2125873292Dalam beberapa bulan terakhir lembaga kepolisian menjadi sorotan publik. Berbagai skandal pembunuhan, korupsi, salah tangkap, dan kekerasan terhadap publik semakin mendiskreditkan lembaga kepolisian. Semakin banyak orang yang menuntut perubahan besar dalam kepolisian, sehingga sungguh polisi memenuhi apa yang mereka janjikan pada rakyat, yakni “melindungi dan melayani”. Brutalitas polisi yang semakin menjadi-jadi bahkan membuat beberapa orang, terutama kaum anarkis, berpikir bahwa polisi perlu dihapuskan. Ini mendorong kita untuk mempertimbangkan secara ilmiah mengenai watak kepolisian yang sesungguhnya. Siapa yang sesungguhnya dilayani oleh kepolisian? Apakah badan ini bisa direforma? 

Polisi adalah aparatur represi yang tersentralisir dan sangat besar. Ada 579.000 personel kepolisian dari berbagai tingkat dengan 526 penjaranya. Dengan jumlah tersebut, artinya ada satu polisi untuk setiap 450 warga. Anggaran polisi menghabiskan ratusan triliun dari anggaran negara, dan jumlah ini terus meningkat. Dari tahun 2015 sampai 2022 anggaran polisi meningkat dari 62 triliun rupiah menjadi 111 triliun rupiah. Bahkan anggaran polisi di Indonesia melebihi institusi pemerintahan yang lainnya seperti Kementerian Kebudayaan, Riset dan Teknologi. 

Jumlah anggaran untuk polisi meningkat bukan tanpa alasan. Di tengah krisis kapitalisme yang terdalam dalam sejarah, kelas penguasa melihat bahwa mereka sudah tidak mampu lagi menjamin kesejahteraan bagi mayoritas penduduk. Oleh karenanya mereka harus mengambil langkah untuk mempertahankan diri mereka sendiri dari perlawanan rakyat, salah satunya dengan meningkatkan anggaran polisi. Ini karena lembaga ini bukan semata diciptakan untuk menangkal kejahatan. Lebih dari pada itu polisi ada demi memastikan mayoritas rakyat tunduk pada hukum dan tata tertib kelas penguasa.

Setiap pekerja dan kaum muda sadar kelas akan memahami bahwa ketika perjuangan mencapai titik yang serius, maka mereka akan dihadapkan pada represi brutal dari polisi. Misalnya, selama aksi Reformasi Dikorupsi pada September 2019, polisi menangkap lebih dari 1400 orang, dan kebanyakan adalah anak-anak muda dan pelajar. Dalam kasus persengketaan tanah, sudah biasa bagi para petani yang melawan penyerobotan tanah oleh korporasi atau pemerintah untuk ditangkap oleh polisi. Buruh-buruh yang mogok pun sering dikriminalisasi dan tidak sedikit yang dipenjarakan. Dari masa ke masa, polisi selalu berpihak pada pemodal. Organ represi yang terorganisir ini ada untuk mempertahankan kepemilikan pribadi kelas penguasa dan privilese-privilese mereka. 

Mungkin saja dalam kondisi perjuangan kelas yang semakin menajam kelas penguasa akan memberikan reforma ini dan itu. Bisa juga karena tekanan opini publik, pemerintah bisa mengubah aturan, atau melakukan pemecatan, pemberhentian, atau mutasi terhadap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran, seperti kasus Kanjuruhan. Atau seperti di Amerika Serikat setelah gerakan BLM yang masif, di mana pemerintah terdorong untuk menerapkan aturan baru yang melarang polisi menggunakan cekikan untuk menangkap seseorang. Tapi reforma tertentu dalam kepolisian tidak akan mengubah watak dasar polisi, yakni alat represi segelintir kelas kapitalis terhadap mayoritas kelas pekerja.  

Badan khusus orang-orang bersenjata

Dalam peradaban sebelumnya, manusia pernah hidup tanpa polisi, atau badan bersenjata yang terpisah dari masyarakat. Manusia primitif telah menghabiskan hidup di bumi untuk waktu yang lama dalam masyarakat tanpa kelas, tanpa negara, dan tanpa polisi. Mungkin hidup mereka tidak selalu indah. Tetapi secara umum, setiap orang dalam komunitas harus bekerja sama secara kooperatif untuk bertahan hidup di tengah tekanan buta alam. Fungsi keamanan dilakukan semua orang dan mereka melakukannya tanpa memerlukan badan represif khusus yang berdiri di atas masyarakat. 

