facebooklogocolour

 Runtuhnya Internasional Kedua

Perang Dunia Pertama

Pecahnya Perang Dunia Pertama segera menimbulkan krisis dalam Internasional Sosialis (Internasional Kedua). Para pemimpin Internasional Kedua seksi Jerman, Prancis, Inggris dan Austria melanggar semua keputusan Internasional dan berbaris rapi di belakang kelas borjuasi mereka masing-masing dan menjadi sauvinis yang paling buas. Pers Sosial Demokrasi Jerman mulai menyerukan kepada kelas buruh untuk “membela tanah air”. Di pertemuan fraksi Reichstag (parlemen Jerman) pada 3 Agustus, para pemimpin Partai Sosial Demokrasi (SPD) memutuskan untuk menyetujui anggaran perang. Keesokan harinya, bersama dengan partai-partai borjuis dan Junker mereka menyetujui anggaran perang sebesar lima miliar mark. “Sayap Kiri” yang pada pertemuan fraksi menentang keputusan ini juga menyetujui anggaran perang di parlemen, dengan alasan disiplin partai! Ini sepenuhnya mengekspos peran pengkhianatan reformisme kiri dan sentrisme, yang, kendati ujar-ujaran mereka yang radikal, pada momen penentuan mereka terikat erat pada sayap kanan. Fungsi pokok reformisme kiri dan sentrisme adalah menjadi bumper kiri bagi kaum reformis kanan.

Di semua negeri-negeri yang berperang, para pemimpin Sosial Demokrasi memasuki pemerintahan koalisi bersama-sama dengan para perwakilan borjuis. Mereka berkhotbah mengenai “persatuan nasional” – yang merupakan slogan terhampa dari semua slogan. Mereka menentang pemogokan “selama masa peperangan”, menerima semua beban yang diletakkan di atas punggung buruh dan tani, semua demi kemenangan perang. Di Jerman, Vorwats, korannya SPD, menerbitkan sebuah editorial yang berjanji tidak akan menerbitkan artikel yang berbicara mengenai “pertentangan kelas dan kebencian kelas” selama masa peperangan. SPD adalah partai Internasional Kedua yang terpenting dan ternama, dengan sekitar satu juta anggota. Pengkhianatan mereka adalah yang paling menentukan. Tetapi partai-partai Sosial Demokrasi yang lain juga tidak lebih baik.

Pada 31 Juli 1914, pemimpin Sosialis Prancis yang anti-perang, Jean Jaures, dibunuh oleh kaum reaksioner. Empat hari kemudian, para pemimpin Sosialis Prancis menyetujui anggaran perang, begitu juga di Belgia, dan memasuki pemerintahan koalisi borjuis (yang disebut “Union Sacrée” atau persekutuan suci). Di Inggris, Partai Buruh pimpinan Arthur Henderson juga melakukan hal yang sama. Di Prancis, pengkhianatan ini didukung secara aktif oleh para pemimpin serikat buruh “Sindikalis”, yang sebelum pecahnya perang telah secara demagogi menyerukan pemogokan umum untuk menentang perang. Slogan pemogokan umum ini ditentang oleh kaum Marxis bahkan sebelum 1914. Kaum pasifis dan anarko-sindikalis membayangkan kalau mereka dapat menyerukan pemogokan umum untuk mencegah perang, tetapi gagasan ini tidak mempertimbangkan fakta kalau pemogokan umum hanya bisa diserukan apabila syarat-syarat yang dibutuhkannya telah terpenuhi. Situasi menjelang perang biasanya adalah situasi yang paling tidak kondusif untuk perkembangan pemogokan umum. Kecuali kalau kita berbicara mengenai pemogokan umum sebagai bagian dari situasi revolusioner yang tengah berkembang, sebagai pendahuluan sebelum perebutan kekuasaan oleh proletariat, maka pemogokan umum tidaklah mungkin digunakan untuk menghentikan perang. Paling banter, slogan ini adalah ilusi utopis. Paling buruk, slogan ini digunakan untuk menabur debu ke mata kaum buruh maju dengan memberi kesan adanya kebijakan radikal, ketika sebenarnya tidak ada kebijakan radikal sama sekali. Trotsky menyebut slogan pemogokan umum ini sebagai “tipe [pemogokan umum] yang paling bodoh dan sial”. Dia menjelaskan mengapa:

“Pemogokan umum hanya bisa diajukan sebagai metode perjuangan untuk melawan mobilisasi perang bila seluruh perkembangan situasi sebelumnya telah menempatkan revolusi dan insureksi bersenjata ke dalam agenda. Namun sebagai metode perjuangan ‘khusus’ untuk melawan mobilisasi perang, pemogokan umum adalah petualangan. Kecuali dalam kasus di mana pemerintah meluncurkan perang untuk menghindari revolusi yang secara langsung mengancamnya, maka umumnya pemerintah akan merasa paling kuat justru menjelang, selama dan setelah mobilisasi perang, dan oleh karenanya tidak akan merasa takut pada pemogokan umum. Suasana patriotik yang menyertai mobilisasi perang, bersama-sama dengan teror perang, umumnya membuat peluncuran pemogokan umum tidak ada harapan. Elemen-elemen yang paling avonturis, yang melompat ke dalam perjuangan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi yang ada, akan diremukkan. Kekalahan dan pembinasaan parsial lapisan pelopor akan mempersulit kerja revolusioner untuk waktu yang lama, dalam atmosfer kekecewaan yang dihasilkan oleh perang. Pemogokan yang secara artifisial diserukan niscaya akan menjelma menjadi putsch, dan menjadi penghalang revolusi.”[1]

Kebenaran pernyataan di atas didemonstrasikan pada 1914 ketika para pemimpin anarko-sindikalis, sehari setelah perang dinyatakan, segera mencampakkan slogan pemogokan umum dan menerima jabatan menteri dalam pemerintahan “persekutuan suci”.

Para pemimpin resmi Sosial Demokrasi dari semua negeri-negeri yang berperang dengan mudah terjerat, karena sesungguhnya mereka tidak perlu lagi didorong untuk mendukung borjuasi mereka sendiri. Seperti yang pernah dikatakan oleh Clausewitz, “perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain”. Sayap kanan gerakan buruh selama masa damai telah menjalankan kebijakan pro-kapitalis. Kolaborasi mereka dengan imperialisme yang paling reaksioner selama masa peperangan hanyalah kelanjutan dari politik sehari-hari mereka. Satu-satunya perbedaan, perang ini menyingkap tabir kemunafikan mereka dan dengan kejam mengungkapkan wajah sesungguhnya dari semua tendensi politik. Kaum reformis kiri yang mengambil posisi pasifisme, sebagai tendensi borjuis kecil, menggeliat tidak nyaman di antara kebijakan borjuis dan proletarian, dan mengekspresikan kebingungan dan impotensi mereka lewat ideologi pasifisme. Tetapi perwakilan terutama kelas penguasa dalam gerakan buruh tidak ragu-ragu dalam menyatakan dukungan mereka terhadap perang. Yang membedakan mereka dari satu sama lain hanyalah geng imperialis mana yang mereka dukung. Kepemimpinan Partai Buruh Inggris mendukung sang raja dan rejim penguasa dengan memasuki koalisi dengan Lloyd George dan Churchill; kaum Sosial Demokrat Jerman mendukung sang Kaiser dan kaum Junker reaksioner. Kaum Sosial Demokrat dari negeri-negeri kapitalis yang lebih kecil mendukung entah Inggris (Blok Sekutu) atau Jerman (Blok Sentral), yang mencerminkan ketergantungan kelas borjuasi mereka pada imperialisme Anglo-Prancis atau Jerman. Maka dari itu, kaum Sosial Demokrat Belgia berbaris di belakang Sekutu, sementara para pemimpin Sosial Demokrasi Belanda dan Skandinavia lebih cenderung ke Jerman.

