facebooklogocolour

Di dalam artikel ini, Trotsky memberikan penjelasan teoritik bahwa Stalinisme tidak bisa disamakan dengan Bolshevisme. Ada jurang pemisah yang besar yang memisahkan kedua tendensi ini. Ada jurang pemisah yang besar yang memisahkan kedua tendensi ini, dimana Stalinisme mewakili kontra revolusi birokrasi akibat dari keterisolasian Revolusi Oktober.

Periode reaksioner seperti periode kita sekarang tidak hanya menceraiberaikan dan melemahkan kelas buruh dan kaum pelopornya, tetapi juga menurunkan level ideologis umum dari gerakan, serta melemparkan pemikiran politik ke belakang, ke tahapan-tahapan yang telah lama ditinggalkannya. Dalam kondisi seperti ini tugas terpenting dari kaum pelopor adalah tidak membiarkan dirinya terbawa arus yang bergerak mundur. Kaum pelopor harus berenang melawan arus. Apabila relasi kekuatan-kekuatan yang tidak menguntungkan mencegahnya dari mempertahankan posisi politik yang telah dimenangkannya, paling sedikit ia harus mempertahankan posisi ideologisnya, sebab dalam posisi ideologis itulah terekspresikan pengalaman-pengalaman masa lalu yang sangat mahal harganya. Orang pandir akan menganggap kebijakan ini “sektarian.” Padahal, inilah satu-satunya cara untuk mempersiapkan diri untuk langkah besar ke depan yang baru dalam gelombang sejarah yang akan datang.

Reaksi terhadap Marxisme dan Bolshevisme

Kekalahan-kekalahan politik yang besar mendorong pertimbangan ulang kembali nilai-nilai yang ada, dan biasanya ini terjadi dalam dua arah. Di satu pihak, kaum pelopor sejati, yang diperkaya oleh pengalaman kekalahan, dengan gigih mempertahankan warisan pemikiran revolusioner. Berdasarkan itu kaum pelopor berupaya mendidik kader-kader baru demi perjuangan massa yang akan datang. Di lain pihak, para rutinis, sentris, dan orang-orang yang tidak memiliki komitmen, yang tercekam oleh kekalahan,  berusaha sehebat-hebatnya untuk menghancurkan otoritas tradisi revolusioner dan bergerak mundur untuk mencari sebuah “Dunia Baru.”

Kita bisa menunjukkan sekian banyak contoh dari reaksi ideologis. Bentuk yang paling sering adalah sikap tunduk. Semua tulisan dalam Internasionale II[1] dan Internasionale III[2], juga tulisan-tulisan para satelit Biro London[3] mereka, pada hakikatnya berisi contoh-contoh tersebut. Tidak ada analisis Marxis. Tidak ada sama sekali upaya yang serius untuk menjelaskan kekalahan. Tentang masa depan, tidak ada kata-kata yang segar. Tidak ada apa-apa kecuali klise, kompromi, kebohongan, dan di atas segalanya hasrat untuk menyelamatkan diri sendiri mereka. Cukuplah kiranya mengendus 10 kata dari seorang Hilferding[4] atau Otto Bauer[5] untuk mengetahui kebusukan ini. Para teoretikus Komintern bahkan tidak layak disebut. Dimitrov[6] yang terkenal itu sama saja dengan seorang pemilik toko kelontong yang tidak tahu-menahu dan awam soal segelas bir. Pikiran orang-orang ini terlalu malas untuk mengutuk Marxisme. Mereka melacurkannya. Tapi bukan mereka yang sekarang menjadi fokus perhatian kita. Mari kita beralih kepada para “inovator.”

Seorang mantan komunis Austria, Willi Schlamm, telah menulis sebuah buku kecil tentang Pengadilan-pengadilan Moskow[7] dengan judul yang ekspresif, The Dictatorship of the Lie (Kediktatoran Dusta). Schlamm adalah seorang jurnalis berbakat, yang terutama sekali tertarik pada peristiwa-peristiwa mutakhir. Kritiknya atas rekayasa Moskow, juga bagaimana ia mengungkapkan mekanisme psikologis dari “pengakuan-pengakuan sukarela” (dalam Pengadilan-pengadilan Moskow itu, red) sangat bagus. Namun, ia tidak membatasi dirinya pada hal ini. Ia ingin menciptakan sebuah teori baru tentang sosialisme yang akan melindungi kita dari kekalahan-kekalahan dan rekayasa-rekayasa di masa depan. Tapi, karena Schlamm sama sekali bukan seorang ahli teori dan nampaknya tidak begitu akrab dengan sejarah perkembangan sosialisme, ia kembali sepenuhnya ke sosialisme pra-Marxis, khususnya, versi Jermannya, yakni versi Sosialisme yang paling terbelakang, sentimentil, dan lembek. Schlamm menyalahkan dialektika dan perjuangan kelas, apalagi Kediktatoran Proletariat. Masalah transformasi masyarakat direduksinya menjadi soal perwujudan dari beberapa kebenaran moral yang “kekal”, yang dengannya ia bakal mengilhami umat manusia, bahkan di bawah kapitalisme. Upaya-upaya Willi Schlamm untuk menyelamatkan Sosialisme dengan menyisipkan kelenjar moral disambut dengan sukacita dan rasa bangga dalam jurnalnya Kerensky[8], Novaya Rossia (sebuah jurnal Rusia yang lawas dan picik, yang sekarang diterbitkan di Paris). Sebagaimana bisa dimaklumi, para editornya menyimpulkan bahwa Schlamm telah tiba pada prinsip-prinsip sosialisme Rusia yang sejati, yang lama sebelumnya telah mempertentangkan ajaran-ajaran iman, pengharapan, dan kasih yang suci dengan kekerasan dan kekejaman perjuangan kelas. Doktrin “baru” dari “kaum Sosial Revolusioner” Rusia hanya merepresentasikan, dalam dalil-dalil “teoretis”-nya, sebuah langkah untuk kembali ke Jerman pra-Maret (1848!)[9]. Namun, tidaklah adil menuntut pengetahuan yang mendalam tentang sejarah ide-ide dari Kerensky ketimbang dari Schlamm. Yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa Kerensky, yang sekarang bersolidaritas dengan Schlamm, dulunya, sementara ia menjadi kepala pemerintahan [Pemerintahan Provisional Rusia, red], adalah orang memfitnah kaum Bolshevik sebagai agen-agen Jerman. Orang inilah yang mengorganisir persekongkolan-persekongkolan yang sekarang ditentang Schlamm dengan memobilisasi kemutlakan-kemutlakan metafisiknya yang lapuk dimakan ngengat.

Mekanisme psikologis dari reaksi ideologis Schlamm dan orang-orang sejenisnya sama sekali tidak rumit. Untuk sejurus waktu orang-orang ini ambil bagian dalam gerakan politik yang meyakini perjuangan kelas dan terkesan, dalam perkataan bila tidak dalam pemikiran, pada Materialisme Dialektis. Baik di Austria maupun Jerman hal ihwalnya berakhir dalam kekacauan besar. Schlamm menarik kesimpulan murahan: ini adalah akibat dari Dialektika dan perjuangan kelas! Dan karena pilihan dari pewahyuan-pewahyuannya dibatasi oleh pengalaman historis dan … oleh pengetahuan yang bersifat pribadi, para reformis ini menemukan setumpuk kain-kain tua yang dipertentangkannya tidak hanya dengan Bolshevisme, tetapi juga Marxisme.

Sepintas lalu, reaksi ideologis Schlamm nampak terlalu primitif (dari Marx... ke Kerensky!) untuk kita pikirkan walau barang sejenak. Tapi, sebenarnya ini sangat instruktif. Sebab, justru dalam keprimitifannya reaksi ideologis Schlamm merepresentasikan bentuk umum dari semua bentuk reaksi lainnya, khususnya reaksi yang diekspresikan dengan penolakan sepenuhnya terhadap Bolshevisme.