Dalam masyarakat primitif tanpa negara ini, tidak ada penindasan manusia atas manusia lain karena tingkat produktivitas tidaklah memungkinkan. Pada saat itu, setiap manusia hanya bisa menghasilkan cukup sandang pangan papan untuk dirinya sendiri. Tidak ada surplus yang tercipta, sehingga tidak ada gunanya memiliki budak kalau sang budak hanya mampu menghidupi dirinya sendiri. Tetapi dengan perkembangan tenaga produksi – yang terutama ditandai dengan berkembangnya pertanian dan peternakan – masyarakat mulai menghasilkan surplus. Sekarang setiap orang bisa menghasilkan lebih dari kebutuhan sehari-harinya. Perkembangan ini menghancurkan tatanan masyarakat tanpa kelas yang lama, membuka pintu ke masyarakat kelas. Dalam masyarakat yang telah terbagi menjadi kelas-kelas, minoritas penindas hidup dari hasil kerja orang-orang di bawahnya. Untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan hak istimewa minoritas yang berkuasa, organ yang berdiri di atas masyarakat atau yang kita sebut sebagai ‘negara’ akhirnya berkembang.

Pada hakikatnya, negara adalah “badan khusus orang-orang bersenjata” yang mempertahankan kepentingan kelas yang berkuasa atas kelas lainnya. Ini termasuk susunan birokrasi pemerintahan, pengadilan, polisi, penjara dan militer. Semua ini ada untuk mempertahankan “hukum dan ketertiban” kelas yang berkuasa. Ini berarti bahwa negara yang kita kenal sekarang ada untuk mempertahankan dan melanggengkan eksploitasi segelintir kelas kapitalis. Dengan demikian kita memahami bahwa negara – yang di dalamnya termasuk kepolisian – merupakan produk tak terelakkan dari terbaginya masyarakat ke dalam kelas-kelas.

Kita tidak bisa memiliki kapitalisme tanpa polisi

Minoritas kecil tidak mungkin dapat mengeksploitasi mayoritas kelas pekerja tanpa memiliki organ bersenjata di bawah kendalinya. Pendidikan, agama, moralitas atau dengan kata lain alat represi ideologi tidaklah cukup untuk menjaga masyarakat dalam batas-batas tata tertib penguasa. Untuk mempertahankan dirinya dan mencegah orang-orang bertindak melawan peraturan, kelas penguasa membutuhkan alat represi fisik yang berdiri khusus di atas masyarakat, yaitu polisi, hukum, pengadilan, dan penjara 

Ini benar terutama kondisi masyarakat semakin memburuk akibat krisis. Kondisi ini membuat banyak orang mulai menuntut roti dan mulai mempertanyakan tatanan yang ada. Perjuangan kelas yang semakin sengit ini, mau tidak mau, berhadapan dengan represi polisi.

Negara dan aparatur kekerasannya tidak bisa diubah menjadi badan yang “netral” karena sesungguhnya mereka adalah organ kelas untuk melayani kelas tertentu. Artinya kita tidak bisa memiliki kapitalisme tanpa polisi. Satu-satunya solusi adalah revolusi sosialis yang akan mempreteli negara borjuis dari atas hingga bawah beserta semua aparatur kekerasannya. Negara ini akan digantikan oleh pemerintahan dari dan oleh kelas pekerja, yaitu negara buruh. Bila negara borjuis adalah negara yang fungsinya adalah mempertahankan kepemilikan pribadi kapitalis atas alat-alat produksi dan menjaga privilese-privilese mereka, maka tugas negara buruh adalah sebaliknya. Tugas negara buruh adalah mengakhiri dominasi ekonomi dan politik kelas kapitalis, dengan menyita tuas-tuas ekonomi yang ada di tangan kapitalis, menyerahkannya di bawah kontrol demokratik buruh untuk dijalankan demi pemenuhan kebutuhan seluruh rakyat pekerja. Pendeknya, negara buruh melayani kepentingan kelas buruh.  

Sebuah revolusi sosialis akan menciptakan pemerintahan, norma dan aturan baru yang tunduk pada mayoritas kelas pekerja, dan bukan pada segelintir kelas kapitalis. Ini berarti fungsi keamanan publik tidak lagi terspesialisasi dan terpisah dari masyarakat, melainkan fungsi ini ada di tangan semua rakyat pekerja. Alat-alat kekerasan tidak lagi dimonopoli oleh polisi dan tentara yang berdiri terpisah dari masyarakat, tetapi berada di bawah kontrol demokratik langsung rakyat pekerja. 