Gelombang patriotisme-sosial menyapu seluruh dunia. Kelas penguasa menghabiskan cukup banyak sumber daya untuk menciptakan kebingungan dan meracuni massa dengan ribuan argumen. Dengan kolaborasi antusias dari para pemimpin buruh, mereka berhasil membuat bingung bahkan selapisan besar buruh terorganisir pada awal masa peperangan. Banyak kaum Sosial Demokrat – tidak hanya pemimpin sayap kanan, tetapi juga buruh yang jujur – siap mendukung perang ini, setidaknya pada awalnya. Mereka berargumen seperti berikut: “Bila Rusia Tsar menang, pasukan Cossack mereka akan menghancurkan partai dan serikat-serikat buruh kita, membredel koran-koran kita dan menyegel kantor-kantor kita.” Dengan cara yang sama, buruh jelata Prancis mendengar dengan penuh rasa percaya seruan-seruan dari Renaudel, Cachin, dkk. untuk mempertahankan keutuhan Republik dan demokrasi dari tangan Kaiser dan Junker. Kekhawatiran buruh jelata Jerman dan Prancis adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda dengan kepengecutan, kemunafikan dan sinisme para pemimpin partai-partai Sosialis.

Tidak seperti massa rakyat, para pemimpin ini tidak bisa mengatakan mereka tidak tahu apa-apa. Karakter imperialis perang ini begitu jelas terpampang bila kita cermati tujuan perang tiap-tiap kekuatan imperialis yang terlibat di dalamnya. Ini bukanlah perang untuk membela diri, tetapi perang untuk membagi ulang wilayah-wilayah dunia, untuk berebut pasar, bahan mentah, koloni, dan pengaruh di antara Inggris, Prancis, Jerman, Belgia, Rusia dan Austria-Hungaria. Rusia mengincar Turki, yang mengarah langsung pada konflik antara Jerman dan Rusia untuk memperebutkan Konstantinopel (Istanbul) dan Selat Turki. Rusia berkonflik dengan Turki mengenai Armenia, dengan Austria mengenai Balkan, dan dengan Austria dan Italia mengenai Albania. Pecahnya perang ini juga bukan sesuatu yang mengejutkan bagi Internasional Kedua. Selama setidaknya satu dekade sebelum 1914, kekuatan-kekuatan kapitalis besar telah secara sistematis menyiapkan perang ini. Oleh karenanya, masalah siapa yang menembak terlebih dahulu tidaklah penting.

Bahaya perang dunia sudah sejak lama didiskusikan secara luas. Pada dua kongres Internasional Kedua – di Stuttgart (1907) dan di Basel (1912) – semua partai sosialis di dunia dengan sungguh-sungguh bersumpah akan melawan setiap usaha untuk meluncurkan perang imperialis. Di Kongres Stuttgart, mereka menyetujui amandemen yang diajukan oleh Lenin dan Rosa Luxemburg, yang menyatakan:

“Bila perang pecah, adalah tugas mereka untuk mendorong perang ini agar berakhir secepat mungkin dan berusaha sekuat mungkin untuk menggunakan krisis ekonomi dan politik yang disebabkan oleh perang ini untuk membangkitkan massa dan dengan demikian mempercepat jatuhnya kekuasaan kelas kapitalis.”

Kongres Basel, yang diselenggarakan sebagai respons darurat terhadap Perang Balkan, dengan suara bulat meratifikasi keputusan sebelumnya. Seperti yang dikomentari oleh Zinoviev di kemudian hari:

“Resolusi Basel tidaklah lebih buruk, tetapi lebih baik daripada resolusi Stuttgart. Setiap kata di dalam resolusi ini adalah tamparan keras terhadap taktik partai-partai ‘kepemimpinan’ Internasional Kedua hari ini.”[2]

Karena pada momen kebenaran, semua partai sosialis mengkhianati sosialisme dan kelas buruh. Hanya partai Rusia dan Serbia yang menentang perang. Partai Italia mengambil posisi tanggung-tanggung “menentang kolaborasi, dan juga menentang sabotase”.

Akar Sosial Sauvinisme

Di mana-mana kaum sosialis berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Sebuah peristiwa yang begitu mengguncang dunia tidak dapat dipahami hanya dari sudut pandang kegagalan pribadi – walaupun kualitas pribadi jelas memainkan peran, seperti misalnya keberanian Karl Liebknecht di Jerman yang menentang perang dan dipenjara karenanya.[3] Lenin dan Trotsky menjelaskan, akar pengkhianatan sosial demokrasi dapat ditemui di periode panjang boom kapitalis sebelum Perang Dunia Pertama. Partai-partai massa Internasional Kedua telah tumbuh berkembang di bawah kondisi di mana tingkat pengangguran sangat rendah dan taraf hidup terus membaik, yang lantas membentuk basis politik “perdamaian kelas”. Situasi serupa juga kita temui lagi pada 1948 dan 1974. Di kedua kasus ini hasilnya sama. Marx dulu sekali telah menjelaskan, “keberadaan sosial menentukan kesadaran”. Di bawah kondisi-kondisi seperti ini, para pemimpin buruh cenderung memisahkan diri mereka dari kelas buruh. Lama dalam lingkungan parlemen atau mendekam di kantor serikat buruh, dan menikmati standar hidup yang nyaman, mereka perlahan-lahan tunduk pada tekanan kelas asing.

Ekspresi teori dari tekanan kelas asing ini adalah bangkitnya revisionisme, yang menyatakan, gagasan-gagasan Marx dan Engels sudah usang dan harus direvisi. Mereka mengajukan reforma parlementer dan gradualisme yang damai, sebagai ganti politik revolusioner. “Hari ini lebih baik dari kemarin; esok akan lebih baik dari hari ini,” demikian semboyan mereka. Perlahan-lahan, dengan damai, secara gradual, mereka akan mereforma sistem kapitalisme sampai akhirnya sistem ini, tanpa disadari, tumbuh menjadi sosialisme. Sungguh gagasan yang indah! Sungguh praktis! Sungguh mudah! Dibandingkan dengan visi masa depan yang menggiurkan ini, tidak ada orang yang waras yang akan memilih jalan perjuangan keras dan revolusi. Tetapi sayangnya semua teori cepat atau lambat harus teruji dalam praktik. Mimpi kaum reformis dihadapkan pada peristiwa-peristiwa Agustus 1914 dan terbukti gagal. Semua ilusi cantik mengenai parlementerisme yang damai dan perubahan yang gradual berakhir di parit-parit perang yang penuh lumpur, darah, dan gas beracun.

Untuk menembus kabut demagogi sauvinis dan pasifisme yang sentimental, Lenin menjelaskan akar sosio-ekonomi sauvinisme sosial dan basis kelasnya dalam aristokrasi buruh. Partai-partai massa dan serikat-serikat buruh Internasional Kedua terbentuk selama periode panjang ekspansi kapitalis, di mana reforma dan konsesi dapat diberikan kepada kelas buruh, terutama lapisan-lapisan atasnya. Di bawah kondisi seperti ini, selapisan kerak birokrasi terbentuk di antara jajaran kepemimpinan organisasi-organisasi buruh, yang terdiri dari sejumlah besar anggota parlemen, perangkat serikat buruh, jurnalis, dsb., dan di antara mereka adalah selapisan pengejar karier dan birokrat-birokrat kecil, yang terpisah dari kelas buruh karena penghasilan, gaya hidup dan psikologi mereka. Gagasan-gagasan borjuis meresap ke dalam mereka, karena taraf hidup dan lingkungan sosial di mana mereka berada. Puluhan tahun perkembangan yang lambat dan gradual di tengah kondisi ekspansi ekonomi, absennya perjuangan kelas untuk waktu yang lama (Rusia adalah pengecualian di sini) membuat organisasi massa, dan terutama lapisan kepemimpinan mereka, semakin berada di bawah tekanan kelas-kelas asing. Di depan anggota partai mereka masih menyatakan kesetiaan mereka pada perjuangan kelas dan sosialisme, tetapi dalam praktik mereka sepenuhnya dikebiri oleh batas-batas yang diperbolehkan oleh legalitas borjuis dan “opini publik”. Mereka telah terjangkiti penyakit fatal yang disebut Marx “kretinisme parlementer”. Dalam artikelnya “The Historical Destiny of the Doctrine of Karl Marx” Lenin menjabarkan periode ini seperti demikian:

“Periode kedua (1872-1904) berbeda dari periode pertama, dengan karakter ‘damai’nya, dengan tidak adanya revolusi. Eropa Barat telah menuntaskan revolusi-revolusi borjuis mereka. Eropa Timur masih belum. Eropa Barat memasuki sebuah fase persiapan ‘damai’ untuk menyambut perubahan-perubahan yang akan datang. Partai-partai Sosialis, yang juga proletarian, terbentuk di mana-mana, dan belajar menggunakan parlementarisme borjuis dan menerbitkan koran harian mereka sendiri, membangun serikat-serikat buruh dan koperasi-koperasi mereka. Doktrin Marx meraih kemenangan penuh dan mulai menyebar. Proses menyeleksi dan menghimpun kekuatan-kekuatan proletariat dan persiapannya untuk pertempuran yang akan datang berlangsung secara perlahan namun pasti.”

