facebooklogocolour

kronstadt186 tahun sudah berlalu semenjak pemberontakan Kronstadt, dan sisa-sisa dari episode tersebut masih eksis di dalam diskusi bersahabat ataupun pertentangan keras antara kelompok-kelompok kiri. Kebanyakan, pertentangan isu Kronstadt ini terekspresikan di dalam pertentangan antara kaum Anarkis dengan kaum Marxis, dan sering ini menjadi isu yang cukup emosional. Tentu saja tendensi-tendensi lainnya juga turut serta dalam debat Kronstadt, dan masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Banyak aktivis kiri yang merasa bahwa isu Kronstadt ini terlalu diperpanjang, “Ini khan 86 tahun yang lalu, lupakan saja, mari kita bicarakan masa kini dan masa depan!” kira-kira begitulah cara berpikir mereka. Saya sendiri kadang sudah capai berdebat mengenai isu ini, akan tetapi perasaan tanggung jawab saya terhadap masa depan memaksa saya untuk memahami sejarah, dan tetap berdiskusi mengenai sejarah tanpa melupakan masa depan. Sudah seharusnya kita berdiskusi mengenai sejarah bukan hanya karena sejarah itu sendiri; diskusi sejarah harus bisa memberikan pelajaran mengenai masa depan.

Puluhan artikel dan buku mengenai pemberontakan Kronstadt sudah banyak ditulis, dalam satu pihak adalah orang-orang yang membela para pemberontak Kronstadt, dalam pihak yang lain adalah orang-orang yang mengutuk pemberontakan Kronstadt sebagai gerakan konter-revolusi. Bung Rikki pun sudah memberikan kontribusinya dengan tulisannya “Membongkar Mitos Revolusioner Bolshevik: Memahami Pemberontakan Kronstadt”. Sayangnya, dari sekian banyak tulisan dan buku, tidak banyak perhatian diberikan pada metode analisa di dalam perdebatan tersebut, dan ini akan menjadi topik utama tulisan ini. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan atau membenarkan satu pihak, ataupun mencetak poin-poin debat. Tujuan artikel ini adalah untuk menunjukkan kepada para pembaca pentingnya analisa kelas, sebab sejarah kita adalah sejarah perjuangan kelas, maka dari itu sejarah harus dilihat dari kacamata analisa kelas.

Moralitas dan Analisa Kelas

Bagi banyak orang, penumpasan pemberontakan Kronstadt adalah suatu hal yang dirasa sangat kejam. Kata-kata seperti “dibantai”, “represi”, “eksekusi”, dan lain-lain sungguh menggugah hati nurani kita semua, dan kita terdorong untuk membela mereka yang “dibantai”, mereka yang menderita “represi” dan “eksekusi”. Nilai moralitas tersebut terbentuk karena kondisi objektif sekitar kita dimana kita hidup di dalam perjuangan kelas yang sangatlah kejam, kelas atas (kelas kapitalis dan kroni-kroninya) merepresi kelas bawah (kelas buruh, petani, kaum miskin, dll). Dalam kata lain, moralitas adalah produk dari perkembangan sosial, tidak ada yang absolut di dalam sebuah moralitas. Karena ketidakabsolutan itulah dan karena ketergantungannya dari perkembangan sosial, maka nilai moralitas tidak bisa menjadi ukuran dari analisa sosial.

Bila kita menggunakan moralitas semata sebagai ukuran dari analisa sosial, sebagai pedoman dari pendapat dan aksi politik kita, maka kita akan terpuruk menjadi agen “tidak sadar” dari gerakan reaksioner. Dalam memahami perkembangan sosial dan gejolak perjuangan kelas, ukuran moralitas akan selalu meraih kesimpulan bahwa jalan damai adalah salah satunya cara untuk melenyapkan dunia yang penuh kekerasan ini. Akan tetapi analisa kelas menunjukkan bahwa kekerasan tersebut adalah hasil dari eksistensi dua kelas yang berbeda kepentingan, dimana kelas yang berkuasa menggunakan kekerasan secara langsung ataupun tidak langsung untuk menjaga kekuasaannya. Apakah kelas yang berkuasa akan menyerahkan kontrol ekonomi dan politiknya dengan damai? Sejarah telah menunjukkan bahwa kelas yang berkuasa tidak akan pernah menyerah tanpa perjuangan. Bahkan setelah perubahan sosial yang menaruh kelas buruh ke tanduk kepemimpinan politik dan ekonomi, sisa-sisa kelas kapitalis dan sisa-sisa kesadaran kapitalisme di dalam masyarakat akan tetap eksis untuk waktu yang cukup lama; dan yang kita akan lihat adalah kelas buruh sebagai kelas penguasa terhadap kelas borjuis dengan menggunakan aparatus-aparatus negara pekerja, dalam kata lain, tetap menggunakan kekerasan untuk menjaga kekuasaan kelas buruh. Akan tetapi, hegemoni kelas buruh pada hakikatnya akan membuka jalan bagi terbentuknya masyarakat tanpa kelas karena hegemoni kelas buruh tidak membutuhkan eksistensi kelas kapitalis. Secara ekonomi kelas kapitalis tidak mempunyai peran apapun di dalam masyarakat sosialis, maka dari itu mereka dan sisa-sisa kesadaran mereka akan lenyap secara perlahan. Sebaliknya, hegemoni kelas kapitalis memerlukan prakondisi eksistensi kelas buruh yang menciptakan kapital. Dari analisa kelas ini, maka kesimpulan yang diraih adalah bahwa dunia yang damai dan tanpa kekerasan dan kesengsaraan hanya dapat dicapai melalui terbentuknya masyarakat tanpa kelas; secara damai bila mungkin, secara paksa bila harus.