“Kembali kepada Marxisme”?

Marxisme menemukan ekspresi historisnya yang paling tinggi dalam Bolshevisme. Di bawah panji Bolshevisme kemenangan pertama proletariat tercapai dan negara buruh pertama didirikan. Sekarang tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghapuskan fakta-fakta ini dari sejarah. Tapi karena Revolusi Oktober telah bermuara pada tahapan masa kini yang berupa kemenangan birokrasi, dengan sistem penindasan, penjarahan, dan falsifikasinya – atau “Kediktatoran Dusta”, menggunakan ungkapan favorit Schlamm – banyak pikiran yang formalistik dan dangkal telah melompat ke kesimpulan yang ringkas: tidak seorang pun bisa berjuang melawan Stalinisme tanpa menanggalkan Bolshevisme. Seperti kita ketahui, Schlamm melangkah lebih jauh: Bolshevisme, yang mengalami degenerasi menjadi Stalinisme, sendirinya tumbuh dari Marxisme; konsekuensinya, orang tidak bisa memerangi Stalinisme bila tetap berpijak pada fondasi Marxisme. Ada orang-orang yang lain, yang lebih kurang konsisten namun lebih banyak jumlahnya, yang mengatakan sebaliknya: “Kita harus mengembalikan Bolshevisme kepada Marxisme.” Bagaimana? Marxisme yang mana? Sebelum Marxisme menjadi “bangkrut” dalam bentuk Bolshevisme ia telah ambruk dalam bentuk Sosial Demokrasi. Apakah slogan “Kembali kepada Marxisme” berarti sebuah lompatan yang melampaui periode Internasionale II dan periode Internasionale III … dengan kata lain kembali kepada Internasionale I? Tapi Internasionale I juga bubar pada zamannya. Jadi, dalam analisis terakhir persoalannya adalah kembali kepada kumpulan karya Marx dan Engels. Orang bisa memenuhi lompatan bersejarah ini tanpa meninggalkan ruang studinya, bahkan tanpa melepas sandalnya. Tapi bagaimana kita melangkah dari karya-karya klasik kita (Marx wafat pada 1883, Engels pada 1895) ke tugas-tugas dalam epos yang baru, dengan menghilangkan sejumlah dekade perjuangan teoritik dan politik, yang di antaranya adalah Bolshevisme dan Revolusi Oktober? Tidak seorang pun di antara mereka, yang mengusulkan meninggalkan Bolshevisme sebagai sebuah tendensi yang bangkrut secara historis, telah menunjukkan jalan yang lain. Maka persoalannya direduksi menjadi nasihat sederhana untuk mempelajari Das Kapital. Sulit bagi kita untuk menolaknya. Kaum Bolshevik juga mempelajari Das Kapital, dan juga dengan baik. Tapi ini tidak mencegah kemerosotan negara Soviet dan kemunculan Pengadilan-pengadilan Moskow. Jadi, apa yang harus dilakukan?

Apakah Bolshevisme Bertanggung jawab atas Stalinisme?

Benarkah Stalinisme mewakili produk yang sah dari Bolshevisme, sebagaimana dipertahankan oleh semua kaum reaksioner, sebagaimana diklaim oleh Stalin, sebagaimana diyakini oleh kaum Menshevik, Anarkis, dan orang-orang doktriner Kiri yang menganggap diri mereka Marxis? “Kami telah meramalkan hal ini,” kata mereka. “Setelah memulai dengan melarang partai-partai Sosialis yang lain, menindas kaum Anarkis, dan mendirikan kediktatoran Bolshevik dalam Soviet-soviet, Revolusi Oktober hanya mungkin bermuara pada kediktatoran birokrasi. Stalin adalah kelanjutan dari Leninisme dan juga sekaligus kebangkrutan dari Leninisme.”

Cacat dalam penalaran ini dimulai dengan mengidentifikasikan secara diam-diam antara  Bolshevisme, Revolusi Oktober, dan Uni Soviet. Proses historis dari pergulatan di antara kekuatan-kekuatan yang berseteru diganti dengan perkembangan Bolshevisme dalam ruang hampa. Namun, Bolshevisme hanyalah sebuah tendensi politik yang melebur dengan erat dengan kelas buruh, namun tidak identik dengannya. Dan, di samping kelas buruh di Uni Soviet ada ratusan juta kaum tani, bangsa-bangsa yang beragam, serta warisan penindasan, kesengsaraan, dan kebodohan. Negara yang dibangun oleh kaum Bolshevik tidak hanya mencerminkan pemikiran dan kehendak Bolshevisme, tapi juga tingkat budaya negeri itu, komposisi sosial penduduknya, tekanan masa lalu yang barbar, dan imperialisme dunia yang tidak kurang barbarnya. Menampilkan proses degenerasi atau kemerosotan negara Soviet sebagai murni perkembangan dari Bolshevisme berarti mengabaikan realitas sosial atas nama salah satu unsurnya semata, yang terisolasi oleh logika murni. Kita hanya perlu menyebut kesalahan elementer ini dengan nama sejatinya untuk menghapuskan setiap jejaknya.

Bolshevisme tidak pernah mengidentifikasikan dirinya dengan Revolusi Oktober atau dengan Negara Soviet yang muncul daripadanya. Bolshevisme memandang dirinya sebagai salah satu faktor sejarah, faktor “Sadar”-nya – suatu faktor yang penting namun bukan faktor yang menentukan. Kami tidak pernah melakukan dosa subyektivisme historis. Kami melihat faktor yang menentukan – berdasarkan tenaga-tenaga produktif yang ada – dalam perjuangan kelas, tidak hanya dalam skala nasional tapi dalam skala internasional.

Ketika kaum Bolshevik membuat konsesi-konsesi kepada tendensi tani, kepada kepemilikan pribadi, mencanangkan aturan-aturan yang ketat untuk keanggotaan partai, membersihkan partai dari unsur-unsur yang asing, melarang partai-partai yang lain, memperkenalkan NEP[10], mengizinkan berdirinya perusahaan-perusahaan sebagai konsesi, atau kesepakatan-kesepakatan diplomatik yang ditandatangani dengan pemerintah-pemerintah imperialis, mereka sedang menarik kesimpulan-kesimpulan parsial dari fakta yang mendasar, yang secara teoritik telah jelas bagi mereka sejak awal: bahwa perebutan kekuasaan, betapapun pentingnya itu pada dirinya sendiri, sama sekali tidak mentransformasikan partai menjadi penguasa yang berdaulat atas proses historis. Setelah merebut kekuasaan negara, partai, tentu saja, mampu mempengaruhi perkembangan masyarakat dengan kekuatan yang sebelumnya tidak bisa diaksesnya. Tapi sebagai timbal-baliknya, ia menjadi rentan terhadap pengaruh yang 10 kali lebih besar dari semua elemen-elemen lainnya dalam masyarakat. Ia bisa, dengan serangan langsung dari kekuatan-kekuatan yang memusuhinya, dijatuhkan dari kekuasaan. Diberi tempo yang lebih panjang untuk berkembang, ia bisa bangkrut secara internal sementara tetap mempertahankan kekuasaan. Justru dialektika proses historis inilah yang tidak dipahami oleh para pakar logika sektarian yang berupaya menggunakan degenerasi birokrasi Stalinis sebagai argumen untuk melawan Bolshevisme.

Pada hakikatnya tuan-tuan ini mengatakan: partai revolusioner yang di dalam dirinya sendiri tidak memiliki jaminan untuk melawan degenerasinya sendiri adalah partai yang buruk. Dengan kriteria tersebut Bolshevisme dikutuk: ia tidak memiliki jimat. Tapi kriterianya sendiri keliru. Pemikiran ilmiah menuntut sebuah analisis yang konkret: bagaimana dan mengapa partai Bolshevik mengalami degenerasi? Tidak seorang pun kecuali kaum Bolshevik, sampai saat ini, yang telah memberikan analisis tentang hal itu. Untuk melakukannya mereka tidak perlu pecah dengan Bolshevisme. Sebaliknya, dari gudang senjata Bolshevisme mereka telah menemukan semua yang mereka perlukan untuk menjelaskan nasibnya. Mereka menarik kesimpulan ini: memang Stalinisme “tumbuh” dari Bolshevisme, namun tidak secara logis, melainkan secara dialektis; bukan sebagai sebuah afirmasi revolusioner, tapi sebuah negasi Thermidorian[11]. Stalinisme sama sekali tidak sama dengan Bolshevisme.

