Kasus kriminalisasi yang dialami oleh kawan Hakam dan Agus dari FSPBI-KASBI baru-baru ini seperti hendak menyatakan, lagi dan lagi, bahwasanya perjuangan buruh adalah perjuangan yang penuh dengan pengorbanan dan cerita kepahlawanan yang luhur. Diletakkan dalam latar belakang kesejarahan gerakan buruh selama 150 tahun, kedua kawan kita adalah satu dari sekian banyak pejuang buruh yang telah menorehkan darah perjuangannya.

Namun di balik kepahlawanan dan pengorbanan gerakan buruh ini adalah satu kenyataan pahit yang harus kita terima, bahwa sejarah gerakan kita adalah sejarah kekalahan. yang lebih banyak dipenuhi cerita-cerita kekalahan daripada kemenangan. Kalau sejarah gerakan kita adalah sejarah kemenangan, tentunya kita sudah tiba di satu masyarakat di mana buruh dan rakyat pekerja sudah bukan lagi kaum yang tertindas tetapi adalah kaum yang berkuasa dan sejahtera dalam arti yang sesungguh-sunguhnya. Di balik kepahlawanan kawan Hakam dan Agus yang menolak tunduk pada modal dan akhirnya divonis 3 bulan penjara adalah kenyataan bahwa ini adalah pukulan terhadap serikat FSPBI-KASBI. Kriminalisasi terhadap mereka adalah bagian dari pemberangusan terhadap basis FSPBI di petro, salah satu basis terkuat mereka. Ketika basis petro ini hancur, di mana hampir lebih dari 100 kawan-kawan buruh kehilangan pekerjaannya, FSPBI terpukul mundur. Demoralisasi menghinggapi banyak kawan-kawan buruh.

Begitu juga gerakan buruh Indonesia. Walau selama 2 tahun terakhir kecenderungannya adalah pasang naik, sudah mulai terlihat tanda-tanda kemunduran. Selain itu, dalam sejarah yang lebih panjang sudah dua kali gerakan buruh di Indonesia dihancurkan secara berdarah-darah dan sampai hilang dari muka bumi. Pertama, pada 1926 ketika gerakan buruh yang baru saja lahir di bumi Indonesia akhirnya dipancung kepalanya oleh Belanda. Lalu pada 1965-66 ketika Soeharto naik ke tampuk kekuasaan di atas tulang belulang ratusan ribu pejuang buruh dan tani. Dalam rentetan kekalahan-kekalahan yang telah kita alami, tidak sedikit kawan-kawan dari barisan kita yang lalu meninggalkan perjuangan karena patah semangat, atau bahkan menyebrang ke sisi yang lain. Demoralisasi dan pengkhianatan kerap berjalan bersandingan.

Inilah mengapa kita harus memiliki pemahaman mengenai proses dialektika dari gerakan buruh. Banyak sekali aktivis yang hanya bersandar pada romantisme perjuangan. Menyaksikan penderitaan rakyat yang ada di sekitar mereka dan yang mereka alami sendiri juga, mereka lantas tergerak untuk berjuang. Dengan berapi-api mereka menceburkan diri mereka ke dalam gerakan dan mengorbankan hal-hal duniawi demi membela rakyat yang tertindas. Namun ketika gerakan mengalami kemunduran atau pukulan besar, atau tampaknya hanya berjalan di tempat, secepat itu juga api perjuangan mereka redup. Entah mereka-mereka ini jatuh ke dalam apati, atau jatuh ke dalam oportunisme dalam usaha mereka untuk mencari jalan pintas ke kemenangan, atau menyebrang seperti kawan kita Dita Indah Sari.

Ini bukan masalah karakter seorang individu. Ini adalah masalah politik. Gerakan kita tidak kekurangan seruan-seruan pembakar semangat yang selalu dapat kita baca di artikel-artikel dan pernyataan-pernyataan sikap, yang selalu kita dengar dipekikkan di aksi-aksi atau pertemuan-pertemuan. Gerakan kita tidak kekurangan orang-orang yang berani dan berkomitmen. Kawan Dita Indah Sari misalnya telah melakukan begitu banyak pengorbanan yang jauh melebihi mayoritas aktivis hari ini. Dia melawan di jaman Orba, diburu-buru oleh tentara dan akhirnya dipenjara. Namun pada akhirnya dia menyebrang, dan ini bukan karena masalah karakter tetapi masalah politik. Frustrasi dengan gerakan yang tampaknya tidak maju-maju, Dita – seperti juga Budiman, yang juga tidak kalah besar pengorbanannya ketika melawan Soeharto – akhirnya menyerah dan menyebrang.

