facebooklogocolour

Sondang Hutagalung, mahasiswa tingkat akhir Universitas Bung Karno itu, meninggal dunia setelah aksi bakar diri yang dilakukannya, Rabu, 7 Desember 2011, di depan Istana Negara. Ada banyak tanggapan terhadap aksi yang bermuara pada kematian pelakunya itu. Banyak yang memandang aksi Sondang sebagai penyuaraan gugatan rakyat terhadap rezim yang korup, abai terhadap penegakan Hak Asasi Manusia, dan buta-tuli terhadap penderitaan rakyat. Sondang adalah martir. Ia telah mengorbankan dirinya sendiri demi bangsanya. Di pihak lain, ada pula orang-orang yang menganggap konyol aksi Sondang. Ada yang mengomentarinya sebagai perbuatan yang bodoh. Ada yang menyangsikan kewarasan pikirannya. Ada pula yang sekadar menyayangkan mengapa mahasiswa cerdas penggiat HAM itu tidak menempuh jalan yang lebih elegan. Apapun itu, aksi bakar diri yang berujung maut itu seharusnya tidak dilakukan oleh Sondang. Bagaimana sebagai Kaum Sosialis kita memahami dan menyikapi aksi Sondang?

Aksi bakar diri Sondang bukan tanpa preseden. Kita ingat, November tahun lalu pemuda Mohammed Bouazizi melakukan aksi yang sama. Aksi pedagang buah-buahan kaki lima yang dizalimi aparat dan pejabat itu memicu revolusi sosial di Tunisia, yang kemudian menjalar ke seluruh Dunia Arab. Kita juga ingat buruh muda Chun Tae-il (1970) dan petani Lee Kyung-hae (2003) di Korea Selatan.

Chun Tae-il melakukan aksi bakar diri demi menuntut perbaikan kondisi-kondisi kerja di tengah laju perekonomian kapitalis yang dibekingi rezim represif diktatorial Park Chung-hee. Saat itu, 13 November 1970, bersama dengan sekitar 500 orang buruh Chun menggelar demonstrasi di Pasar Damai, Seoul, pusat industri tekstil. Mereka berhasil keluar dari pabrik-pabrik yang telah diblokir oleh aparat keamanan. “Kami bukan mesin!” Begitu tulisan yang tertera di plakat-plakat mereka. Para aparat rezim “keamanan nasional” Park Chung-hee segera bertindak represif. Dengan brutal mereka menyerang para demonstran. Mereka merampasi plakat-plakat itu serta menganiaya para buruh. Saat itulah Chun tampil ke depan. Sekujur tubuhnya basah kuyup dengan bensin. Kemudian ia menyulut api, membakar dirinya sendiri. Dengan Kitab UU Perburuhan di tangan, dari dalam kobaran api ia terus berteriak lantang: Kami bukan mesin! Laksanakan UU Perburuhan!

Pada awal tahun 2003, Lee Kyung-hae menggelar aksi tunggal mogok makan di depan markas besar WTO di Jenewa, Swiss. Tujuh bulan kemudian, pada tanggal 10 September 2003, ia bergabung dengan lebih dari 15 ribu petani, rakyat pribumi, dan kaum muda di Cancun, Meksiko, tempat digelarnya Pertemuan Kelima Tingkat Menteri WTO, organisasi perdagangan dunia kendaraan imperialisme. Seruan “WTO membunuh para petani” membahana di luar gedung pertemuan, namun sama sekali tidak dipedulikan oleh para gembong, agen, dan kakitangan imperialisme. Ketika para demonstran mencapai titik di mana mereka tidak dapat bergerak lebih jauh, Lee Kyung-hae menikamkan sebilah pisau ke jantungnya sendiri dan menghembuskan nafas yang terakhir tak lama setelah dilarikan ke rumah sakit. Aksi tikam diri Lee adalah sebuah ungkapan protes yang sangat pahit terhadap proyek korporasi-korporasi multinasional dan segelintir anggota-anggota utama WTO. Proyek kapitalisme – yang telah menjelma menjadi imperialisme – yang nyata-nyata tidak manusiawi, mengancam lingkungan hidup, membunuh petani, dan tidak demokratis!