Prognosis Dasar Bolshevisme

Namun, kaum Bolshevik tidak harus menunggu Pengadilan-pengadilan Moskow untuk menjelaskan alasan-alasan kehancuran partai penguasa Uni Soviet. Lama sebelumnya mereka telah melihat dan berbicara tentang kemungkinan teoritik dari perkembangan ini. Mari kita ingat prognosis kaum Bolshevik, tidak hanya di saat menyingsingnya fajar Revolusi Oktober, tapi bertahun-tahun sebelumnya. Konstelasi tertentu dari kekuatan-kekuatan di kancah nasional dan internasional memungkinkan proletariat untuk merebut kekuasaan pertama di sebuah negeri terbelakang seperti Rusia. Tapi konstelasi yang sama dari kekuatan-kekuatan tersebut telah memperhitungkan sebelumnya bahwa tanpa kemenangan yang kurang lebih cepat dari proletariat di negeri-negeri maju pemerintahan buruh di Rusia tidak akan dapat bertahan. Ditinggalkan sendirian, rejim Soviet pasti jatuh atau mengalami degenerasi. Lebih tepatnya, pertama-tama rejim Soviet akan mengalami degenerasi, kemudian runtuh. Saya sendiri telah menulis tentang hal ini lebih dari sekali, dimulai pada 1905. Dalam buku History of the Russian Revolution (“Appendix” pada volume yang terakhir: Socialism in One Country), saya telah mengumpulkan semua pernyataan yang dikemukakan para pemimpin Bolshevik tentang masalah ini sejak 1917 sampai 1923. Semua pernyataan itu tiba pada kesimpulan berikut: tanpa sebuah revolusi di Barat, Bolshevisme akan terlikuidasi entah oleh kontra-revolusi internal atau oleh intervensi eksternal, atau oleh perpaduan dari keduanya. Lenin berkali-kali menekankan bahwa birokratisasi rejim Soviet bukanlah sebuah persoalan teknis, tapi kemungkinan dari awal degenerasi negara buruh.

Pada kongres partai yang ke-11 yang digelar pada Maret 1922, Lenin berbicara tentang dukungan yang ditawarkan kepada Soviet Rusia pada masa NEP oleh beberapa politisi borjuis, khususnya profesor liberal Ustrialov. “Saya mendukung kekuasaan Soviet di Rusia,” kata Ustrialov, kendati ia seorang Cadet[12], seorang borjuis, seorang pendukung intervensi – “karena ia telah mengambil jalan yang akan membawanya kembali ke negara borjuis yang lazim.” Lenin lebih menyukai suara sinis pihak musuh ketimbang “omong kosong komunistik yang manis.” Dengan bijak dan tegas ia memperingatkan partai tentang bahaya yang ada: “Kita harus mengatakan dengan jujur bahwa hal-hal yang dikatakan Ustrialov adalah mungkin. Sejarah mengenal segala macam metamorfosa. Bersandar pada keteguhan keyakinan, loyalitas, dan kualitas-kualitas moral yang luar biasa bukanlah sikap yang serius dalam politik. Segelintir orang mungkin dikaruniai kualitas-kualitas moral yang luar biasa, tetapi isu-isu historis ditentukan oleh massa rakyat luas, yang, bila yang segelintir itu tidak cocok dengan mereka, terkadang akan memperlakukan mereka dengan tidak terlalu sopan.” Singkatnya, partai bukanlah faktor perkembangan satu-satunya, dan dalam skala historis yang lebih besar bukan faktor yang menentukan.

“Satu bangsa menaklukkan bangsa yang lain,” lanjut Lenin dalam kongres yang sama, kongres terakhir yang diikutinya … “hal ini sederhana dan bisa dimengerti semua orang. Tapi apa yang terjadi pada kebudayaan bangsa-bangsa ini? Di sini duduk perkaranya tidak begitu sederhana. Bila bangsa yang menang lebih berbudaya daripada bangsa yang kalah, yang pertama akan memaksakan budayanya kepada yang belakangan; tapi bila kasusnya yang sebaliknya, bangsa yang dikalahkan akan memaksakan budayanya pada si penakluk. Tidakkah yang seperti ini sudah terjadi di ibukota Uni Soviet? Bukankah 4700 kaum Komunis (hampir seluruh divisi angkatan bersenjata, dan semuanya adalah yang terbaik) sudah ada di bawah pengaruh budaya yang asing?” Ini dikatakannya pada 1922, dan bukan untuk pertama kalinya. Sejarah tidak dibuat oleh segelintir orang, bahkan “orang yang terbaik”; bukan hanya itu: “yang terbaik” ini bisa mengalami degenerasi dalam semangat yang asing, yakni, budaya borjuis. Tidak hanya negara Soviet bisa mencampakkan Sosialisme, tapi Partai Bolshevik, di bawah kondisi-kondisi historis yang tidak menguntungkan, juga bisa kehilangan Bolshevisme-nya.

Dari pemahaman yang jelas tentang bahaya ini muncullah Oposisi Kiri, yang secara pasti terbentuk pada 1923. Merekam dari hari ke hari gejala-gejala degenerasi ini, Oposisi Kiri berupaya melawan Thermidor yang sedang tumbuh dengan kehendak yang sadar dari kaum pelopor proletariat. Namun, faktor subyektif ini terbukti tidak memadai. “Massa raksasa” yang, menurut Lenin, menentukan hasil dari perjuangan, menjadi lelah karena kemiskinan internal dan menunggu terlalu lama revolusi dunia. Semangat massa turun. Birokrasi meraih keunggulan. Ia mengalahkan kaum pelopor revolusioner, menginjak-injak Marxisme, menyelewengkan Partai Bolshevik. Stalinisme menang. Dalam bentuk Oposisi Kiri, Bolshevisme berpisah jalan dengan birokrasi Soviet dan Komintern-nya. Inilah proses perkembangan yang sesungguhnya.

Sudah barang tentu, dalam artian formal Stalinisme memang muncul dari Bolshevisme. Bahkan saat ini birokrasi Moskow terus menyebut dirinya Partai Bolshevik. Ia sekedar menggunakan label lama Bolshevisme untuk lebih mudah membodohi massa. Betapa menyedihkan para teoretikus yang melihat cangkang dan bukan isinya, yang melihat penampakan dari luar dan bukan kenyataan. Dengan mengidentifikasikan Bolshevisme dan Stalinisme, mereka memberikan layanan terbaik bagi kaum Thermidorian dan dengan ini justru memainkan peran yang jelas-jelas reaksioner.

Karena semua partai lainnya telah dibubarkan dari lapangan politik, kepentingan-kepentingan dan tendensi-tendensi yang antagonistis dari beragam strata masyarakat, sampai pada tingkatan tertentu, harus menemukan ekspresi mereka dalam partai penguasa. Sampai pada lingkup bahwa pusat gravitasi politik telah bergeser dari kaum pelopor proletariat ke birokrasi, partai telah mengubah baik struktur sosial maupun ideologinya. Karena proses perkembangan yang bergejolak, dalam 15 tahun terakhir ia telah mengalami degenerasi yang jauh lebih radikal daripada yang dialami sosial demokrasi dalam setengah abad. Pembersihan yang terjadi saat ini menarik bukan hanya sebuah garis berdarah tapi seluruh sungai darah antara Bolshevisme dan Stalinisme. Pembantaian semua generasi Bolshevik yang lebih tua, satu lapisan penting dari generasi tengah yang berpartisipasi dalam perang sipil, dan kaum muda yang serius tertarik pada tradisi-tradisi Bolshevik, menunjukkan tidak hanya ketidaksesuaian politik tapi juga sepenuhnya ketidaksesuaian fisik antara Bolshevisme dan Stalinisme. Bagaimana hal ini bisa tak terlihat?

