PertemuanLewat risalah singkat ini kami akan memaparkan bagaimana kaum revolusioner melakukan kerja dalam gerakan buruh umumnya dan dalam serikat buruh khususnya, dengan tujuan memenangkan lapisan luas buruh ke program sosialis dan memimpin kelas buruh ke kemenangan akhir: terhapusnya kapitalisme dari muka bumi dan transformasi sosialis dalam masyarakat. Karya ini perlu dibaca bersamaan dengan beberapa risalah lainnya yang telah kami terbitkan sebelumnya: Bekerja di Organisasi Massa dan Kaum Revolusioner, Partai Kader, dan Masalah Partai Buruh.

Kami akan memulai proposisi kami ini dari satu aksiom Marxis yang kebenarannya sudah terbukti oleh sejarah, bahwa satu-satunya kelas yang bisa memimpin seluruh masyarakat untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme adalah kelas buruh atau proletariat. Kita akan abaikan para tuan dan nyonya liberal terpelajar yang kerap menyangkal keberadaan kelas buruh dan potensi revolusioner mereka dengan berbagai alasan. Kehidupan para tuan nyonya kita yang terhormat tidak pernah bersinggungan dengan kaum buruh, sehingga dengan mudah mereka sangkal keberadaan buruh. Tak kenal maka tak sayang (out of sight, out of mind), begitu kiranya.

Dari kelas dalam dirinya sendiri menjadi kelas untuk dirinya sendiri

Pernyataan bahwa kelas buruh adalah kelas yang revolusioner tidak boleh disalahartikan kalau semua buruh dimanapun dan kapanpun selalu memiliki cara pandang revolusioner. Buruh tidak hidup dalam vakum, tetapi hidup dalam masyarakat yang didominasi oleh ideologi kapitalis serta semua prasangka-prasangka yang lahir darinya. Hanya dengan dominasi ideologi ini kelas kapitalis bisa mempertahankan kuasanya terhadap buruh. Dominasi ideologis ini dilanggengkan lewat sekolah, media, pemerintah, agama, keluarga, dan semua aspek yang menyentuh kehidupan buruh. Ini yang kerap disebut kesadaran palsu, yang menutup mata buruh dari penindasan yang dialaminya. Kesadaran palsu ini tidak hanya menutup matanya tetapi bahkan mendorongnya untuk membela sistem penindasan itu sendiri sebagai sesuatu yang kodrati.

Namun kesadaran kelas bukanlah sesuatu yang statis dan berdiri di luar realitas yang ada. Ia bergerak dan terus bergerak, berbenturan dan tarik menarik dengan kehidupan. Dari pergumulan sehari-harinya buruh menemui kesadaran kelasnya. Mereka menjadi sadar akan eksploitasi yang dideritanya dan berangkat dari situ mereka mulai memikirkan bagaimana melawan penindasan tersebut. Awalnya mereka merespons dengan aksi-aksi yang bersifat individual dan terpencar-pencar. Tetapi kenyataan yang keras kepala bahwa mereka terlempar ke pabrik besar dalam jumlah ratusan atau ribuan mendorongnya ke arah perjuangan kolektif. Buruh mulai melihat pentingnya membentuk organisasi yang menyatukan kepentingan bersama mereka. Dari sini lahirlah serikat buruh, yang tugasnya adalah membela kepentingan buruh dalam hal-hal ekonomik (upah layak, kondisi kerja, dsb.).

Buruh belajar dengan cepat bahwa dengan mogok mereka bisa menekan kapitalis dan memenangkan taraf hidup yang lebih baik. Kenyataan bahwa pemerintahan yang ada adalah pemerintahannya kapitalis, yang oleh karenanya penindasan yang dialami buruh juga difasilitasi oleh pemerintah lewat berbagai undang-undang, mendorong buruh untuk meluncur ke perjuangan politik yang melampaui batas-batas sempit gerbang pabrik mereka. Pada akhirnya buruh mencapai ekspresi tertinggi dari perjuangan mereka, yakni perjuangan politik untuk memperebutkan kekuasaan. Seperti yang Marx katakan, buruh bergerak dari kelas dalam dirinya sendiri menjadi kelas bagi dirinya sendiri.

