemimpin Tudeh bermil-mil jauh di belakang anggota-anggota mereka. Faktanya Tudeh tidak menyatakan situasinya revolusioner, sebelum pertengahan Januari. Alih-alih menjadi kepala gerakan, kepemimpinan Tudeh malah bertindak sebagai ekornya. Tapi pada Januari revolusi bukan sekadar dimulai; revolusi sedang mencapai atau malah melewati klimaksnya. Untuk menyatakan kemudian pada saat itu bahwa situasi Iran adalah revolusioner adalah terlalu terlambat. Tentu saja ada pidato-pidato, deklarasi-deklarasi, resolusi-resolusi, tetapi cukup menarik para pemimpin Tudeh tidak pernah mengambil langkah praktis apapun untuk membela suatu posisi revolusioner yang independen untuk kelas buruh yang bersatu.

Alih-alih, para pemimpin Tudeh mengambil posisi oportunis dengan mendukung borjuasi (kecil) “progresif” dalam bentuk para mullah. Sebagaimana halnya selalu dengan kaum sektarian atau oportunis, mereka menghadapi gerakan borjuis-kecil entah dengan memeluk seluruh gerakan dan menundukkan klas pekerja kepadanya, atau menolaknya sama sekali. Tentu saja bagaimanapun klas buruh kalah karena terisolasi sementara inisiatif dan kepemimpinan atas massa-rakyat yang luas ditinggalkan di tangan para “pemimpin” mereka.  Kebenarannya adalah bahwa klas-klas menengah di Iran, yang juga dipengaruhi oleh klerus Shia, merupakan sebuah massa-rakyat  yang luas dengan kepentingan-kepentingan yang bertentangan. Kebijakan revolusioner sejati tentulah akan membangun sebuah gerakan buruh yang independen dan bersatu, sementara pada saat yang sama mendekati massa-rakyat di dalam lapisan-lapisan klas-klas menengah bawah, mendorong baji di antara mereka dan kelas menengah atas yang tidak signifikan yang dalam ribuan cara saling-terkait dengan kaum elit penguasa dan di semua kasus merepresentasikan kepentingan-kepentingan yang sama.

Di Iran, kaum borjuasi sejak lama telah kehilangan atribut-atribut yang progresif. Kaum borjuasi, tak peduli betapapun besarnya penentangan mereka terhadap klik-klik penguasa, tidak dapat memainkan peran progresif apapun. Alasannya bukan ketiadaan niat, tapi karena sistem yang mereka representasikan sejak lama telah berhenti memainkan peran progresif apapun. Pada setiap langkah, pembusukan  yang semakin mendalam dari kapitalisme akan memaksanya untuk menentang kemajuan.

Proses ini dengan segera mengkristal di Iran sesudah kejatuhan Shah. Dalam bulan-bulan dan tahun-tahun yang menyusul kaburnya Shah dari negeri itu, rezim yang baru bermanuver untuk menghancurkan semua kekuatan yang telah mengantarnya ke tampuk kekuasaan, pertama dengan menyerang gerakan otonomi Turkman pada Maret 1979 (yang dipimpin oleh kaum Fadayian yang secara nominal mengaku Marxis), kemudian menyerang gerakan otonomi Arab pada bulan Juli dan Kurdish pada bulan Agustus. Dalam semua serangan ini rezim ini juga bersandar pada para tuan-tanah lama untuk menghancurkan gerakan-gerakan yang juga mempunyai tali-temali dengan kaum tani yang sekarang menuntut reforma-agraria.

Harus dicatat bahwa atmosfir setelah kejatuhan Shah sangatlah kiri dan kontradiksi-kontradiksi klas mencuat ke permukaan. Kita telah merujuk pada pertumbuhan yang massif dan eksplosif dari organisasi-organisasi Kiri, yang di antara mereka memiliki ratusan ribu pendukung (tanpa menghitung Mojahedin, sebuah kelompok Kiri Islam, dengan kekuatan dan pengaruh setara di seluruh negeri). Tapi kita tidak boleh lupa bahwa Khomeini dan rezimnya meraih popularitas hanya dengan menggunakan cara berbicara Kiri dan demagogi “anti-imperialis”. Alih-alih berbicara tentang prinsip-prinsip Islam dan sejenisnya, yang akan Anda harapkan dari mereka, mereka justru menjanjikan amnesti dan keadilan sosial. Mereka meminjam semua terminologi sosialis dari kaum Kiri. Mereka mengadopsi slogan-slogan seperti “Islam milik kaum tertindas, bukan para penindas”, “Islam merepresentasikan para penghuni pemukiman kumuh, bukan para penghuni istana”, “kaum tertindas di seluruh dunia, bersatulah”, “Kami mendukung Islam, bukan Kapitalisme dan Feodalisme”, “Islam akan menghapuskan perbedaan-perbedaan klas”, dan sejenisnya. Puncak demagogi “anti-imperialis” ini terjadi pada 4 November 1979 tatkala sekelompok mahasiswa pendukung Khomeini menduduki Kedutaan Besar AS di Teheran. Khomeini menyebutnya “Revolusi Kedua” dan menggunakan itu untuk menghancurkan lebih banyak lawan politik di dalam rezim ini dan mengkonsolidasi klik penguasa untuk menghancurkan oposisi yang sudah kelihatan di berbagai gerakan yang berbeda.