Kembali lagi ke isu Kronstadt, maka argumen pembelaan Kronstadt yang datang dari nilai moral tidak mempunyai basis sama sekali. Isu Kronstadt harus ditilik dari analisa kelas, bukan dari nilai moralitas, bukan dari jumlah korban pemberontakan tersebut. Apakah ini berarti bahwa seorang Marxis tidak mempunyai moral? Bila yang dimaksud adalah nilai moral yang absolut tanpa pertimbangan kelas, maka benar bahwa kaum Marxis tidaklah bermoral. Akan tetapi, bila yang dimaksud adalah moralitas dari kacamata kelas buruh, maka kaum Marxis adalah seorang kaum “moralis” yang sejati, yang membela nilai-nilai moralitas kelas buruh.

Kronstadt dan Analisa Kelas

 

Sebelum kita bisa memahami pemberontakan Kronstadt, pemahaman akan karakter dan komposisi kelas di garnisun Kronstadt adalah krusial. Tanpa ini, semua argumen tidak mempunyai basis apapun. Pembela pemberontakan Kronstadt selalu merujuk kepada tulisan-tulisan dan resolusi-resolusi yang dikumandangkan oleh soviet Kronstadt, dan dari proklamasi-proklamasi tersebut mereka meraih kesimpulan bahwa pemberontakan Kronstadt adalah aksi revolusioner kaum proletar sejati yang berusaha menyelamatkan revolusi Oktober. Dan memang bisa diakui bahwa proklamasi-proklamasi tersebut, bila diambil maknanya tanpa analisa karakter kelas dibelakangnya, bergaung revolusioner. Seperti halnya UUD45 yang bila diambil maknanya tanpa pertimbangan karakter kelas dibelakangnya sangatlah bersifat kerakyatan. Apakah karena rejim Soeharto selalu mengumandangkan UUD45 maka rejim tersebut adalah rejim bersifat kerakyatan? Tentu saja tidak! Bila ini benar, maka penumbangan rejim Soeharto adalah sungguh sebuah aksi yang anti-kerakyatan dan kontra-revolusioner. Kita semua tahu dengan jelas bahwa karakter kelas di belakang rejim Soeharto adalah kelas kapitalis dan oligarki, dan UUD45 di bawah rejim Soeharto hanyalah menjadi buah bibir. Kita tidak bisa menilai seseorang ataupun sebuah kelompok hanya dari ucapan-ucapan dan tulisan-tulisannya. Karakter kelas dari kelompok tersebut adalah hal yang utama. Karakter kelas Kronstadt pada saat pemberontakan Kronstadt tidak dapat ditentukan dari proklamasi-proklamasinya, karakter kelas tersebut lebih banyak ditentukan oleh komposisi sosial dan politik Kronstadt pada saat itu.

Jadi, apakah karakter kelas Kronstadt? Bagi pembela pemberontakan Kronstadt, karakter kelas soviet Kronstadt tidak pernah berubah semenjak aksi kepahlawanannya di dalam revolusi Oktober. Akan tetapi, bila menilik dari kondisi sosial di Rusia saat itu yang dipenuhi gejolak dari luar (intervensi pasukan asing) maupun dari dalam (perang saudara dan juga timbulnya ketidakpuasan massa karena panjangnya perjuangan revolusi), maka karakter kelas Kronstadt pada tahun 1921 sudah berubah. Banyak elemen revolusioner dari kelasi Kronstadt sudah dikirim ke garis depan dan digantikan oleh elemen-elemen yang level politiknya lebih rendah, bahkan elemen-elemen yang dulunya revolusioner pun mulai bergerak ke arah reaksioner karena kesukaran perjuangan revolusi yang berkepanjangan. Yang harus dimengerti adalah bahwa kesadaran massa dipengaruhi oleh kondisi objektif sekitarnya. Kelas buruh tidak selamanya mempunyai kesadaran revolusioner, bila kelas buruh selalu mempunyai kesadaran revolusioner maka revolusi sudahlah terjadi di seluruh dunia. Massa pada satu saat bisa bergerak ke kiri ke arah revolusioner; dan pada satu saat yang lain, terutama setelah mengalami kekalahan atau kelelahan, akan bergerak sangat cepat ke arah reaksioner. Contoh yang paling jelas adalah munculnya fasisme Nazi di Jerman, dimana kelas buruh Jerman setelah kegagalan revolusi di Jerman menjadi reaksioner dan mendukung fasisme Nazi. Satu pelajaran yang bisa diambil dari perdebatan Kronstadt yang sudah berlangsung lebih dari 8 dasawarsa ini adalah mengenai pentingnya pemahaman akan dinamika kelas dan kesadaran kelas.