Barisan Pelopor

Proses bagaimana buruh menjadi sadar akan eksistensinya sebagai sebuah kelas tidak berjalan secara garis lurus, dan juga tidak sama rata. Kendati secara objektif mereka adalah satu kelas yang tenaga kerjanya dieksploitasi oleh kapitalis, kelas buruh bukanlah satu konstruksi yang homogen. Ada berbagai lapisan yang kesadarannya berkembang dengan kecepatan yang berbeda-beda, karena walaupun mereka sama-sama buruh yang ditindas oleh kapitalis tetapi tidak serta-merta kondisi kehidupan mereka sama persis. Ada lapisan buruh yang lebih maju, ada yang lebih terbelakang, dengan berbagai gradasinya. Tetapi yang awalnya maju tidak berarti tidak bisa mundur kesadarannya, dan yang awalnya terbelakang bisa melompat maju kesadarannya dengan tiba-tiba. Berbagai lapisan ini saling merasuki, tarik menarik dan dorong mendorong, dan dinamika ini pada analisa terakhir ditentukan oleh perjuangan kelas yang riil.

Bunga-bunga terbaik proletariat tertempa oleh perjuangan kelas yang panjang. Mereka menyerap pelajaran dari perjuangan – kemenangan maupun kekalahan – dan menjadi memori kolektif kelas buruh. Pengalaman dan memori kolektif perjuangan ini tertuang dalam bentuk ideologi atau teori, yakni Marxisme, dan dalam bentuk metode serta tradisi, yakni partai revolusioner, yang diteruskan dari generasi ke generasi dalam benang merah yang tak terputuskan. Dari sinilah kepeloporan atau kepemimpinan kelas niscaya muncul, bukan sebagai sesuatu yang dipaksakan dari luar tetapi lahir dari gerakan itu sendiri.

Hubungan antara barisan pelopor dan massa luas, dan tugas barisan pelopor dalam hubungannya dengan tugas historis kelas buruh secara keseluruhan, tidaklah bersifat mekanis. Kenyataan bahwa selapisan buruh mencapai kesadaran kelas yang lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh kelasnya menciptakan satu masalah yang harus dipecahkan: bagaimana menjembatani jurang kesadaran ini. Kekeliruan dalam melakukan ini bisa menjerumuskan kita ke oportunisme (mengekor kesadaran terbelakang) di satu sisi, atau sektarianisme/ultrakiri-isme di sisi lain (bergerak terlalu jauh ke depan massa). Bagaimana menghindari kedua tendensi yang berbahaya ini adalah seni pada tingkatan tertentu, yang seperti kebanyakan olah raga membutuhkan insting dan latihan. Ia tidak bisa dipelajari hanya dengan membaca buku saja.

Faktor sejarah dimana barisan pelopor proletariat, yakni kaum Marxis, hari ini terisolasi dari massa buruh – dan Marxisme adalah gagasan minoritas di antara minoritas dalam gerakan buruh – mendikte taktik kita hari ini. Kita belum bisa memenangkan massa ke gagasan Marxisme. Mari kita tekankan ini. Semua celoteh yang sering kita dengar dalam gerakan hari ini mengenai bersentuhan dengan massa, mengorganisir massa, turun ke bawah, praktek, hanya mencerminkan ketidaksabaran, yaitu ingin menuai apa yang belum dikerjakan dengan ulet dan sabar. Barisan pelopor proletariat yang termaju – yakni kaum Marxis – sudah terpisah jauh dari barisan massa buruh, tetapi situasi ini tidak akan bertahan selamanya. Kontradiksi kapitalisme akan terus mendorong lebih dekat kedua barisan yang terpisah ini, atau lebih tepatnya mendorong barisan massa buruh ke kesimpulan-kesimpulan Marxis, dan tugas kaum Marxis adalah terus membangun jembatan yang akan memperpendek jarak dan waktu tempuh massa buruh ke kesimpulan-kesimpulan Marxis tersebut.  

Jembatan macam apa yang bisa kita bangun hari ini akan tergantung dari sumber daya kita, yakni kondisi dan kesiapan organisasi kita. Barisan massa buruh tidak homogen kesadarannya, ada yang lebih maju dan ada yang lebih terbelakang. Ketika kita masih belum bisa membangun jembatan yang panjang dan kokoh untuk dilalui oleh massa buruh luas yang kesadarannya masih tertinggal, maka kita hanya bisa menggapai mereka-mereka segelintir buruh yang kesadarannya lebih maju, yang kesadarannya lebih dekat dengan kita karena kita hanya bisa membangun jembatan yang pendek sekarang.