Budiman dan Dita – dan banyak aktivis lainnya – menyerah bukan karena karakter mereka yang cacat, tetapi karena mereka tidak dilengkapi dengan pemahaman politik revolusioner akan gerak dialektika perjuangan buruh. Gerakan tidaklah bergerak dalam garis lurus. Ia bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan secara artifisial dengan semangat belaka. Ia merefleksikan kondisi objektif yang ada, ekonomi, politik, dan sosial.

Sering kali dalam usaha kita untuk mengobarkan semangat juang, kita menggunakan retorika-retorika perjuangan seperti “Hanya ada satu kata: lawan”, “Pantang menyerah”, “Terus lawan”, dan sebagainya. Sungguh benar kalau kita harus melawan kapitalisme dan segala penindasan yang datang darinya. Tetapi kebenaran apapun kalau dilakukan berlebihan akan menjadi absurd atau konyol. Kebenaran apapun kalau diaplikasikan melebihi batas-batas yang ada akan menjadi kebalikannya, kekeliruan. Ketika kita sedang terpukul mundur, akan menjadi avonturisme (petualangan liar) kalau kita terus menyerang dan menebarkan ilusi kalau semuanya sedang baik-baik saja. Kita harus tahu kapan harus mundur, dan bagaimana untuk mundur. Momentum gerakan pada periode sebelumnya terkadang membuat kita kesulitan menginjak rem ketika periode selanjutnya tidak lagi kondusif untuk penyerangan, seperti halnya batu besar yang menggelinding akan sulit dihentikan dari jatuh ke jurang.

Sejak jatuhnya Orde Baru pada 1998, gerakan buruh memulai lagi pelajaran bagaimana menyerang. Terutama 2 tahun terakhir, kita telah belajar banyak bagaimana melakukan serangan terhadap kapital. Tetapi pelajaran revolusioner tidaklah lengkap kalau tidak disertai dengan pengetahuan bagaimana mundur secara teratur. Lenin mengatakan bahwa “buruh harus menyadari bahwa kemenangan itu mustahil kecuali kalau kita belajar bagaimana menyerang dan mundur secara teratur.”

Kita ambil saja pengalaman gerakan buruh yang pertama di Indonesia. Pada 1926 gerakan buruh Indonesia mengalami kekalahan yang telak karena tidak tahu kapan harus mundur secara teratur. Dari 1914-1923, gerakan buruh Indonesia lahir dan melakukan serangkaian pemogokan yang radikal, yang tidak hanya menuntut kondisi kerja yang lebih baik tetapi juga memimpin perjuangan pembebasan nasional dari penjajahan Belanda. Ada periode kenaikan di dalam gerakan secara umum, tidak hanya di Indonesia tetapi seluruh dunia. Revolusi Oktober di Rusia pada 1917, di mana kelas buruh merebut kekuasaan, memainkan peran yang besar dalam proses radikalisasi ini.

Namun situasi revolusioner ini tidak dapat bertahan selamanya, karena berbagai faktor: kelas buruh yang jumlahnya masih sangat kecil, masih terlalu muda dan tidak berpengalaman, dan situasi politik dunia secara umum. Gerakan mengalami penurunan. Pemogokan demi pemogokan berakhir dengan kekalahan, yang ditandai oleh kekalahan besar serikat pekerja kereta VSTP – yang adalah barisan pelopor gerakan buruh – pada 1923. Bukannya menyadari bahwa ada periode kemunduran, para pemimpin buruh – yang kebanyakan adalah anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia – justru menjadi putus asa dan ingin terus mendorong revolusi. Pada periode kenaikan revolusioner sebelumnya mereka beragitasi mengenai keniscayaan revolusi sosialis. Ketika kenyataan sudah tidak lagi sesuai agitasi mereka, para pemimpin buruh ini justru ingin mengubah kenyataan agar sesuai dengan agitasi dan keinginan mereka. Ini mengarah pada keputusan para pemimpin buruh untuk melakukan putsch atau pemberontakan bersenjata yang avonturis, untuk mendorong terjadinya revolusi.

