Sesekali kita harus mengesampingkan tugas-tugas rutin organisasi kita untuk sejenak, dan mengangkat pena kita untuk menjawab gagasan-gagasan yang keliru. Bukan untuk mencetak skor diskusi remeh temeh dan lantas menepuk dada puas, tetapi untuk menegaskan kembali Marxisme yang sudah mengalami berbagai pelintiran dan dicolek sedemikian rupa oleh para filsuf Marxis setengah-matang. Ada sejumlah orang yang lantas mengeluh: “Daripada ribut-ribut berpolemik, lebih baik turun ke jalan, lebih baik turun ke bawah.” Tetapi justru tradisi berpolemiklah yang hampir tidak ada di dalam gerakan kita, di mana perbedaan politik seringkali justru menjadi intrik personal dan gontok-gontokan tanpa arti. Ini semua karena absennya kemampuan untuk mengartikulasikan perbedaan politik dengan polemik tajam namun tegas. Walhasil, perbedaan-perbedaan politik tak terekspresikan dengan jelas dan yang menonjol hanya intrik-intrik sekunder. Tidak ada pelajaran yang dapat dipetik dari benturan-benturan dan perpecahan-perpecahan di dalam gerakan.
Melihat seorang yang sedang jongkok di tepi jalan dan bergerak-gerak dengan aneh, Leo Tolstoy, seorang sastrawan Rusia, menyimpulkan bahwa dia sedang menyaksikan seorang yang gila. Namun, ketika dia mendekati orang tersebut, dia merasa puas karena ternyata orang tersebut sedang melakukan kerja yang penting – menajamkan pisau dengan batu. Lenin suka menggunakan contoh ini. Diskusi-diskusi panjang tanpa-henti, pertentangan-pertentangan faksional, perpecahan-perpecahan antara Bolshevik dan Menshevik, debat-debat dan perpecahan-perpecahan di dalam faksi Bolshevik sendiri, bagi pengamat dari luar tampak seperti aktivitas orang-orang maniak. Tetapi sejarah menjadi bukti bahwa orang-orang ini sedang melakukan kerja yang penting. Perjuangan ideologi dan polemik-polemik ini bukan mengenai hal-hal akademik yang remeh-temeh, tetapi mengenai masalah-masalah revolusi yang paling fundamental.
Untuk memberikan sedikit ilustrasi mengenai tiadanya tradisi berpolemik yang sehat, di mana perbedaan politik kerap dijawab dengan serangan personal remeh-temeh, mari kita lihat tanggapan Ragil atas artikel saya sebelumnya (PKS Bukan Lenin):
“.. tulisan Ted sang Kiri Mentok hanya mau numpang tenar saja. Dengan menanggapi tulisan saya, yang tidak hanya menjadi buah bibir di kalangan gerakan Kiri, tapi juga di lingkaran PKS, ia juga mau ikut dibicarakan. Cara mudah untuk beken secara instan: hantam tulisan yang lagi naik daun.” [Italics oleh saya]
Apa yang bisa kita pelajari dari tanggapan seperti ini: tidak ada sama sekali. Marx, Engels, dan Lenin -- dan pemikir-pemikir besar lainnya -- tidak pernah menulis teori “numpang tenar” yang bisa kita rujuk. Namun, artikel saya menghasilkan sebuah tanggapan yang serius dari Kawan Martin Suryajaya, yang patut – dan harus – dibalas dengan serius pula.
Demoralisasi Pasca-98 dan Oportunisme
Kalau Ragil adalah penulis satire, yang mewakili generasi 98 yang sudah terdemoralisasi, dan oportunisme dan pragmatisme yang lalu lahir dari demoralisasi, Martin boleh dibilang adalah perwujudan filsafat darinya. Begini tandas Martin, “Secara umum, tulisan ini sepakat dengan isi tulisan Ragil. Bedanya, saya akan mendudukkan persoalan ‘Lenin dan PKS’ ini dalam kerangka filsafat.” (Lenin, PKS, dan Realisme) Sedikit kita telaah nanti, ternyata filsafat Martin hanya di awang-awang saja, tidak lebih dari pernyataan-pernyataan kosong bahwa saya adalah idealis, dan sama sekali tidak menyentuh duduk persoalan yang saya kedepankan mengenai tulisan Ragil. Martin berbicara panjang mengenai pentingnya metode berpikir politik, tetapi tidak bisa menjabarkan apa sebenarnya metode berpikir politiknya Lenin secara kongkrit.
Juga bukan sebuah kebetulan kalau pemikiran mereka bertemu kendati dari dua generasi yang berbeda, karena ide-ide yang sekarang diusung oleh Martin adalah ide-ide yang sudah eksis lama, yakni oportunisme, sementara Ragil dan generasinya – seperti Budiman, Haris, Dita, dan yang lainnya – adalah perwujudan riil dari oportunisme yang lahir akibat demoralisasi pasca-1998. Tentunya Budiman, dkk. sudah mencapai kemapanan dalam perjuangan politik mereka, sedangkan Ragil masih berada di luar “sistem” sehingga setidaknya masih memiliki lingkaran kesucian di atas kepalanya.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika revolusi dikalahkan, muncullah berbagai macam oportunisme. Mereka-mereka yang terdemoralisasi mencoba mencari jalan keluar dari kebuntuan yang mereka hadapi, dan ketika mereka tidak menemukannya di dalam Marxisme, mereka mendapatkannya di dalam oportunisme. Namun ikatan sejarah masa lalu membuat beberapa dari mereka tidak bisa serta merta mencampakkan Marxisme sehingga oportunisme mereka harus diselubungi dengan ujar-ujar Marx. Jadilah mereka pencolek Marxis vulgar.