Pada 1980 dukungan untuk Khomeini di universitas-universitas juga telah lenyap. Mereka yang menduduki Kedutaan Besar Amerika Serikat, dengan dukungan dan barangkali kepemimpinan Khomeini, memperkenalkan diri mereka sebagai Mahasiswa-mahasiswa “yang mendukung garis Imam Khomeini”. Tetapi realitasnya adalah bahwa mayoritas mahasiswa di Iran justru mendukung kelompok-kelompok Kiri dan Komunis atau Mojahedin yang Islam-Kiri. Universitas-universitas semakin menyerupai pusat oposisi terhadap rezim ketika ilusi-ilusi tentang Khomeini pupus di kalangan kaum revolusioner. Untuk alasan ini rezim memilih untuk menutup semua universitas untuk dua tahun sejak April 1980. Setelah dibuka kembali, tidak ada orang Komunis atau orang yang dicurigai bersimpati kepada Komunisme yang diizinkan untuk studi atau bekerja di universitas-universitas tersebut.

Gerakan buruh tidak dilupakan oleh rezim ini. Kejatuhan Shah tidak menghapuskan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum buruh. Maka sejak sangat awal ketegangan-ketegangan mulai berkembang. Setelah sebuah periode singkat tanpa aktivitas mogok, banyak buruh bergerak lagi menuju suatu tingkatan militansi yang lebih tinggi. Justru setelah Revolusi dewan-dewan pekerja (Shoras) benar-benar mulai berkembang. Sebagian karena kekosongan kekuasaan, tapi juga karena adanya derajat pembedaan klas yang berakselerasi atau mengalami percepatan. Fase “nasional-demokratik” dari Revolusi tidak menghantar kapitalisme untuk berkembang sepenuhnya, tapi justru mencuatkan krisis kapitalisme yang berkembang sepenuhnya dan memperbesar kontradiksi-kontradiksinya. Para buruh dapat melihat bahwa persoalan-persoalan mereka membutuhkan solusi-solusi politik yang independen dan untuk itu mereka memerlukan alat-alat politik yang independen. Dewan-dewan pekerja adalah embrio dari alat-alat ini.

Tapi, ketika dewan-dewan dengan cepat berkembang dalam pengaruh dan kekuasaan, mereka juga menjadi faktor yang terlalu besar untuk diabaikan oleh rezim ini. Pada May Day 1979 ada demonstrasi-demonstrasi buruh yang dengan jelas berdiri sebagai oposisi terhadap rezim. Dan pada bulan Juli para pemimpin buruh pertama dari industri minyak dipenjarakan. Pada bulan Juni, mengorganisir aksi industrial bisa dihukum dengan 2-10 tahun penjara. Pada Maret 1980 diberlakukan larangan keras terhadap semua aktivitas pemogokan. Tapi pemogokan terus berlanjut.

Serangan yang besar akhirnya datang setelah dimulainya Perang Iran-Irak pada September 1980, tatkala rezim menempatkan representatif-represenatif militer di semua pabrik, dengan tujuan “rekrutmen”. Dalam kenyataannya ini digunakan untuk menghancurkan dewan-dewan dan para pemimpin mereka secara fisik.

“Kelahiran” yang riil dari rezim ini, yakni ketika rezim sepenuhnya menindas dan mengalahkan Revolusi, terjadi pada 20 Juni 1981. Ini adalah sebuah serangan kontra-revolusioner berdarah yang mengakhiri kebebasan relatif yang ada sejak kejatuhan Shah. Supaya ini terjadi setiap hari dilakukan eksekusi terhadap 300 sampai 500 orang, pelarangan atas semua koran dan pertemuan massa oposisi, dan sebuah serangan yang sangat sarat dengan kekerasan terhadap setiap gelagat perlawanan. Ini secara efektif merupakan awal dari perang sipil dengan Mojahedin, sebuah organisasi Islam kuasi-Kiri, yang berturut-turut membunuh banyak pimpinan rezim ini. Semua kelompok Kiri yang telah menentang Khomeini (termasuk Minoritas Fadayian dan pecahan-pecahan Fadayian dan Peykar yang Pro-Hoxa, yang pecah dari Mojahedin, serta sejumlah kelompok sosialis yang lebih kecil lainnya) menyingkir ke Kurdistan, yang sebagian daerahnya bebas dari kontrol rezim dan Kawasan-kawasan Terbebaskan (Liberated Areas)-nya dikuasai oleh partai-partai lokal yang anti-rezim, dan bergabung dalam perjuangan bersenjata melawan rezim selama beberapa tahun sebelum dihancurkan dan disapuh-bersih oleh Kurdistan Iran semasa tahun-tahun Perang Iran-Irak.