Stalinisme dan “Sosialisme Negara”

Kaum Anarkis mengatakan bahwa Stalinisme adalah produk organik tidak hanya dari Bolshevisme dan Marxisme tapi “Sosialisme Negara” pada umumnya. Mereka bersedia menggantikan “federasi komune-komune bebas” yang patriarkal dari Bakunin[13] dengan federasi Soviet-soviet bebas yang modern. Tapi, sebagaimana yang mula-mula, mereka menentang kekuasaan negara yang tersentralisasi. Memang, satu cabang dari Marxisme “negara”, yakni sosial demokrasi, setelah berkuasa lantas menjadi agen terbuka dari kapitalisme. Yang lainnya melahirkan sebuah kasta berprivilese yang baru. Jelas bahwa sumber kejahatan terletak pada negara. Dari titik pandang historis yang luas, ada sebulir kebenaran dalam penalaran ini. Negara sebagai sebuah aparatus pemaksa jelas adalah sebuah sumber infeksi politik dan moral. Ini juga berlaku, sebagaimana pengalaman telah memperlihatkannya, pada negara buruh. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa Stalinisme adalah produk dari sebuah kondisi masyarakat di mana masyarakat masih belum mampu melepaskan dirinya dari kungkungan rapat negara. Tapi posisi ini, yang tidak memberikan sumbangsih apapun untuk mengangkat Bolshevisme dan Marxisme, hanya mencirikan tingkatan umum umat manusia, dan di atas segalanya – relasi kekuatan-kekuatan di antara proletariat dan borjuasi. Setelah sepakat dengan kaum Anarkis bahwa negara, bahkan negara buruh, adalah anak keturunan dari barbarisme kelas dan bahwa sejarah manusia yang sesungguhnya akan dimulai dengan penghapusan negara, kita masih menghadapi pertanyaan: cara-cara dan metode-metode apa yang, pada akhirnya, akan mengantar pada penghapusan negara? Pengalaman mutakhir memberikan kesaksian bahwa metode-metode itu bukanlah metode-metode Anarkisme.

Para pemimpin Federasi Buruh Spanyol (CNT), satu-satunya organisasi Anarkis yang penting di dunia, menjadi, pada saat yang kritis, menteri-menteri borjuis.[14] Mereka menjelaskan pengkhianatan terbuka mereka terhadap teori Anarkisme dengan mengatakan bahwa mereka ada di bawah tekanan “situasi-situasi yang sangat luar biasa.” Tapi bukankah para pemimpin sosial demokrasi Jerman, di jaman mereka, memberikan alasan yang sama? Wajarnya, perang sipil tidak bersifat damai dan tidak lazim, melainkan suatu “situasi yang sangat luar biasa.” Namun, setiap organisasi revolusioner yang serius justru mempersiapkan diri untuk menghadapi “situasi-situasi yang sangat luar biasa.” Pengalaman Spanyol telah memperlihatkan sekali lagi bahwa negara bisa “disangkal” dalam buklet-buklet yang diterbitkan dalam “situasi-situasi yang normal” atas seizin negara borjuis, tetapi kondisi-kondisi revolusi tidak menyisakan ruang untuk menyangkal negara: mereka menuntut, sebaliknya, penaklukan atas negara. Kita sama sekali tidak bermaksud menyalahkan kaum Anarkis karena belum pernah melikuidasi negara kecuali dengan goresan pena semata. Sebuah partai revolusioner, bahkan setelah merebut kekuasaan (yang tidak bisa dilakukan oleh para pemimpin Anarkis kendati heroisme kaum buruh Anarkis), sama sekali masih belum menjadi penguasa yang berdaulat atas masyarakat. Tapi lebih-lebih kita menyalahkan teori Anarkis, yang sepertinya sangat cocok untuk saat-saat yang damai, namun harus cepat-cepat dicampakkan ketika “situasi-situasi yang sangat luar biasa” dari … revolusi telah tiba. Di masa silam ada beberapa jenderal – barangkali juga sekarang – yang menganggap bahwa hal ihwal yang paling berbahaya bagi seorang tentara adalah perang. Sedikit lebih baik adalah kaum revolusioner yang mengeluh bahwa revolusi menghancurkan doktrin mereka.

Kaum Marxis sepenuhnya sepakat dengan kaum Anarkis sehubungan dengan tujuan yang terakhir: penghapusan negara. Kaum Marxis adalah “state-ist” (penganut negara) hanya sejauh meyakini bahwa kita tidak bisa melikuidasi negara hanya dengan mengabaikannya. Pengalaman Stalinisme tidak membuktikan ajaran Marxisme keliru, bahkan justru meneguhkannya secara terbalik. Ajaran revolusioner yang mengajar kaum proletariat untuk mengorientasikan diri secara tepat dalam  berbagai situasi dan secara aktif memetik keuntungan daripadanya, tentu saja tidak berisi jaminan otomatis untuk menang. Tapi kemenangan hanya dimungkinkan melalui penerapan ajaran ini. Lagi pula, kemenangan tidak boleh dilihat sebagai sebuah peristiwa tunggal. Kemenangan harus dipandang dalam perspektif sebuah epos historis. Negara buruh – yang didirikan di atas dasar ekonomi yang lebih rendah dan dikepung oleh imperialisme – berubah menjadi negara polisi Stalinisme. Tapi Bolshevisme yang sejati melakukan perjuangan hidup dan mati melawan negara polisi tersebut. Untuk mempertahankan dirinya, sekarang Stalinisme terpaksa menggelar perang sipil langsung terhadap Bolshevisme yang dinamainya “Trotskisme”, tidak hanya di Uni Soviet, tapi juga di Spanyol. Partai Bolshevik tua mati, tapi Bolshevisme menegakkan kepalanya di mana-mana.

Untuk menyimpulkan bahwa Stalinisme datang dari Bolshevisme atau dari Marxisme adalah sama saja dengan menyimpulkan, dalam artian yang lebih luas, kontra-revolusi datang dari revolusi. Pemikiran liberal-konservatif, dan belakangan pemikiran reformis, selalu saja dicirikan oleh klise ini. Karena struktur kelas masyarakat, revolusi selalu menghasilkan kontra-revolusi. Bukankah ini mengindikasikan, tanya para pakar logika, bahwa ada suatu cacat bawaan di dalam metode revolusioner? Namun, baik kaum liberal maupun kaum reformis, tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil, atau katakanlah belum berhasil, dalam menemukan metode yang lebih “ekonomis.” Tapi, bila tidak mudah untuk merasionalisasikan proses bersejarah yang hidup, sama sekali tidak sulit untuk memberikan suatu penafsiran yang rasional atas pergantian gelombang-gelombangnya, dan oleh karena itu dengan logika murni mendeduksi Stalinisme dari “Sosialisme Negara”, fasisme dari Marxisme, reaksi dari revolusi, pendeknya, antitesis dari tesis. Dalam ranah inilah, sebagaimana halnya dalam banyak pemikiran anarkis lainnya, kita temui penjara rasionalisme liberal. Pemikiran revolusioner yang sejati tidak dimungkinkan tanpa dialektika.