Kita juga bisa menyebutkan aksi-aksi bakar diri yang dilakukan oleh para rohaniwan dan rohaniwati Buddha, para biksu dan biksuni. Pada tanggal 11 Juni 1963, Biksu Thich Quang Duc memprotes pemerintah Vietnam Selatan atas penganiayaan yang dilakukan terhadap umat Buddha. Ia membakar diri sampai tewas di sebuah persimpangan jalan yang sibuk di Saigon.  Sejak Maret tahun 2011, setidaknya sudah 11 biksu dan biksuni Tibet melakukan aksi bakar diri sebagai ekspresi perlawanan terhadap pemerintah “Komunis” Tiongkok. Aspirasi kemerdekaan dan protes terhadap pendekatan represif rezim melatarbelakangi aksi-aksi mereka.

Di Indonesia sendiri, yakni di Sleman, Yogyakarta (2010), ibu muda Khoir Umi Latifah membakar diri beserta kedua orang anaknya. Itu dilakukannya karena tekanan ekonomi. Sebelumnya ia menulis surat untuk suaminya, yang berisi pesan supaya setelah mendapatkan uang sang suami membayar utangnya yang sebesar Rp 25 ribu kepada tetangga.

Sondang adalah seorang aktivis HAM. Karena itu sangat mungkin ia mengetahui aksi-aksi bunuh diri yang dilakukan oleh Bouazizi, Chun Tae-il, Lee Kyung-hae, Biksu Thich Quang Duc, dan 11 orang bisku-biksuni Tibet. Aksi-aksi mereka telah menjadi berita internasional. Bila benar, tentulah Sondang bisa merasakan kemarahan dan frustrasi Bouazizi terhadap kekuasaan yang telah sangat menzaliminya. Tentu Sondang juga bisa merasakan frustrasi dan heroisme Chun Tae-il dan Lee Kyung-hae di hadapan rezim kapitalistik nasional dan internasional, sekaligus spiritualitas pengurbanan diri para biksu dan biksuni. Boleh jadi Sondang juga mengetahui aksi Khoir Umi Latifah yang terjadi di negerinya sendiri. Kalau benar, ia bisa sangat berempati dengan keputusasaan ibu muda yang terbelit kemiskinan yang sangat parah di tengah kenyataan yang teramat pahit: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin karena sistem ekonomi-politik yang tidak adil.

Bila berbagai preseden yang sangat boleh jadi memberikan kesan yang sangat mendalam pada diri Sondang (faktor subyektif) dipertemukan dengan kenyataan tentang rezim korup yang acuh tak acuh terhadap keterpurukan bangsa dan penderitaan rakyat dan pada saat yang sama asyik melampiaskan syahwat ekonomi dan politik dalam ketundukan yang membudak kepada imperialisme (kondisi obyektif), maka aksi mahasiswa tingkat akhir Universitas Bung Karno itu mungkin bisa kita maknai sebagai ekspresi kemarahan, frustrasi, heroisme, dan spiritualitas pengurbanan diri. Karena dalam ekspresinya Sondang memilih untuk tidak mengalirkan darah orang lain, melainkan memilih jalan kematian dirinya sendiri, maka tidaklah berlebihan bila kita menyebut aksi bakar diri Sondang Hutagalung sebagai aksi heroisme pasifistik (pacifistic heroism).

