facebooklogocolour

Dalam salah satu film Charlie Chaplin yang paling terkenal Modern Times, kita mendapati satu gambaran kehidupan di jalur produksi sebuah pabrik besar di tahun 1930-an. Pekerjaan monoton yang dilakukan tanpa berpikir lagi, yang diulangi tanpa henti sungguh telah mengubah manusia menjadi alat pembantu mesin, “alat yang dapat berbicara”. Sekalipun ada berbagai pembicaraan muluk mengenai “partisipasi”, kondisi di kebanyakan pabrik tetap saja sama. Sungguh, tekanan atas buruh telah meningkat dengan pasti di tahun-tahun terakhir. Hal-hal kecil yang dapat membuat hidup ini lebih tertanggungkan telah dengan perlahan tapi pasti disingkirkan. Di Inggris, di mana kekuatan serikat-serikat buruh telah memenangkan berbagai hal di masa lalu, kini jam-makan telah pula disingkirkan. Kanselir Kohl memberi tahu kaum buruh Jerman bahwa mereka harus segera bekerja pada akhir minggu.

Teknologi yang baru bukannya memperbaiki taraf kehidupan kaum buruh dalam industri, ia malah digunakan untuk memperburuk kondisi dari para buruh kerah putih. Di kebanyakan bank, rumah sakit dan kantor-kantor besar, posisi para pekerja kini semakin mirip dengan apa yang terjadi di pabrik-pabrik. Rasa tidak aman yang sama, tekanan yang tanpa henti atas sistem syaraf, stress yang sama, yang membawa masalah-masalah kesehatan, depresi dan perceraian.

Bahkan bagi mereka yang cukup beruntung untuk memiliki pekerjaan, sembilan dari sepuluh kasus, kerja adalah satu rutinitas yang tak bermakna. Berjam-jam kerja tidaklah dilihat sebagai bagian dari kehidupan seseorang. Kerja tidak memiliki hubungan dengan hakikat kita sebagai manusia. Hasil dari kerja kita dimiliki orang lain, baginya Anda hanyalah sebuah “faktor produksi”. Hidup dimulai saat Anda keluar dari tempat kerja, dan berhenti ketika Anda memasukinya. Gejala ini dijelaskan dengan baik oleh Marx dalam bukunya Economic and Philosophic Manuscript of 1844:

“Dengan demikian, terdiri dari apakah keterasingan kaum buruh?

“Pertama, fakta bahwa kerja itu adalah di luar diri pekerja itu, yaitu, tidak termasuk dalam sifat intrinsiknya; bahwa dalam pekerjaannya, ia tidaklah mengafirmasi dirinya sendiri melainkan menyangkalnya, tidak menjadi puas melainkan tidak bahagia, tidak mengembangkan dengan bebas enerji mental dan fisiknya melainkan merusak tubuhnya dan mengganggu otaknya. Si pekerja itu, dengan demikian, hanya menjadi dirinya sendiri di luar pekerjaannya, dan di dalam pekerjaannya merasa bahwa ia bukan dirinya sendiri. Ia merasa nyaman ketika tidak bekerja, dan ketika ia bekerja ia tidak merasa nyaman. Kerjanya, dengan demikian, tidaklah dengan sukarela, tapi karena dipaksa; itulah kerja paksa. Ia hanyalah satu alat untuk memenuhi kepentingan yang diluar dirinya sendiri. Sifatnya yang asing itu muncul jelas dalam fakta bahwa segera setelah tidak ada lagi pemaksaan fisik atau lainnya, kerja disingkirkan seperti wabah.

“Kerja terasing, kerja di mana manusia mengasingkan dirinya sendiri, adalah kerja yang penuh pengorbanan diri, penuh mortifikasi. Yang terakhir, sifat pekerjaan yang terasing bagi pekerja muncul dalam fakta bahwa kerja itu bukanlah miliknya sendiri, tapi milik orang lain, bahwa kerja itu bukan merupakan bagian dari dirinya, atau ia menjadi bagian dari kerja itu, bukan baginya tapi bagi orang lain. Sebagaimana agama merupakan aktivitas spontan dari imajinasi manusia, dari otak dan hati manusia, bagaimana ia bekerja pada seorang individu namun tidak tergantung padanya - yaitu sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, baik ilahi maupun satanik - demikian pula aktivitas seorang pekerja bukanlah aktivitas spontannya. Ia adalah milik orang lain; kerja bermana kehilangan jatidiri pekerja itu sendiri.”

Maka, bagi sebagian terbesar orang, hidup hanya dijalani sebagai sebuah aktivitas yang memiliki sedikit saja makna bagi individu; pada keadaan terbaik, hidup dapat ditoleransi; pada keadaan terburuk, hidup adalah siksaan. Bahkan mereka yang mengerjakan pekerjaan seperti mengajar anak-anak atau mengurus orang sakit, telah mulai merasa bahwa kepuasan mereka mulai dirampas, sejalan dengan semakin merasuknya hukum-hukum pasar ke dalam sekolah dan bangsal-bangsal rumah sakit.