“Dosa-dosa”  Politik Bolshevisme sebagai Sumber dari Stalinisme

Argumen-argumen para rasionalis terkadang mengasumsikan, setidaknya dalam bentuk luarnya, suatu karakter yang lebih konkret. Mereka tidak mendeduksi Stalinisme dari Bolshevisme secara keseluruhan, tapi dari dosa-dosa politiknya. Kaum Bolshevik – menurut Gorter[15], Pannekoek[16], beberapa kaum “Spartakus” Jerman, dan yang lain-lainnya – telah menggantikan kediktatoran proletariat dengan kediktatoran partai; Stalin menggantikan kediktatoran partai dengan kediktatoran birokrasi. Kaum Bolshevik telah menghancurkan semua partai kecuali partai mereka sendiri; Stalin mencekik Partai Bolshevik demi kepentingan sebuah klik Bonapartis. Kaum Bolshevik telah berkompromi dengan kaum borjuasi; Stalin menjadi sekutu dan pendukungnya. Kaum Bolshevik mengakui keniscayaan untuk berpartisipasi dalam serikat-serikat buruh yang lama dan parlemen borjuis; Stalin menjalin persahabatan dengan birokrasi serikat buruh dan demokrasi borjuis. Orang bisa membuat perbandingan-perbandingan semacam ini seenak hatinya. Walaupun semuanya kelihatan efektif, perbandingan-perbandingan itu sama sekali kosong.

Proletariat bisa merebut kekuasaan hanya melalui kaum pelopornya. Pada dirinya sendiri, keharusan untuk merebut kekuasaan negara timbul dari level kultural massa rakyat yang tidak memadai dan heterogenitas mereka. Di dalam kaum pelopor revolusioner, yang terorganisir dalam sebuah partai, terkristalisasi aspirasi massa rakyat untuk mendapatkan kebebasan mereka. Tanpa keyakinan dari kelas proletariat terhadap kaum pelopornya, tanpa dukungan kelas terhadap kaum pelopor, kita tidak bisa berbicara tentang penaklukan kekuasaan. Dalam artian ini, revolusi proletariat dan kediktatoran adalah karya seluruh kelas, tapi hanya di bawah kepemimpinan kaum pelopor. Soviet-soviet adalah sekadar bentuk yang terorganisir dari ikatan antara kaum pelopor dan kelas. Sebuah konten revolusioner bisa diberi bentuk ini hanya oleh partai. Ini dibuktikan oleh pengalaman positif Revolusi Oktober dan oleh pengalaman negatif negeri-negeri lain (Jerman, Austria, dan akhirnya, Spanyol). Tidak seorang pun telah memperlihatkan dalam praktek atau berupaya menjelaskan secara akurat di atas kertas bagaimana proletariat bisa merebut kekuasaan tanpa kepemimpinan politik dari sebuah partai yang tahu apa yang diinginkannya. Fakta bahwa partai ini secara politik mensubordinasikan Soviet-soviet kepada para pemimpinnya tidaklah berarti terhapusnya sistem Soviet, seperti halnya dominasi mayoritas kaum konservatif di dalam parlemen Inggris tidak menghapus sistem parlementer Inggris.

Sejauh menyangkut pelarangan terhadap partai-partai Soviet lainnya, hal ini tidak mengalir dari “teori” apapun dari Bolshevisme, melainkan suatu langkah untuk mempertahankan kediktatoran di sebuah negeri yang terbelakang dan luluh lantak, yang dikepung oleh musuh-musuhnya dari segala penjuru. Bagi kaum Bolshevik adalah jelas dari sejak semula bahwa langkah ini, yang belakangan disusul dengan pelarangan terhadap faksi-faksi di dalam partai yang berkuasa itu sendiri, merupakan indikasi akan adanya sebuah bahaya yang luar biasa. Namun, akar dari bahaya itu bukan terletak pada doktrin atau taktik, melainkan pada kelemahan material dari kediktatoran proletariat, pada kesulitan-kesulitan dari situasi internal dan internasionalnya. Bila revolusi berjaya, bahkan jika hanya di Jerman, kebutuhan untuk melarang partai-partai Soviet lainnya bakal segera lenyap. Mutlak tak terbantahkan bahwa dominasi dari sebuah partai tunggal berfungsi sebagai titik berangkat yuridis bagi rezim totalitarian Stalinis. Alasan untuk perkembangan ini terletak bukan pada Bolshevisme, tidak pula pada pelarangan terhadap partai-partai lain sebagai suatu langkah peperangan yang bersifat sementara, melainkan pada sejumlah kekalahan kaum proletariat di Eropa dan Asia.

Hal yang sama berlaku dalam perseteruan dengan Anarkisme. Dalam epos revolusi yang heroik, kaum Bolshevik bekerja bahu membahu dengan kaum Anarkis yang benar-benar revolusioner. Banyak di antara mereka menjadi anggota partai. Pengarang baris-baris ini (Trotsky, red) lebih dari sekali berdiskusi dengan Lenin tentang kemungkinan memberikan kepada kaum Anarkis beberapa wilayah, dengan persetujuan penduduk setempat, di mana mereka dapat melakukan eksperimen untuk menguji gagasan masyarakat tanpa-negara mereka. Tapi perang sipil, blokade, dan kelaparan tidak menyisakan ruang bagi rencana-rencana tersebut. Pemberontakan Kronstadt? Tapi pemerintahan revolusioner sewajarnya tidak bisa “memberikan” kepada kaum pelaut yang memberontak benteng pertahanan yang melindungi ibu kota hanya karena beberapa Anarkis yang bimbang bergabung dengan pemberontakan tani-prajurit reaksioner tersebut. Analisis historis yang konkret terhadap peristiwa-peristiwa itu tidak menyisakan ruang sekecil apapun bagi legenda-legenda, yang dibangun di atas dasar ketidaktahuan dan sentimentalitas, mengenai Kronstadt, Makhno, dan episode-episode lainnya dari revolusi.

Sekarang, yang tersisa hanyalah fakta bahwa kaum Bolshevik sejak awal bukan hanya menerapkan keyakinan tetapi juga paksaan, sering sampai pada tingkatan yang paling keras. Juga tidak bisa dibantah bahwa birokrasi yang tumbuh dari revolusi memonopoli sistem paksaan ini ke dalam tangannya sendiri. Tiap-tiap tahap perkembangan, bahkan tahapan-tahapan katastropik seperti revolusi dan kontra-revolusi, mengalir dari tahap sebelumnya, berakar di dalamnya, dan membawa serta beberapa fiturnya. Kaum liberal, termasuk Webbs, selalu bersikeras bahwa kediktatoran Bolshevik hanya merepresentasikan sebuah edisi baru dari Tsarisme. Mereka menutup mata mereka terhadap “detil-detil” seperti penghapusan monarki dan kebangsawanan, penyerahan tanah kepada kaum tani, pengambilalihan kapital, pengenalan ekonomi terencana, pendidikan yang ateistis, dan seterusnya. Dengan cara yang persis sama, kaum Liberal-Anarkis menutup mata terhadap fakta bahwa Revolusi Bolshevik, dengan segala represinya, berarti perubahan relasi-relasi sosial demi kepentingan massa rakyat, sementara Thermidorian Stalin mengiringi rekonstruksi masyarakat Soviet demi kepentingan suatu minoritas berprivilese. Jelaslah bahwa tidak ada satu pun kriteria sosialis dalam pengidentifikasian antara Stalinisme dengan Bolshevisme.

Pertanyaan-pertanyaan tentang Teori

Salah satu ciri terpenting Bolshevisme adalah sikapnya yang keras, menuntut, sengit terhadap masalah doktrin. Ke-26 jilid karya Lenin akan tetap selamanya menjadi model keteguhan teoretis yang paling tinggi. Tanpa kualitas fundamental ini, Bolshevisme tentu tidak akan pernah dapat memenuhi peran historisnya. Dalam hal ini, Stalinisme, yang kasar, pandir, dan sepenuhnya empiris, sama sekali merupakan kebalikannya.

