Sejarah dibuat oleh manusia. Dia adalah aktor di dalam drama yang telah berlangsung tanpa henti selama ratusan ribu tahun, semenjak ia beranjak berdiri keluar dari hutan belantara Afrika ke ladang savana yang luas, dan lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan berdiri tegak, tangannya terbebaskan untuk melakukan kerja yang tak mampu dilakukan sepupu keranya. Dengan kedua tangannya ini, dibangunlah peradaban-peradaban megah dan bangunan-bangunan raksasa: dari Piramida Mesir, Tembok Raksasa China, sampai Borobudur Indonesia.

Manusia bukanlah makhluk-makhluk yang pasrah tak berdaya di hadapan apa yang kerap disebut “suratan takdir”. Namun ia juga tidak bisa sekehendak hatinya mengubah sejarah. Marx mengatakan:

“Manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sekehendak hati mereka; mereka tidak membuatnya di bawah situasi-situasi yang dipilih oleh mereka sendiri, tetapi di bawah situasi-situasi yang sudah ada, yang ditentukan dan ditransmisikan dari masa lalu.”

Jadi manusia hanya bisa mengubah sejarah dalam batasan-batasan yang ada pada saat itu. Bila pada tahun 1845, seratus tahun sebelum proklamasi 1945, ada seorang Soekarno, maka dia pun tidak akan bisa memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1845. Seluruh peristiwa dari 1845 hingga 1945, yakni dari munculnya pemikir besar Marx dan Engels, Revolusi Rusia 1917, lahirnya PKI dan kegagalan pemberontakan 1926, lalu sampai Perang Dunia I dan II, semua ini harus terjadi terlebih dahulu untuk menyiapkan segala kondisi yang memungkinkan seorang yang bernama Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 untuk memproklamirkan kemerdekaan kita.

Sejarah yang digambarkan oleh kelas penguasa sampai hari ini selalu adalah sejarah orang-orang besar. Di dalam pikiran mereka, sejarah digerakkan oleh segelintir orang saja: pemikir-pemikir ulung, pemimpin-pemimpin besar, orator-orator karismatik. Sejarah adalah ciptaan dari gagasan-gagasan yang ada di pikiran orang-orang besar ini. Mereka mendapatkan ilham yang begitu hebatnya sehingga menggerakkan sejarah. Napoleon Bonaparte menjadi kaisar Prancis yang menguasai hampir seluruh Eropa karena kejeniusan perangnya. Perang Dunia II terjadi karena sosok Hilter dengan pemikiran-pemikiran fasisnya, yang tertuang di buku Mein Kampf. Revolusi Oktober di Rusia adalah karena Lenin seorang dengan kemampuannya memahami Marxisme. Di dalam sejarahnya kaum penguasa, rakyat jelata tidak memainkan peran sama sekali. Mereka bukan faktor. Mereka hanyalah domba-domba yang mengikuti pemimpin mereka. Dan kalaupun mereka memainkan peran, hanya sebagai sekumpulan orang liar yang melakukan kerusuhan.

Materialisme Historis menjungkirbalikkan sejarah kaum penguasa, bahwa rakyat jelatalah aktor utama di dalam perubahan sejarah. Kalaupun ada figur-figur pemimpin, ia tidak lain adalah pengejawantahan dari kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Materialisme Historis tidak menyangkal peran individu di dalam sejarah, tetapi meletakkannya dalam konteks kondisi masyarakat yang ada saat itu, dalam hubungannya yang dialektis.

Bila manusia membuat sejarah mereka sendiri, maka pada analisa terakhir ia melakukannya dengan satu-satunya cara ia berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, yakni dengan kerjanya (labour). Dalam karyanya, Peranan yang Dimainkan oleh Kerja dalam Peralihan dari Kera ke Manusia, Engels menulis bahwa “kerja itu sendiri yang menciptakan manusia”.

Lewat proses evolusi yang berlangsung jutaan tahun, manusia akhirnya memisahkan dirinya dari binatang. Inilah perubahan dari kuantitas menjadi kualitas, di mana evolusi selama jutaan tahun (perubahan kuantitas) akhirnya berubah menjadi perubahan kualitas, yakni dalam tubuh manusia, seorang binatang yang sadar dan dapat melakukan kerja. Manusia memisahkan dirinya dari binatang lainnya dengan kemampuannya melakukan kerja dengan sadar. Dengan kedua tangannya yang bebas karena berdiri tegak dan otot-otot jari yang luwes yang dapat melakukan berbagai macam operasi yang rumit, manusia dapat mengubah alam di sekitarnya. Ia dapat membuat api, kapak batu, dan berbagai perkakas dari logam, yang digunakannya untuk mengendalikan alam demi kelestarian dirinya. Manusia memulai sejarahnya sebagai sebuah spesies dengan kerjanya atau modus produksinya. Oleh karenanya, sejarah manusia ditentukan oleh kerja, oleh modus produksi manusia itu sendiri. Inilah konsepsi utama dari Materialisme Historis, yang ditulis oleh Engels seperti berikut ini:

“Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti Dühring)

Keluar dari hutan dan menuju padang rumput luas, manusia memulai sejarahnya, dari komunisme primitif sampai kapitalisme hari ini.

Komunisme Primitif

Manusia yang pertama muncul sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika. Ia muncul setelah melewati proses evolusi yang kompleks selama 2 juta tahun. Puluhan dan mungkin ratusan spesies kera-yang-berdiri muncul dan punah selama periode evolusi tersebut hingga tertinggal satu spesies pada akhirnya, yakni homo sapiens atau manusia moderen hari ini.