Generasi PRD awal adalah generasi pertama yang mengangkat Marxisme dari kuburnya. Pemuda-pemudi pemberani ini membuka jalan bagi kita semua, namun mereka adalah korban jaman. Marxisme mereka setengah matang karena keterbatasan objektif yang ada: terjemahan karya-karya Marxis yang tidak lengkap; tradisi Marxisme sudah hilang, yang ada hanya dari mantan-mantan PKI yang sendirinya sudah terdemoralisasi akibat 1965; lalu juga situasi politik dunia yang tidak bersahabat bagi kaum revolusioner, dengan runtuhnya Uni Soviet yang membawa begitu banyak ofensif ideologi dari kaum borjuis dalam berbagai bentuk. Pemuda-pemudi pemberani ini dapat menahan segala macam represi fisik, tetapi ketika momen revolusi tiba dan mereka tidak bisa memenangkannya, datanglah demoralisasi. Revolution devours revolutionaries, revolusi melahap kaum revolusioner. Namun ini tidak terbatas pada PRD. Kita berbicara mengenai PRD karena ia adalah satu-satunya organisasi berhaluan Marxis di Indonesia saat itu yang serius dan terorganisir secara ideologi, politik, dan organisasi. Bila PRD saja bisa terdemoralisasi dan kader-kadernya bertekuk lutut satu per satu, apalagi yang ada di luar PRD.
Metode Berpikir Politik Lenin
Martin mengutip Materialisme dan Empiriokritisme-nya Lenin dengan panjang lebar, tetapi tidak menyentuh sama sekali premis dasar Ragil “Permasalahannya sepele, mana bertahan dan mana tersungkur”. Bahkan mungkin Martin agak malu melihat teman seideologinya begitu jujur dan tidak berbasa-basi. Sementara Martin harus menutup pragmatisme yang dia bagi bersama Ragil dengan berbagai pelintiran filsafat. Martin dan Ragil adalah seperti pasangan Good Cop Bad Cop, si Ragil adalah Bad Cop yang tendang sini tendang sana, dan sementara Martin adalah Good Cop yang kepalanya lebih dingin. Tetapi pada dasarnya mereka sama. Filsafat Martin hanya menutupi pragmatisme “permasalahannya sepele: mana yang bertahan, mana tersungkur”. Realismenya adalah realisme kekinian yang tidak ada dalam proses historis. Inilah mengapa walaupun Martin begitu tangkas menggunakan Marx dan Lenin, dia mengeluh ketika saya kembali ke dasar (masa lalu) terlebih dahulu sebelum melangkah ke kekinian.
Dia berbicara mengenai metode berpikir. Begitu mudah berbicara mengenai itu. Tetapi ujar Martin ini tidak ada isinya. Di dalam artikel saya, saya mengekspos Ragil yang hanya mengambil kesimpulan Lenin tanpa peduli bagaimana Lenin mencapai kesimpulan tersebut. Dalam kata lain Ragil tidak memperdulikan metode berpikir Lenin. Inilah sebenarnya tujuan utama dari artikel awal saya. Mungkin Martin tidak bisa membaca dengan jelas, mari saya ulangi lagi poin-poin tersebut mengenai metode berpikir Lenin tersebut:
1. Partai Leninis yang Rapat, Disiplin, dan Tersentralisir
Ragil mengemukakan bahwa konsep Partai Leninis yang rapat disiplin dan tersentralisir lahir karena situasi kediktatoran yang sesak. Namun membaca What is to be Done, dan puluhan artikel dan surat-surat Lenin lainnya, jelas menunjukkan metode berpikir Lenin, bahwa konsep Partai Leninis lahir dari tugas politik yang harus diemban oleh kelas proletar: merebut kekuasaan secara revolusioner dan secara sadar. Bahkan konsep organisasi yang rapat, disiplin, dan tersentralisir sudah diperjuangkan oleh Marx dan Engels di dalam Internasional Pertama, di mana ini adalah salah satu poin polemik mereka dengan Bakunin.
Konsekuensi kongkrit dari kesalahan memahami metode berpikir Marxisme -- dalam kasus ini berhubungan dengan bentuk organisasi dan hubungannya dengan tugas politik -- adalah bahwa di negara-negara yang bebas (negara-negara Barat umumnya) kita tidak memerlukan organisasi yang rapat, disiplin, dan tersentralisir. Bahkan sekarang di Indonesia di mana sudah sangat bebas dibandingkan jaman Orde Baru -- di mana Martin dan bukunya yang terbaru pasti sudah hilang entah kemana bila diterbitkan di jaman Orba --, maka kesimpulannya adalah tidak perlu lagi partai yang secara organisasi, politik, dan ideologi rapat, disiplin, dan tersentralisir.
Pembangunan partai dengan konsep Leninis juga bukan sesuatu yang statis. Partai yang rapat ini dibangun sebagai pondasi untuk menjadi sebuah partai massa proletar di hari depan, dan bukan untuk selamanya menjadi partai yang rapat dengan jumlah anggota segelintir. Namun perkembangannya menjadi sebuah partai massa proletar akan bersandingan dengan perkembangan perjuangan kelas. Hanya ketika massa luas mulai memasuki ranah politik, yakni dalam situasi pra-revolusioner atau revolusioner, maka Partai Leninis akan dapat tumbuh menjadi partai massa. Bolshevik ketika Revolusi Februari meledak hanya beranggotakan 8000 orang, tetapi dalam waktu 9 bulan menjadi partai massa beranggotakan ratusan ribu massa proletar dan merebut kekuasaan. Bolshevik hanya bisa melakukan ini karena 8000 kadernya sudah tertempa dalam rejim partai yang rapat, disiplin, dan tersentralisir. Dan ini membawa kita kepada pertanyaan selanjutnya, yakni mengenai membuka pintu partai.
2. Membuka Pintu Partai
Untuk alasan apa Lenin membuka partainya? Apa hanya serta merta untuk mendapatkan anggota sebanyak-banyaknya?