Menceburkan Diri dalam Organisasi Reformis

Di sini kita akan berbicara khususnya mengenai masalah bagaimana kaum revolusioner melakukan kerja dalam serikat buruh. Ini dalam banyak tingkatan berbeda dengan kerja dalam partai buruh massa, satu topik yang akan kita ulas di kemudian hari, terutama ketika masalah bekerja dalam partai buruh menjadi lebih konkret di Indonesia.

Kita ingatkan lagi bahwa tugas kaum revolusioner adalah membangun partai revolusioner yang akan memimpin proletariat ke kemenangan sosialisme. Oleh karenanya partai ini harus memiliki ikatan organik dengan kelas proletariat dan organisasi-organisasi perjuangan mereka.  Masalahnya adalah bagaimana membangun ikatan organik ini.

Pada periode awal gerakan buruh, ikatan organik antara kaum Marxis dan kelas proletariat sangatlah kuat. Ini karena di kebanyakan negeri kaum Marxis umumnya memainkan peran penting (dan bahkan utama) dalam pembentukan atau kelahiran serikat-serikat buruh massa dan partai-partai buruh massa. Oleh karenanya gagasan Marxisme menjadi gagasan yang cukup dominan dalam gerakan buruh pada akhir abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20.

Tetapi tidak demikian hari ini. Dikarenakan berbagai faktor sejarah – yang tidak akan kami ulas hari ini - kaum Marxis sudah terisolasi dari gerakan buruh dan gagasannya tidak lagi mendominasi gerakan buruh. Misalnya di Indonesia pembantaian 1965-66 dan penghancuran secara fisik organisasi-organisasi politik dan ekonomi buruh oleh tentara sungguh menghancurkan hubungan organik antara gerakan buruh dan kaum revolusioner. Ini diperparah oleh pemelintiran dan vulgarisasi Marxisme oleh kaum Stalinis selama puluhan tahun, serta penguatan paham reformisme umumnya di seluruh dunia. Kaum buruh yang terorganisir ada dalam serikat-serikat buruh massa yang dipimpin oleh kaum reformis dan gagasan reformisme. Sementara partai-partai buruh massa yang ada – bahkan yang mengaku sosialis atau komunis –hari ini didominasi oleh para pemimpin reformis yang sudah mencampakkan tujuan sosialisme.

Di tengah keterisolasian inilah kaum revolusioner harus melakukan kerja. Kita diharuskan berhubungan dengan massa buruh dalam organisasi mereka yang didominasi reformisme. Mencoba menyangkal kenyataan ini dan membangun “serikat buruh merah” sendiri yang terpisah dari serikat buruh massa yang ada berarti memisahkan diri dari massa buruh dan membiarkan mereka dicekoki kesadaran palsu reformisme. Kasarnya kita harus menceburkan diri kita ke dalam rawa reformisme untuk bisa meraih telinga massa. Tidak hanya itu, kita harus membersihkan rawa reformisme ini dengan meluncurkan pertarungan ideologis dalam gerakan buruh.

Syarat Pertama, Keberadaan Partai Revolusioner

Syarat pertama untuk melakukan kerja yang efektif dalam serikat buruh adalah keberadaan partai revolusioner dengan fondasi organisasional dan ideologis yang kokoh. Seperti yang telah kita katakan di atas, melakukan kerja dalam serikat buruh massa (bahkan yang “merah” sekalipun) adalah seperti menceburkan diri ke dalam rawa reformisme. Ini berarti kamerad yang melakukan kerja dalam serikat buruh harus memiliki fondasi ideologi revolusioner yang kokoh, sehingga mampu menjawab argumen-argumen reformis. Partai adalah medium untuk membangun level politik kamerad, lewat pertemuan sel atau ranting mingguan dimana pendidikan adalah bagian utama dari pertemuan sel, dan juga kegiatan pendidikan lainnya di luar pertemuan sel.

Membaca atau belajar sendiri saja tidak cukup untuk membangun fondasi ideologi ini. Lewat partai pendidikan politik dilakukan secara konsisten, sistematis, dan kolektif, dan ini akan memberikan kualitas pendidikan revolusioner yang lebih tinggi. Pada intinya, partai revolusioner adalah memori kolektif perjuangan kelas buruh, yang menyarikan pengalaman kelas buruh selama 200 tahun terakhir menjadi teori.