Proses evolusi dari kera yang bergelayutan di pohon-pohon menjadi kera yang berdiri tegak dan berjalan dengan dua kakinya dimulai dengan perubahan iklim dan lingkungan di Afrika. Awalnya Afrika penuh dengan hutan belantara. Namun perubahan iklim yang bertambah panas mengubah hutan-hutan tersebut menjadi padang rumput savanna yang luas. Semakin sedikit pohon-pohon untuk bergelayutan, yang merupakan modus transportasi kera yang utama. Padang rumput yang luas juga mengharuskan binatang-binatang berjalan jauh untuk mendapatkan makanan. Binatang-binatang berkaki empat di Afrika seperti zebra, jerapah, dan gajah mampu berjalan jauh, tetapi tidak demikian dengan kera. Tekanan evolusi inilah yang lalu mendorong kera-kera hutan untuk berdiri tegak dan berjalan dengan dua kaki. Ini jauh lebih efisien dibandingkan dengan kera yang berjalan dengan kaki dan tangan terkepal, sehingga memungkinkannya berjalan jauh. Proses ini tidak terjadi dalam semalam, tetapi dalam jutaan tahun. Inilah awal dari evolusi menuju manusia moderen. Dengan berdiri tegak, tangannya terbebaskan untuk mulai melakukan kerja. Kera berdiri ini mulai bisa membuat perkakas-perkakas sederhana. Bersama dengan kerja, berkembang jugalah otak secara dialektis. Perubahan kuantitas di dalam perkembangan otak – yakni kemampuan berpikir – akhirnya melahirkan perubahan kualitas: munculnya kesadaran yang membuat manusia berbeda dengan binatang lainnya.

 

Awalnya manusia primitif ini hidup secara nomadik, yakni berpindah-pindah. Mereka belum tahu cocok-tanam, sehingga terus bergerak mencari sumber makanan. Berburu dan mengumpulkan makanan dari tumbuh-tumbuhan sekitarnya (berburu-meramu) adalah modus produksi mereka yang utama. Seluruh keberadaan mereka, dari pagi hingga malam, disibukkan dengan mencari makanan. Tidak ada waktu untuk berpikir dan menciptakan penemuan-penemuan. Pada masa ini, tidak ada kepemilikan pribadi karena memang tidak ada basis material untuk kepemilikan pribadi. Berburu-meramu sebagai modus produksi tidak memungkinkan adanya kepemilikan pribadi. Binatang-binatang liar yang diburu tidak mungkin dijadikan milik pribadi. Tidak ada tanah yang bisa dimiliki karena mereka terus berpindah-pindah. Alam dalam segala bentuknya adalah milik bersama. Di dalam kepercayaan-kepercayaan suku-suku primitif – yang bahkan masih ada sisa-sisanya sampai hari ini –  binatang, tumbuhan, tanah, air, dan segala yang ada di alam adalah milik bersama. Periode ini disebut sebagai periode komunisme primitif.

Di dalam komunisme primitif, karena semua adalah milik bersama, maka juga tidak ada perbedaan kelas antara yang berpunya dan tidak berpunya, terutama dalam hal kepemilikan alat produksi. Tidak ada kelas-kelas, dan oleh karenanya tidak ada penindasan oleh satu kelas terhadap kelas yang lain.

Di dalam komunisme primitif, tidak ada yang namanya Negara. Tidak ada polisi, tentara, hakim, dan alat-alat pemaksa seperti yang kita kenal hari ini. Ini karena tidak ada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang harus dijaga. Kita tahu bahwa pada dasarnya Negara dan aparatus-aparatusnya (polisi, tentara, hakim) sebenarnya adalah penjaga kekeramatan kepemilikan kelas penguasa atas kekuatan ekonomi dan politik mereka. Ketika buruh mogok dan lantas mengancam kepemilikan sang kapitalis (yakni mengancam profit mereka), maka polisi, hakim, tentara pun digunakan untuk menghentikan pemogokan ini. Ketika gerakan buruh menuntut nasionalisasi dan ingin berkuasa, semua alat penindas dikerahkan oleh rejim penguasa. Jadi, di sebuah masyarakat di mana semua adalah milik bersama tidak diperlukan Negara dan alat-alat pemaksa tersebut.

Tidak ada perbedaan sosial antara tiap-tiap anggota di dalam masyarakat komunisme primitif. Pencarian makanan yang sangat sulit mengharuskan mereka semua untuk bekerja sama. Yang berburu tidak bisa setiap hari mendapatkan buruan, dan oleh karenanya para peramu (pengumpul makanan) juga memainkan peran yang penting. Perkakas-perkakas – termasuk senjata – juga tidak bisa jadi milik pribadi. Bayangkan kalau seorang kehilangan perkakasnya atau rusak perkakasnya. Sangat sulit sekali membuat perkakas tersebut, sehingga kalau ini adalah milik pribadi maka akan matilah dia tanpa perkakasnya. Jadi perkakas-perkakas adalah milik bersama demi menjaga keberlangsungan hidup tiap-tiap anggota.

Di dalam periode komunisme primitif ini, juga ada demokrasi yang seluas-luasnya. Semua permasalahan di dalam kelompok diselesaikan secara demokratis, di mana tiap-tiap anggota punya kedudukan yang sama. Keputusan diambil di dalam pertemuan umum. Semua adalah pengambil keputusan dan semua adalah pelaksana keputusan. Begitu sederhananya. Sisa-sisa bentuk pemerintahan ini masih dapat kita temui di beberapa kebudayaan di Indonesia dan juga di luar Indonesia.