Mungkin ada yang menganggap ini akan kembali pada demokrasi langsung yang primitif di mana semua orang mengambil bagian dalam tugas-tugas menjalankan pemerintahan. Ya, ketika tidak ada lagi yang menindas dan tertindas, maka semua fungsi masyarakat – dari pendidikan, pelayanan kesehatan, pertanian, produksi industrial, sampai keamanan publik – akan dijalankan oleh semua orang secara kolektif dan demokratik. Semua pengaturan ini akan menjadi hal yang sangat sederhana dan langsung. Masyarakat sosialis modern ini akan berbeda secara kualitas dengan masyarakat primitif karena bersendikan kekuatan produksi yang paling maju. Ini adalah pemerintahan tanpa majikan, polisi, tentara dan penjaranya.

Jadi bagaimana kita benar-benar bisa menciptakan masyarakat tanpa negara dan tanpa polisi?

Negara merupakan kekuatan koersif yang muncul dari masyarakat kelas. Karena negara adalah formasi organik dari masyarakat kelas, maka negara tidak dapat diberantas sampai masyarakat kelas juga melenyap. Juga, polisi dan penjaranya tidak dapat dihapuskan sampai masyarakat kelas juga menghilang.

Tujuan dari negara buruh adalah menyiapkan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk melenyapnya masyarakat kelas, dalam kata lain untuk melenyapkan secara berangsur-angsur badan kekuatan khusus bersenjata sampai ke titik pembubarannya. Dalam pengertian ini, maka negara buruh adalah semi-negara, bahwa negara ini hadir untuk lalu pupus. 

Kaum sosialis revolusioner memiliki tujuan akhir yang sama dengan kaum anarkis, yakni terciptanya masyarakat tanpa negara. Tetapi apa yang membedakan kita adalah metode untuk mencapainya. Di bawah sosialisme perjuangan kelas tidak hilang dalam semalam, karena kelas-kelas sosial dan sisa-sisa masa lalunya juga tidak bisa hilang dalam semalam. Bahkan setelah kemenangan revolusi, negara tidak akan secara otomatis terhapus. Kita hanya bisa  mengakhiri keberadaan negara – dan dengan demikian polisi – bila hubungan-hubungan sosial dan ekonomi yang mensyaratkan negara sudah hilang.

Kaum anarkis sering kali mengabaikan hubungan sosial dan ekonomi yang menciptakan negara. Mereka menganggap bahwa negara adalah faktor fundamental ketidaksetaraan, alih-alih sebuah ekspresi formal dari perkembangan masyarakat yang telah terbagi ke dalam kelas-kelas yang bertentangan. Bahkan ketika mayoritas kelas pekerja berkuasa, selama periode transisi antara kapitalisme ke sosialisme, antagonisme kelas akan tetap ada. Kelas pekerja akan membutuhkan sebuah badan bersenjata untuk bertahan melawan kontra-revolusi dari minoritas borjuis serta sisa-sisa relasi kapitalis dengan prasangka-prasangka terbelakangnya. Tetapi tidak seperti badan bersenjata kapitalis, yang merupakan alat penindasan minoritas melawan mayoritas, Negara Buruh adalah alat dominasi mayoritas kelas buruh atas minoritas borjuasi. Maka dari itu Negara Buruh tidak membutuhkan aparatus kekerasan yang besar seperti hari ini.  

Selanjutnya, untuk menjaga negara buruh mengalami kemunduran atau degenerasi birokratik. Negara buruh perlu meningkatkan kekuatan produktif secepat mungkin untuk mencapai kelimpahan barang kebutuhan. Karena di atas basis kekuatan produktif yang rendah, dengan kemiskinan, keterbelakangan, kekurangan bahan-bahan kebutuhan dasar bagi rakyat, maka sampah-sampah dari masyarakat lama akan bangkit kembali: antagonisme sosial yang semakin menajam, pertentangan dan persaingan antara sesama manusia, korupsi, dan birokrasi. Seperti yang dianalogikan oleh Trotsky, “Ketika terdapat cukup barang di satu toko, para pembeli dapat datang kapan pun mereka inginkan. Ketika barang sedikit, para pembeli terpaksa mengantre. Ketika antrean terlalu panjang, perlulah ditunjuk seorang polisi untuk menjaga ketertiban.” 