Pintu partai hanya dibuka oleh Lenin setelah partai tersebut terkonsolidasi kepemimpinannya dan juga pada momen revolusi dimana yang direkrut adalah elemen-elemen muda dan buruh yang terradikalisasi. Kita hanya bisa membuka partai kita secara luas setelah partai kita punya kader-kader yang sudah tertempa, karena dengan masuknya massa ke dalam partai akan masuk pula berbagai macam gagasan-gagasan asing. Tanpa kader-kader inti yang kuat dan kepemimpinan yang rapat, maka gagasan-gagasan asing ini dapat menghancurkan organisasi. Pada awal pembentukan Partai Buruh Sosial Demokratik Rusia, Lenin bersikeras kalau partai ini harus punya pondasi politik dan ideologi yang kuat dengan syarat keanggotaan yang rapat. Anggota-anggotanya tidak hanya membayar iuran, tetapi juga harus aktif membangun organisasi dan ditempa secara ideologi. Ini adalah persiapan untuk menghadapi revolusi, ketika jutaan rakyat masuk ke panggung politik, dan momen ini tiba dengan pecahnya Revolusi 1905 dan lalu Revolusi 1917. Sebuah partai yang kuat -- dengan kader-kader terlatih -- akan mampu menyatukan kehendak jutaan rakyat yang bergerak ini, merekrut elemen-elemen terbaik dari mereka dan menjadikan mereka bala tentara revolusi. Sebuah partai yang lemah akan tersapu oleh revolusi dan hancur berkeping-keping di hadapan martil revolusi.
Inilah metode berpikir politik Lenin, yakni metode berpikir Marxis dalam hal dialektika perkembangan partai dan hubungannya dengan revolusi dan massa. Ragil, di lain pihak, dengan colekan Marxisme yang vulgar, hanya mengelu-elukan PKS: lihatlah, mereka pada tahun 1999 beranggota 33 ribu, lalu 400 ribu pada tahun 2004, dan target jangka panjang mereka 2 juta. Kalau kita membuka pintu partai seperti mereka, dan menetapkan target anggota 2 juta, maka setidaknya kita telah memecahkan satu dari banyak masalah revolusi Sosialis.
Dan anggota macam apa yang kita inginkan untuk partai kita, terutama partai yang tugas historisnya adalah penumbangan kapitalisme? Mereka harus terdiri dari pejuang-pejuang kelas, yang tertempa oleh bara api perjuangan kelas sehari-hari. Sementara apa saran Ragil? Rekrut anggota dari “kerja bakti, donor darah, sembako murah, pemeriksaan kesehatan gratis, pengajian atau sekadar jalan sehat.” Kerja-kerja charity atau kemanusiaan seperti ini sudah ada semenjak jamannya Marx dan Lenin, dan ada alasan mengapa Marx dan Lenin tidak menganjurkan organisasi mereka untuk melakukan kerja-kerja kemanusiaan dan merekrut terutama dari sana.
Massa yang datang ke kerja-kerja kemanusiaan ini, walaupun mereka adalah korban kapitalisme, tetapi mereka datang bukan untuk melawan penindasan tetapi mencari solusi-solusi yang bersifat individualistik dan sementara. Sedangkan massa yang terlibat dalam perjuangan, kesadaran mereka tergerak untuk melawan karena bagi mereka sudah tidak ada lagi jalan keluar selain berjuang. Yang belakangan ini adalah potensi rekrut yang jauh lebih baik daripada ribuan massa yang datang antri sembako, apalagi kalau yang kita cari adalah kualitas dan bukan kuantitas semata. Terlebih lagi, di dalam kerja-kerja kemanusiaan ini, yang sering kali terbangun justru adalah sifat patron-klien, bukan sifat mandiri untuk berdiri melawan penindasan.
Partai revolusioner mengintervensi perjuangan kelas dalam berbagai bentuknya: pemogokan, demo mahasiswa, demo tani, vergadering buruh, dan lain sebagainya. Dari intervensi ini, mereka harus bisa merekrut. Ragil benar kalau kita tidak bisa merekrut hanya dengan pekikan “Sosialisme sekarang juga” dan orasi-orasi dengan slogan-slogan sederhana “Turunkan Harga”, “Tolak SBY”, dsbnya. Inilah masalah utama dari banyak organisasi Kiri. Gagal dalam merekrut ketika melakukan intervensi perjuangan kelas, mereka lalu menyalahkan massa yang katanya kesadarannya rendah atau seperti Ragil lalu mencoba mencari jalan pintas dengan menengok ke PKS dan kerja-kerja kemanusiaan mereka. Namun sebenarnya yang kita butuhkan untuk merekrut adalah kemampuan menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme dan jalan keluar revolusioner darinya, bukan dengan slogan-slogan sederhana tetapi dengan penjelasan detil dan mendalam. Ini berarti perekrutan harus dilakukan dengan sistematis, terarah, dan sabar – yang terakhir ini penting.
Dalam intervensi kita ke dalam perjuangan kelas sehari-hari, kita harus merekrut. Sebuah perjuangan kadang mengalami kemenangan, kadang kekalahan – dan bahkan lebih banyak kalahnya, mungkin 9 dari 10 perjuangan mengalami kekalahan –, tetapi kalau kita berhasil merekrut elemen-elemen terbaik dari perjuangan tersebut maka kita sedang membangun kemenangan mutlak di hari depan. Setelah mengidentifikasikan satu dua kontak yang berpotensi, maka proses perekrutan harus dilakukan dengan sabar, dengan melakukan diskusi-diskusi dengan kontak tersebut yang membutuhkan waktu panjang. Di dalam diskusi tersebut, kita berikan penjelasan mendalam mengenai kapitalisme dan jalan keluar revolusioner. Untuk bisa melakukan perekrutan ini, maka para kader partai harus punya pemahaman Marxisme yang kuat, tidak serta merta mampu berteriak “Sosialisme sekarang juga”.