Dalam semua kasus yang disebutkan di atas, pemimpin-pemimpin utama Tudeh dan Mayoritas Fadayian (pecahan mayoritas dari partai massa, Fadayian, yang sebenarnya lebih besar daripada Tudeh, namun mengikuti garis yang didiktekan Moskow kepada Tudeh tentang tiap-tiap perkara) mempunyai suatu pendekatan yang sama sekali bersahabat terhadap rezim ini. Alih-alih menggunakan serangan-serangan rezim ini untuk memenangkan basis-basis dukungan yang baru, mereka mengalienasi diri mereka sendiri daripadanya dan memecah unsur-unsur sosial terbaik dari Revolusi.

Sejumlah besar kelompok Kiri lainnya yang dengan berani menentang Khomeini dan bertarung melawannya memikul persoalan-persoalan lain yang tidak memungkinkan mereka untuk memimpin sebuah gerakan massa para pekerja melawan rezim Islam. Kita telah menyebutkan bahwa mayoritas Gerilya Fadayian pecah dan memberikan dukungan kepada Partai Tudeh. Tetapi, Fadayian Minoritas dan pecahan-pecahan lainnya menganut banyak ide gerilya dan Stalinis (yang secara luas berpegang pada teori Dua Tahap) yang mencegah mereka dari kepemimpinan yang efektif atas para pekerja dan massa-rakyat. Harus dicatat bahwa ide-ide yang dominan dari kelompok-kelompok ini sangatlah terbelakang dan pra-Marxis. Menggunakan analogi Revolusi Rusia, ide-ide Fadayian yang dominan bahkan bukan Menshevik, melainkan Narodnik! (“terorisme” individual, gerilyaisme, dsb.)

Kelemahan lainnya adalah para pengikut apa-yang-disebut Sekretariat Bersatu dari Internasionale IV (United Secretariat of the Fourth International) di bawah kepemimpinan politik Ernest Mandel. Ada dua kelompok Trotskyis yang dibentuk di Eropa dan Amerika Serikat yang mula-mula bersatu untuk membentuk Hezbe Kargaran Sosialist (Partai Pekerja Sosialis) dan memiliki pemahaman yang lebih-kurang tepat yang membuat mereka bertumbuh menjadi beberapa ratus anggota dan kantor-kantor terbuka di beberapa kota. Tapi garis pembelaan terhadap Khomeini sebagai seorang “anti-imperialis” dan ide tentang persatuan dengan “borjuasi progresif” datang untuk mendominasi partai ini juga, yang direpresentasikan oleh orang-orang seperti Babak Zahrayi, dan ini menyebabkan perpecahan-perpecahan di mana sayap mayoritas secara efektif menjadi penganjur dari sebuah versi Kiri dari posisi Pro-Khomeini yang sama dengan Tudeh.

Dalam proses penghancuran kelompok-kelompok Kiri ini, rezim Khomeini bersandar kokoh pada lapisan-lapisan yang berbeda. Satu lapisan ini terdiri dari seksi-seksi dari kaum bazaari yang dimasukkan ke dalam rezim dan diberikan banyak konsesi yang menguntungkan. Yang lainnya adalah sayap kaum bazaari yang sebenarnya merupakan pendukung-pendukung Front Nasional yang liberal yang memimpin pemerintahan sementara. Akhirnya mereka bersandar pada lapisan-lapisan kaum miskin kota yang berjumlah sangat besar. Para penghuni pemukiman kumuh yang sama sekali dihancurkan dan dibiarkan membusuk di dasar masyarakat sekarang dibuat merasa bahwa mereka dapat menjadi seseorang. Lapisan ini adalah yang paling loyal dan paling berguna bagi rezim ini dalam upayanya untuk menghancurkan klas-klas yang lain

Tapi bahkan bulan madu dengan para bazaari liberal tidak bertahan lama. Setelah menyingkirkan mereka dari pemerintahan, mereka diserang dengan senjata yang sama dengan yang digunakan oleh Shah. Pada tahun 1983 mereka juga dihancurkan dan pemimpin-pemimpin utama mereka dipenjarakan.