Lebih dari 10 tahun yang lalu Oposisi [Oposisi Kiri, red] telah mendeklarasikan dalam programnya: “Semenjak kematian Lenin, serangkaian teori-teori yang baru telah diciptakan, yang tujuan satu-satunya adalah untuk membenarkan penyimpangan yang dilakukan kelompok Stalin dari revolusi proletariat internasional.” Baru beberapa hari yang lalu seorang penulis Amerika, Liston M. Oak, yang pernah berpartisipasi dalam Revolusi Spanyol, menulis: “Pada kenyataannya hari ini kaum Stalinis adalah kaum revisionis yang paling utama terhadap Marx dan Lenin. Bahkan Bernstein[17] tidak berani melangkah sejauh yang dilakukan Stalin dalam merevisi Marx.” Ini sungguh benar. Kita hanya harus menambahkan bahwa sesungguhnya Bernstein membutuhkan pembenaran teoritis: dengan hati-hati ia berupaya membangun sebuah korespondensi antara praktek-praktek reformis sosial demokrasi dan programnya. Namun birokrasi Stalinis bukan saja tidak ada kesamaannya sama sekali dengan Marxisme, tapi juga secara umum asing bagi ajaran atau sistem apapun. “Ideologi”-nya sepenuhnya diresapi dengan subyektivisme polisi, prakteknya adalah empirisisme dari kekerasan yang vulgar. Demi mempertahankan kepentingan-kepentingan utamanya, kasta perampas ini membenci teori apapun:  ia tidak bisa memberikan penuturan tentang peran sosialnya baik kepada dirinya sendiri maupun kepada siapa pun juga. Stalin merevisi Marx dan Lenin tidak dengan pena para teoretikus, melainkan dengan tumit GPU[18].

Pertanyaan-pertanyaan tentang Moral

Keluhan-keluhan tentang “imoralitas” Bolshevisme khususnya datang dari pihak-pihak remeh-temeh yang berisik, yang topeng-topeng murahannya telah disingkirkan oleh Bolshevisme. Di dalam lingkaran-lingkaran borjuis-kecil, intelektual, demokratik, “Sosialis”, sastrawan, parlemen, dan lingkaran-lingkaran lainnya, kita temui nilai-nilai konvensional, atau bahasa konvensional untuk menutupi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki nilai-nilai. Komunitas perlindungan bersama yang besar dan beragam ini – yang motonya adalah “live and let live” (bersikap toleran, red) – memiliki kulit yang sensitif yang tidak dapat menahan pisau tajam Marxisme. Para teoretikus, penulis, dan moralis, yang gamang di antara dua kubu ini, berpikir dan terus berpikir bahwa kaum Bolshevik dengan maksud jahat membesar-besarkan perbedaan, tidak sanggup melakukan kerja sama yang “loyal”, dan dengan “intrik-intrik” mereka merusak persatuan gerakan kaum buruh. Lebih lanjut, kaum sentris yang sensitif dan mudah tersinggung ini selalu berpikir bahwa kaum Bolshevik sedang “memfitnah”-nya – hanya karena kaum Bolshevik membawa sampai garis akhir pemikiran-pemikirannya yang setengah matang: sesuatu yang ia sendiri tidak pernah mampu melakukannya. Tapi, faktanya tetap bahwa hanya kualitas inilah, yakni sikap tegas terhadap teori, bisa mendidik sebuah partai revolusioner yang tidak akan tertangkap basah tidak siap ketika menghadapi “situasi-situasi yang sangat luar biasa.”

Pada analisis terakhir, kualitas-kualitas moral setiap partai mengalir dari kepentingan-kepentingan historis yang diwakilinya. Kualitas-kualitas moral Bolshevisme, yakni penyangkalan diri, tidak mementingkan diri sendiri, keberanian, dan memandang rendah setiap jenis topeng dan kepalsuan – yakni kualitas-kualitas yang tertinggi dari sifat manusia! – mengalir dari keteguhan pendirian dalam melayani kaum tertindas. Birokrasi Stalinis juga meniru perkataan-perkataan dan gerak-gerik Bolshevisme. Tapi ketika “keteguhan pendirian” dan “fleksibilitas” ini diterapkan oleh sebuah aparatus polisi demi melayani minoritas yang berprivilese, mereka menjadi kekuatan demoralisasi dan gangsterisme. Kita hanya bisa merasa hina terhadap orang-orang ini, yang menyamakan heroisme revolusioner kaum Bolshevik dengan sinisme birokratis kaum Thermidorian.

Sampai saat ini, kendati peristiwa-peristiwa dramatis dalam periode baru-baru ini, kaum filistin rata-rata memilih untuk percaya bahwa perjuangan antara Bolshevisme (“Trotskisme”) dan Stalinisme adalah bentrokan antara ambisi-ambisi pribadi, atau konflik antara dua “bayangan” Bolshevisme. Pernyataan yang paling kasar dari pendapat ini diberikan oleh Norman Thomas, pemimpin Partai Sosialis Amerika: “Hanya ada sedikit alasan untuk percaya,” tulisnya (Socialist Review, September 1937, hlm. 6), “bahwa bila Trotsky yang menang (!) ketimbang Stalin, akan berakhirlah intrik-intrik, plot-plot, dan rejim ketakutan di Rusia.” Dan orang ini menganggap dirinya … seorang Marxis. Kita akan punya hak yang sama untuk mengatakan, “Hanya ada sedikit alasan untuk percaya bahwa bila Kepausan diduduki oleh Norman I[19], ketimbang Pius XI, Gereja Katolik bakal ditransformasikan menjadi benteng pertahanan Sosialisme.” Thomas gagal memahami bahwa ini bukanlah masalah antagonisme antara Stalin dan Trotsky, tapi masalah antagonisme antara birokrasi dan proletariat. Tentu, sampai sekarang lapisan penguasa Uni Soviet terpaksa menyesuaikan dirinya dengan warisan revolusi yang masih kokoh dan tidak sepenuhnya terhapus, sementara pada saat yang sama mereka mempersiapkan perubahan rejim sosial melalui perang sipil langsung (“pembersihan” berdarah – pemusnahan massa terhadap orang-orang yang tidak puas). Tapi di Spanyol klik Stalinis sudah bertindak secara terbuka sebagai kubu pertahanan tatanan borjuis dalam melawan Sosialisme. Perjuangan melawan birokrasi Bonapartis berubah di depan mata kita menjadi perjuangan kelas: dua dunia, dua program, dua moralitas. Bila Thomas berpikir bahwa kemenangan proletariat Sosialis atas kasta penindas tidak akan melahirkan kembali secara politik dan moral rezim Soviet, ia hanya membuktikan bahwa untuk semua keberatan, langkah yang mengendap-endap, dan keluh kesahnya yang saleh ia jauh lebih dekat dengan birokrasi Stalinis daripada kepada kaum buruh. Seperti para pengekspos “imoralitas” Bolshevik lainnya, Thomas belum tumbuh besar ke tingkatan moralitas revolusioner.

Tradisi-tradisi Bolshevisme dan Internasional Keempat

“Kaum kiri” yang berusaha melompati Bolshevisme dalam upaya mereka untuk kembali ke Marxisme pada umumnya membatasi diri mereka pada solusi-solusi yang terisolasi: boikot parlemen, penciptaan Soviet-soviet yang “sejati”. Semua ini masih bisa terasa sangat mendalam di tengah panasnya hari-hari pertama setelah perang. Tapi sekarang, setelah pengalaman baru-baru ini, ”penyakit kekanak-kanakan” ini tidak lagi menarik minat atau rasa ingin tahu. Gorter dan Pannekoek dari Belanda, kaum “Spartakis” Jerman, kaum Bordigis Italia, memperlihatkan kemandirian mereka dari Bolshevisme hanya dengan secara artifisial membesar-besarkan salah satu fiturnya dan mempertentangkannya dengan fitur-fiturnya yang lain. Tapi tidak ada yang tersisa entah dalam praktek atau dalam teori dari tendensi-tendensi “Kiri” ini: ini adalah bukti tidak langsung namun penting bahwa Bolshevisme adalah satu-satunya bentuk yang mungkin dari Marxisme untuk epos ini.