Tidak seperti yang dipropagandakan oleh kelas penguasa, masyarakat kelas itu bukan sesuatu yang sudah ada selama-lamanya. Ia bukan sesuatu yang alami di dalam karakter manusia. Sebagian terbesar keberadaan manusia adalah dalam periode masyarakat tanpa kelas. Para propagandis kaum kapitalis ingin kita menerima  masyarakat kelas sebagai sesuatu yang alami supaya kita juga menerima penindasan kelas sebagai sesuatu yang alami. Tetapi sejarah manusia berkata lain.

 

Dari Komunisme Primitif ke Masyarakat Kelas

 

Apa yang menyebabkan pergeseran dari masyarakat komunisme primitif ke masyarakat kelas? Apakah karena tiba-tiba ada segelintir orang yang serakah dan jahat, yang ingin menjadi penguasa? Tidak. Pergeseran ini terjadi karena perubahan modus produksi. Antara 10 ribu dan 12 ribu tahun yang lalu, manusia membuat loncatan dalam hal produksi makanan: dari berburu meramu menjadi bercocok tanam dan berternak. Ini memungkinkan mereka untuk menetap di satu tempat dan tidak lagi nomaden. Periode yang lebih tinggi ini dikenal sebagai Zaman Batu Baru. Mereka bisa membangun tempat menetap yang kurang lebih permanen, yang memberikan dorongan lebih besar terhadap teknologi pembuatan perkakas. Populasipun semakin membesar.

Dengan lahirnya pertanian dan perternakan, maka manusia untuk pertama kalinya dapat menghasilkan makanan berlebih atau surplus. Ini berbeda dengan masa berburu-meramu di mana hampir tidak mungkin menghasilkan surplus. Manusia menghabiskan semua waktunya untuk mencari makan, dan sedikit untuk berpikir dan mengembangkan pengetahuan. Dengan surplus dari pertanian dan perternakan, maka mulai terbebaskanlah sejumlah orang untuk melakukan kerja berpikir dan mengembangkan pengetahuan. Kebudayaan tumbuh subur dengan lahirnya pertanian dan perternakan. Kemajuan teknologi mengalami lompatan revolusioner, yang pada gilirannya membuat pertanian-perternakan lebih efisien.

Dari kemampuan memproduksi surplus makanan ini, dan peningkatan kesejahteraan secara umum, tertuailah bibit-bibit masyarakat kelas. Ini dimulai dengan lahirnya kepemilikan pribadi. Pada awal Zaman Batu Muda ini, kepemilikan kolektif masih mendominasi. Pertanian dan peternakan masih dikerjakan secara kolektif dan dimiliki bersama. Belum ada mukiman-mukiman terpisah. Semua tinggal di satu atap besar, layaknya dulu kala ketika jaman berburu-meramu. Namun, perlahan-lahan kemampuan memproduksi surplus makanan memungkinkan tiap-tiap klan di dalam suku untuk mulai memisahkan diri dari kepemilikan kolektif. Mereka tidak perlu lagi bekerja sama seperti dahulu untuk menjaga keberlangsungan hidup. Tanah dan ternak – dan juga perkakas-perkakas kerja – mulai dijadikan milik pribadi, yakni milik klan dan bukan lagi milik suku bersama. Ada tanah yang lebih subur, ada ternak yang lebih produktif. Ini lalu menciptakan perbedaan ekonomi di antara klan-klan yang berbeda, yang lantas perlahan-lahan mengkristal menjadi perbedaan kelas, antara yang memiliki alat produksi dan yang tidak memiliki.

Masyarakat Budak

Dahulu, ketika peperangan pecah antara dua suku, tidaklah ekonomis untuk mengambil tawanan perang sebagai budak. Modus produksi yang berdasarkan berburu-meramu tidak memungkinkan sang budak menghasilkan surplus. Sang budak hanya bisa menghasilkan makanan cukup untuk dirinya sendiri. Satu-satunya fungsi tawanan perang adalah sebagai sumber daging. Inilah basis material dari kanibalisme.

Namun dengan adanya pertanian-peternakan yang bisa menghasilkan surplus makanan, maka tenaga budak menjadi sesuatu yang diincar-incar. Para budak bisa dipaksa bekerja untuk menghasilkan surplus untuk tuannya. Tetapi bagaimana caranya mengendalikan para budak? Masyarakat komunisme primitif yang lama tidak punya alat-alat pemaksa. Tiap-tiap orang bebas dan juga adalah prajurit yang memegang senjatanya sendiri. Bentuk masyarakat yang lama berbenturan dengan mode produksi yang baru, dan yang pertama harus berubah. Lahirlah Negara dengan alat-alat pemaksanya untuk melindungi kepentingan pemilik alat produksi. Dalam hal ini pemilik alat produksinya adalah pemilik budak.

Alat-alat kekerasan harus dimonopoli oleh Negara. Dibentuklah polisi dan tentara sebagai kesatuan bersenjata yang terpisah dari masyarakat. Hanya mereka yang boleh menyandang senjata. Hukum – yang berpihak pada pemilik kekuasaan ekonomi – harus ditulis dan diimposisikan. Pengadilan dengan hakim-hakimnya dibentuk sebagai sebuah institusi hukum yang terpisah dari rakyat, yang tujuan utamanya adalah melindungi hak milik para pemilik budak dengan berbagai perangkat hukum. Selain alat kekerasan, diperlukan juga para pendeta, filsuf, dan orang-orang pintar yang tugasnya adalah memberikan pembenaran moral terhadap kekuasaan.