“Sejarah bergulir secara dialektis, dan oleh karenanya kemenangan teoretis Marxisme mendorong musuh-musuhnya untuk menyamarkan diri mereka sebagai Marxis. Liberalisme, yang busuk sampai ke sumsumnya, mencoba bangkit kembali dalam bentuk oportunisme sosialis. Masa persiapan untuk menghadapi pertempuran besar dimaknai oleh mereka sebagai penyangkalan terhadap pertempuran besar itu sendiri. Perbaikan kondisi kaum budak dalam perjuangan mereka melawan perbudakan-upah dimaknai oleh mereka sebagai penjualan kebebasan kaum budak untuk sepeser dua peser. Seperti pengecut mereka berkhotbah mengenai ‘perdamaian sosial’ (dalam kata lain, perdamaian dengan pemilik budak) dan menyangkal perjuangan kelas, dst. Mereka memiliki banyak pengikut di antara anggota parlemen sosialis, berbagai fungsionaris gerakan kelas-buruh, dan kaum intelegensia ‘yang bersimpati’.”[4]

Para pemimpin sayap-kanan ini bukanlah satu-satunya tendensi politik dalam Sosial Demokrasi internasional. Ada juga tendensi-tendensi sentris – Karl Kautsky, Rudolf Hilferding, dan Hugo Haase di Jerman; Jean Longuet dan Alphonse Merrhein di Prancis; Ramsay MacDonald di Inggris; Victor Adler di Austria; dan banyak lainnya. Orang-orang ini biasanya bersembunyi di balik gagasan pasifisme, tetapi menghindari konflik dengan kaum sauvinis sosial sayap-kanan. Lenin menghantarkan kritiknya yang paling pedas pada tendensi politik ini, yang dinilainya sebagai rintangan terbesar, yang mencegah kaum buruh dari mengambil jalan revolusioner. Mereka, menurut Lenin, “Kiri dalam kata-kata, Kanan dalam tindakan,” sebuah komentar yang cocok untuk kaum Reformis Kiri di segala jaman.

Hanya secara perlahan-lahan sayap revolusioner mulai pulih dari pukulan besar yang diterimanya pada Agustus 1914. Selangkah demi selangkah kaum revolusioner di seluruh penjuru Eropa mulai berhimpun kembali. Hampir di setiap kasus, kekuatan internasionalisme revolusioner muncul dari diferensiasi internal dan perpecahan di organisasi-organisasi massa tradisional, yakni partai-partai Sosial Demokrat dan serikat-serikat buruh. Termasuk di dalam kekuatan Kiri internasionalis ini adalah Karl Liebknecht, Rosa Luxemburg, dan Clara Zetkin di Jerman; Dimitar Blagoev dan Vasil Kolarov di Bulgaria; John MacLean di Skotlandia; dan James Connolly di Irlandia, dan juga kaum Sosial Demokrat Serbia, yang mana kedua anggota parlemen mereka menolak anggaran perang. Kaum sosialis Bulgaria menerbitkan manifesto anti-perang dan di parlemen menolak militerisasi. Tetapi di sisi lain, sejumlah mantan Kiri seperti Parvus di Jerman dan Plekhanov di Rusia menyebrang ke kamp sauvinisme-sosial. Di SPD Jerman, tendensi internasionalis memiliki basis terkuat setelah Rusia, Serbia, dan Bulgaria.

Pada 2 Desember, 1914, dalam parlemen Jerman Reichstag Karl Liebknecht menolak mendukung anggaran perang. Tindakannya yang berani ini adalah sebuah titik balik, yang memberi harapan bagi kaum buruh sayap-kiri tidak hanya dalam SPD Jerman, tetapi juga di semua negeri yang berperang. Pada 4 Desember, aktivis-aktivis partai di Halle melakukan rapat dan mereka sepakat mendukung pendirian Liebknecht. Partai Bolshevik mencoba menghubungi sayap kiri Jerman, tetapi secara logistik ini mustahil. Karena peran tradisional partai Jerman dalam Internasional Kedua, peristiwa ini sangatlah penting. Kaum internasionalis revolusioner seperti Rosa Luxemburg dan Franz Mehring mengambil sikap yang berani menentang perang. Di Austria, kaum Kiri juga mulai aktif. Di Inggris, terutama di Skotlandia, ada rapat-rapat anti-perang dan kemudian serangkaian pemogokan (aksi mogok sewa di Glasgow, gerakan shop steward[5]). Perang ini mengedepankan dengan sangat tajam isu-isu fundamental, dan sebagai akibatnya memicu serangkaian krisis dan perpecahan dalam sejumlah partai “Kiri” di Inggris – Partai Sosialis, Partai Buruh Sosialis (SLP, Socialist Labour Party), dan juga Partai Buruh Independen (ILP, Independent Labour Party) – yang lalu menjadi cikal bakal Partai Komunis Inggris di kemudian hari.

Ada juga oposisi Kiri yang berkembang di dalam Partai Sosialis Prancis dan serikat-serikat buruh. Tendensi sindikalis revolusioner yang dipimpin oleh Alfred Rosmer dan Pierre Monatte menjadi oposisi terhadap para pemimpin sindikalis reformis-kanan. Semakin lama perang berkecamuk, dukungan terhadap kaum sauvinis mulai luntur. Oplah koran L’Humanite, korannya kaum sauvinis kanan, anjlok dua pertiga. Di Italia, tendensi sosialis revolusioner diwakili oleh koran Avanti, dengan ketua redaktur Giacinto Serrati, sementara pemimpin sayap kanan Partai Sosialis adalah sang diktator fasis nantinya, Mussolini. Kaum Sosial Demokrat Rumania juga mengadopsi posisi anti-perang yang revolusioner. “Kaum Kiri” Belanda berhimpun di seputar koran Tribune, tetapi pemimpin mereka, Anton Pannekoek, seperti beberapa yang lainnya, menderita semacam tendensi ultra-kiri yang sangatlah dominan pada saat itu, sebagai reaksi terhadap kebijakan kanan kepemimpinan Sosial Demokrasi. Umumnya, kekuatan Kiri agak lemah, dan kebanyakan anggotanya masih muda dan tidak berpengalaman, yang membuat mereka rentan mengayun ke posisi ultra-kiri dan anarko-sindikalis.

Tendensi-tendensi dalam Sosial Demokrasi Rusia

Walaupun perang ini kejam dan mengerikan, setidaknya perang ini menyingkap semua kemunafikan dalam masyarakat dan politik. Semua tendensi politik teruji. Semua kepura-puraan terbongkar karena permainan diplomasi sudah menjadi mustahil dan sejarah menuntut tagihan terakhirnya. Perang dan revolusi dengan tanpa belas kasihan mengekspos kelemahan-kelemahan yang ada dalam partai, program atau individu, dan menghancurkan mereka. Gelombang patriotisme yang menyapu masyarakat tampaknya menyeret semua orang. Banyak tokoh revolusioner ternama yang mendukung pemerintah mereka masing-masing dalam perang, termasuk sang teoretikus anarkis terkemuka Pangeran Kropotkin. Kropotkin yang sebelumnya menyokong gagasan “Mutual Aid” (Saling Membantu) kini menjadi penyokong gagasan “Mutual Destruction” (Saling Menghancurkan).[6] Semua tendensi yang termanifestasikan dalam Sosial Demokrasi internasional dapat ditemukan juga di Rusia, dengan satu perbedaan penting. Pengaruh sayap revolusioner Sosial Demokrasi – yakni Bolshevisme – jauh lebih kuat karena Lenin telah meluncurkan perjuangan yang keras kepala melawan oportunisme selama periode sebelumnya. Di Rusia, baik Reformisme Kiri maupun Kanan lemah. Walaupun Partai Bolshevik tidak sepenuhnya bebas dari disorientasi dan kebimbangan yang ada, terutama di periode awal, mereka segera menemukan pijakan mereka, berkat posisi tegas yang diambil oleh Lenin sedari awal.