Harus ada kesabaran, dan yang penting juga sense of proportion, yakni mampu mengukur kemampuan diri sendiri -- jadi bukan hanya pemahaman realitas objektif di sekitar kita tetapi juga diri kita sendiri, sebagai agen subjektif aktif yang berinteraksi secara dialektis dengan realitas objektif. Kekuatan Marxisme masihlah minoritas di antara minoritas di antara minoritas. Di dalam masyarakat kapitalisme, kekuatan Marxisme revolusioner dalam situasi normal (non-revolusioner) akan selalu menjadi kekuatan kecil, dan hanya akan menjadi kekuatan besar ketika masyarakat kapitalisme ini memasuki periode revolusioner. Jadi, sekarang kita sedang merekrut satu dua, bukan merekrut massa. Perekrutan massa hanya akan terjadi ketika kita memasuki periode revolusioner dimana massa rakyat dalam jumlah puluhan juta memasuki panggung politik. Tidak mampu memahami hubungan dialektika antara pembangunan partai dan periode sosial-politik yang sedang kita masuki hari ini, banyak orang yang lalu mencari-cari jalan pintas.
3. Bekerja di dalam Organisasi Massa dan Partisipasi dalam Parlemen
Kita kembali lagi ke metode berpikir, dan kali ini mengenai bekerja di dalam organisasi massa dan partisipasi dalam parlemen, yang sekali lagi tidak disentuh oleh Martin sama sekali. Lenin jelas menganjurkan agar kaum revolusioner dapat bekerja di dalam organisasi massa pekerja – bahkan yang reformis atau reaksioner – dan juga tidak menolak mentah-mentah partisipasi di dalam parlemen borjuis. Dalam hal ini, kita semua bisa setuju. Tetapi apa alasan di balik taktik ini? Apa tujuannya? Apa metode berpikir Lenin?
Mengenai berpartisipasi di dalam parlemen borjuis, apakah Lenin menganjurkan taktik ini agar kaum revolusioner dapat “berlatih untuk memerintah dan bertarung secara terbuka dalam arena yang disediakan borjuasi. Sehingga, ketika kelak menjadi partai penguasa, mereka telah terbiasa”, seperti yang dikemukan oleh Ragil? Bagi Lenin dan kaum Bolshevik, parlemen borjuis digunakan sebagai platform agitasi dan propaganda untuk meraih telinga massa dan untuk mengekspos kebangkrutan pemerintahan borjuis. Ungkapan Ragil “ketika kelak menjadi partai penguasa, mereka telah terbiasa” juga mengandung maksud lain: bahwa partai revolusioner akan memenangkan satu per satu kursi parlemen borjuis, dan lalu pada akhirnya menjadi partai penguasa secara perlahan-lahan; dan mereka terbiasa dalam parlemen borjuis sehingga tidak perlu membubarkan negara borjuis dan membentuk negara buruh yang baru. Saya anggap Martin telah membaca Negara dan Revolusi dan paham betul apa posisi Marxis mengenai negara dan apa yang harus dilakukan oleh kelas proletar: membubarkan negara borjuis dan membentuk negara buruh yang akan melayu (withering state), sebuah negara baru yang secara fundamental dan dalam banyak hal akan berbeda dengan negara borjuis.
Dalam Komunisme Sayap Kiri, sekali lagi Lenin tidak mengajarkan mengenai bekerja sama dengan kekuatan lain, tetapi mengenai orientasi dan bekerja di dalam organisasi massa reformis – dan bahkan reaksioner, seperti serikat buruh kuning atau bentukan pemerintah – untuk meraih telinga massa dan menghancurkan ilusi kaum pekerja terhadap reformisme. Colekan Ragil yang vulgar, yang menganjurkan kaum Kiri untuk bekerja dengan kekuatan lain – terlepas dari kelas mana mereka datang dan kepentingan kelas mana yang mereka wakili – justru telah mendatangkan bencana. Kita tidak kekurangan aktivis-aktivis dan organisasi-organisasi Kiri yang bekerja sama dengan NGO-NGO, dengan partai-partai borjuis, dan lain sebagainya. PRD yang dulu beraliansi dengan PBR dan lalu sekarang masuk Gerindra seharusnya disambut dengan penuh kehangatan oleh Ragil, karena mereka telah melakukan apa yang Ragil anjurkan dengan begitu bersemangat, dan bukannya dengan ucapan belasungkawa.
Komunisme Sayap Kiri ditulis oleh Lenin pada tahun 1920, justru ketika dunia sedang memasuki periode penuh gejolak, dengan pergeseran politik yang tajam di mana-mana. Kongres Dunia Komunis Internasional kedua pada tahun 1920 -- tepatnya Juli-Agustus 1920, tidak lama setelah diterbitkannya Komunis Sayap Kiri pada April 1920 -- mengeluarkan manifesto yang mengatakan:
“Perang sipil sudah dekat di seluruh dunia. Panjinya adalah Kekuasaan Soviet. Kapitalisme telah mengubah massa luas menjadi proletar. Imperialisme telah menggoncang massa proletar ini dan mendorong mereka ke jalan revolusioner … Jutaan dan puluhan juta massa yang dulunya hidup di belakang bayang-bayang politik hari ini sedang diubah menjadi massa revolusioner.” (Manifesto of the Second Congress of the Communist International, 1920)
Oleh karenanya, Ragil kedapatan sangat keliru ketika berujar: “Risah ini (Komunisme Sayap Kiri) ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner.” Jelas justru Lenin menulis risah tersebut ketika situasi sedang revolusioner. Ini cukup menunjukkan bahwa Ragil tidak memahami metode berpikir Lenin: mengapa ia menulis risalah tersebut dan apa maksudnya. Dan inilah metode berpikir yang dibela-bela dengan begitu teguh oleh Martin.