Perbudakan membebaskan banyak anggota masyarakat dari kerja sehari-hari mencari makan. Bebas dari beban mencari makan, mereka lantas punya waktu bebas untuk berpikir dan mengembangkan teknologi, ilmu pengetahuan dan filsafat. Masyarakat perbudakan mencapai puncaknya di Yunani Kuno dan Kerajaan Romawi, dari sekitar 800 SM sampai tahun 500 M. Di periode inilah filsuf-filsuf terutama dalam sejarah manusia muncul: Socrates, Aristoteles, dan Plato. Kesenian dan kebudayaan tumbuh subur di periode ini. Bahkan dari reruntuhan bangunan-bangunan yang tertinggal hari ini kita masih bisa saksikan keindahan dan kemegahan kebudayaan mereka.

Namun semua yang lahir haruslah mati. Masyarakat perbudakan menemui kontradiksi dan jalan buntu. Kekaisaran Romawi semakin membesar dan semakin membutuhkan banyak budak. Satu sumber utama untuk mendapatkan budak adalah menaklukkan daerah lain. Di dalam peperangan melawan Makedonia pada tahun 169 SM, 70 kota di Epirus ditaklukkan dan 150 ribu penduduknya dijual sebagai budak. Ekonomi perbudakan sangatlah boros. Stok budak harus terus disuplai untuk menggantikan mereka yang terluka atau mati akibat kondisi kerja yang mengenaskan. Reproduksi mereka juga rendah karena standar hidup mereka yang sangat rendah. Maka dari itu, satu-satunya cara untuk terus menyediakan stok budak adalah perang dan penaklukan daerah lain.

Karena semakin banyak perang yang harus dilakukan untuk mendapatkan budak, maka dibutuhkan semakin banyak tentara. Karena tidak ada lagi cukup tentara, Kekaisaran Romawi harus menggunakan jasa tentara bayaran yang mahal harganya. Berakhirlan era budak yang murah, yang menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi. Sistem ekonomi perbudakan menjadi begitu mahalnya dan tidak mampu lagi mendorong perkembangan kemanusiaan (alat produksi, kebudayaan, iptek). Ia justru sekarang menjadi beban bagi kemajuan peradaban manusia. Sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak dapat lagi memajukan peradaban manusia haruslah hilang dan digantikan dengan yang sistem ekonomi yang lebih tinggi.

Akan tetapi, kendati banyaknya pemberontakan budak – yang paling terkenal adalah yang dipimpin oleh Spartacus – kaum budak ternyata bukanlah kelas revolusioner yang dapat merebut kekuasaan dan menggantikan sistem perekonomian budak. Seperti yang dikatakan oleh Marx, bahwa perjuangan kelas akan membawa dua hasil: kemenangan sebuah kelas dan lalu transformasi revolusioner masyarakat, atau kehancuran bersama semua kelas bila tidak ada kelas yang mampu menang. Yang terjadi di Kerajaan Romawi adalah yang belakangan ini. Kelas pemilik budak sudah bangkrut dan impoten. Sementara para budak juga bukan kelas revolusioner.

Sejarah Eropa lalu memasuki apa yang disebut “Zaman Kegelapan” dari abad ke-6 hingga abad ke-13 M. Di Zaman Kegelapan ini, masyarakat Eropa mengalami kemunduran besar-besaran.

Kebangkitan Feodalisme dan Monarki Absolut

Dari kehancuran masyarakat perbudakan, setelah memasuki Zaman Kegelapan selama ratusan tahun, sebuah sistem ekonomi yang baru perlahan-lahan lahir: feodalisme. Setelah runtuhnya Kerajaan Romawi, orang-orang Eropa hidup di desa-desa dengan pertanian yang primitif. Tiap-tiap desa punya pemimpin dan posisi ini diwariskan dari ayah ke anak. Desa-desa ini terus berperang dengan tetangga-tetangganya. Dengan menaklukkan desa lain, para pemimpin desa menjadi semakin kaya dan berkuasa. Dalam waktu ratusan tahun, pemimpin desa dan keluarganya menjadi keluarga bangsawan dan baron. Sebuah struktur kelas yang baru lahir, di satu sisi adalah kelas bangsawan pemilik tanah dan di sisi lain adalah petani (serf).

Kepemilikan tanah adalah sumber kekuatan ekonomi dan politik para bangsawan. Hampir semua kebutuhan hidup dihasilkan dari tanah pertanian. Semakin banyak tanah yang dimiliki oleh seorang bangsawan, semakin berkuasa dianya. Kelas penguasa berkuasa melalui monopoli kepemilikan tanahnya, di mana para petani terikat. Tidak seperti budak, para petani punya hak milik. Walaupun tanah yang dikelolanya bukan miliknya, tetapi ia dapat memiliki hasil dari tanah tersebut. Dia juga tidak dapat dijual layaknya seorang budak. Sebagai gantinya, para petani harus bekerja secara gratis untuk tuan tanahnya pada hari-hari tertentu. Dia juga harus siap menjadi tentara bila dipanggil. Sebagian dari hasil tani mereka harus dipersembahkan kepada tuan tanahnya. Para petani ini juga tidak boleh meninggalkan tanah mereka. Dia harus mendapatkan ijin tuan tanahnya bila ingin menikah dengan orang luar.

Sistem ekonomi feodalisme ini bersandar pada kepemilikan tanah. Ia memberikan dorongan terhadap perkembangan kekuatan-kekuatan produksi. Kali ini surplus dihasilkan dari kerja para petani yang disita oleh kaum bangsawan lewat hubungan feodal mereka.