Perasaan bahwa masyarakat telah mencapai titik impas tidaklah terbatas pada “kelas-kelas bawah”. Di tengah kelas penguasa juga terdapat perasaan yang semakin menebal akan adanya wabah dan pesismisme tentang masa depan. Omong-kosong besar yang dikumandangkan terus-menerus tentang apa yang disebut keajaiban “perekonomian pasar bebas” semakin hari menjadi semakin kosong maknanya, sejalan dengan orang semakin menyadari situasi sebenarnya - jutaan pengangguran, serangan terhadap standard hidup, kekayaan luar biasa yang dibuat melalui spekulasi, kerakusan dan korupsi.

Sangatlah ironis bahwa para pembela tatanan yang ada saat ini menuduh Marxisme sebagai “materialistis”, ketika kaum borjuis itu sendiri mempraktekkan jenis materialisme yang paling vulgar dan mengerikan, makna dalam kamusnya, bukan makna filsafatnya. Pengejaran kekayaan, diangkatnya kerakusan sebagai prinsip yang dominan, itulah pusat dari kebudayaan kita sekarang. Inilah agama mereka yang sebenarnya. Di masa lalu, mereka bersusah-payah untuk menutupi ini sejauh mungkin, bersembunyi di balik segala moral munafik tentang kewajiban, patriotisme, kerja yang jujur, dan segala kepalsuan yang lain. Kini mereka melakukannya secara terbuka. Di setiap negeri kita melihat wabah korupsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, penggelapan, kebohongan, penipuan, pencurian - bukan pencurian oleh kriminal kelas teri, tapi penjarahan dalam skala masif, yang dikerjakan oleh para pebisnis, politisi, para kepala polisi dan militer dan para hakim. Dan mengapa tidak? Bukankah sudah kewajiban kita untuk menjadi kaya?

Buaian monetarisme mengangkat egotisme dan kerakusan menjadi sebuah prinsip. Ambil sebanyak yang Anda dapat, dengan cara apapun yang Anda sanggup, dan biarkan setan mengambil yang ketinggalan! Inilah hakikat inti dari kapitalisme. Itulah hukum rimba, yang diterjemahkan ke dalam bahasa mantra-mantra ekonomi. Setidaknya, ia dianugerahi dengan kebersahajaan. Ia mengatakan terus-terang seperti apa sistem ekonomi kapitalis itu sebenarnya.

Tapi, betapa kosongnya filsafat ini! Betapa menyedihkannya pandangan tentang kehidupan manusia ini! Sekalipun mereka tidak mengetahuinya, para penguasa planet ini sebenarnya hanya budak juga, budak bisu-tuli dari kekuatan yang tidak dapat mereka kendalikan. Mereka tidak memiliki kendali sejati atas sistem ini, sebagaimana semut tidak dapat mengendalikan bukit rumah mereka. Pointnya adalah mereka cukup puas dengan keadaan ini, yang memberi mereka posisi, kekuasaan dan kekayaan. Dan mereka dengan garang melawan semua usaha untuk menjalankan perubahan yang radikal di masyarakat.

Jika ada sebuah benang merah dalam sejarah, benang merah itu adalah upaya manusia, laki-laki dan perempuan, untuk meraih kendali atas hidup mereka, untuk menjadi bebas, dalam makna yang paling sejati dari kata itu. Segala kemajuan ilmu dan teknologi, semua yang telah dipelajari umat manusia tentang alam dan dirinya sendiri, berarti bahwa kini ada potensi untuk mengembil kendali penuh atas kondisi yang kita diami. Namun, dalam dasawarsa terakhir dari abad ke-20, dunia ini kelihatannya malah berada dalam cengkeraman satu kegilaan yang aneh. Manusia semakin merasa kehilangan kendali atas takdirnya, kurang dari apa yang dirasanya di masa lalu. Perekonomian, lingkungan hidup, udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita makan - semua berada di bawah ancaman. Hilang sudah makna rasa aman. Hilang sudah sejarah yang merupakan satu derap maju tanpa henti menuju sesuatu yang lebih baik dari hari ini.

Di bawah keadaan ini, berbagai seksi dalam masyarakat mencari jalan keluar melalui obat-obatan dan alkohol. Ketika masyarakat ini tidak lagi rasional, manusia, laki-laki dan perempuan, lari kepada hal-hal yang tidak rasional untuk mendapatkan penghiburan. Agama, seperti yang dikatakan Marx, adalah candu, dan jika dituruti sampai titik ekstrimnya dampaknya tidaklah lebih berbahaya daripada lain-lain obat-obatan. Kita telah melihat bagaimana ide-ide religius dan mistik telah merasuk, bahkan ke dalam dunia ilmiah. Inilah satu cerminan dari watak jaman yang kini sedang kita lewati. [ ]

Disadur dari buku Reason in Revolt.