Pada periode ketika Lenin menulis risah ini, massa pekerja di banyak negara mulai bergerak dan tidak sedikit yang masih bergerak lewat organisasi-organisasi pekerja reformis (partai buruh reformis dan serikat buruh reformis). Kendati partai-partai Komunis bermunculan di banyak negara di Eropa karena inspirasi dari Revolusi Oktober, massa luas masihlah berada di organisasi massa yang lama. Para Komunis Eropa terjangkiti oleh penyakit ultra-Kiri justru saat Eropa memasuki periode revolusioner. Mereka berpikir dengan kemenangan Revolusi Oktober dan terbentuknya Komintern, dengan lahirnya partai-partai Komunis di seluruh Eropa yang punya massa cukup signifikan, mereka akan dapat meraih revolusi Sosialis dengan sendirinya tanpa melakukan usaha untuk memenangkan massa buruh sosial demokrat ke sisi mereka. Para Komunis Jerman dan Inggris menolak bekerja di dalam serikat-serikat buruh reformis dan sosial demokrat. Alih-alih mereka membentuk serikat buruh merah mereka sendiri. Mereka juga menolak bekerja lewat parlemen borjuis.
Ini yang ditulis oleh Lenin:
“Sebaliknya, kenyataan bahwa kebanyakan buruh Inggris masih mengikuti kepemimpinan para Kerensky atau Scheidemann Inggris [baca: kaum sosial demokrat Inggris] dan masih belum punya pengalaman sebuah pemerintahan yang terdiri dari orang-orang macam ini – sebuah pengalaman yang diperlukan di Rusia dan Jerman untuk memastikan transisi buruh secara massal ke Komunisme – jelas-jelas mengindikasikan bahwa kaum Komunis Inggris harus berpartisipasi di dalam aksi parlementer, bahwa mereka harus, dari dalam parlemen, membantu massa buruh melihat hasil-hasil pemerintahan Henderson dan Snowden [dari Partai Buruh Inggris] dalam praktek, dan bahwa mereka harus membantu Henderson dan Snowden mengalahkan kekuatan Lloyd George dan Churchill … [setelah] kemenangan Henderson dan Snowden atas Llyod George dan Churchil, mayoritas buruh akan segera menjadi kecewa terhadap para pemimpin mereka dan akan mulai mendukung Komunisme (atau mengambil sikap netral, terutama sikap simpatik-netral terhadap kaum Komunis).” (Komunisme Sayap Kiri, Lenin, 1920)
Jadi keterlibatan kaum Komunis di dalam parlemen adalah untuk mengekspos kebangkrutan reformisme dan sosial demokrasi kepada kaum buruh yang masih memiliki ilusi terhadap mereka. Inilah metode berpikir politik Lenin, yang lahir dari pemahaman dialektis materialis akan perkembangan kesadaran rakyat pekerja.
Tetapi mari kita kutip lebih panjang bagian dimana Lenin memberikan anjuran yang kongkrit bagaimana melakukan kerja dengan organisasi massa buruh reformis guna menghancurkan ilusi buruh terhadap reformisme:
“Saya akan kemukakan lebih konkrit. Menurut saya, kaum Komunis Inggris harus mempersatukan empat partai dan kelompok mereka (semua sangat lemah, dan beberapa dari mereka sangat, sangat lemah) menjadi satu Partai Komunis di atas dasar prinsip-prinsip Internasionale Ketiga dan keharusan berpartisipasi di dalam parlemen. Partai Komunis harus mengajukan “kompromi” perjanjian pemilu kepada Henderson dan Snowden: mari kita bersatu untuk melawan aliansi Lloyd George dan kaum Konservatif; mari kita bagi kursi-kursi parlemen kita berdasarkan jumlah suara buruh yang diraih oleh Partai Buruh dan Partai Komunis (bukan dalam pemilu, tetapi dengan kartu suara spesial), dan mari kita jaga kebebasan penuh dalam beragitasi, berpropaganda, dan aktivitas politik. Tentu saja, tanpa syarat yang terakhir ini, kita tidak dapat menyetujui pembentukan blok ini, karena ini akan merupakan pengkhianatan. Kaum Komunis Inggris harus menuntut dan meraih kebebasan penuh untuk mengekspos para Henderson dan Snowden seperti halnya (selama lima belas tahun – 1903 sampai 1917) kaum Bolshevik Rusia punya kebebasan penuh untuk mengekspos kaum Henderson dan Snowden Rusia, yakni kaum Menshevik.”
“Bila Henderson dan Snowden menerima blok ini dengan syarat-syarat di atas, maka kita yang akan beruntung, sebab jumlah kursi parlemen sama sekali tidaklah penting bagi kita. Kita tidak mengincar kursi. Kita akan memberikan konsesi dalam hal kursi (sementara para Henderson dan terutama teman-teman baru mereka – atau majikan-majikan baru mereka – kaum Liberal yang telah bergabung dengan Partai Buruh Independen sangatlah menginginkan kursi-kursi parlemen). Kita yang akan beruntung karena kita dapat melakukan agitasi kita di antara massa rakyat pada saat di mana Lloyd George sendiri telah “membuat mereka murka”, dan kita tidak hanya akan membantu Partai Buruh untuk membentuk pemerintahan mereka sendiri dengan lebih cepat, tetapi juga membantu massa untuk lebih cepat memahami propaganda Komunis yang akan kita lakukan dalam melawan para Henderson, tanpa keraguan atau sensor.”