Revolusi telah dikalahkan oleh para pemimpin klerus yang bersandar pada klas-klas dan lapisan-lapisan yang berbeda untuk menghancurkan klas-klas dan lapisan-lapisan yang lain dan menjadi satu-satunya yang tegak-berdiri pada akhirnya. Para pemimpin-pemimpin Komunis dalam Partai Tudeh, Fadayian Mayoritas, dan siapapun lainnya yang mengikuti garis mereka, memainkan peran khianat dengan mendukung rezim tersebut dalam setiap serangan sebelum mereka sendiri diserang dan dipenjarakan pada 1983.

Kaum Klerus

Di Iran ada tradisi Islam Shia. Tradisi ini dapat ditemukan dari lapisan atas hingga lapisn bawah masyarakat. Namun, bagi Shah, Pemimpin Agung, ataupun kaum kapitalis, Islam tidaklah sama seperti bagi kaum petani ataupun pemilik toko kecil. Bagi Pemimpin Agung dan kaum kapitalis Islam adalah sebuah alat penindas untuk mengkhotbahi massa untuk tidak berjuang untuk kehidupan yang lebih baik di dunia ini, sedangkan bagi kaum miskin Islam adalah sebuah pedoman untuk hidup dengan baik disini dan sekarang. Tendensi-tendensi ini dapat ditemukan di dalam tubuh klerus. Sebenarnya, kaum mullah telah memainkan peran yang besar dalam gerakan-gerakan revolusioner dan konter-revolusioner di dalam sejarah Iran.

Akan tetapi, sering kali, seperti di tempat-tempat lain di dalam sejarah, kaum klerus telah memainkan peran menghambat gerakan massa. Selama tahun 1960an, mereka terdorong keluar dari lingkaran kekuasan oleh Shah. Ini mendorong beberapa lapisan kaum klerus ke dalam oposisi menentang rejim Shah. Sebelumnya, lapisan atas klerus adalah pembela kuat dari rejim Shah.

Kaum klerus tidaklah hidup di dalam vakuum yang terpisah dari masyarakat. Seorang mullah terikat oleh sekelilingnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang bahkan eksistensi dia tergantung pada sumbangan yang diberikan oleh komunitasnya. Ini berarti bahwa semua mullah tidak selalu bisa memisahkan diri mereka dari komunitas di sekeliling mereka dimana mereka hidup. Klerus Shia di Iran mewakillkan satu bagian dari kelas menengah. Mereka bukanlah sebuah entitas homogen yang bertindak dalam satu kesatuan. Dalam ribuan cara mereka terhubung pada berbagai bagian dari kelas mereka.

Alasan-alasan utama mengapa mereka dapat menarik sebagian besar massa pada tahun 1979 adalah:

1. Ketiadaan kepemimpinan kelas buruh yang sejati dan karena Revolusi Putih [serangkaian reforma yang dicanangkan oleh Shah pada tahun 1963] telah menyingkirkan mereka [mullah] dari kekuasaan. Oleh karenanya massa tidak menghubungkan mereka dengan Shah. Namun, sampai tahun 1960an, kebanyakan organisasi mullah telah membela Shah dengan kukuh.

2. Terutama kaum bazaari – yang memiliki hubungan erat dengan mesjid-mesjid – tetapi juga massa pedesaan dan kaum miskin kota, menemukan tempat-tempat pertemuan yang paling aman dan legal di dalam mesjid, yang tidak dianggap sebagai bahaya politik oleh rejim Shah. Dalam konteks ini, kaum klerus adalah satu-satunya lapisan yang dapat memberikan massa borjuis kecil sebuah organisasi nasional.

3. Pada awalnya kebanyakan mullah berusaha sekuat tenaga untuk menghambat gerakan massa, tetapi gerakan ini tidak berhenti dan kaum klerus terdorong semakin jauh. Terutama pelajar muda Islam dan mullah pedesaan yang miskin terradikalisasi dengan cepat. Pada titik ini, faksi Khomeini yang adalah satu-satunya bagian dari klerus yang menyerukan penumbangan rejim Shah (dan yang mungkin tidak lebih daru dari 200 mullah) mulai menumbuhkan basis yang lebih besar.

Kaum mullah di Iran bukahlan sebuah entitas yang tertutup dan homogen; mereka tidak lain adalah bagian dari kelas borjuis kecil dan kelas penguasa Iran, dan terhubung dengannya dalam beribu-ribu cara dari atas hingga bawah. Oleh karenanya, ada analisa terakhir, mereka merefleksikan kepentingan kelas yang sama.

Lapisan klerus yang di bawah selalu mengikuti lapisan terbawah dari massa, dan menjadi terradikalisasi dengan mereka dalam setiap konflik dan gerakan besar. Ada banyak cerita dari Revolusi 1979 mengenai mullah yang malam harinya mempelajari koran-koran komunis dan siang harinya beragitasi dengan slogan-slogan mereka. Sebagaimana mistik dan cacat slogan-slogan ini diserukan oleh mereka, kaum mullah miskin tetap adalah bagian dari kelas borjuis kecil dan kaum rural miskin. Oleh karenanya pada banyak kesempatan mereka juga mengekspresikan suara mereka.