Selain itu, partai memberi kamerad kerangka kerja yang komprehensif, sehingga kamerad tidak melakukan kerja sendiri-sendiri secara terpisah dari keseluruhan tugas partai dan tujuan sosialisme. Dalam serikat buruh ada tekanan serikat-buruh-isme, yakni tekanan untuk hanya fokus pada tugas-tugas serikat buruh semata (advokasi, perjanjian kerja bersama, dsb). Ini karena perjuangan serikat buruh umumnya hanya terbatas pada perjuangan ekonomi untuk anggotanya. Tugas kaum revolusioner adalah merekrut lapisan buruh termaju dari serikat buruh, merekrutnya ke dalam partai revolusioner agar sang buruh tersebut bisa melampaui keterbatasan perjuangan ekonomi semata, agar wawasannya lebih luas dan tidak hanya advokasi dan PKB melulu, agar sang buruh mencapai kesadaran sosialis yang sempurna.

Bila buruh hanya melulu aktif dalam serikat buruh, ia akan menjadi katak dalam tempurung, yang hanya berkutat dengan masalah upah saja. Tugas kita adalah membuka tempurung tersebut agar sang buruh bisa melompat lebih jauh. Kita harus menghimpun buruh-buruh maju ini ke dalam partai, dan ini mensyaratkan keberadaan partai dimana buruh bisa bergabung ke dalamnya dan tumbuh.

Merekrut satu dua

Seperti yang telah kita jelaskan di atas buruh bukan satu kelas yang homogen. Tugas kita adalah mencari satu dua yang termaju di antara ratusan atau ribuan buruh, dan menghimpun mereka ke dalam partai. Serikat buruh adalah medan yang baik untuk melakukan ini karena di dalamnya sudah terorganisir buruh yang secara umum kesadarannya lebih tinggi daripada buruh yang tak terorganisir. Namun ini tidak berarti kita menutup pintu untuk buruh di luar serikat buruh, karena serikat buruh tidak akan pernah mencakup mayoritas kelas buruh. Di Indonesia sendiri jumlah buruh yang terorganisir dalam serikat buruh hanya sebagian kecil dari keseluruhan buruh, sekitar 3-4 juta, yakni hanya sekitar 3 persen saja dari keseluruhan angkatan kerja. Kerja dalam serikat buruh oleh karenanya hanyalah satu dari medan kerja partai, dan kita tidak boleh membatasi kamerad-kamerad buruh hanya dalam kerja serikat buruh. Kita bukanlah aktivis serikat buruh, tetapi kaum revolusioner.

Serikat buruh adalah organisasi dasar perjuangan ekonomi, dan maka dari itu mau tidak mau harus mencakup lapisan buruh terluas. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita bekerja dalam serikat bukan untuk mengubah serikat buruh tersebut menjadi semacam serikat buruh “sosialis” atau revolusioner, dimana hanya buruh yang setuju dengan sosialisme boleh bergabung ke dalamnya. Kita dapat memberikan kepemimpinan sosialis atau revolusioner dalam serikat buruh, yakni mendorong program-program perjuangan ekonomi yang membela kepentingan buruh secara konsisten dan konsekuen, dan kepemimpinan revolusioner terbaik yang bisa kita berikan adalah dengan membangun partai revolusioner yang bisa menghimpun lapisan buruh terbaik, membangun kesadaran sosialis mereka untuk menjadi pelopor bagi keseluruhan kelas buruh.

Untuk bisa menarik elemen terbaik dalam serikat buruh, kita harus terbuka dengan politik kita. Selama keamanan memungkinkan, kita tidak boleh menutup-nutupi kalau kita adalah kaum revolusioner dan anggota partai revolusioner. Kita harus sebarkan gagasan kita lewat koran yang kita produksi, karena koran adalah seperti “kartu nama” partai kita. Hanya dengan demikian elemen buruh terbaik dapat menilai gagasan dan partai kita.

Tantangan

Umumnya ketika kita melakukan kerja dalam serikat buruh, kita tidak ingin mengambil posisi kepemimpinan atau kepengurusan dalam serikat tersebut. Akan lebih baik kalau kita bekerja sebagai anggota akar rumput, yang di satu sisi membebaskan diri kita dari tugas-tugas administratif serikat buruh tetapi tetap memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan buruh lainnya di pabrik atau tempat kerja dimana kita berada. Kita hanya akan mengambil posisi kepemimpinan dalam serikat kalau kita sudah membangun basis dukungan yang cukup kuat di antara buruh akar rumput dalam serikat tersebut dan juga memiliki sel yang kuat.