“Bila para Henderson dan Snowden menolak blok ini, kita bahkan akan meraih lebih banyak keuntungan, karena kita akan dengan segera menunjukkan kepada massa rakyat (catat ini, bahkan di dalam Partai Buruh Independen yang benar-benar Menshevik dan oportunis, para anggota bawahan mendukung Soviet) bahwa para Henderson ini lebih memilih hubungan dekat mereka dengan kaum kapitalis ketimbang persatuan semua buruh. Kita akan segera mendapatkan simpati di mata massa rakyat, yang terutama setelah penjelasan-penjelasan yang brilian, yang sangat tepat dan berguna (bagi Komunisme), yang diberikan oleh Lloyd George, akan bersimpati pada gagasan menyatukan semua buruh melawan aliansi Lloyd George-Konservatif. Kita akan segera meraih keuntungan, karena kita akan menunjukkan kepada massa bahwa para Henderson dan Snowden takut untuk mengalahkan Lloyd George, takut untuk merebut kekuasaan sendirian, dan berusaha keras untuk mendapatkan dukungan secara diam-diam dari Lloyd George, yang secara terbuka mengulurkan tangannya kepada kaum Konservatif untuk melawan Partai Buruh. Di Rusia, setelah Revolusi 27 Februari 1917, propaganda kaum Bolshevik yang mengkritik Menshevik dan Sosial-Revolusioner (yakni para Henderson dan Snowden di Rusia) meraih keberhasilan justru dari situasi seperti ini. Kita mengatakan kepada kaum Menshevik dan Sosial-Revolusioner: rebutlah kekuasaan tanpa kaum borjuis, karena kalian punya mayoritas di dalam Soviet-soviet (saat Kongres Soviet Seluruh Rusia yang Pertama, pada Juni 1917, Bolshevik hanya mendapatkan 13% suara). Tetapi para Henderson dan Snowden Rusia takut untuk merebut kekuasaan tanpa kaum borjuis. Dan ketika kaum borjuis menunda pemilu Dewan Konstituante, karena mereka tahu dengan jelas bahwa pemilu ini akan memberikan mayoritas kepada Sosial-Revolusioner dan Menshevik (yang membentuk blok politik yang rapat dan pada kenyataannya hanya mewakili demokrasi borjuis-kecil), kaum Sosial-Revolusioner dan Menshevik tidak mampu menentang penundaan ini secara enerjetik dan konsisten.”
“Bila para Henderson dan Snowden menolak pembentukan blok dengan kaum Komunis, maka kaum Komunis akan segera mendapatkan simpati massa dan mendiskreditkan para Henderson dan Snowden. Bila, sebagai akibatnya kita kehilangan beberapa kursi, ini sama sekali tidak penting bagi kita. Kita akan mengedepankan kandidat-kandidat kita di beberapa daerah-daerah yang sangat aman, dalam kata lain kandidat kita tidak akan merebut suara dari Partai Buruh dan menyebabkan kemenangan Liberal. Kita akan berpartisipasi di dalam kampanye pemilu, menyebarkan seleberan-selebaran yang beragitasi mengenai Komunisme, dan di semua daerah-daerah pemilu dimana kita tidak punya kandidat, kita akan menyerukan kepada para pemilih untuk memberikan suara mereka kepada kandidat Partai Buruh dan menentang kandidat borjuis. Kamerad Sylvia Pankhurst dan Gallacher keliru kalau mereka pikir ini adalah pengkhianatan terhadap Komunisme, atau ini adalah mencampakkan perjuangan melawan para pengkhianat sosial [baca: kaum reformis]. Sebaliknya, ini akan menguatkan perjuangan revolusi Komunis.”
“Hari ini, kaum Komunis Inggris sering kali menemui kesulitan untuk mendekati massa, dan bahkan untuk berbicara kepada mereka. Bila saya tampil ke muka sebagai seorang Komunis dan mengatakan kepada mereka untuk memberikan suara mereka kepada Henderson dan menentang Lloyd George, mereka akan mendengarkan saya. Dan saya akan dapat menjelaskan kepada mereka dengan cara yang populer tidak hanya mengapa Soviet lebih baik daripada parlemen dan mengapa kediktaturan proletar lebih baik daripada kediktaturan Churcill (yang menyamar dengan kedok “demokrasi” borjuis), tetapi juga bahwa dengan suara saya saya ingin mendukung Henderson seperti sebuah tali yang menopang orang yang digantung -- bahwa pembentukan pemerintahan Henderson akan membuktikan bahwa saya benar, akan membawa massa ke sisi saya, dan akan mempercepat kematian politik dari para Henderson dan Snowden seperti halnya saudara-saudara mereka di Rusia dan Jerman.”
“Bila ada yang keberatan kalau taktik-taktik ini terlalu “cerdik” atau terlalu rumit untuk dipahami oleh rakyat, kalau taktik-taktik ini akan memecah belah dan memencar-mencarkan kekuatan kita, kalau taktik-taktik ini akan mencegah kita dari memusatkan kekuatan kita untuk revolusi Soviet, dsbnya., saya akan menjawab “kaum Kiri yang keberatan ini”: jangan paksakan doktrinerisme-mu kepada massa rakyat! Rakyat di Rusia jelas tidak lebih terdidik dibandingkan rakyat Inggris; bahkan mereka lebih kurang terdidik. Tetapi rakyat Rusia memahami kaum Bolshevik. Pada September 1917, menjelang revolusi Soviet, kaum Bolshevik memajukan kandidat-kandidat mereka untuk parlemen borjuis (Dewan Konstituante) dan pada hari setelah revolusi Soviet, pada November 1917, kaum Bolshevik turut serta dalam pemilu Dewan Konstituante ini, yang mereka singkirkan pada 5 Januari 1918 -- ini semua tidak merintangi kaum Bolshevik, tetapi justru sebaliknya membantu mereka.” (Komunisme Sayap Kiri, Lenin)
Saya harus minta maaf lagi kepada para pembaca kalau saya harus mengutip Lenin dengan panjang lebar. Ini untuk menekankan kepada para pembaca, tanpa keraguan sama sekali, apa yang ada di pikiran Lenin ketika ia menganjurkan kaum Komunis Inggris untuk mendukung kaum sosial-demokrat, yakni untuk menelanjangi mereka.