Selaku kaum Sosialis, kita patut menghargai heroisme pasifistik saudara kita, Sondang Hutagalung. Kita tidak perlu turut dalam kajian “kritis” para cendekiawan bayaran burjuis yang nyaris menempatkan aksi bakar diri Sondang pada tataran yang sama dengan sekian banyak orang muda masa kini yang menjadi pecandu narkoba dan seks bebas, yang kehilangan kewarasan, yang menjadi pelaku kriminalitas, atau yang cengeng dan bunuh diri karena masalah pribadi yang tak terselesaikan. Kajian-kajian “kritis” itu, ketika beterbangan di media massa burjuis, justru mencitrakan aksi Sondang sebagai karikatur dari kekonyolan yang tragis. Dengan jalan itu, media massa kapitalis telah mengarahkan publik kepada opini yang konservatif dan dengan demikian memperkecil kemungkinan dampak sosial aksi Sondang. Sesungguhnya, media massa burjuis telah belajar dari peristiwa-peristiwa serupa yang pernah membuat klas penguasa kalang kabut pada waktu-waktu yang silam. Dalam konteks burjuasi nasional Indonesia, kita pun menangkap satu dari sekian banyak hal: sementara pentolan-pentolan burjuis itu sama-sama mengincar kekuasaan dan saling mendiskreditkan, mereka akan senada-seirama bila menghadapi percikan api di akar rumput yang kiranya bisa membakar habis mereka semua! Berabad-abad sejarah perjuangan kaum tertindas, semisal Komune Paris dan Revolusi Bolshevik, telah menyingkapkan dengan jelas kenyataan miris ini. Kaum burjuis dan para penguasa feodal, juga para imperialis yang sedang saling intai bahkan cakar-cakaran bisa bersatu demi menghancurleburkan kekuatan klas buruh dan rakyat pekerja! SBY, Surya Paloh, Aburizal Bakri, dan semua yang menguasai mekanisme ekonomi-politik Indonesia dan menuai profit daripadanya, secara prinsipiil sama: setali tiga uang!

Namun, tanpa menyangkali penghormatan kita kepada Sondang Hutagalung, perlulah kita selaku kaum Sosialis menyadari bahwa heroisme pasifistik saudara kita itu jauh dari memadai.

Mengapa?

Pertama, secara prinsipiil, heroisme pasifistik didasarkan pada gagasan yang murni idealistis, dan karenanya utopis: pengurbanan diri dapat mengubah kekuasaan yang jahat menjadi kekuasaan yang baik. Dalam kasus-kasus individual, kadang memang terjadi orang yang jahat bertobat menjadi baik karena tindakan pengurbanan diri orang yang baik. Tapi yang dihadapi Sondang adalah sebuah rezim atau pemerintahan yang secara sistemik menghamba kepada sebuah sistem ekonomi politik kapitalistik, serta sebuah klas yang diuntungkan oleh sistem tersebut! Pendeknya, Sondang sedang berhadapan dengan trinitas setani (devilish trinity): sistem ekonomi-politik kapitalis, klas, dan rezim. Bukan tidak mungkin ada orang-orang yang baik yang hidup di dalam “lingkaran suci” trinitas setani itu. Tapi sebagaimana diingatkan oleh etisis politik burjuis Michael Walzer, orang-orang yang baik yang ada dalam sistem yang jahat tidak berdaya untuk tidak terseret ke dalam mekanisme yang bekerja di dalam sistem itu!

Kedua, secara strategis, heroisme pasifistik tidak dapat berdiri sendiri dalam menghadapi kekuasaan yang jahat. Ia berfungsi sebagai pemicu di tengah krisis akut (kondisi obyektif) dan ketidakpuasan massa rakyat yang sudah menggelegak (faktor subyektif).