Sebaliknya, perang ini mengungkapkan kelemahan dan kegoyahan ideologi kaum Menshevik, yang dengan segera terpecah belah. Pecahnya Perang Dunia Pertama mengejutkan kaum Menshevik. Karena tidak memiliki landasan teori yang kokoh, mereka pecah menjadi beragam faksi dan sub-faksi, dari faksi Plekhanov yang ultra-nasionalis sampai ke sentrisme-kirinya Martov. Di antara kedua kutub ini kita temui banyak pandangan tengah. Lebih dari segalanya, perang ini mengungkapkan ketidakberdayaan politik dan organisasional Menshevisme. Kaum intelektual seperti A.N. Potresov, E. Maevskii, F.A. Cherevanin, dan P.P. Maslov berhimpun di seputar jurnal sastra Nasha Zarya, yang mendukung semacam varian defensisme.[7]

Yang paling menyedihkan adalah Plekhanov, yang berayun ke sayap kanan ekstrem sejak awal, dan mengadopsi posisi yang begitu sauvinis sampai-sampai dia terisolasi bahkan di antara kolega-kolega Mensheviknya. Seperti semua kaum sauvinis-sosial lainnya, Plekhanov mencoba menutupi pengkhianatannya dengan sofisme “cerdik”, sebuah seni yang dia kuasai dengan sangat baik:

“Perjuangan antara kaum penindas dan kaum tertindas tidak berhenti menjadi perjuangan kelas karena sang penindas hidup di sisi lain perbatasan dan berbahasa lain. Kaum proletariat negeri-negeri yang diserang oleh Jerman dan Austria tengah mengobarkan perjuangan kelas internasional dengan melawan, dengan senjata di tangan, realisasi rencana eksploitasi kaum imperialis Austro-Jerman.”[8]

Lenin kesulitan mempercayai apa yang telah terjadi pada mentor lamanya, terutama karena Plekhanov telah begitu merapat ke Bolshevisme selama periode reaksi. Krupskaya mengingat:

“Pada awal Oktober, kami mengetahui bahwa Plekhanov, yang sudah kembali dari Paris, telah berbicara di sebuah pertemuan di Jenewa dan akan memberi ceramah di Lausanne. Posisi Plekhanov membuat Lenin sangat cemas. Dia tidak bisa percaya Plekhanov telah menjadi seorang ‘defensis’. ‘Saya sama sekali tidak percaya,’ ujarnya, ‘ini pasti pengaruh masa lalu militernya’.”

Setelah Lenin melihat Plekhanov sungguh telah menyebrang ke sisi lawan, dia langsung memutuskan untuk menjawabnya di debat terbuka. Awalnya, Lenin khawatir dia tidak akan diundang ke ceramahnya dan tidak diperbolehkan mengutarakan apa yang ingin dia sampaikan – kaum Menshevik kemungkinan tidak akan mengundang terlalu banyak kaum Bolshevik.

“Saya dapat membayangkan betapa segannya dia [Lenin] bertemu dengan orang-orang dan berbasa-basi dengan mereka, dan saya dapat memaklumi cara-cara naifnya untuk menghindari mereka. Saya bisa membayangkan dia di tengah-tengah keramaian meja makan di kediaman Movshovich, begitu menyendiri, serius dan cemas sampai-sampai dia tidak bisa menelan makanannya. Saya dapat memahami humor yang agak dipaksakan, yang dibisikkan oleh orang-orang yang duduk di sampingnya, mengenai pidato pembuka Plekhanov di mana dia mengatakan dia tidak menyangka akan berbicara di hadapan begitu banyak orang. ‘Licik,’ sungut Ilyich, dan terpaksa menyimak ceramah Plekhanov. Bagian pertama ceramahnya di mana Plekhanov mengkritik Jerman mendapat persetujuan Lenin dan dia menyambutnya dengan tepuk tangan. Namun di bagian kedua, Plekhanov memaparkan pandangan ‘bela bangsa’. Tidak ada lagi ruang untuk ragu. Ilyich meminta waktu untuk menanggapinya – dia satu-satunya yang melakukan ini. Dengan gelas bir di tangan dia naik ke podium. Dia berbicara dengan tenang, dan hanya raut mukanya yang pucat yang menunjukkan kecemasannya. Dia mengatakan, perang ini bukanlah sebuah kebetulan, dan jalan ke sana sudah dipersiapkan oleh seluruh watak perkembangan masyarakat borjuis.”[9]

Lenin hanya diberi sepuluh menit, dan dia ingatkan para hadirin mengenai resolusi Internasional Kedua di Stuttgart, Copenhagen, dan Basel, dan menyerukan kepada kaum Sosial Demokrat untuk memerangi racun sauvinisme dan berjuang untuk mengubah perang ini menjadi perang menentukan melawan kelas penguasa. Plekhanov membantah dengan ironi seperti biasanya dan disambut riuh tepuk tangan oleh mayoritas hadirin yang Menshevik. Lenin pasti merasa sangat terisolasi.

Demam perang menjangkiti tokoh ternama lainnya. Potresov, seperti Plekhanov, berkapitulasi ke sauvinisme. Pemimpin Menshevik ternama yang lain, G.A. Alexinsky, bergeser begitu jauh ke kanan dia menjadi Garda Putih setelah Revolusi Oktober. Dia bukan satu-satunya. Akan tetapi, pembelaan Plekhanov terhadap sauvinisme-sosial tidak menemukan gaungnya di barisan Sosial Demokrasi, dan selama perang dia terisolasi. Dari kelompoknya Plekhanov, McKean menulis:

“Hanya segelintir intelektual Menshevik di Petrograd mengikuti Plekhanov yang sepenuhnya berkapitulasi pada nasionalisme. Pengikutnya yang sedikit itu termasuk A.I. Finn-Enotaevskii dan N. Yordansky, anggota Menshevik dan editor majalah bulanan Sovremennyi mir (yang menerbitkan ulang banyak artikelnya Plekhanov). Pengamatan Okhrana mengenai berbagai pandangan sosialis mengenai masalah perang pada Januari 1916 mencatat bahwa para pendukung Plekhanov di Rusia ‘memiliki pengaruh minimal terhadap opini publik’.”[10]

Jauh lebih berbahaya, seperti yang segera disadari oleh Lenin, adalah kaum sauvinis terselubung, seperti Kautsky, yang menikmati prestise personal yang besar dan menyamarkan pengkhianatan mereka di balik tabir sofisme “Marxis” yang munafik.