Ada sejumlah bahaya kalau kita mengambil posisi kepengurusan serikat tanpa membangun terlebih dahulu basis dukungan akar rumput. Pertama, tekanan kerja kesehari-harian pengurus serikat yang sering kali menyita begitu banyak waktu sehingga membuat kita lalai membangun sel. Ini adalah kecenderungan Ekonomisme yang diperangi oleh Lenin dan kaum Bolshevik, yakni kecenderungan hanya fokus pada perjuangan normatif (ekonomi) dan mengabaikan perjuangan politik revolusioner (pembangunan partai). Kedua, tekanan reformisme dalam serikat buruh, terutama di lapisan atas serikat buruh, bisa mengooptasi kamerad kalau tidak ada sel yang kuat dimana program pendidikan revolusioner berlangsung.

Dalam kesempatan lain kita kadang-kadang menemui diri kita merekrut kamerad-kamerad yang memang sudah memegang posisi kepemimpinan dalam serikat sebelum bergabung dengan kita. Ini menghadirkan tantangan yang berbeda. Kita tidak bisa serta merta meminta kamerad-kamerad tersebut untuk berhenti begitu saja dari posisinya, terutama ketika serikat tersebut (karena berbagai faktor) keberadaannya bergantung pada kamerad-kamerad tersebut sebagai pengurus. Ini menghadirkan tantangan bagaimana menyeimbangkan tugas-tugas serikat buruh sehari-hari dengan tugas jangka panjang membangun partai revolusioner. Sebuah tantangan yang tidak mudah, terutama ketika kamerad-kamerad ini masih dalam tahap pembelajaran gagasan dan metode Bolshevik.

Untuk mengatasi tantangan di atas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, hal terutama yang harus segera mulai dilakukan adalah mengorganisir pertemuan sel partai yang reguler sebagai medium pendidikan politik. Dengan pertemuan sel yang reguler, kamerad-kamerad akan mulai terintegrasi dalam kerja partai secara keseluruhan, dan wawasan politik dan ideologinya akan mulai terbuka melampaui batas-batas serikat-buruh-isme.

Kedua, kamerad harus mulai bisa memberikan tanggung jawab kepengurusan serikat pada buruh lainnya. Kita tidak ingin berada dalam posisi dimana kita memonopoli kepengurusan serikat buruh, sampai sedemikian rupa sehingga perhatian dan energi kita teralihkan dari tugas membangun partai revolusioner.

Selain itu kita ingin membangun lapisan kepemimpinan serikat yang baru di antara buruh, memberdayakan anggota akar rumput agar menjadi pemimpin dalam organisasi serikat mereka sendiri dan tidak selalu menitipkan nasib mereka pada pemimpin yang itu itu saja. Ini terutama benar di Indonesia dimana tradisi patron-klien begitu kental. Ini bisa dimulai dengan memberikan kepercayaan pada buruh untuk menjalankan serikat mereka sendiri. Mereka akan membuat kesalahan, tetapi hanya dengan membuat kesalahan buruh bisa belajar dan menjadi percaya diri.

Akhir Kata

Pada analisa terakhir tugas kaum revolusioner bukanlah membangun serikat buruh. Pernyataan ini mungkin akan mengusik banyak insan, tetapi hanya kalau kita tidak memahami bahwa yang dibutuhkan untuk mengakhiri eksploitasi buruh adalah perebutan kekuasaan oleh buruh secara revolusioner. Partai revolusioner adalah prasyarat bagi buruh untuk bisa merebut kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas kapitalis, dan oleh karenanya tugas kaum revolusioner adalah membangun partai revolusioner. Serikat buruh adalah satu dari banyak medan kerja yang digunakan oleh kaum revolusioner untuk membangun partai revolusioner ini.

Kalau kita hanya berkutat dalam perjuangan serikat buruh saja, maka perjuangan ini tidak akan ada habis-habisnya. Kita hanya bergerak dari satu kampanye UMK ke yang lainnya, kejar mengejar dengan harga kebutuhan yang terus naik, seperti mitologi Yunani Sisifus yang mendorong batu karang ke atas puncak gunung namun batu ini bergulir jatuh kembali dan dia terus mengulang tugas sia-sia ini selama-lamanya. Kita tidak hanya ingin melawan kapitalisme, tetapi menghancurkan kapitalisme dan membangun sosialisme di atas puing-puingnya, dan untuk ini dibutuhkan partai revolusioner!