Tan Malaka, yang saat itu ada dalam pengasingan, menentang gagasan insureksi ini, karena menurutnya ini adalah tindakan putus asa. Revolusi tidak bisa diciptakan secara artifisial. Ia adalah hasil dari pertentangan-pertentangan antar berbagai kekuatan di dalam masyarakat, yang mencapai titik didihnya dan meledak. Tugas kader-kader buruh revolusioner adalah menyiapkan diri untuk menyambut momen tersebut, agar bisa mengarahkan ledakan revolusi ini ke arah kemenangan revolusi sosialis. Yang seharusnya dilakukan oleh gerakan buruh pada saat itu adalah mundur secara teratur, menyelamatkan sebanyak mungkin pasukan yang ada untuk lalu maju menyerang kembali ketika situasinya sudah kondusif lagi. Perjuangan buruh tidak berbeda jauh dengan peperangan. Seorang jenderal harus tahu juga kapan harus menarik mundur pasukannya dan bagaimana menarik mundur pasukannya dengan kejatuhan korban sesedikit mungkin. Kalau sang jenderal hanya tahu satu kata, “Maju!”, hanya sedikit yang akan menganggapnya jenderal yang ulung.

Masalahnya di sini adalah bagaimana mundur secara teratur. Ini bukan hanya masalah logistik dan administrasi, tetapi juga masalah politik. Ini karena gerakan buruh adalah gerakan politik, dan bukan operasi militer semata. Barisan buruh harus diberi pendidikan ekonomi politik untuk bisa menelaah medan perjuangan yang ada – nasional dan internasional – dan kondisi kekuatan mereka sendiri. Pendidikan sejarah perjuangan dan geraknya perlu juga ditempa di antara buruh, seperti halnya para perwira angkatan bersenjata mempelajari perang-perang masa silam. Dengan demikian mereka akan terhindari dari bahaya avonturisme seperti pemimpin buruh pada 1926 dan bahaya oportunisme seperti Dita-Budiman dkk. Buruh bisa tahu kapan waktunya mundur secara teratur guna merapikan barisan mereka, dan mereka juga bisa paham bahwa pergerakan itu tidak berjalan lurus dan dipenuhi dengan pasang naik pasang surut, sehingga mereka tidak lantas demor dan mengambil jalan pintas oportunisme atau jalan petualangan liar.

Penempaan politik ini membutuhkan kerja keras, terutama kerja menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama dan membangun kebiasaan-kebiasaan baru. Kebiasaan lama super-aktivisme – yakni kecenderungan yang hanya ingin aksi dan aksi tanpa menyempatkan diri belajar teori, bahkan kecenderungan mencibir teori – harus dihancurkan. Kebiasaan baru untuk membaca serta mengorganisasi lingkaran-lingkaran diskusi dan kelas-kelas ekopol harus dibangun. Teori bukanlah ranah kaum intelektual dan akademisi saja, tetapi harus dikuasai oleh kaum buruh. Ketika para tetua Sosialisme – Marx, Engels, Lenin, Trotsky, Luxemburg – menulis puluhan hingga ratusan buku, ini bukan untuk dijadikan bahan bacaan di kelas-kelas universitas, tetapi untuk jadi bacaan kaum buruh.

Hanya lewat kekalahan buruh bisa belajar bagaimana untuk menang. Setelah menderita pukulan atas basis petro mereka, kawan-kawan FSPBI mulai mengkonsolidasikan diri mereka kembali. Kali ini dengan tingkat kualitatif yang lebih tinggi karena mereka telah mendapatkan pengalaman berharga dan proses ini telah menjadi proses pengujian para pejuang buruh, dan ini benar untuk gerakan buruh secara umum. Fidel Castro pernah berkata, “Yang penting bukanlah mereka yang meninggalkan kita, tetapi mereka yang tetap berada bersama kita dan mereka yang akan bergabung dengan kita di kemudian hari.” Pengalaman kesulitan dan kekalahan yang dihadapi buruh bahkan akan lebih jauh berharga kalau ia digabungkan dengan pemahaman teori revolusioner, di mana, mengutip Leon Trotsky: “Teori pada kenyataannya terdiri dari total pengalaman umat manusia ... Teori tidak lain adalah praktek yang dipertimbangkan dan digeneralisasi dengan tepat. Teori tidak menyangkal praktek, tetapi teori menyangkal pendekatan praktek yang serampangan, empiris, dan kasar. ... Supaya bisa mengevaluasi dengan benar kondisi-kondisi perjuangan, termasuk situasi kelas kita sendiri, kita harus memiliki sebuah metode orientasi politik dan sejarah yang dapat diandalkan. Ini adalah Marxisme.”