Pada 17 Oktober, 1914, Lenin menulis ke Shlyapnikov:

“Plekhanov, yang saya pikir kamu sudah diberitahu, telah menjadi seorang sauvinis Prancis. Di antara kaum Likuidator jelas ada kebingungan. Alexinsky, kata mereka, adalah seorang Francophile ... Tampaknya sayap tengah dari seluruh kaum Likuidator ‘blok Brussel’ bersama dengan Alexinsky dan Plekhanov akan mengikuti Kautsky, yang sekarang lebih merusak daripada semua orang lainnya. Sofismenya sangat berbahaya dan licik, yang menutupi trik-trik kotor kaum oportunis dengan frasa-frasa yang paling menipu dan dangkal (di koran Neue Zeit). Kaum oportunis jelas-jelas durjana. Kaum ‘sentris’ Jerman yang dipimpin oleh Kautsky adalah durjana terselubung, yang disemui dengan diplomasi, yang membutakan mata, pikiran dan kesadaran kaum buruh, dan paling berbahaya daripada lainnya. Tugas kita sekarang adalah meluncurkan perjuangan terbuka dan tanpa kompromi untuk melawan oportunisme internasional dan orang-orang yang menutup-nutupinya (Kautsky).”[11]

Kaum Menshevik sebenarnya berdiri lebih kiri dibandingkan kelompok-kelompok lain dalam Internasional Kedua karena tekanan dari Bolshevik. Mereka mengadopsi posisi sentris, tetapi tidak lama kemudian pecah menjadi dua faksi. Mayoritas Menshevik lebih dekat pada ‘sentrisme’nya Kautsky daripada Plekhanov. Selama perang, berkebalikan dengan Plekhanov, mereka menganjurkan fraksi Menshevik di dalam parlemen untuk menolak anggaran militer dan mempertahankan sikap yang ambivalen terhadap masalah pertahanan negara. “Komite Organisasi” pimpinan P.B. Axelrod, yang dipilih pada rapat Agustus 1912, mengambil posisi yang ambigu (posisi Kautskyite) mengenai masalah perang, dan seperti biasanya menyerukan ‘persatuan’ semua kaum Sosial Demokrat – termasuk dengan Plekhanov dan Alexinsky! Mereka mendukung Fraksi Menshevik di Duma yang awalnya gagal menentang perang, tetapi kemudian menolak anggaran perang.

Tiga hari setelah perdebatannya dengan Plekhanov dan di aula yang sama – Maison du Peuple – Lenin menghantarkan ceramahnya sendiri. Krupskaya menulis:

“Aula sesak penuh. Ceramah Lenin sukses besar. Ilyich penuh dengan semangat bertarung. Dia paparkan pandangannya mengenai perang, yang dia cap sebagai perang imperialis. Dalam pidatonya dia mengatakan, sebuah selebaran anti-perang telah diterbitkan di Rusia oleh Komite Pusat dan selebaran-selebaran serupa lainnya telah diterbitkan oleh organisasi Kaukasus dan kelompok-kelompok lain. Dia mengatakan, koran sosialis terbaik di Eropa saat ini adalah Golos (Suara), dan Martov menulis untuk koran ini. ‘Bila sebelumnya saya sering sekali berbenturan dengan serius dengan Martov,’ kata Lenin, ‘maka sekarang saya harus katakan kalau penulis ini [Martov] tengah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang Sosial Demokrat. Dia mengkritik pemerintahannya, mengutuk kaum borjuasi dari negerinya sendiri, mengecam menteri-menterinya.”[12]

 Martov berdiri di sebelah kirinya Menshevik selama perang. Sayap kiri Menshevisme diwakili di Petrograd oleh Kelompok Inisiatif Sentral, yang dari Agustus 1914 mempertahankan sikap internasionalis radikal menentang perang. Awalnya, tampaknya Martov tengah bergerak ke arah Bolshevisme, tidak hanya dalam posisi internasionalisnya, tetapi juga dalam oposisinya terhadap persekutuan dengan kaum liberal.

“Tidak seperti kebanyakan Menshevik, mereka [kaum Menshevik Internasionalis] dengan keras kepala menolak menerima kaum borjuasi ‘reaksioner’ dan ‘anti-rakyat’ sebagai sekutunya kelas buruh.”[13]

Ini memberi Lenin harapan untuk membentuk sebuah aliansi dengan kolega lamanya Martov. Lenin selalu mempertahankan persahabatan pribadi yang erat dengan Martov, bahkan sampai akhir hayatnya. Tetapi, seperti biasanya, Martov berhenti di tengah jalan dan tidak meluncurkan perjuangan melawan Kautsky. Kendati demikian, Martov dan kelompoknya, kaum Menshevik-Internasionalis, walaupun tidak konsisten, mempertahankan posisi internasionalis selama perang.

Sejumlah pemimpin Menshevik seperti perwakilan Duma Chkheidze, Tulyakov dan Skobelev cenderung ke posisinya Martov. Mereka menyokong kampanye non-aneksasi, perdamaian demokratik dan lalu mendukung resolusi Konferensi Zimmerwald. Mereka juga mendukung pembaharuan Internasional Kedua. Di kemudian hari, dengan munculnya Blok Progresif dan benturan antara Duma dan kabinet Goremykin pada musim panas 1915, ketiga perwakilan parlemen ini menyimpan ilusi (yang juga disimpan oleh Martov) akan kemungkinan menggantikan rejim 3 Juni dengan sebuah republik demokratik, yang lalu akan menjadi stimulus untuk gerakan perdamaian Eropa.

Implikasi reaksioner dari pasifisme reformis-kiri semacam ini hanya terungkap setelah Februari 1917, ketika ini menggiring Menshevik untuk mendukung tidak hanya Pemerintah Provisional tetapi juga perang.

Trotsky, walaupun secara formal tidak tergabung dalam faksi mana pun, segera mengambil posisi internasionalis revolusioner secara konsisten, dan dengan tanpa lelah mengorganisir agitasi dan propaganda menentang perang dan sauvinisme sosial. Dari pengasingannya di Paris, Trotsky berhasil melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun dari tendensi internasionalis Rusia. Dengan kolaborasi aktif dari Monatte dan Rosmer, pemimpin sayap Kiri terbaik di Prancis, dia menerbitkan koran harian, Nashe Slovo. Bersama dengan Martov dan kaum internasionalis lainnya terutama di Prancis, koran Trotsky memainkan peran penting dalam menyerukan penyelenggaraan sebuah Konferensi Internasional, yang akhirnya berbuah dalam Konferensi Zimmerwald. Sejarah bikinan kaum Stalinis biasa memfitnah Trotsky sebagai ‘sentris’. Ini omong kosong. Posisi Trotsky mengenai perang secara fundamental tidak berbeda dengan posisinya Lenin. Fakta bahwa dia belumlah bergabung secara formal dengan organisasinya Lenin bukanlah karena perbedaan politik, tetapi merupakan warisan dari polemik-polemik periode sebelumnya. Walaupun ada perbedaan taktik dan perasaan saling curiga dari masa lalu, kaum Bolshevik dan Nashe Slovo sering bekerja sama dalam perjuangan anti-imperialis mereka, sampai akhirnya koran ini dibredel oleh pemerintahan Prancis ketika pemberontakan tentara meledak di armada kapal perang Rusia Askold, yang tengah berlabuh di Toulon, dan koran Nashe Slovo ditemukan di antara sejumlah tentara pemberontak.

Yang memisahkan Lenin dan Trotsky bukanlah garis politik, tetapi masalah persatuan partai. Karena kesulitan besar yang dihadapi oleh sayap internasionalis revolusioner, Trotsky percaya bahwa tugas yang paling penting hari ini adalah bekerja untuk menyatukan semua elemen yang mempertahankan posisi internasionalis Ini termasuk tidak hanya kaum Menshevik tetapi juga kaum Menshevik-Internasionalis seperti Martov, yang telah secara tegas menentang sauvinisme-sosial sejak awal perang. Pada kenyataannya, banyak sekali orang seperti ini, dan sebagian besar dari mereka di kemudian hari bergabung dengan Partai Bolshevik dan memainkan peran penting. Salah satunya adalah Kelompok Inter-Distrik di Petrograd (Mezhraiontsy). Lunacharsky, Komisar Rakyat untuk Kebudayaan dan Pendidikan setelah Revolusi Oktober nantinya, adalah satu contoh lainnya. Dia juga berkolaborasi dengan Nashe Slovo. Dia juga mengingat usaha Trotsky untuk menyatukan semua elemen-elemen internasionalis yang jujur, dan juga kebimbangan orang-orang seperti Martov yang mengambil posisi internasionalis, tetapi segan untuk menarik semua kesimpulan yang diperlukan:

“Di atas basis internasionalisme yang baru, kami dengan tulus hati ingin membangun unifikasi penuh Partai kami, dari Lenin sampai Martov. Saya mendukung usaha ini dengan sangat energetik dan sampai tingkatan tertentu adalah pencetus slogan ‘Lawan kaum defensis, Hidup persatuan semua kaum internasionalis!’ Trotsky mendukung usaha persatuan ini sepenuhnya. Ini sudah lama menjadi mimpinya dan ini tampak membenarkan seluruh sikap masa lalunya.”