Oleh karenanya Sosialisme hanya dapat dibangun di atas basis kekuatan produksi yang tinggi. Kapitalisme telah menyediakan landasan teknologi dan perkembangan teknik yang memadai untuk mencapainya, yang bila dipadukan dengan sistem ekonomi sosialis, yakni ekonomi terencana di bawah kontrol demokratis buruh, akan bisa menciptakan keberlimpahan bagi semua. Kita tidak pernah kekurangan teknologi untuk bisa memenuhi roti dan susu bagi semua orang sehingga tidak ada lagi yang kelaparan. 

Dengan kekuatan produksi yang tinggi, kita juga dapat segera menurunkan jam kerja. Bukanlah utopis untuk mencapai 6 jam kerja atau bahkan 4 jam kerja setiap harinya di bawah sosialisme. Dengan begitu buruh dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Inilah basis bagi kontrol dan demokrasi buruh dalam masyarakat sosialis. Hanya dengan menggulingkan kelas parasit borjuis inilah kemudian terbuka semua perkembangan besar bagi peradaban umat manusia yang selama ini terbelenggu. 

Tujuan sosialisme adalah menciptakan dunia yang penuh dengan kelimpahan. Kalau tidak itu bukan sosialisme. Itulah yang membedakan masyarakat tanpa kelas primitif dengan sosialisme modern. Dengan menciptakan dasar material bagi kelimpahan bagi mayoritas penduduk inilah kita benar-benar dapat melenyapkan badan khusus orang-orang bersenjata yakni, negara beserta birokrasi, polisi, dan penjaranya. 

Selama masa transisi dari kapitalisme ke sosialisme, negara dan kebutuhan akan badan keamanan atau penjara tidak bisa begitu saja “dihapuskan”, tanpa menghilangkan kondisi material yang memunculkan kondisi tersebut. Selama masa transisi ini keamanan akan diorganisir dari bawah ke atas dari kelas buruh itu sendiri melalui organ-organ demokrasinya. Badan keamanan ini tidak bisa disebut polisi, karena istilah itu berlaku untuk badan bersenjata yang membela kapitalisme. Mereka akan memiliki nama yang lebih sesuai dengan fungsinya untuk membela kelas pekerja dan sosialisme. Tapi kami bukan pasifis utopis. Badan pertahanan pekerja akan menggunakan semua instrumen yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Semua instrumen ini akan bertanggung jawab secara demokratis kepada kelas pekerja. 

Ada empat kondisi yang memastikan agar Negara Buruh tidak mengalami degenerasi menjadi institusi yang birokratik, yakni: 1) Setiap pejabat dipilih oleh rakyat dan bisa direcall setiap saat. Dalam kaitannya dengan badan keamanan, ini berarti adanya kontrol demokratis langsung dari rakyat terhadap setiap personel badan keamanan, terutama yang memiliki posisi bertanggung jawab. 2) Tidak boleh ada pejabat yang bergaji lebih tinggi atau memperoleh privilese khusus daripada buruh terampil. 3) Semua fungsi pemerintah harus bisa digilir oleh semua rakyat; bila semua orang adalah birokrat, maka tidak ada birokrat. 4) Tidak ada tentara atau polisi tetap, melainkan rakyat bersenjata. Dalam kaitannya dengan aparatus keamanan negara, dua kondisi terakhir diterapkan untuk mencegah pemusatan alat kekerasan di tangan segelintir orang. Tugas-tugas menjaga keamanan harus dilakukan setiap warga secara kolektif.  

Bagaimana Slogan “Hapuskan Polisi” digunakan?

Kita kerap mendengar slogan “Hapus Polisi” dari kaum anarkis. Mereka mengharapkan bahwa dengan slogan yang terdengar radikal bisa membuat mayoritas orang bertindak yang sama. Tapi pertanyaan terpenting bukanlah seberapa revolusionernya slogan tersebut, tetapi apakah slogan tersebut mampu membantu menarik massa rakyat ke dalam perjuangan melawan musuh kelas. 

Kita tengah hidup di tengah jutaan populasi penduduk yang masih belum bisa membayangkan kehidupan ‘tanpa polisi’, tanpa ‘badan keamanan publik’. Meneriakkan slogan “hapuskan polisi” di setiap situasi, tanpa mempertimbangkan kondisi konkret yang dihadapi rakyat, pada akhirnya akan membuatnya hampa dan bahkan tidak produktif. Ada seni dalam menggunakan slogan. Kita perlu memiliki pendekatan transisional, yakni memulai dari apa dipahami oleh rata-rata rakyat pekerja, yang bersentuhan langsung dengan apa yang mereka alami, dan lalu meningkatkannya setahap demi setahap seiring perkembangan gerakan. Terkadang bahkan slogan yang mengekspos kegagalan negara untuk memenuhi tuntutan-tuntutan reforma yang dianggap perlu dan terlihat dapat dicapai oleh massa rakyat bisa menciptakan situasi yang sangat mudah terbakar, bahkan revolusioner. 