Partai Bolshevik telah memperlihatkan dalam aksi suatu perpaduan dari keberanian revolusioner yang paling tinggi dan realisme politik. Ia menegakkan untuk pertama kalinya hubungan timbal-balik antara kaum pelopor dan kelas, satu-satunya yang bisa memastikan kemenangan. Ia telah membuktikan lewat pengalaman bahwa aliansi antara proletariat dan massa rakyat tertindas dari borjuis-kecil pedesaan dan perkotaan hanya dimungkinkan melalui penggulingan politik atas partai-partai borjuis-kecil tradisional. Partai Bolshevik telah memperlihatkan kepada seluruh dunia bagaimana melakukan pemberontakan bersenjata dan merebut kekuasaan. Mereka-mereka yang mengajukan bahwa Soviet-soviet harus dipisahkan dari kediktatoran partai harus memahami bahwa hanya berkat kediktatoran partai Soviet-soviet mampu mengangkat diri mereka keluar dari lumpur reformisme dan mencapai bentuk negara proletariat. Dalam perang sipil Partai Bolshevik mencapai perpaduan yang tepat dari seni militer dan politik Marxis. Bahkan bila birokrasi Stalinis berhasil dalam menghancurkan fondasi-fondasi ekonomi dari masyarakat baru ini, pengalaman ekonomi terencana di bawah pimpinan Partai Bolshevik akan tercatat di dalam sejarah segala zaman sebagai salah satu pelajaran umat manusia yang terbesar. Hal ini bisa diabaikan hanya oleh kaum sektarian yang, karena tersakiti oleh luka-luka yang mereka terima, membalikkan punggung mereka terhadap proses sejarah.

Tapi ini belum semuanya. Partai Bolshevik mampu melaksanakan kerja “praktis”-nya yang luar biasa hanya karena ia menerangi semua langkahnya dengan teori. Bolshevisme tidak menciptakan teori ini. Teori ini disediakan oleh Marxisme. Tapi Marxisme adalah sebuah teori mengenai gerakan, bukan teori tentang stagnasi. Hanya peristiwa-peristiwa dengan skala historis yang luar biasa yang bisa memperkaya teori itu sendiri. Bolshevisme memberikan suatu sumbangsih yang tak ternilai bagi Marxisme dalam analisisnya tentang epos imperialis sebagai sebuah epos peperangan dan revolusi; tentang demokrasi borjuis dalam era kapitalisme yang sedang membusuk; tentang korelasi antara pemogokan umum dan pemberontakan; tentang peran partai, Soviet-soviet, dan serikat-serikat buruh dalam periode revolusi proletariat; dalam teorinya tentang negara Soviet, tentang perekonomian transisi, tentang fasisme dan Bonapartisme dalam epos kemunduran kapitalis; akhirnya dalam analisisnya tentang degenerasi Partai Bolshevik sendiri dan degenerasi negara Soviet. Tidak ada satu pun tendensi yang lain yang telah menambahkan sesuatu yang hakiki pada kesimpulan-kesimpulan dan generalisasi-generalisasi Bolshevisme. Secara teoritis dan politis, Vandervelde[20], De Brouckere[21], Hilferding, Otto Bauer, Leon Blum[22], Zyromski[23], apalagi Major Attlee[24] dan Norman Thomas, hidup di atas sisa-sisa masa lalu yang sudah usang. Degenerasi Komintern dengan teramat kasar diekspresikan oleh fakta bahwa ia telah jatuh ke level teori Internasionale Kedua. Berbagai macam kelompok-kelompok tengah (Partai Buruh Independen dari Inggris Raya[25], POUM[26], dan sejenisnya) setiap minggunya mengadopsi secara serampangan fragmen-fragmen ajaran Marx dan Lenin untuk keperluan-keperluan mutakhir mereka. Kaum buruh tidak bisa belajar apa-apa dari orang-orang ini.

Hanya para pendiri Internasionale Keempat, yang telah membuat seluruh tradisi Marx dan Lenin menjadi milik mereka sendiri, yang mengambil sikap yang serius terhadap teori. Kaum filistin mungkin mengejek bahwa 20 tahun setelah kemenangan Oktober kaum revolusioner kembali terlempar ke belakang ke persiapan propagandis yang sederhana. Kaum kapitalis besar, dalam persoalan ini sebagaimana dalam banyak persoalan lainnya, jauh lebih tajam daripada para borjuis-kecil yang membayangkan diri mereka sebagai kaum “Sosialis” atau “Komunis”. Bukanlah kebetulan bahwa topik tentang Internasionale Keempat tidak meninggalkan kolom-kolom pers dunia. Kebutuhan historis yang berkobar untuk kepemimpinan revolusioner menjanjikan kepada Internasionale Keempat suatu tempo pertumbuhan yang luar biasa cepat. Jaminan terbesar untuk keberhasilannya di hari depan terletak dalam fakta bahwa ia tidak bangkit meninggalkan jalan historis yang besar, tapi secara organik telah tumbuh dari Bolshevisme. ***

28 Agustus 1937


[1] Internasional Kedua dibentuk pada tahun 1881 oleh partai-partai buruh massa Eropa. Organisasi internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme. Akan tetapi dalam perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional Kedua mulai mengadopsi gagasan reformisme. Pada tahun 1914, mayoritas seksi Internasionale Kedua mendukung Perang Dunia Pertama, dan ini menandai kehancuran organisasi tersebut.

[2] Komintern (1919-1943), yang juga disebut Internasional Ketiga, dibentuk untuk mengobarkan revolusi sosialis dunia.  Setelah kemenangan Revolusi Rusia, Bolshevik menyerukan kepada kaum revolusioner sedunia untuk datang ke Moskow dan membentuk sebuah organisasi internasional baru dari kaum komunis yang revolusioner. Lahirlah Komunis Internasional pada tahun 1919. Namun setelah Uni Soviet sendiri mulai mengalami kemunduran akibat keterisolasiannya, Komintern pun mulai menjadi bangkrut dan impoten. Organisasi ini menjadi instrumen kebijakan asing Soviet untuk melindungi kepentingan kaum birokrasi, dan berulang kali justru menelikung revolusi sosialis di banyak negara. Komunis Internasional akhirnya dibubarkan oleh Stalin pada tahun 1943 untuk berkompromi dengan kekuatan Sekutu.

[3] Biro London adalah sebuah organisasi internasional yang dibentuk oleh partai-partai Kiri Eropa yang menolak Komintern dan sosial demokrasi. Awalnya Trotsky dan kelompok Oposisi Kiri Internasionalnya melakukan kerja sama secara kritis dengan partai-partai yang tergabung di dalam Biro London ini, namun karena posisi ideologinya yang gamang, akhirnya Biro London ini tercerai berai. Trotsky mengkritik keras posisi ideologi Biro London yang tidak tegas.

[4] Rudolf Hilferding (1877-1941) adalah seorang teoretikus utama dari Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD), yang tergabung dalam mazhab Austro-Marxian. Dia meninggal di tangan Gestapo, polisi rahasia Hitler.

[5] Otto Bauer (1881-1938) adalah salah seorang pemikir tendensi Austro-Marxian terkemuka dan pemimpin gerakan Sosial Demokrat Austria. Pemikirannya menjadi landasan inspirasi gerakan New Left dan Eurocommunism.

[6] Georgi Dimitrov (1882-1949) adalah pengikut Stalin yang setia, dan memimpin Komintern dari 1934 hingga 1943. Dia dilahirkan di Bulgaria dan aktif di dalam gerakan Marxis Bulgaria sejak 1902.

[7] Pengadilan Moskow adalah pengadilan fitnah pada 1936-1937 di mana hampir semua generasi Bolshevik Tua dieksekusi dengan tuduhan-tuduhan fitnah. Mereka semua dituduh melakukan konspirasi, usaha kudeta, terorisme, dan sabotase yang katanya dipimpin oleh Leon Trotsky.