Dengan semakin terkonsolidasikannya feodalisme dan kelas-kelas yang ada di dalamnya, diperlukan juga Negara beserta aparatus-aparatusnya untuk mempertahankan bentuk kepemilikan feodal ini. Moralitas dan ideologi yang baru dibentuk untuk menguatkan hubungan-hubungan sosial feodal. Gereja Katolik menjadi pondasi spiritual terutama dari masyarakat feodal ini, dan bahkan Paus pun menjadi lebih kuat daripada para Raja dan bangsawan. Gereja memiliki sepertiga sampai setengah tanah yang ada. Gereja juga menjadi kaya dengan pajak 10 persen yang mereka kumpulkan, dengan menggunakan Kitab Suci sebagai pembenaran atas pajak ini. Untuk melindungi kekayaan Gereja Katolik, maka para pastor tidak boleh menikah supaya kekayaan mereka tetap ada di dalam institusi gereja dan tidak diwariskan ke anak-anak pastor. Inilah basis material dari tradisi selibat Katolik.

Secara umum, feodalisme masih belum menjadi kekuatan yang tersentralisir sampai bangkitnya Monarki Absolut pada abad ke-16. Peperangan antar bangsawan terus menggoncang kestabilan Eropa. Usaha monarki pusat untuk menundukkan daerah-daerah dan bangsawan-bangsawan lokal adalah karakter utama dari periode ini. Setelah berhasil mengalahkan para bangsawan lokal dan menghentikan peperangan, perdaganganpun meningkat ke tingkatan yang lebih tinggi. Ini menciptakan kondisi yang semakin menguatkan kelas pedagang (kapitalis) yang baru. Kelas pedagang inilah yang nantinya akan menumbangkan feodalisme dan melahirkan kapitalisme.

Dulu tidak ada negara-bangsa yang kita ketahui seperti hari ini. Kesetiaan orang pada saat itu bukanlah pada bangsa, tetapi kepada bangsawan, kota, atau daerah. Tidak ada yang namanya bangsa Prancis, Inggris, dll.

Dengan tumbuhnya perdagangan di kota-kota, kelas kapitalis mulai tumbuh yang menuntut kondisi-kondisi yang cocok untuk mereka. Mereka menginginkan kestabilan dan keamanan. Perperangan terus-menerus antara bangsawan-bangsawan lokal harus dihentikan. Sebuah otoritas sentral, yakni sebuah negara-bangsa, dibutuhkan.

Konflik antara monarki pusat dan para bangsawan lokal – dua sayap dari kelas penguasa feodal – akhirnya dimenangkan oleh para Raja Monarki. Dia mendapatkan dukungan dari para pedagang yang memberinya pinjaman uang besar untuk membiayai perangnya. Munculnya negara-bangsa bersama dengan Monarki Absolut memberikan dorongan besar untuk perdagangan. Para pedagang dan finansier sekarang menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan yang sesungguhnya. Kerajaan-kerajaan dan para bangsawan semua berhutang pada pedagang-pedagang kaya. Di dalam masyarakat feodal, lahir sebuah kelas yang akan menumbangkannya.

Revolusi Kapitalis

Revolusi Kapitalis adalah satu peristiwa revolusioner yang membebaskan umat manusia dari beban feodalisme yang mengikat mereka. Feodalisme sudah tidak lagi produktif. Ia sudah bangkrut dan tidak bisa lagi memajukan peradaban manusia. Sementara kelas kapitalis yang baru adalah sebuah kelas yang revolusioner. Modus produksi yang berdasarkan kepemilikan tanah sudah tidak bisa lagi bersaing dengan perdagangan dan manufaktur (pabrik-pabrik). Ia harus disingkirkan. Tetapi sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa tidak pernah menyerahkan kekuasaannya begitu saja. Ia harus didorong paksa ke liang kuburnya, dan walaupun sudah masuk liang kubur ia akan terus berjuang untuk keluar darinya dengan mati-matinya.

Kapitalisme membutuhkan kondisi persaingan bebas. Feodalisme yang tidak demokratis menjadi penghalang bagi kaum kapitalis. Oleh karenanya kaum borjuis nasional, dengan memimpin seluruh lapisan masyarakat, memberontak untuk membangun sebuah republik yang demokratis. Ini pada dasarnya bukan karena sentimen kebebasan dan keadilan kaum borjuis. Ini hanya karena dibutuhkan demokrasi untuk persaingan bebas kapitalisme, yakni sebuah demokrasi yang sempit hanya untuk kaum borjuis. Namun rakyat luas yang dipimpin oleh kaum borjuis – kaum tani, pedagang kecil, artisan, dll. – percaya akan nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh kaum borjuis dan mereka memberikan dukungan besar kepadanya.

Selain itu, dalam melaksanakan revolusi kapitalis (atau revolusi borjuis demokratik), kaum borjuis juga melaksanakan reforma agraria. Tanah para bangsawan dibagi-bagikan kepada para petani. Ini mengamankan dukungan kaum tani untuk revolusi kapitalis. Akan tetapi reforma agraria ini dilakukan oleh kaum kapitalis bukan karena hati mereka tersentuh oleh kesengsaraan para petani yang ditindas oleh kaum tuan tanah bangsawan. Ini dilakukan untuk alasan politik dan ekonomi kaum borjuis. Alasan politik: karena tanah adalah sumber kekuasaan politik dan ekonomi kaum feodal, maka menyita tanah mereka dan membagi-bagikannya ke tani adalah cara tercepat untuk menghancurkan mereka. Alasan ekonomi: reforma agraria membebaskan jutaan kaum tani dari ikatan feodal terhadap tanah dan tuan tanahnya. Dengan reforma agraria sekarang kaum tani bebas meninggalkan desa-desa dan membanjiri kota sebagai suplai buruh upahan yang dibutuhkan kaum kapitalis.