Tugas politik dan agitasi revolusioner adalah menghubungkan tuntutan yang paling mendesak, yang menarik jutaan orang ke jalan-jalan, dengan slogan-slogan untuk memajukan perjuangan ke tahap selanjutnya. Kami mendukung perjuangan untuk reforma dalam sistem kapitalis, yang dapat memperbaiki kehidupan rakyat. Tapi kami tidak berhenti pada perjuangan untuk reforma saja. Kami menggunakan perjuangan reforma untuk meningkatkan kesadaran kelas buruh dan mempersiapkan mereka untuk perjuangan revolusi. Karena faktanya, bahkan ketika reformasi kita menangkan, negara dapat membatalkan ini kapan pun. Mereka memiliki seribu satu cara mengabaikan undang-undang baru atau mencari cara lain untuk membatalkannya. 

Kita harus memperjuangkan setiap reforma yang dapat melindungi rakyat dari represi dan brutalitas polisi, yang mengekspos praktik KKN aparat kepolisian. Namun di setiap langkah, kita harus menghubungkan perjuangan reforma ini untuk menjelaskan kepada rakyat pekerja watak sesungguhnya polisi. Kita harus menjelaskan dengan sabar dan secara konkret – bukan dengan slogan kekiri-kirian yang hampa – kepada rakyat pekerja bahwa perjuangan untuk mengakhiri represi dan brutalitas polisi adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan menumbangkan kapitalisme. 

Berjuang mengakhiri brutalitas polisi

Polisi merupakan pilar penyangga kapitalis. Perubahan yang paling jauh bisa dijanjikan dalam sistem ini adalah mengubah hubungan polisi melalui reformasi administrasi, reorganisasi, pelatihan teknis dan test pertimbangan psikologi dalam perekrutan. Tapi ini biasanya hanya sekedar pencitraan. Polisi tidak akan mereformasi pendekatan represi mereka terhadap protes-protes sosial dan pemberontakan massa, karena represi adalah fungsi utama mereka. Selama sistem kapitalisme masih ada, menghapus brutalitas polisi adalah hal yang mustahil.

Dalam beberapa tahun terakhir kita telah menyaksikan gerakan yang luar biasa dari jutaan rakyat yang mengecam brutalitas polisi. Mulai dari gerakan BLM sampai Iran. Gerakan ini memiliki semua potensi – tidak hanya diakhirinya brutalitas polisi – melainkan juga merombak total sistem masyarakat dari atas hingga bawah.

Masuknya massa ke panggung perjuangan akhir-akhir ini hanyalah fase awal dari periode revolusioner yang tengah kita masuki. Massa telah menunjukkan bahwa mereka siap berjuang untuk perubahan. Mereka membutuhkan program revolusioner untuk melampaui spontanitas gerakan mereka. Tugas organisasi revolusioner dalam hal ini adalah perlu menjelaskan bahwa aksi protes saja tidak cukup untuk menggulingkan kapitalisme yang brutal ini. Hanya aksi kelas pekerja yang dipandu dengan kepemimpinan revolusioner yang mampu membawa perjuangan ini sampai pada kesimpulan akhir sosialis.  

Di setiap langkahnya, gerakan rakyat akan berhadap-hadapan dengan represi polisi. Kita harus menekankan bahwa hanya aksi massa yang bisa mematahkan represi polisi, bukan pendekatan legalistik seperti yang biasa dilakukan oleh kaum liberal. Rakyat hanya bisa percaya pada kekuatan dan organisasinya sendiri, dan bukan pada hukum dan konstitusi, yang jelas-jelas telah dirancang sedemikian rupa untuk membela kelas penguasa. KUHP yang baru disahkan kemarin menunjukkan apa fungsi hukum dan polisi sesungguhnya. Oleh karenanya, kita perlu menguraikan kepada rakyat pekerja secara konkret bagaimana polisi dan negaranya tidak dapat dihapuskan sementara kapitalisme masih ada. Lebih jauh dari itu kita perlu menekankan kebutuhan untuk membangun organisasi revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme guna mengakhiri brutalitas polisi dan kapitalisme.