[8] Alexander Kerensky (1882-1970) adalah anggota sayap kanan partai Sosialis Revolusioner. Saat Revolusi Februari pecah, Kerensky dipilih menjadi wakil ketua Soviet Petrograd. Dia lalu menjabat sebagai Menteri Keadilan dalam Pemerintahan Provisional yang baru dibentuk. Pada Mei 1917, dia menjabat sebagai Menteri Peperangan. Setelah kabinet koalisi pertama runtuh pada Juli 1917, dia naik menjadi Perdana Menteri Pemerintahan Sementara sampai ia digulingkan oleh Revolusi Oktober. Setelah digulingkan, dia mengasingkan diri ke Prancis.

[9] Yang dimaksud adalah Revolusi Maret 1848 di Jerman, yang merupakan bagian dari gejolak politik dan sosial yang berkobar hampir di seluruh Eropa, dimulai dari Revolusi Februari 1848 di Prancis. Dari pengalaman revolusi Jerman, Marx dan Engels mengkritik keras kepengecutan kelas borjuasi yang tidak mampu memimpin revolusi borjuasi demokratik dalam melawan despotisme feodal. Kaum borjuasi lebih takut terhadap kelas buruh ketimbang feodalisme dan justru memainkan peran kontra-revolusioner. Marx dan Engels mengambil kesimpulan bahwa hanya kelas proletar yang bisa memimpin revolusi borjuasi demokratik, yang lalu akan menjadi pembukaan untuk revolusi proletariat.  

[10] Kebijakan Ekonomi Baru, atau New Economic Policy (NEP), adalah kebijakan ekonomi yang diambil oleh Uni Soviet setelah perang sipil yang menghancurkan sendi-sendi ekonomi negeri. Kebijakan ini disahkan pada tahun 1921 di Kongres Partai Komunis Kesepuluh untuk menggantikan kebijakan Komunisme Militer. NEP adalah inisiatif Lenin. Melihat kehancuran ekonomi akibat Perang Sipil, Lenin menganjurkan NEP sebagai kebijakan sementara untuk memperbolehkan pasar bebas dan investasi asing.

[11] Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk kaum birokrasi Soviet yang telah mengkhianati Revolusi Oktober. Secara lebih umum, Thermidor menandai epos dimana rakyat mulai letih dan elemen-elemen yang lebih konservatif dan birokratis mengambil alih kendali revolusi. Istilah ini diambil dari konter-revolusi yang terjadi menyusul Revolusi Prancis 1789. Pada tanggal 27 Juli 1794 (Thermidor ke-9), pemerintahan Jacobin yang revolusioner digulingkan oleh elemen-elemen yang lebih konservatif, dan ini berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh Napoleon Bonaparte pada tanggal 19 November 1799. Napoleon menproklamirkan dirinya sebagai Kaisar seumur hidup dan mengubur hampir semua pencapaian Revolusi Prancis.

[12] Cadet atau Partai Konstitusional Demokrat adalah partai borjuis liberal di Rusia.

[13] Mikhail Bakunin (1814-1876) adalah salah seorang teoretikus anarkis terkemuka, yang berseteru dengan Marx dan Engels secara sengit terutama ketika berada di dalam Internasionale Pertama.

[14] Pada saat Revolusi Spanyol (1936-1939), para pemimpin anarkis dari Federasi Buruh Spanyol (CNT) menjabat sebagai menteri-menteri di pemerintahan Republik Spanyol Kedua di bawah pimpinan perdana menteri Caballero. Mereka diberi 4 kursi di dalam kabinet dan mendukung pemerintahan Front Popular borjuasi ini.

[15] Herman Gorter (1864-1927)  adalah seorang sosialis dari Belanda. Awalnya dia mendukung Revolusi Oktober dan Bolshevik. Namun kemudian dia menentangnya, dan lalu membentuk partai komunis tandingan. Dia termasuk di dalam kamp Komunis Sayap Kiri, yang dikritik oleh Lenin dalam bukunya “Komunisme Sayap Kiri: Penyakit Kekanak-kanakan”. Dia terlibat dalam pembentukan Partai Buruh Komunis Jerman (KAPD) pada 1920 yang merupakan pecahan dari Partai Komunis Jerman (KPD).

[16] Antonie Pannekoek (1873-1960) adalah seorang teoretikus utama dari tendensi Council Communism. Dia menentang keras Bolshevisme.

[17] Eduard Bernstein (1850-1932) adalah teoretikus sosial demokrasi Jerman yang terkemuka dan bapa reformisme. Dia menjadi musuh utama dari Marxisme dan mencoba merevisi ajaran Marxisme. Teori utamanya adalah bahwa sosialisme dapat terwujud tanpa revolusi, dan dapat dicapai secara bertahap.

[18] GPU adalah badan polisi rahasia Uni Soviet yang dibentuk pada tahun 1922 sampai 1934, dan akhirnya berubah nama menjadi KGB yang terkenal itu. Badan kepolisian rahasia ini adalah alat represi utama Stalin untuk membungkam oposisi politik terutama dari Oposisi Kirinya Trotsky.

[19] Yang dirujuk adalah Norman Thomas (1884-1968), seorang pendeta Presbyterian dan seorang politisi sosialis di Amerika Serikat. Dia bergabung dengan Partai Sosialis Amerika dan mencalonkan diri sebagai presiden AS enam kali. Walaupun dia seorang sosialis, dia sangat menentang Bolshevisme dan komunisme.

[20] Emile Vendervelde (1866-1938) adalah politisi Belgia dan ketua Partai Buruh Belgia dari 1928 hingga 1938. Dia menjabat sebagai ketua Internasionale Kedua dari 1900-1918.

[21]Louis de Brouckere (1870-1951) adalah seorang politisi sosialis Belgia. Dia menjabat berbagai posisi di dalam pemerintahan Belgia selama masa hidupnya, termasuk menjabat sebagai senator dari 1925-1932.

[22] Leon Blum (1872-1950) adalah seorang politisi Prancis dari Partai Sosialis. Pada saat kenaikan Hitler dan Nazi Jerman, dia membentuk Front Popular dengan partai-partai kiri dan sentris lainnya pada bulan Mei 1936. Buruh Prancis menyambut kemenangan Front Popular dengan pemogokan dan pendudukan pabrik-pabrik mereka karena mereka melihat bahwa revolusi sudah mulai bergulir, tetapi Leon Blum menyuruh para buruh untuk kembali bekerja karena ia tidak percaya bahwa buruh bisa menang; dan akhirnya gerakan buruh Prancis dipatahkan oleh para pemimpin reformis.

[23]Jean Zyromski (1890-1975) adalah seorang politisi sosialis dari Prancis. Dia bergabung dengan SFIO (Partai Sosialis Prancis) pada 1912. Pada 1945 dia keluar dari SFIO dan bergabung dengan Partai Komunis Prancis.

[24]Clement Attlee (1883-1967) adalah pemimpin Partai Buruh Inggris dari 1935 hingga 1955, dan dia menjabat sebagai Perdana Menteri dari 1945 hingga 1951.

[25]Partai Buruh Independen (ILP) adalah pecahan dari Partai Buruh Inggris pada 1932. Mereka memiliki politik yang radikal sosialis dan Trotsky menganjurkan para pengikutnya di Inggris untuk melakukan kerja di dalam ILP. Pada akhirnya ILP bubar dan para anggotanya bergabung kembali ke Partai Buruh Inggris.

[26]POUM, atau Partai Buruh Marxis Persatuan, adalah partai Marxis di Spanyol yang terlibat aktif dalam Revolusi Spanyol 1936 dan Perang Sipil yang menyusul. Partai ini dipimpin oleh Andreu Nin dan mengadopsi banyak gagasan-gagasan Trotsky. Akan tetapi Trotsky sendiri mengkritik keras POUM dan pemimpinnya yang mengambil garis sektarian. Pada 1937, pemerintahan republik Spanyol yang didominasi oleh Partai Komunis Spanyol menyerang POUM dan melarangnya, dengan tuduhan bahwa POUM adalah Trotskis dan fasis. Banyak anggotanya yang ditangkap, disiksa, dan dieksekusi. Andreu Nin sendiri disiksa sampai mati.