Sejarah Milik Siapa?

Secara singkat, saya akan mengomentari tulisan Bung Rikki “Membongkar Mitos Revolusioner Bolshevik: Memahami Pemberontakan Kronstadt”. Bung Rikki sendiri sudah mengakui bahwa kondisi sosial Rusia saat itu sudah memecah belah kelas buruh: “Wajah Rusia sendiri telah penuh carut marut akibat perang sipil yang panjang dan berdarah, yang mengandaskan ekonomi dan memfragmentasikan kelas pekerja industri, tulang punggung kekuasaan soviet.” Akan tetapi, analisa kelas Bung Rikki berhenti disini, tidak ada kelanjutannya sama sekali mengenai karakter kelas Kronstadt. Tampaknya “fragmentasi kelas pekerja industri”, atau dalam kata lain perubahan karakter kelas buruh tidak mempengaruhi karakter kelas Kronstadt sama sekali.

Bung Rikki membela karakter revolusioner insurgen Kronstadt dengan merujuk kepada proklamasi-proklamasi Kronstadt dan resolusi Petropavlovsk, sebuah metode berpikir yang keliru seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Dan kemudian Bung Rikki lagi mencoba membela ke-revolusioner-an Kronstadt dengan logika “Sejarah Milik Mereka yang Menang”. Dalam logika tersebut, siapapun yang menang, kata-katanya tidak dapat dipercaya dan tidak mempunyai nilai apapun, semuanya adalah “propaganda-propaganda pengkambing-hitaman para insurgen Kronstadt …”. Ini bukanlah logika yang baru, hampir semua pembela Kronstadt merujuk kepada logika ini. Dan jujur saja, logika ini memang cukup masuk akal kalau dilihat sekilas. Akan tetapi, logika seperti ini adalah logika yang problematik. Logika ini tidak mengindahkan kondisi objektif sama sekali. Cukup dengan melihat siapa yang kalah, maka dialah yang ucapannya benar. Kalau begini, maka pada saat kelas buruh memenangkan revolusi, semua keburukan dan kebobrokan kapitalisme adalah propaganda pengkambing-hitaman kelas kapitalis oleh kelas buruh. Kalau begini, maka kelas oligarki dan kapitalis Venezuela mengatakan hal yang sebenarnya karena saat ini mereka ada di pihak yang kalah, dan sebaliknya Hugo Chavez dan massa pendukungnya (kaum miskin, kelas buruh, dan petani) melakukan propaganda pengkambinghitaman terhadap kaum kapitalis Venezuela. Kalau begini, mari kita bela semua yang kalah tanpa analisa kelas dan kondisi objektif, mari kita bela kelas oligarki dan kapitalis Venezuela! Sungguh ini sebuah logika yang menarik.

Analisa kelas bukan berarti semata-mata memberikan cap kepada kelompok tertentu sebagai kelas revolusioner atau kontra-revolusioner, ini adalah tradisi rejim Stalinis, tidak ada sangkut pautnya dengan analisa kelas Marxian yang berdasarkan kondisi objektif. Bila Trotsky mencap pemberontakan Kronstadt sebagai pemberontakan kontra-revolusioner, maka kita harus melihat analisisnya (baca “Hingar Bingar Kronstadt”), bukan menyamakannya dengan Stalin, Soeharto, ataupun Bush melalui logika “Sejarah Milik Mereka yang Menang” dan mencampakkan analisa tersebut sebagai kebohongan. Tentu saja tidak semua yang menentang pemberontakan Kronstadt menggunakan metode analisa kelas untuk mencapai kesimpulan tersebut, ada juga yang hanya menentang Kronstadt karena kesetiaan buta terhadap Bolshevik.

Akhir kata, mari kita ambil episode pemberontakan Kronstadt ini sebagai pelajaran sejarah akan dinamika kelas dan kesadaran kelas yang kerap berubah sesuai dengan kondisi objektif, dan dari pelajaran ini kita raih kesimpulan akan masa depan kita. Sejarah ada di pihak kita, dan pada saat yang sama, kita mempunyai beban sejarah di pundak kita.