Kalau kita teliti lebih jauh, kita akan dapati bahwa ucapan Ragil bahwa risah Lenin ini “ditulis untuk mengatasi jalan buntu ketika situasi tak revolusioner” adalah ekspresi keputus-asaan dan kefrustasian kaum Kiri Indonesia yang sesudah menjatuhkan Soeharto tidak mampu tumbuh besar dan kuat. Ragil mencari-cari jalan keluar dari kebuntuan yang dia dan kawan-kawan seperjuangannya hadapi. Justru ketika situasi tak lagi revolusioner, kaum Kiri harus mundur secara teratur dan mengkonsolidasikan diri: melihat ke belakang apa yang telah mereka capai dan apa yang telah menjadi kegagalan, dan mempersiapkan diri untuk menyambut ledakan revolusi yang pasti akan lebih besar. Harapan meluap-luap untuk tumbuh besar setelah kegagalan Reformasi 1998 justru mendorong banyak aktivis untuk mengambil jalan pintas dalam berbagai bentuk, yang bukannya membuat Kiri tambah besar tetapi justru tambah menyedihkan.
Tidak, risalah Lenin ini tidak ditulis sebagai jalan keluar dari situasi tak revolusioner. Lenin tidak mengajarkan bekerja dengan kekuatan lain untuk keluar dari jalan buntu. Lenin mengajarkan kepada kita bagaimana memenangkan massa dari cengkraman reformisme dan sosial-demokrasi, dan membantu mereka mencapai kesimpulan revolusioner.
Tidak sedikit “Marxis” yang sudah membaca bolak-balik semua karya filsafat Marx, Engels dan Lenin, dan mampu berkata-kata mengenai materialisme dialektis. Namun, adalah hal yang berbeda ketika kita mencoba menerapkannya. Penerapan inilah yang akhirnya memisahkan Lenin dari Kautsky, Plekhanov, Martov, dll. Dibutuhkan “insting” revolusioner, yang hanya bisa didapat dengan memahami peristiwa-peristiwa sejarah dalam konteksnya dan memahami sejarah perjuangan kelas proletar. Penerapan Marxisme dalam politik tidak bisa didapat hanya dengan membaca buku. Ia adalah sebuah seni, sebuah tradisi, yang hanya bisa disampaikan lewat organisasi atau partai yang menarik benang merahnya sampai sejauh Marx dan Engels dengan Internasional Pertamanya, yang mengandung memori kolektif 150 tahun perjuangan kelas buruh. Membaca Kapital dan Empiriokritisme tidak menyelesaikan masalah membangun partai dan mengorientasikan diri di dalam berbagai situasi yang sulit.
Kegalauan Seorang Petapa Gunung dan Sang Intelektual
Berdasarkan tulisan Ragil, maka sebenarnya PRD sudah melakukan apa yang sudah dikhotbahkan oleh Ragil: partai yang longgar (karena sudah bukan lagi berada di dalam rejim yang sesak), membuka pintu partai lebar-lebar (PRD sudah bukan lagi partai kader), dan bekerja dengan kekuatan lain (Agus Jabo sebagai ketua PRD masuk ke jajaran kepengurusan Gerindra). Masalahnya Ragil masih menyimpan romantisme lamanya dan setidaknya tanggungjawab moral kepada kamerad-kamerad PRD seperjuangannya dulu yang hilang, sehingga pilihan masuk ke Gerindra oleh PRD tidak bisa diterima oleh Ragil. Ada kegalauan di hati sang petapa.
Ragil dan banyak yang lainnya tidak bisa memahami bahwa apa yang dilakukan oleh PRD hari ini adalah kesimpulan logis dari ideologi dan metode organisasi mereka semenjak awal. Kita lihat sendiri setelah ditelaah di atas bagaimana sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar antara Ragil dan PRD hari ini.
Sang intelektual pun mengalami kegalauan. Dalam diskusi bedah bukunya di kantor PPR, kawan Martin dihadapkan dengan sebuah pertanyaan yang tegas dari seorang hadirin: apa posisi politik dan stratakmu? Kawan Martin lantas menjawab bahwa dia belum mempunyai posisi politik tegas di dalam gerakan, dan bahwa bukunya, Materialisme Dialektis, hanya merupakan penjabaran filsafat. Masih kurang data, begitu ujarnya, sehingga ia belum mengambil sikap politik dan juga mengenai stratak. Namun bukankah di dalam tulisan tanggapannya terhadap saya dia sudah mengambil sikap? Yakni mendukung sepenuhnya Ragil dalam hal bagaimana membangun partai di Indonesia.
Lalu kawan Martin melanjutkan kalau dia ingin berperan dari luar gerakan -- sementara terus mempertahankan hubungan dekat dengan gerakan lewat diskusi-diskusi -- sehingga bisa memberikan masukan intelektual yang tidak tendesius. Karena bila dia masuk ke dalam gerakan dan bergabung dengan sebuah organisasi atau tendensi politik tertentu, maka akan lebih sulit bagi para pendengar dan audiensnya untuk mempercayainya karena ia akan dianggap bertendesius. Namun, inilah mimpi kaum intelektual. Inilah penyakit di dalam lingkaran intelektual, yang memimpikan objektifitas yang utopis. Ini adalah tekanan di dalam lingkaran akademis, yang mengucilkan mereka-mereka yang punya tendensius politik. Para akademisi diharuskan menjadi manusia yang lepas dari apa yang mereka pelajari dan analisa. Keterlibatannya akan membuat analisanya subjektif. Dengan aura objektifitasnya, ia lalu bisa memberikan penghakiman yang paling suci dan murni. Mimpi ini terkoyak segera karena kaum intelektual hidup di dalam realitas perjuangan kelas. Ia tidak bisa memisahkan dirinya dari realitas ini dan menjadi pengamat dan penceramah dari luar, dengan harapan bahwa ia dapat memberikan pencerahan murni tak bertendesius.