“Kami tidak punya perselisihan dengan Bolshevik, tetapi dengan Menshevik. Masalahnya buruk. Trotsky mencoba dengan segala cara membujuk Martov agar dia memutuskan hubungannya dengan kaum Defensis. Pertemuan Dewan Editor berubah menjadi diskusi panjang, di mana Martov, dengan kelincahan mental yang luar biasa, hampir dengan sofisme yang licik, menghindari jawaban langsung apakah dia akan pecah dengan kaum Defensis atau tidak. Dan sering kali Trotsky menyerangnya dengan sangat geram. Ini hampir mengarah ke perpecahan total antara Trotsky dan Martov – yang selalu dihormati oleh Trotsky sebagai seorang intelektual politik – dan pada saat yang sama perpecahan antara kami kaum Internasionalis Kiri dengan kelompoknya Martov.”[14]

Komite Inter-distrik (Mezhraionka) memainkan perang penting selama perang, yang belum menerima perhatian yang sepatutnya dari sejarawan. Mezhraiontsy dibentuk pada 1913 oleh inisiatif K.K. Yurenev, Bolshevik muda berumur 23 tahun; N.M. Yegorov, mantan perwakilan Duma Ketiga dari Perm; dan A.M. Novoselov, seorang buruh metal dan Bolshevik sejak 1906, yang disegani dalam Serikat Buruh Metal di Pulau Vasilyevsky[15]. Cita-cita kelompok ini adalah “reunifikasi dari bawah semua kaum Sosial Demokrat revolusioner” (yakni kaum Bolshevik dan kaum Menshevik Pro-Partai), dan meluncurkan agitasi partai di dalam angkatan bersenjata. Sejak awal, kelompok ini mengambil posisi yang prinsipil terkait perang. Secara independen dari Bolshevik, Mezhraiontsy, pada rapat 20 Juli, juga mengambil slogan “perang terhadap perang”.

Robert McKean menulis:

“Selama enam bulan pertama setelah pecahnya peperangan, faksi revolusioner yang paling ‘berhasil’ adalah Mezhraionka. Di Pulau Vasilyevsky komite mogok inter-partai selamat setelah kekacauan Juli 1914. Pada musim gugur mereka membentuk komite distrik Sosial Demokratik yang ilegal, yang mengambil platform Mezhraionka. Sel-sel berfungsi di 11 perusahaan, termasuk di pabrik pipa dan Siemens-Schukkert. Pada Oktober, di distrik kota, sebuah organisasi terbentuk. Terbentuk pula sejumlah lingkaran di beberapa pabrik di Petersburg Side, di antaranya adalah Petrograd Engineering dan Langenzippen. Di Narva, di mana Mezhraionka sebelumnya tidak punya basis sebelum perang pecah, kaum Bolshevik dan kaum Menshevik Pro-Partai membentuk sebuah komite yang memenangkan sekitar 130 anggota, kebanyakan dari pabrik-pabrik di Putilov. Pada bulan November, organisasi ini memutuskan untuk bergabung dengan Mezhraionka. Yang belakangan ini juga memiliki mesin cetak yang menerbitkan lima selebaran dan satu edisi koran Vperyod yang ilegal. Namun, seperti sebelumnya, Mezhraionka gagal memenetrasi Neva atau Vyborg. Karena Mezhraionka melihat angkatan bersenjata sebagai kunci kemenangan revolusi, mereka membentuk kelompok propaganda militer yang berhasil menerbitkan sebuah selebaran untuk para prajurit. Tetapi mereka tidak memiliki sel di unit-unit militer Petrograd. Mendekati akhir tahun Mezhraionka telah merekrut lebih dari 300 pengikut. Menilik dari keanggotaan komite Mezhraionka itu sendiri, kepemimpinan ketiga organisasi ini pada saat itu terdiri dari mahasiswa, buruh metal terampil dan terutama, buruh cetak. Ekspansi organisasi ini tidak lama kemudian mengundang represi dari pihak keamanan. Pada awal Februari 1915, penangkapan massal hampir meluluhlantakkan Mezhraionka dan melumpuhkan aktivitasnya selama beberapa bulan selanjutnya.”[16]

Pada 1917, Mezhraiontsy bergabung dengan Partai Bolshevik, bersama dengan Trotsky, dan memainkan peran penting, yang akan kita kupas nanti.

Posisi Lenin Mengenai Perang

Mungkin di antara semua karya Lenin, karyanya mengenai perang adalah yang paling tidak dipahami. Selama perang Lenin berdiri jauh di sebelah kiri tendensi internasionalis. Untuk kebanyakan orang, bahkan di antara barisan Bolshevik, posisi Lenin tampak ultra-kiri pada saat itu. Ketajaman dari beberapa formulasinya mengundang kontroversi, dan beberapa darinya di kemudian hari dia lunakkan atau campakkan sepenuhnya. Kontroversi ini membuat mustahil untuk bersatu dengan banyak elemen internasionalis yang jujur. Tetapi ada alasan mengapa Lenin melakukan ini. Runtuhnya Internasional Kedua awalnya mengejutkan Lenin. Tetapi segera setelah dia memahami akar permasalahannya, dia mencapai kesimpulan bahwa diperlukan perpecahan yang radikal, tidak hanya dengan kaum sauvinis sayap-kanan-ekstrem, tetapi juga dengan elemen-elemen sentris (Kautsky, Haase, Lebedour). Sayap revolusioner, yang terisolasi dan juga sebagian mengalami disorientasi pada awalnya, dihadapkan dengan tugas yang sulit. Tidak cukup hanya ‘pecah dengan sauvinisme sosial’ dalam kata-kata saja. Kita harus memenangkan massa ke program internasionalisme yang sejati. Tetapi kita belum bisa meraih telinga massa. Kerja kaum internasionalis revolusioner, untuk sementara, terbatas pada mendidik ulang kader di lingkaran-lingkaran kecil, dan menunggu perubahan situasi.

Sulit untuk membayangkan demoralisasi hebat yang disebabkan oleh pengkhianatan Internasional Kedua. Ini adalah sebuah situasi yang sepenuhnya baru dan tanpa preseden. Di mana-mana kaum pelopor buruh dikejutkan oleh pengkhianatan ini. Kebingungan merajalela pada awalnya. Namun perlahan-lahan kaum Internasionalis mulai berhimpun kembali dan melawan. Lenin harus mendidik ulang kader-kader Marxis untuk melawan racun sauvinisme-sosial dengan tanpa kompromi. Pengkhianatan para pemimpin Internasional Kedua pada Agustus 1914 seperti petir di siang bolong. Tindakan faksi SPD di Reichstag yang mendukung anggaran perang begitu mengejutkan, sehingga ketika Lenin membaca laporan ini dari koran resmi SPD, Vorwarts, dia awalnya menolak percaya. Dia mengira ini adalah berita palsu yang disebar oleh staf angkatan bersenjata Jerman. Dia bukan satu-satunya yang mengira demikian. Di Konferensi Zimmerwald, Trotsky mengingat: “Kami mengira edisi 4 Agustus koran Vorwarts adalah terbitan staf angkatan bersenjata Jerman.”[17] Zinoviev merangkum situasi saat itu:

“Banyak kaum sosialis yang sudah curiga bahwa ada sesuatu yang bau amis di Denmark. Tetapi kami tidak menyangka. Kami harus jujur: apa yang kami saksikan pada 4 Agustus tidak pernah kami bayangkan dapat terjadi sama sekali.”[18]

Axelrod bercerita mengenai reaksi kaum Menshevik: “Partai Jerman selalu menjadi guru kami. Ketika kami menerima kabar mengenai hasil pemungutan suara fraksi [parlementer] partai Jerman, kami tidak percaya.”[19]