Klerus-klerus elit di kota-kota dan para pemimpin sembahyang Jumat besar, sebaliknya, selalu berpihak pada kelas penguasa semenjak jamannya Qajars, Reza Shah, Mohammad Reza Shah, dan tentu sekarang. Di setiap gerakan dan di dalam setiap revolusi, mereka telah berpihak pada perwakilan kaum berada dan menggunakan seluruh kekuatan dan pengaruh mereka untuk menghentikan gerakan. Bila mereka menentang elit penguasa, seperti halnya Khomeini pada awal 1960an, ini hanyalah bagian dari konflik internal dengan kelas penguasa. Ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan mengubah pilar-pilar fundamental masyarakat.

Bila kita tidak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang berkonflik di dalam kaum klerus dan kelas menengah, akan sangat sulit untuk memahami revolusi 1979. Aspirasi rakyat miskin tidak sama dengan keserakahan lapisan klerus atas.

Pada tahun 1979, kelas menengah tidaklah memiliki organisasi politik ataupun sumber ekspresi. Tudeh dan organisasi-organisasi buruh lainnya, yang kebanyakan adalah partai-partai bagi buruh industrial dan intelektual urban, memiliki hubungan yang sangat lemah dengan pedesaan dan daerah-daerah miskin di Tehram. Sehingga ketika massa yang tertindas mulai bergerak, tempat pertemuan yang paling alami adalah di mesjid-mesjid. Mesjid adalah tempat pertama dimana massa pedesaan berorganisasi dan berkumpul.

Tetapi ini adalah langkah pertama revolusi dimana perbedaan kelas belumlah menampakkan dirinya. Alih-alih mempromosikan gerakan buruh yang independen dan mempersiapkan buruh dan kaum miskin untuk menghadapi pengkhianatan Khomeini, Tudeh memberikan dukungan penuh kepada Khomeini. Dengan begitu mereka menuai ilusi dan secara praktis melucuti bukan hanya kaum buruh, tetapi juga kaum miskin dan rakyat tertindas di hadapan konter-revolusi yang sedang bangkit.

Khomeini kemudian menggunakan otoritas yang didapatinya untuk perlahan-lahan melemahkan gerakan buruh, dan mengalahkan revolusi. Menggantikan Shora (komite buruh), Khomeini menyelinapkan orde lama melalui pintu belakang dengan “Shora Islam” dan memperkenalkan manejemen satu orang di bawah kedok Islam yang dikenal dengan Maktabi. Kemudian setelah posisinya menjadi lebih kuat, dia memperkenalkan militerisasi pabrik-pabrik dan menyerang gaji dan kondisi kerja buruh.

Objektif segera dari Khomeini adalah menyelamatkan kapitalisme, dan oleh karenanya dia harus mengambil alih banyak perusahaan-perusahaan swasta, bukan karena dia ingin melakukan ini, tetapi karena dia tidak punya pilihan lain. Para pemilik perusahaan ini telah kabur dan kaum buruh mendorong dengan keras. Kenyataannya, bahwa sebelum akhir 1980an, rencana privatisasi telah dibuat (dan bila privatisasi ini belum terjadi ini bukan karena tidak ada kehendak dari rejim ini untuk melakukan privatisasi).

Dengan menyebut diri mereka revolusioner, kaum mullah tidak akan mengubah apapun. Kenyataannya, bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum konter-revolusioner untuk berkedok sebagai kaum revolusioner. Tetapi dengan ketiadaan oposisi yang terorganisir, mereka segera dapat mengkonsolidasikan kekuatan mereka dan menunjukkan wajah mereka yang sesungguhnya. Revolusi ini kemudian ditenggelamkan ke dalam sungai berdarah. Organisasi buruh dilarang dan oposisi tidak ditolerir.

Perang – “sebuah berkah dari surga”

Perang Iran-Irak adalah sebuah faktor penting dalam kekalahan revolusi. Perang ini dimulai oleh Irak yang menyerang Iran – resminya adalah karena pertikaian lahan. Ini mungkin adalah salah satu objektif perang ini, tetapi ini bukanlah asalan mengapa mereka harus melakukan perang ini. Kenyataannya, yang memaksa Iran untuk menyerang adalah ketakutan akan gelomban revolusi yang akan tumpah ke perbatasannya.Terutama kaum minoritas Kurd dan Shia mulai terpengaruh dan mulai bergerak. Ini tidak memberikan pilihan lain pada Saddam (yang juga ditekan oleh imperialisme AS) selain menyerang. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa serangan ini bukanlah terhadap Iran sebagai sebuah bangsa, ataupun kaum klerus. Serangan ini ditujukan untuk menghentikan gerakan massa. Ini adalah sebuah serangan terhadap revolusi.