Fakta bahwa Martin dengan begitu gesit dan sigap menanggapi artikel saya dan membela pemikiran Ragil -- yang notabene adalah ekspresi keputusasan dari elemen-elemen lama yang terdemoralisasi, dan oleh karenanya oportunisme dan bahkan juga ultrakiri-isme (baca artikel Ragil selanjutnya, “Pemberontakan 1926, Tan Malaka & Pengkhianatan itu” di mana dia menjadi pembela usaha putsch PKI pada tahun 1926 yang lahir dari keputusasaan mereka dan berakhir dengan hancurnya PKI) -- menunjukkan bahwa Martin sudah mengambil posisi politik dan stratak. Sementara ia menyerang post-modernisme sebagai sebuah ideologi penuh kegalauan, ia sendiri pun tampak penuh kegalauan.
Seorang intelektual akademis -- apalagi yang mengaku-ngaku sebagai Marxis, dalam kapasitas apapun -- punya tanggungjawab politik. Ia harus mengambil posisi konsisten dalam hal politik dan stratak, dan dengan demikian secara konkrit terjun ke dalam gerakan dan menjadi bagian dari salah satu tendensi politik di dalam gerakan. Selama sang intelektual Marxis bersikeras ingin berada di luar gerakan dan menjadi penceramah tak-bertendesius, maka ia hanya akan menjadi nabi-nabi yang menyebarkan kebingungan di antara kelas pekerja. Kelas pekerja tidak membutuhkan mereka, dan bahkan kelas pekerja akan lebih baik tanpa mereka.
Seabad yang Lalu
Mungkin sejumlah orang akan bertanya, mengapa saya begitu serius menjawab tulisan Ragil yang kata sejumlah orang hanya satire dari seorang yang gelisah dengan gerakan Kiri? Mengapa menghabiskan begitu banyak kertas dan tinta untuk menjawab seorang yang sudah lama hilang dari gerakan? Artikel Ragil hanya kebetulan saja mencuat dan saya jawab karena ia merefleksikan masalah dasar yang masih menghantui gerakan Kiri: pencolekan Marxis secara vulgar untuk memberikan pembenaran terhadap oportunisme dan ultrakiri-isme mereka, yang lahir akibat demoralisasi, keputusasaan, dan harapan untuk mencari jalan pintas.
Sementara tulisan Martin pada dasarnya hanya menunjukkan satu hal: kegalauan seorang Marxis intelektual! Tulisannya hanya berisi: beginilah materialisme dialektis, beginilah Lenin dan Empiriokritisme-nya, dan oleh karenanya -- tanpa penjelasan sama sekali -- kesimpulan-kesimpulan Ragil adalah benar. Tulisannya lalu dibumbui sejumlah nasihat bahwa kita harus memahami metode berpikir politik, tapi ternyata Martin sendiri mengakui -- saat diskusi buku di kantor PPR -- bahwa dia belum bisa menerapkan metode berpikir politik ini di dalam gerakan Indonesia; kurang data katanya. Bagaimana seorang bisa menghakimi metode berpikir orang lain kalau dia sendiri belum menerapkan metode berpikirnya dan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang lalu harus diuji oleh fakta dan peristiwa?
Kita temukan juga fetishisme terhadap data dan data. “Ragil menampilkan potret kenyataan di sekelilingnya: apa saja terbitan yang dikeluarkan oleh organ-organ PKS, berapa oplahnya, apa segmennya; berapa pilkada yang dimenangkannya, lewat koalisi macam apa; aktivitas basis apa saja yang dijalankannya,” ujar Martin. Data-data seperti ini mudah didapat, tetapi masalahnya adalah bagaimana menginterpretasikan data-data ini. Di atas sudah saya jelaskan bagaimana sang pengumpul data mencolek Lenin untuk membenarkan oportunismenya: buka pintu partai lebar-lebar seperti PKS, bekerjalah dengan kekuatan lain – apapun itu – untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan, lakukanlah kerja-kerja kemanusiaan untuk merekrut sebanyak mungkin anggota. Lenin yang seabad-yang-lalu seringkali digunakan untuk membenarkan oportunisme (dan ultrakiri-isme) hari ini, karena Lenin seabad-yang-lalu punya otoritas yang besar. Oleh karenanya, kita harus kembali ke seabad yang lalu, memahami sepenuhnya mengapa kaum Bolshevik melakukan taktik ini dan taktik itu, memahami metode berpikir politik Bolshevik. Hancurnya PKI dan gerakan Komunis Indonesia di tangan Soeharto mengharuskan kita untuk kembali ke seabad yang lalu, bahkan lebih jauh ke belakang. Kita harus memahami realitas bukan hanya dalam kekiniannya, tetapi dalam prosesnya di dalam sejarah. Realisme vulgar Martin tidak bisa memahami ini, dan oleh karenanya ia jatuh ke dalam kegalauan.
Satu abad yang sudah hilang ini adalah pondasi yang harus kita bangun kembali di dalam gerakan kita. Rusia, Rusia, dan Rusia, dan kita tidak ragu untuk mengulang: Rusia, Rusia, dan Rusia, karena kita sudah lihat bahwa banyak pencolek Lenin yang ingin menggunakan otoritas Revolusi Oktober Rusia sebagai pembenaran terhadap obat-obat mujarab bin ajaib mereka. Satu abad, inilah jarak yang masih harus kita tempuh ke belakang, sambil terus menatap ke depan, ke Sosialisme Indonesia, tanpa keraguan, tanpa sinisme, tanpa satire-satire tak berguna, tanpa oase-oase yang bila kita dekati ternyata hanyalah fatamorgana.
4 Agustus, 2012