Tetapi demikianlah yang terjadi. Yang terutama mengejutkan adalah sikap para pemimpin Sosial Demokrat sayap kiri. Inilah mengapa Lenin mengkritik keras mereka, khususnya Kautsky, selama perang. Sebelum perang pecah, Kautsky dianggap oleh banyak orang sebagai pemimpin sayap kiri. Lenin bahkan dulu menganggap dirinya seorang “Kautskyite ortodoks”. Rosa Luxemburg, yang mengenal Kautsky jauh lebih baik dibandingkan Lenin, selalu lebih kritis terhadapnya. Rosa merasa di balik semua kepintaran “Marxisme”nya Kautsky bersembunyi seorang birokrat dan konsiliator yang pengecut. Lenin lalu mengingat peringatan Rosa yang profetik:

“Rosa Luxemburg benar tatkala dia menulis, dulu sekali, bahwa Kautsky memiliki ‘sikap kepengecutan seorang teoretikus’ – kepengecutan pada mayoritas Partai, pada oportunisme.”[20]

Kautsky dan para pengikutnya ingin meyakinkan kaum buruh bahwa Internasional Kedua tidak dapat berfungsi di bawah kondisi perang, tetapi akan dapat dihidupkan kembali setelah pemulihan perdamaian. Cara pandang macam ini seperti payung yang penuh lubang – tidak berguna justru saat hujan! Lenin melakukan segalanya untuk mengekspos peran “Kaum Kiri” semacam ini dan menekankan kemustahilan untuk berdamai kembali dengan mereka-mereka yang bertanggungjawab atas pengkhianatan terbesar dalam sejarah kelas buruh. Sudah bukan waktunya lagi untuk mengelak dan berdiplomasi. Sudah saatnya kita katakan apa yang sebenarnya terjadi!

Karena merasa terisolasi, Lenin dengan cemas mencari orang-orang yang berpikiran sama. Seperti yang telah terjadi lebih dari sekali dalam kehidupan politiknya, dia memikirkan kamerad lamanya Martov. Krupskaya mengingat:

“Dalam percakapan pribadi, Ilyich sering kali mengatakan akan baik sekali kalau Martov menyebrang ke sisi kita. Tetapi dia ragu apakah Martov akan tetap mempertahankan posisinya untuk waktu yang lama. Dia tahu betapa mudahnya Martov terpengaruh oleh tekanan dari luar. ‘Dia menulis seperti ini bila dia sendirian,’ tambah Lenin.”[21]

Tetapi pengalaman panjang dan pahit menyaksikan kebimbangan Martov telah mengajarkan Lenin untuk waspada. Dalam sepucuk surat ke Shlyapnikov dia menyambut baik posisi Martov yang menentang sauvinisme-sosial, tetapi dia langsung menyuarakan keraguannya pada sosok yang dia kenal begitu baik ini: “Martov mengambil sikap yang baik di Golos. Tetapi apakah Martov akan bertahan lama? Saya tidak percaya.” Waktu akan membuktikan ketakutan terbesar Lenin ini.

Lenin punya visi jelas apa yang harus dilakukan. Internasional Kedua telah mati. Semua usaha untuk membangunnya kembali adalah sia-sia. Sebuah Internasional yang baru harus dibangun. Pesan ini tegas dan sederhana. Tetapi untuk melakukan ini tidaklah mudah. Jutaan buruh di negeri-negeri yang berperang masih berada di dalam organisasi-organisasi lama. Tampaknya mustahil untuk menjangkau telinga mereka, terutama di tengah kondisi perang. Dan bila kita pertimbangkan kondisi kelompok Lenin yang hanya memiliki segelintir orang saja, tanpa aparatus, tanpa uang, dan pengaruhnya kecil di Rusia ataupun tempat lain, maka posisi Lenin tampak seperti kegilaan. Tidak heran kalau bahkan orang yang secara politik paling dekat dengan Lenin pun ragu untuk menerima semua implikasi dari posisinya. Tidak heran kalau dia menemui kesulitan besar mencoba meyakinkan bahkan para pemimpin partainya sendiri. Namun Lenin tidak bimbang sama sekali. Dalam dirinya kita saksikan tidak hanya kegemilangan teori, tidak hanya visi yang luas, tetapi juga keberanian yang besar – bukan keberanian yang meledak sepintas saja dan lalu pupus, tetapi ketetapan hati yang keras kepala untuk menarik semua kesimpulan yang diperlukan dan melangkah sampai garis akhir. Kualitas semacam ini menjadi jelas selama masa yang sulit ini, yang dapat kita baca dari suratnya di bawah:

“Ini adalah sebuah tugas internasional. Tugas ini ada di pundak kita, karena tidak ada lagi orang lain. Kita tidak boleh mundur darinya. Adalah kekeliruan kalau kita memajukan slogan memulihkan kembali Internasional Kedua (karena bahaya konsiliasi yang busuk dari garis Kautsky-Vandervelde sangatlah besar!). Slogan ‘perdamaian’ adalah keliru; slogan kita haruslah mengubah perang nasional ini menjadi perang kelas. (Perubahan ini mungkin akan membutuhkan waktu yang lama, dan mungkin membutuhkan dan akan membutuhkan sejumlah kondisi preliminer, tetapi semua kerja harus dilakukan persis ke arah perubahan semacam ini, dengan semangat itu dan di atas garis itu.) Bukan menyabotase perang ini; bukan aksi-aksi individual yang terpisah, tetapi propaganda massa (tidak hanya di antara ‘warga sipil’) yang akan mengarah ke perubahan perang ini menjadi perang saudara.”[22]

Kontras antara posisi Lenin di atas dengan kebimbangan dan keragu-raguan Martov jelas sekali. “Tugas ini ada di pundak kita. Tidak ada lagi orang lain. Kita tidak boleh mundur darinya.” Dalam beberapa baris kalimat ini kita temui esensi Lenin sang pejuang, yang tidak akan menengok ke belakang setelah dia yakin akan kebenaran gagasannya.

Tetapi Lenin menemui masalah di sini. Kekuatan Sayap Kiri Zimmerwald kebanyakan terdiri dari orang-orang yang masih muda dan tidak berpengalaman, dan mereka tidak memahami maksud Lenin. Tugas pertama oleh karenanya adalah menekankan prinsip-prinsip dasar. Metode Lenin selalu melibatkan elemen polemik yang dibesar-besarkan. Dia selalu menekankan dengan keras satu gagasan tertentu, dan bahkan membesar-besarkannya (seperti yang dia lakukan pada 1902, ketika dia mengatakan, kelas buruh, bila ditinggal sendiri saja, hanya dapat mencapai kesadaran ‘serikat buruh’) guna mengguncang orang agar memahami cara pandangnya. Perang selalu merobek semua tabir kemunafikan dan dusta dengan tanpa belas kasihan, dan memaksa manusia untuk menghadapi kebenaran. Serangan keras Lenin terhadap para pemimpin lama, terhadap oportunisme dan sauvinisme, mengambil bentuk ekstrem karena dia bertekad untuk tidak meninggalkan sedikit pun celah bagi mereka untuk merangkak masuk kembali setelah perang usai. Untuk mematri pesan ini ke dalam benak para kader, Lenin tidak ragu menggunakan tutur kata yang paling tajam dan ekstrem. Memang, ini menciptakan sejumlah kesulitan, tetapi dia percaya dia benar-benar harus menempuh langkah ini demi mendidik kembali lapisan pelopor proletariat dan mempersiapkan mereka untuk tugas maha besar yang menanti mereka. Manifesto yang ditulis Lenin, “War and the Russian Social Democracy” ditujukan untuk menempa pengikutnya yang bimbang, seperti yang diharapkan untuk situasi seperti ini. Tesis Lenin mengenai perang hanya mencapai Petersburg pada bulan September, dan tidak mengundang banyak antusiasme. Shlyapnikov mengingat bagaimana gagasan revolutionary defeatism yang diajukan Lenin disambut dengan “perasaan bingung”. Menurut Okhrana Moskow: “Perang ini menangkap basah ‘kaum Leninis’, mereka tidak siap, dan untuk waktu yang lama ... mereka tidak bisa setuju sikap apa yang harus mereka ambil mengenai perang ini.”[23]