Ini pada kenyataannya menjadi bantuan untuk mullah. Rejim di Iran menggunakan perang ini untuk mengalihkan perhatian ke “musuh asing” mereka. Dengan alasan ini, mereka menekankan pentingnya meredekan situasi dan menuntut ketertiban, dan pada saat yang sama mengkonsolidasikan angkatan bersenjata mereka. Para pemimpin Tudeh sekali lagi menikam revolusi dari belakang dan memberikan dukungan penuh mereka pada rejim ini dengan mengirim kekuatan partai mereka ke garis depan tanpa pendirian kelas yang jelas dan independen.

Disini sekali lagi kita melihat bagaimana kaum klerus dan imperialisme AS berbagi kepentingan yang sama. Pertama, Amerika dan Uni Soviet menjual senjata kepada kedua pihak untuk memperpanjang peperangan ini. Kedua, rejim Iran sendiri berkontribusi besar dalam memperpanjang peperangan ini. Setelah 1982, Iran telah memenangkan semua lahan yang hilang, tetapi Iran lalu mengubah perang ini menjadi perang ofensif dan melanjutkannya hinggal tahun 1988, tanpa memenangkan satu inci lahan pun. Pada kenyataannya, kedua negara ini bukan sedang berperang satu sama lain, tetapi sedang memerangi revolusi.

Dan bahkan setelah pembantaian hingga setengah juta orang, gerakan rakyat mulai bangkit kembali setelah perang. Apa yang terjadi dengan semua janji-janji revolusi? Mengapa kita harus berperang begitu lama? Tetapi kali ini rejim ini telah membangun kekuatannya dan basis-basisnya di seluruh pelosok negeri, dan tanpa perpecahan yang signifikan di dalam lapisan atasnya, mereka mampu merespon dengan tegas dan menghancurkan sebuah gerakan yang telah letih dan kehilangan semangat karena kesalahan-kesalahan pemimpinnya. Kemudian sebuah pengadilan Islam dilaksanakan untuk mengadili semua pemimpin Kiri dan oposisi. Dalam waktu beberapa hari, pengadilan ini menjatuhi hukuman mati kepada ribuan tahanan politik dan membunuh mereka dalam beberapa menit setelah pengadilan 10-menit mereka. Pembunuhan ribuan kaum Revolusioner, Komunis, dan Marxis pada musim panas 1988 adalah satu salah pembantaian anti-komunis yang paling terkutuk di abad ke-20. Kebangkitan yang baru dihancurkan sebelum ia dapat mencapai permukaan. Pada aksi finalnya, konter revolusi secara harafiah telah memancung revolusi.

Perkembangan ekonomi dan kelas-kelas di bawah republik Islam

Tahun 1980an di Iran adalah sebuah periode yang ditandai oleh perang dan kehancuran ekonomi. Banyak kompleks industrial lama hancur atau bangkrut karena kesalahana manajemen. Pada saat yang sama, perang dengan Irak mengacaukan semua aktivitas ekonomi.

Banyak perusahaan-perusahaan besar yang diekspropriasi dan dinasionalisasi atau disentralisasi di dalam Bonyads (yayasan-yayasan Islam yang dikendalikan oleh mullah-mullah yang tidak dipilih). Aparatus birokratis yang besar di dalam negara dan Bonyads, yang tumbuh besar karena tidak adanya kontrol demokratis dan pengawasan, menyebabkan memburuknya banyak perusahaan tersebut. Mentalitas sempit dan dangkal dari kaum borjuis kecil terbelakang berarti bahwa banyak perusahaan-perusahaan di bawah Bonyads dikelola dengan tidak benar oleh saudara-saudara, sepupu-sepupu, dan teman-teman kaum klerus dan kaum bazaari lapisan atas. Menghadapi gelombang pemogokan dan resesi ekonomi, jauh lebih mudah untuk menjual mesin-mesin di pabrik dan meraih satu laba besar.

Menetralkan semua faktor-faktor negatif ini adalah kontrol penuh atas hukum dan aparatus negara yang menciptakan keuntungan-keuntungan besar bagi perusahaan-perusahaan yang bersaing dengan perusahaan lainnya yang tertinggal di luar rejim ini. Ini lalu mempercepat laju ketidakefisienan dan jatuhnya investasi. Secara umum, perusahaan-perusahaan manufaktur besar berkembang setelah revolusi, tetapi dalam cara yang berat sebelah dan inorganik. Jumlah buruh yang diperkerjakan di perusahaan-perusahaan manufaktur besar berlipat ganda dari 271.000 menjadi 509.000 antara tahun 1976 dan 1986. Lagi, ini tidak diikuti oleh peningkatan yang sama dalam investasi. Di pihak lain, terjadi keanjlokan dalam perkembangan perusahaan manufaktur menengah dan ledakan perusahaan-perusahaan manufaktur kecil.