Di Indonesia, kondisi obyektifnya kian masak. Burjuasi nasional Indonesia sedang mempersiapkan liang kuburnya sendiri dengan semakin mengintegrasikan perekonomian Indonesia ke dalam tatanan ekonomi-politik kapitalisme internasional (imperialisme) yang berkendaraan globalisasi. Memang Indonesia tidak ambruk karena Krisis 2008. Itu bukan karena prestasi SBY dan pakar-pakar ekonominya seumpama Sri Mulyani dan Boediono (dengan “aksi penyelamatan Century”), tapi karena sebagian besar perekonomian Indonesia bertumpu pada sektor informal, “ekonomi rakyat” ala para bakul di pasar tradisional, warungan, kelilingan, dsb. Dengan “membunuh” sektor informal dan menggantikannya dengan minimarket-minimarket dan megamall-megamall dan menyungkurkan para petani dalam negeri dengan banjir produk-produk pertanian luar negeri, serta kebijakan-kebijakan “neoliberal” lainnya, burjuasi nasional Indonesia sebenar-benarnya sedang meluncur deras dengan kereta maut ke liang kuburnya sendiri. Sekarang, kendati rezim SBY mengklaim pertumbuhan ekonomi 6-7% pertahun, secara riil rakyat semakin mengeluhkan beratnya beban ekonomi (sampai-sampai ada yang bernostalgia dengan zaman rezim represif diktatorial Soeharto), sementara kinerja pemerintah dan “mitra-mitra sejajarnya” (DPR dan lembaga penegakan hukum) semakin memburuk dari hari ke hari.

Faktor subyektifnya mendua. Di satu sisi, kita menyaksikan meluasnya ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dan DPR, kegeraman terhadap korupsi, frustrasi terhadap beaya hidup yang semakin berat, dan  keprihatinan terhadap kemiskinan yang parah. Namun, di sisi lain ketidakpuasan, kegeraman, frustrasi, dan keprihatinan itu mengalami pembelokan dalam penyalurannya.

Media massa burjuis berperan sangat besar dalam penyaluran ketidakpuasan, kegeraman, frustrasi, dan keprihatinan rakyat pekerja. Dengan acara-acara wicara yang mengusung wacana kritis terhadap pemerintah, baik yang terkesan serius maupun yang sarat guyonan, perasaan-perasaan itu mendapat penyaluran yang “aman”. Orang menyalurkan kejengkelan dengan mengiyakan penilaian para cendekiawan di televisi, ikut bicara di ujung telepon Editorial Media Indonesia, tertawa karena ejekan-ejekan Sentilan-Sentilun dan Sudjiwo Tedjo, atau lawakan bodoh dalam Democracy atau Provokatif-Proaktif. Pada saat yang sama orang diyakinkan untuk menjadi sinis terhadap demonstrasi-demonstrasi yang digelar kaum buruh, tani, atau mahasiswa karena selalu “berakhir ricuh.”

Orang diajak sibuk dengan moralisme sempit, akurasi ritual, dan kegandrungan pada simbol-simbol keagamaan dalam acara-acara keagamaan. Orang diajak memasuki dunia mimpi dengan sinetron-sinetron dan melakukan masturbasi mental dengan acara-acara hiburan sampah yang makin marak di layar kaca. Sampah-sampah seperti Dahsyat dan Bukan Empat Mata mengalirkan milyaran rupiah ke dalam pundi-pundi para presenternya (yang dalam analisis terakhir sebenarnya berasal dari pengambilan nilai lebih dari hasil kerja kaum buruh di pusat-pusat industri) sembari membuat rakyat pekerja tertawa, menyanyi, dan menari dalam belitan penindasan, penghisapan, dan kemelaratan. Pada saat yang sama kapitalisme mengobral barang-barang yang untuk seketika waktu pernah mewah namun kemudian dapat dimiliki dengan mudah oleh rakyat pekerja dengan iming-iming menaikkan gengsi mereka. Sepedamotorisasi, ponselisasi adalah dua di antara sekian banyak contoh yang ada.