Revolusi borjuis demokratik bukanlah sebuah drama satu babak yang selesai dalam setahun dua tahun saja. Ia adalah sebuah proses yang dipenuhi dengan revolusi dan konter-revolusi. Di dalam sejarah, revolusi selalu diikuti oleh konter-revolusi. Konter-revolusi melempar ke belakang masyarakat, tetapi tidak pernah lebih jauh daripada titik mula revolusi. Dua langkah ke depan, satu langkah ke belakang.

Misalnya seperti Revolusi di Inggris, di mana setelah melahirkan republik demokratis yang pertama kaum borjuis Inggris segera membuat kompromi dengan elemen-elemen borjuis aristrokat. Monarki Inggris diselamatkan, tetapi ia tidak lebih dari simbol dan peran politik dan ekonominya didominasi oleh kaum borjuis. Lain halnya dengan Revolusi Prancis yang megah (1789) yang dilaksanakan tanpa kompromi sama sekali terhadap Monarki Prancis. Namun bahkan Revolusi Prancis pun mengalami kemunduran, dengan konter-revolusi oleh Napoleon Bonaparte yang menobatkan dirinya sebagai Kaisar. Kendati demikian, Revolusi Prancis telah menegakkan rejim kapitalis dengan kokoh dan kaum feodal dan monarki tersapu bersih tanpa bisa bangkit kembali.

Revolusi Kapitalis menciptakan sebuah orde baru, dimana sekarang ada dua kelas yang dominan: kapitalis dan buruh. Kapitalis memiliki alat-alat produksi (pabrik-pabrik), sementara buruh hanya punya tenaganya untuk dijual. Modus produksi kapitalis adalah mode produksi manufaktur, dengan buruh sebagai penggerak mesin.

Kapitalis terus merevolusionerkan teknologi produksi dengan bersaing satu sama lain. Siapa yang bisa memproduksi dengan waktu yang lebih cepat dan biaya yang lebih murah, dialah yang akan menang. Ini mensyaratkan mesin dan teknologi yang lebih canggih. Pencarian laba terus mendorong kapitalis untuk menciptakan teknologi-teknologi baru. Dengan cara ini, kapitalisme secara historis memainkan peran yang progresif dengan terus mengembangkan teknologi.

Kontradiksi Kapitalisme

Namun apa yang awalnya adalah kekuatan progresif sekarang telah menjadi penghambat dari kemajuan peradaban manusia. Bahkan kapitalisme hari ini berpotensi menghancurkan seluruh umat manusia. Kita hanya perlu ingat Perang Dunia Pertama dan Kedua – yang merupakan perang Kapitalis – yang hampir menghancurkan seluruh dunia.

Kapitalisme berawal dengan persaingan bebas antara perusahaan-perusahaan. Mereka terus saling menaklukkan. Perusahaan-perusahaan yang gagal dimangsa yang besar, sampai akhirnya hanya tersisa segelintir perusahaan korporasi besar. Inilah era kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme monopoli. Sudah tidak ada lagi persaingan bebas seperti periode awal kapitalisme. Kekuatan-kekuatan monopoli ini mengontrol harga dan distribusi, mempermainkan pasar dan konsumen demi laba besar mereka. Sementara bank-bank dan institusi-institusi finansial sekarang telah menjadi kekuatan kapitalis yang dominan, dan mereka tidak tertarik dengan pengembangan industri manufaktur. Mereka hanya tertarik dengan spekulasi saham, kredit, dan mata uang untuk meraup laba. Inilah kapitalisme hari ini, yang bersifat monopolistik dan spekulatif. Sebuah kapitalisme yang sudah tidak lagi progresif.

Kontradisi terutama dari kapitalisme adalah over-produksi. Dalam proses produksinya, buruh memproduksi lebih banyak nilai daripada yang diterimanya dalam upah. Nilai surplus ini diambil oleh kapitalis. Oleh karenanya buruh tidak pernah punya daya beli yang mencukupi untuk membeli semua produk yang mereka buat. Akhirnya terlalu banyak mobil yang diproduksi, yang duduk di pelataran parkir showroom-showroom, sementara buruh pabrik mobil yang membuatnya harus puas naik bis. Terlalu banyak rumah yang dibangun, yang kosong melompong di tangan bank-bank sementara rakyat harus puas tinggal di perumahan kumuh.

Krisis finansial 2008 baru-baru ini, yang disebut-sebut sebagai krisis kredit perumahan, pada dasarnya adalah krisis over-produksi perumahan. Kapitalis memproduksi begitu banyak rumah tetapi tidak ada yang bisa membelinya. Untuk menunda krisis ini, mereka memberikan kredit kepada rakyat pekerja supaya mereka bisa membelinya. Namun pada akhirnya kredit harus dibayar dengan bunga, dan ini justru memperparah krisis di hari depan. Dan terbukti, rakyat pekerja tidak mampu membayar kredit perumahan yang diberikan kepadanya, dan meletuslah balon perumahan ini. Jadi mekanisme yang digunakan oleh kapitalis untuk menunda krisis over produksi justru memperparah krisis di hari depan. Inilah kebuntuan kapitalisme.

Setiap kali ada krisis over-produksi, yang menjadi korban adalah buruh. Karena terlalu banyak barang yang diproduksi dan tidak bisa dijual, maka cara kaum kapitalis untuk menanggulangi krisis ini – kalau sudah tidak bisa memberikan kredit lagi – adalah dengan menutup pabrik-pabrik dan melempar jutaan buruh ke jurang pengangguran. Kapitalis dengan modalnya yang besar bisa menutup pabrik satu tahun dan tidak akan kelaparan. Tetapi lain halnya dengan buruh. Cara kapitalis untuk melewati krisis ini adalah dengan menghancurkan alat-alat produksi (menutup pabrik). Sungguh kapitalisme ini adalah sebuah sistem yang tidak rasional.