Persentase kelas pekerja dari populasi aktif pada tahun 80an menurun. Dari 40,2 persen pada tahun 1976, ini jatuh hingga 24,6%. Walaupun tendensi ini kemudian berbalik, pada tahun 1996 kelas pekerja hanyalah 31.1% dari populasi. Tetapi menurunnya persentasi kelas pekerja tidaklah membuatnya lebih lemah, karena pekerja yang tersisa adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan raksasa yang dalam kebanyakan kasush adalah monopoli dalam bidang mereka. Pada saat yang sama, barisan penganggur meningkat di seluruh negeri. Lapisan ini pindah ke kota-kota untuk mencari pekerjaan, tetapi kebanyakan dari mereka terjebak di dalam ekonomi informal Iran yang sedang tumbuh. Bila pada tahun 1950 30% dan pada tahun 1979 50% populasi hidup di perkotaan, pada tahun 2008 80% populasi hidup di kota-kota besar. Ini termasuk satu lapisan besar yang terjebak di luar ekonomi, yakni komunitas-komunitas yang termarginalisasikan.

Daerah-daerah pedesaan tidak lagi menyediakan kehidupan berkesinambungan bagi populasi. Bahkan bila seorang cukup beruntung untuk memiliki tanah di Iran, lebih dari 75% pemilik tanah memiliki kurang dari 7 hektar yang diestimasi sebagai minimum untuk menghidupi satu keluarga di desa. Oleh karenya banyak petani yang memiliki pekerjaan kedua di kota-kota atau mereka pindah ke kota dan meninggalkan tanah mereka.

Pada awal 90an ketika harga minyak mulai naik, tendensi keanjlokan industri terhentikan. Kelas buruh tumbuh dan investasi meningkat, tetapi laba mudah dari industri minyak menarik semua kekuatan ke dalam industri ini. Dengan ini, bahkan kebangkitan ekonomi ini terbukti tidak merata dan tidak berkesinambungan. Industri-industri lain yang tumbuh, contohnya perumahan, hanyalah tumbuh untuk jangka pendek seperti gelembung.

Di milenia yang baru ini, semua hal mengindikasikan bahwa pengkonsentrasian buruh dan industri telah meningkat, yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dunia. Tetapi pada saat yang sama, tingkat pengangguran yang tinggi dan migrasi ke daerah-daerah urban juga mengungkapkan keruntuhan masyarakat dan bahkan penyusutan kelas buruh secara relatif.

Ini tidak mengindikasikan melemahnya kelas buruh. Pengkonsentrasian kelas buruh dan monopoli yang ekstrim di Iran telah menciptakan kelompok-kelompok buruh yang potensial kuat. Contohnya, jalan tol antara Tehran dan Karaj, Vyborgnya Iran [Vyborg adalah pusat industri di Rusia pada jamannya Lenin] dipenuhi oleh pabrik-pabrik industri yang memperkerjakan ratusan ribu, atau mungkin bahkan lebih dari sejuta buruh industri. Pabrik Khodro Iran pada hakikatnya adalah sebuah kota kecil dengan lebih dari 25 ribu buruh.

Konsentrasi kelas buruh ini, bila dimobilisasi, memiliki potensi yang besar. Pada saat yng sama, massa Iran yang lainnya, seperti halnya pada tahun 1979, tidaklah terlalu jauh, secara geografis maupun secara budaya. Tidak seperti pada jamannya Shah dimana 50 persen populasi hidup di perkotaan, hari ini 80 persen dari 75 juta rakyat Iran hidup di kota-kota. Bandingkan ini dengan kelas buruh Rusia pada waktu Revolusi 1917 yang hanya 3 sampai 5 persen! Kondisi Iran pada tahun 2010 jauh lebih matang untuk perebutan kekuasaan oleh kelas buruh dibandingkan Rusia pada waktu Revolusi Oktober.

Bersesakan dalam jumlah jutaan, rakyat tani dan desa yang baru tiba, yang sekarang bekerja di sektor informal, terpaksa mengambil banyak tradisi dan ciri-ciri kelas buruh. Jadi bahkan bila kelas buruh Iran tidak tumbuh secepat lapisan-lapisan masyarakat lainnya, potensi kekuatan dan otoritas mereka telah tumbuh secara besar.

Tahun 1990an

Tahun 1990an adalah sebuah dekade yang dipengaruhi sangat besar oleh kekalahan revolusi dan kemudian oleh runtuhnya Uni Soviet yang pada gilirannya mengakibatkan demoralisasi global di antara kaum kiri. Tetapi di Iran, ini juga adalah dekade yang mempersiapkan ledakan-ledakan baru. Dari tahun 1993 sampai 2001, inflasi rata-rata adalah di atas 23% per tahun dan tingkat pengangguran berkisar 16% (angka resmi!). Hal-hal yang menyebabkan Revolusi 1979 masihlah valid. Di tingkat bawah, revolusi adalah masalah roti dan masalah ini belum terpecahkan. Satu-satunya perubahan yang terjadi adalah wajah-wajah kaum penguasa.