Kebimbangan bahkan di antara lapisan kepemimpinan Bolshevik mengenai masalah perang yang begitu vital ini sekali lagi menjelaskan mengapa Lenin mengadopsi slogan-slogan yang membuka pintu untuk tuduhan ultra-kiri-isme, slogan-slogan seperti “Ubah perang imperialis menjadi perang saudara”, dan “kekalahan Rusia adalah terbaik dari yang terburuk”. Trotsky mengkritik slogan Lenin: “Ubah perang imperialis menjadi perang saudara”, karena dia paham bahwa slogan ini tidak akan bisa mendapat gaung di antara massa, dan Trotsky mencoba meracik sebuah platform yang dapat menyatukan semua kaum sosialis internasionalis yang sejati. Jelas Trotsky benar kalau slogan seperti itu tidak akan dapat meraih massa, setidaknya tidak dalam bentuk demikian dan pada tahapan saat itu. Lenin mengatakan, posisi Trotsky adalah “sentrisme” dan bahkan “Kautskyisme”. Ini jelas keliru. Selama perang, seperti halnya Lenin, Trotsky dengan konsisten mempertahankan posisi internasionalis. Mengenai semua poin fundamental, posisinya mengenai perang dan Internasional Kedua sama seperti Lenin. Tetapi lewat koran hariannya, Nashe Slovo, yang dia edit di Paris, Trotsky punya audiens yang jauh lebih luas daripada Lenin. Untuk alasan inilah Trotsky memberikan penekanan yang berbeda, dan mengajukan perlunya mengobarkan perjuangan revolusioner melawan perang dalam bentuk yang berbeda, yang dapat mendapatkan gaung di antara setidaknya kaum buruh yang paling sadar kelas, yang mulai mencari alternatif sayap-kiri.

Selama Perang Dunia Pertama, Lenin sama sekali terisolasi dari massa. Slogan-slogan yang dia ajukan pada saat itu bukanlah ditujukan untuk massa. Lenin sedang menulis untuk lapisan kader. Bila kita tidak memahami ini, kita akan jatuh ke kekeliruan yang terburuk. Terlebih lagi, cara bagaimana Lenin memformulasikan masalah defeatism tidaklah sempurna. Bukan untuk pertama kalinya, seperti yang telah kita lihat, Lenin cenderung membesar-besarkan sebuah formulasi, dengan tujuan menekankan gagasan yang belum dipahami oleh banyak orang. Orang-orang yang hanya membaca satu dua baris karya Lenin tanpa memahami metode Lenin akan dilanda kebingungan tanpa akhir. Kita harus memahami kondisi-kondisi konkret yang melatarbelakangi penulisan karya-karya Lenin dan kepada siapa karya-karya ini ditujukan. Lenin dikejutkan oleh gelombang besar sauvinisme yang tampaknya menyapu semua yang ada di depannya. Dengan komunikasi yang terputus dengan Rusia, dia juga khawatir para pendukungnya di Rusia akan goyah mengenai masalah perang dan Internasional Kedua. Prinsip-prinsip dasar harus dibangun kembali. Taruhannya sangat tinggi. Yang ada di ujung tanduk bukan hanya nasib Revolusi Rusia tetapi juga Revolusi Dunia. Untuk alasan ini, tidak ada lagi ruang untuk diplomasi dan ambiguitas. Krupskaya menjelaskan:

“Ilyich sengaja mengedepankan masalah ini dengan sangat tajam supaya jelas garis apa yang diambil oleh pihak-pihak lain. Pertarungan melawan kaum defensis sudah dimulai. Perjuangan ini bukanlah masalah internal Partai yang hanya melibatkan Rusia saja. Ini adalah perkara internasional.”[24]

Salah satu problem yang muncul adalah slogannya Lenin, yang ditujukan untuk mendidik lapisan kader untuk meluncurkan perjuangan revolusioner tanpa-kompromi dalam melawan semua kecenderungan sauvinisme, sering kali disajikan dalam bentuk karikatur oleh para pendukungnya. Dalam artikel yang diterbitkan di Sotsial Demokrat (No. 38), Zinoviev, secara tipikal, menyajikannya dengan cara yang kasar dan dangkal: “Ya, kita menginginkan kekalahan ‘Rusia’ dalam perang, karena ini akan membuka jalan bagi kemenangan Rusia, emansipasinya, dan pembebasannya dari belenggu Tsarisme.”[25] Seperti biasa, gagasan Lenin dipahami dengan keliru oleh para pendukungnya, yang secara latah mengulang kata-katanya (yang sebenarnya dibesar-besarkan untuk keperluan polemik semata) dan menjungkirbaliknya. Gagasan bahwa kekalahan militer rejim Tsar akan mempercepat proses revolusi di Rusia jelas benar dan dikonfirmasi oleh peristiwa. Tetapi bila kita menyerukan pada massa di Rusia bahwa kaum revolusioner mendukung kemenangan Jerman, ini akan menjadi bunuh diri. Pada kenyataannya ini adalah defensisme yang dijungkirbalik, dan akan menjadi amunisi untuk menuduh kalau kaum Bolshevik adalah agen Jerman (sebuah tuduhan yang di kemudian hari digunakan oleh Pemerintah Provisional).

_______

Catatan Kaki:

[1] L. Trotsky, Writings: 1935-36, hal. 140-41

[2] Lenin’s Struggle for a Revolutionary International, hal. 35 dan hal. 103.

[3] Karl Liebknecht adalah satu-satunya anggota parlemen SPD yang pada 2 Desember 1914 menolak menyetujui anggaran perang di parlemen. Karena oposisinya dia dipenjara dan lalu dipaksa untuk berangkat ke medan perang. Karena kesehatannya yang memburuk, dia diperbolehkan kembali ke Jerman pada Oktober 1915. Namun tidak lama kemudian, dia ditangkap kembali karena mengorganisir demo anti-perang pada May Day 1916, dan dihukum penjara 4 tahun lamanya.

[4] Lenin’s Struggle for a Revolutionary International, hal. 101.

[5] Shop steward adalah perwakilan buruh akar rumput di tingkatan pabrik.

[6] L. Kochan, Russia in Revolution, hal. 177.

[7] Defensisme adalah gagasan bahwa kaum sosialis boleh mendukung pemerintahan borjuis mereka sendiri dalam perang dengan dalih ini adalah perang untuk mempertahankan diri dari invasi asing.

[8] G.V. Plekhanov, Voprosy Voiny i Sotsialisma, hal. 69.

[9] N.K. Krupskaya, Reminiscences of Lenin, hal. 286 dan hal. 287-88.

[10] R.B. McKean, St. Petersburg Between the Revolutions, hal. 362.

[11] LCWTo A.G. Shlyapnikov, 17/10/1914, vol. 35, hal. 161-62.

[12] N.K. Krupskaya, Reminiscences of Lenin, hal. 288.

[13] R.B. McKean, St. Petersburg Between the Revolutions, hal. 364.

[14] A.V. Lunacharsky, Revolutionary Silhouettes, hal. 63-64.

[15] Pulau Vasilyevsky adalah sebuah pulau di Petrograd, yang merupakan sentra industri.

[16] R.B. McKean, St. Petersburg Between the Revolutions, hal. 373-4.

[17] Lenin’s Struggle for a Revolutionary International, hal. 293.

[18] Ibid., hal. 104.

[19] Ibid., hal. 293

[20] LCW, To A.G. Shlyapnikov, 27/10/1914, vol. 35, hal. 167-68.

[21] N.K. Krupskaya, Reminiscences of Lenin, hal. 288-89.

[22] LCWTo A.G. Shlyapnikov, 17/10/1914, vol. 35, catatan kaki hal. 161 dan hal. 162.

[23] Dikutip di L. Trotsky, Stalin, hal. 168.

[24] N.K. Krupskaya, Reminiscences of Lenin, hal. 290.

[25] Lenin’s Struggle for a Revolutionary International, hal. 273.