Sosialisme sebagai Keniscayaan

Sebuah sistem ekonomi yang sudah tidak bisa lagi memajukan peradaban manusia adalah sebuah sistem yang sudah tidak punya alasan lagi untuk eksis di dunia ini. Kapitalisme harus digantikan dengan sosialisme.

Mungkin kita akan bertanya: mengapa sosialisme dan bukan yang lainnya? Ini karena kapitalisme dalam perkembangannya telah menyiapkan kondisi-kondisi untuk terbangunnya sosialisme sebagai jawaban atas masalah-masalahnya. Program-program Sosialisme tidak jatuh dari langit tetapi lahir dari kebuntuan kapitalisme itu sendiri.

Kapitalisme telah menciptakan sebuah modus produksi yang bersifat sosial. Sosial dalam arti bahwa semua produk dikerjakan oleh ratusan atau bahkan ribuan buruh dari berbagai industri. Kita ambil saja telpon genggam. Tidak ada satupun buruh yang bisa mengatakan bahwa ini adalah hasil kerja keringatnya sendiri saja. Di dalam telpon genggam terkandung ratusan komponen yang datang dari ratusan pabrik, dikerjakan oleh ribuan buruh. Begitu juga dengan mobil, televisi, bahkan kebutuhan sehari-hari.

Akan tetapi walaupun produksi bersifat sosial, tetapi nilai-lebih dari produksi bersifat pribadi, yakni hanya segelintir orang yang mendapatkan laba dari produksi tersebut. Inilah kontradiksi di dalam kapitalisme. Untuk menyelesaikan kontradiksi ini, maka nilai lebih produksi harus dijadikan milik sosial. Alat-alat produksi harus dinasionalisasi oleh buruh, sehingga nilai lebih produksi dapat menjadi milik kelas yang memproduksinya, yakni kelas buruh.

Dan juga kapitalisme telah menciptakan industri-industri besar dan sindikat-sindikat raksasa. Mungkin di Indonesia hanya ada 100 sampai 200 perusahaan yang mengendalikan ekonomi Indonesia. Ini sebenarnya mempermudah tugas kaum buruh untuk melakukan nasionalisasi. Cukup dengan menasionaliasi 100 atau 200 perusahaan terbesar maka secara praktis ekonomi sudah ada di tangan kaum buruh. Selain itu, sindikat-sindikat ini telah menyatukan ratusan industri ke dalam satu payung besar, yang lalu mempermudah tugas kaum buruh untuk mencanangkan program ekonomi terencana.

Kapitalisme beroperasi dengan motif laba. Pemenuhan kebutuhan manusia adalah hasil sampingan dari pencarian laba ini. Pasar kapitalis beroperasi dengan acak. Tidak ada perencanaan sama sekali. Kebutuhan manusia dijadikan bulan-bulanan pasar dan pencarian laba oleh kaum kapitalis. Sementara Sosialisme akan menjungkirbalikkan semua ini. Pemenuhan kebutuhan manusia adalah motif utama dari Sosialisme. Produksi, distribusi, dan konsumsi akan direncanakan secara demokratis, sehingga tidak ada lagi segelintir orang naik BMW sementara ribuan anak hidup di jalan mengemis.

Terakhir, kapitalisme telah menciptakan sebuah kelas yang kuat, yakni kelas buruh. Merekalah yang sebenarnya menciptakan kekayaan-kekayaan di muka bumi ini. Roda-roda industri berjalan hanya dengan ijin kaum buruh. Bila buruh mogok, tidak ada pabrik yang jalan, jalan-jalan sepi, dan lapangan terbangpun sunyi. Hari ini mereka memang tidak tahu kekuatan mereka. Namun bila saatnya kaum buruh sadar akan kekuatan mereka ini maka kapitalisme pun akan tumbang. Kapitalisme telah menciptakan penggali liang kuburnya sendiri.

Tidak hanya merebut kekuasan ekonomi, kaum buruh harus merebut kekuasaan politik. Salah satu tugas utama dari kaum buruh adalah menghancurkan mesin-mesin Negara borjuis yang lama. Kaum buruh tidak bisa menggunakan Negara borjuis yang memang diciptakan untuk menindas kaum buruh. Ia harus menghancurkannya dan membentuk Negara yang baru yang sesuai dengan kepentingan kelasnya. Negara buruh yang baru ini mempunyai karakter yang sangat berbeda. Ia berdasarkan dewan-dewan yang dibentuk di tiap-tiap tempat kerja. Demokrasi di dalam dewan-dewan ini adalah demokrasi partisipatoris, yakni bukan hanya tempat berdiskusi ria tetapi juga tempat untuk melaksanakan keputusan.

Untuk mencegah munculnya birokrasi, juga ada beberapa kebijakan yang akan diperkenalkan: 1) Semua pejabat harus dipilih, dan dapat di-recall setiap saat, bukan setiap lima tahun seperti demokrasi borjuis hari ini; 2) Tidak boleh ada badan-badan khusus angkatan bersenjata yang terpisah dari rakyat, melainkan milisi rakyat bersenjata yang secara demokratis bertanggungjawab langsung pada dewan-dewan buruh; 3) Tidak boleh ada pejabat yang menerima gaji lebih tinggi daripada buruh terampil; 4) Posisi-posisi di pemerintah harus dirotasi di antara rakyat pekerja. Bila semua menjadi birokrat, maka tidak ada lagi birokrasi.