Republik Islam mewakilkan orde lama tetapi ia membawa dengannya orang-orang baru. Kebanyakan dari orang-orang Shah telah lari dan kebanyakan perusahaan telah dinasionalisasi tentunya bukan dengan cara yang demokratis di bawah kontrol buruh dan berproduksi untuk kepentingan masyarakat. Di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara ini adalah para klerus dan teman-teman mereka dari bazaar. Dan bersama dengan mereka, mereka membawan metode-metode birokratik pasar, dimana tujuannya bukanlah produksi tetapi laba cepat dan negosiasi-negosiasi yang tidak jujur. Ini membawa implikasi yang teramat buruk bagi semua industri dan produksi.

Birokrasi yang tumbuh di dalam Republik Islam ini akan membuat rejim Stalinis manapun seperti malaikat. Perkembangan ini memukul berat ekonomi, dimana milyaran dolar lenyap dari anggaran negara dan ratusan perusahaan menjadi bangkrut karena kesalahan manajemen yang sangat buruk. Sering kali seorang manejer mengambil alih sebuah pabrik hanya untuk menjual semua mesin-mesin ke perusahaan asing dengan harga yang rendah dan mendapatkan komisi di bawah meja. Dengan metode mismanajemen yang buruk ini, sebagian besar industri Iran hancur dan ribuan orang menganggur dan kondisi masyarakat memburuk. Ini berarti industri minyak menjadi industri terbesar di Iran, bukan melalui modernisasi dan investasi, tetapi melalui semakin besarnya eksploitasi terhadap buruh dan ladang-ladang minyak. Industri ini cocok dengan mentalitas bazaari kaum klerus dan teman-temannya, yakni beli-murah-jual-mahal. Pada kenyataannya, Iran tidak pernah membangun kapasitas pengilangan minyak untuk pengunaan domestik. Minyak hanya dijual mentah dan tidak diproses – ini lalu ditukar dengan bahan bakar minyak.

Sebagian besar tendensi kebangkrutan dari industri dan produksi diseimbangi oleh gelembung besar konstruksi pada akhir 90an, tetapi kata gelembung mengindikasikan bahwa ini hanyalah sementara saja. Sebagai akibatnya jutaan orang bermigrasi ke kota-kota hanya bisa bergabung dengan barisan penganggur, supir taksi, pemilik toko kecil, dan pemberi jasa yang hidup dari ekonomi informal Iran.

Selama tahun 90an, ada sebuah perkembangan juga di dalam rejim ini. Faksi-faksi yang berbeda mulai bermunculan, mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda di dalam rejim ini. Salah satu faksi ini telah mengumpulkan sejumlah kapital yang besar dan perlahan-lahan bergerak menuju privatisasi guna mendapatkan kontrol penuh dari perusahaan-perusahaan yang mereka pimpin, dan untuk menciptakan peluang untuk menginvestasikan uang yang telah mereka kuras dari negara dan kumpulkan untuk diri mereka sendiri. Faksi ini memiliki pemimpin utama seperti Rafsanjani dan banyak kaum Liberal dari gerakan “Reformis”. Dan secara alamiah mereka juga memiliki hubungan yang dekat dengan Bank Dunia dan IMF, dan oleh karenanya juga dengan AS.

Di pihak lain, ada faksi konservatif yang terdiri dari para Tentara Revolusioner, yang merupakan konglomerasi bisnis terbesar di Iran, dan Pemimpin Agung Ali Khamenei. Tentara Revolusioner pada kenyataannya adalah salah satu badan ekonomi terkuat, bila bukan yang paling kuat, di Timur Tengah dengan mengontrol ratusan milyar dolar aset. Paling jelas adalah kontrol mereka atas Boyad (yayasan-yayasan semi publik yang menikmati semua keuntungan sebagai badan milik negara, tetapi tidak dikontrol oleh institusu negara apapun) yang memiliki hampir semua industri Iran. Faksi ini memiliki basis mereka di dalam rejim dan oleh karenanya mereka menentang beberapa privatisasi, tetapi tetap mengambil bagian dalam kenbanyakan skema privatisasi.

Perseteruan antara faksi-faksi ini hanyalah sebuah perseteruan mengenai siapa yang dapat mendapatkan bagian kue terbesar. Seiring dengan memburuknya situasi ekonomi, pertarungan antara elemen-elemen ini mengambil karakter yang semakin serius, tetapi pada dasarnya mereka tetap mewakili rejim yang sama.

Bersambung ke bagian empat.