Pembelokan ketidakpuasan, kegeraman, frustrasi, dan keprihatinan rakyat pekerja pada dasarnya merupakan upaya untuk merintangi tumbuh-mekarnya kesadaran kritis, kesadaran klas, dan kesadaran revolusioner di kalangan rakyat pekerja. Pembelokan itu membentuk cara berpikir masyarakat, menciptakan dunia khayal untuk dihidupi, dan menyuburkan skeptisisme tentang keniscayaan akan perubahan yang revolusioner. Dengan jalan itu, klas penguasa kelihatannya berhasil menjinakkan masyarakat dan secara khusus rakyat pekerja, yang terdiri dari kaum buruh, burjuis kecil rendahan, tani, dan miskin kota.

Dalam konteks kondisi obyektif di mana kapitalisme Indonesia masih bisa bertahan dan faktor subyektif di mana ketidakpuasan, kegeraman, frustrasi, dan keprihatinan rakyat pekerja terblokir untuk berkembang menjadi kesadaran yang lebih maju (kesadaran kritis sampai kesadaran revolusioner), heroisme pasifistik tidaklah efektif. Ini menjelaskan mengapa aksi Sondang “hanya” sempat mengagetkan masyarakat untuk sejurus waktu, kemudian auranya semakin pudar. Heroisme pasifistik akan benar-benar efektif bila “Ibu Pertiwi sedang hamil tua”: matang bahkan membusuknya kondisi obyektif dan berkembangnya faktor subyektif berupa transformasi ketidakpuasan, kegeraman, frustrasi, dan keprihatinan menjadi kesadaran yang lebih maju.

Dalam fungsinya sebagai pemicu, heroisme pasifistik akan meledakkan kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat kapitalis dalam wujud revolusi sosial. Tapi, bila revolusi sosial terjadi, toh tidak berarti heroisme pasifistik berhasil mengakhiri tatanan yang lama dan memulai tatanan yang baru, yang lebih adil, manusiawi, dan demokratik. Sebab, sebagaimana sejarah menyaksikannya, revolusi sosial bisa dibajak menjadi reformasi (ingat Indonesia 1998) atau kontra-revolusi (ingat Indonesia 1965-1967, juga Revolusi Iran 1979), dan tidak bertransformasi menjadi sosok yang seharusnya: revolusi sosialis.

Karena itu, andaikata kita menerima heroisme pacifistik (suatu hal yang sudah barang tentu bukan metode Marxis), toh selaku kaum Sosialis kita menyadari bahwa tanpa kesadaran revolusioner rakyat pekerja yang digugah, dibangun, diorganisir, dan dimobilisir oleh sebuah partai pelopor revolusioner, heroisme pacifistik “hanya” akan tiba pada satu dari dua pilihan jalan dalam gelombang revolusi sosial: reformasi (restorasi dan konsolidasi kapitalisme oleh klas penguasa yang lama dengan rezim yang baru) atau kontra-revolusi (restorasi dan konsolidasi kapitalisme oleh klas penguasa yang baru dengan rezim yang baru).

Jelaslah, bagi kaum Sosialis, yang mengakarkan dirinya pada tradisi Marx, Engels, Lenin, Trotsky dan menimba “hikmat kebijaksanaan” dari Luxemburg, Gramsci, dan Ted Grant, aksi bakar diri Sondang, suatu heroisme pacifistik, patut dihargai namun jauh dari memadai. Namun heroisme pacifistik saudara kita ini sudah sepatutnya menghadirkan sense of urgency dalam diri dan organisasi perjuangan kita: kita harus bekerja lebih keras dan kreatif dalam menggugah dan membangun kesadaran progresif (kritis-klas-revolusioner) massa rakyat-pekerja, meningkatkan kerja-kerja pengorganisasian kita, dan terus mendidik diri dan saling-mendidik di antara kita dengan tradisi, program, metode, dan organisasi Sosialis yang sejati – Marxismenya Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky.

Hidup Sondang Hutagalung!

Hidup Buruh!

Rakyat pekerja Indonesia, Bersatulah!

Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!

Semarang, 21 Desember 2011