Hari ini pemerintahan dan politik adalah monopoli orang-orang berpunya. Rakyat pekerja terlalu sibuk bekerja menyuapi keluarganya untuk bisa terlibat dalam pemerintah. Dengan mengurangi jam kerja, maka massa rakyat akan mendapatkan kesempatan melibatkan diri mereka di dalam pemerintahan. Ia dapat belajar kebudayaan, sains, politik dan kesenian, dan menjadi warga yang aktif dalam mengatur bukan hanya nasibnya sendiri tetapi juga nasib masyarakat secara luas.

Sosialisme akan membuka jalan ke masyarakat tanpa kelas. Seperti yang kita kemukakan di atas bahwa Negara adalah hasil dari munculnya masyarakat kelas. Oleh karenanya, Negara buruh semenjak kelahirannya adalah negara yang segera mulai melayu karena kelas-kelas di dalam masyarakat sendiri mulai menghilang.

Di bawah sosialisme, demokrasi primitif akan lahir kembali. Ini tidak bisa tidak, karena untuk pertama kalinya massa luas akan terlibat di dalam demokrasi sesungguhnya, di mana sebelumnya demokrasi hanyalah alat segelintir kaum penguasa. Massa luas akan berperan secara aktif dan mandiri, bukan hanya dalam pemilu dan pengambilan suara, tetapi juga dalam menjalankan roda-roda pemerintahan. Kita akan kembali lagi ke komunisme primitif, tetapi dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi, dengan semua pencapaian yang telah diraih oleh umat manusia selama ratusan ribu tahun. Inilah dialektika perkembangan peradaban manusia.

Hukum Perkembangan Tak Berimbang dan Tergabungkan

Kapitalisme muncul pertama kali di Eropa, di negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman. Marx percaya kalau kaum buruh akan merebut kekuasaan pertama kalinya di negara-negara kapitalis maju. Tetapi setelah Marx meninggal, kapitalisme memasuki tahapan baru, yakni imperialisme. Over-produksi di negara-negara maju memaksa mereka untuk mengekspor kapital mereka ke negara-negara lain, dan dengan ini mencangkok kapitalisme di negara-negara terbelakang. Sehingga kapitalisme di negara-negara terbelakang berkembang dengan cara yang berbeda daripada negara-negara Eropa.

Di negara-negara terbelakang ini, seperti Indonesia salah satunya, kaum borjuis nasional tidak berkembang secara mandiri. Mereka muncul terlalu terlambat di panggung sejarah. Mereka menjadi terikat dengan kapital-kapital asing yang masuk ke dalam negeri. Karena itu mereka tidak bisa menyelesaikan revolusi borjuis demokratik seperti halnya kaum borjuis Eropa dulu. Inilah Hukum Perkembangan Tak Berimbang dan Tergabungkan. Kapitalisme di dunia ini tidak berkembang secara serentak dengan cara yang sama. Ia muncul dulu di Eropa, lalu menyebar ke negara-negara lain yang terbelakang. Oleh karenanya karakter kaum borjuis negara-negara terbelakang berbeda dengan karakter kaum borjuis Eropa. Mereka korup, tidak kompeten, reaksioner, dan tidak mandiri. Mereka tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas borjuis demokratik (reforma agraria, pembentukan republik yang demokratis, kemandirian bangsa, dan modernisasi bangsa) seperti layaknya kaum borjuis Eropa.

Tugas-tugas borjuis demokratik ini jatuh ke kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang revolusioner. Dengan menyatukan di sekitarnya rakyat pekerja lainnya (tani, nelayan, kaum miskin kota), kaum buruh akan memimpin revolusi ini. Akan tetapi, kaum buruh tidak akan berhenti di sini saja. Tugas kaum buruh bukanlah membentuk kapitalisme nasional yang mandiri dan mapan, dengan harapan bahwa ini akan di hari depan membuka pintu bagi mereka untuk menuju sosialisme. Kaum buruh tidak bisa tidak melangkah langsung ke tugas-tugas revolusi sosialis: nasionalisasi industri-industri penting, perbankan, dan institusi-institusi finansial, dan sistem perencanaan ekonomi yang tersentralisir dan demokratis.

Laju dan cakupan dari tumbuhnya revolusi borjuis demokratik ke revolusi sosialis didikte oleh dua hal utama: pertama, tingkat kesiapan kaum proletar, dan terlebih lagi tingkat kesiapan pelopornya, kepemimpinannya; kedua, prospek revolusi sosialis di Asia Tenggara dan dunia. Indonesia dengan sendirinya tidak memiliki tingkat produksi yang cukup untuk bisa membangun sosialisme. Ia membutuhkan revolusi di negara-negara lain yang lalu bisa saling memberikan bantuan ekonomi dan teknik guna memenuhi tugas-tugas sosialis. Kita tidak bisa membangun sosialisme dengan tingkat produksi yang rendah. Seperti yang Marx katakan, “dengan kemiskinan yang umum, maka semua sampah yang lama akan bangkit kembali.” Kaum proletar Indonesia bisa membuat gebrakan yang pertama dengan mengobarkan revolusi sosialis, yang lalu akan menyebar dan membakar merah seluruh Asia Tenggara, dan bahkan dunia. Sebuah kelas buruh yang sadar akan tugas historis ini dan siap dengan partainya, inilah yang perlu kita bangun.

 

Bersambung ...

 

Bagian I: Materialisme Dialektis

Bagian II: Materialisme Historis

Bagian III: Ekonomi Marxis