facebooklogocolour

marx-bakuninPeriode saat ini adalah periode paling penuh badai dan bergejolak dalam sejarah. Globalisasi kini mewujudkan diri sebagai suatu krisis kapitalisme global. Akibat dalamnya krisis dan semakin parahnya berbagai kondisi, semua hal kini berkembang dengan sangat pesat. Tahapan yang kini tengah menjelang adalah kebangkitan umum perjuangan kelas, dan pada kenyataannya, proses ini telah dimulai.

Perwujudan paling mengejutkan dari situasi yang kini telah berubah ini adalah bangkitnya gerakan protes yang menolak kapitalisme. Semakin banyak rakyat yang bereaksi melawan ketidakadilan dari tatanan yang ada: ketiadaan lapangan pekerjaan yang menimpa jutaan rakyat; kesenjangan yang parah, yang memusatkan gunung kekayaan pada segelintir pihak dan jurang kemelaratan bagi mayoritas penduduk dunia; serta perang-perang, rasisme, dan pengekangan terhadap “kehidupan, kemerdekaan, dan pengejaran kebahagiaan” yang tidak pernah usai.

Kaum satu persen teratas dari AS menguasai 34,6% kekayaan dunia; kaum 19% berikutnya menguasai 50,5%; sedangkan rakyat jelata yang berjumlah 80% hanya memiliki 15%. Dari segi kekayaan finansial, angka-angka tersebut malah lebih mengagetkan: 42,7%, 50,3%, dan 7,0%. Statistik ini berasal dari tahun 2007, namun data lengkap terkini menunjukkan bahwa resesi telah menyebabkan keanjlokan sebesar 36,1% dalam kemakmuran rumah tangga menengah dibandingkan kaum satu persen yang hanya mengalami penurunan kekayaan sebesar 11,1%, sehingga semakin memperlebar jurang kesenjangan antara kaum kaya raya dan rakyat jelata seperti kita—yaitu kaum 99%.

Resesi tahun 2008-2009 mengakibatkan semakin meningkatnya kesenjangan: yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kita menyaksikan betapa menjijikkannya kaum bankir yang kaya bisa melenggang lolos dari krisis dengan mengantungi miliaran dolar dana publik. Padahal di sisi lain lebih dari sepuluh juta hipotek mengalami gagal bayar. Selain itu angka pengangguran melambung tinggi dan kaum pengangguran mengantre untuk mendapatkan jatah makanan, dan ini membakar angkara massa.

Dalam situasi “normal” mayoritas rakyat tidak akan protes. Mereka berperan sebagai seorang pemirsa pasif dari sebuah drama historis yang dimainkan tepat di depan mata kepala mereka sendiri, dimana mereka tidak memainkan peran sama sekali namun drama ini sangat menentukan nasib dan hajat hidup mereka. Namun sesekali, rakyat bisa tersadar dari kondisi apatis akibat peristiwa-peristiwa besar -- seperti perang atau krisis ekonomi. Mereka mulai bertindak, mereka mulai tertarik dengan politik serta berupaya merebut kendali terhadap hidup mereka sendiri.

Momen-momen dalam sejarah demikian punya nama: mereka disebut revolusi. Misalnya Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789-1793, gerakan revolusioner di Eropa pada 1848, Komune Paris 1871, Revolusi Rusia 1905 dan 1917, Revolusi Spanyol 1931-1937, dan belakangan ini, Revolusi Mesir dan Revolusi Tunisia.

Peristiwa-peristiwa yang terungkap di depan mata kita mengandung banyak ciri dari situasi revolusioner tahap awal. Banyak orang yang sebelumnya tidak tertarik politik kini turun ke jalan, berunjuk rasa, menentang tatanan sosial dan politik yang sudah tidak bisa ditanggung lagi.

Ada pepatah lama: “kehidupan adalah guru terbaik”. Ini sangat benar. Kaum buruh dan pelajar yang berada di Alun-Alun Tahrir menuai lebih banyak pelajaran dalam 24 jam perjuangan daripada puluhan tahun keadaan “normal”. Begitu juga dengan para peserta gerakan Ocuppy di Amerika Serikat (AS) dan di negara-negara. Mereka tidak perlu menunggu 20 tahun untuk menuai pelajaran-pelajaran ini. Rakyat belajar dengan cepat.

Di bawah kondisi-kondisi demikian, pemikiran-pemikiran libertarianisme, anarkisme, dan sosialisme, semuanya mengalami kebangkitan, karena pemuda dan buruh mencari penjelasan atas krisis dan suatu jalan ke depan. “Masa-masa kejayaan” yang gagah berani dari IWW (Industrial Workers of The World) tengah dibangkitkan kembali dalam pikiran para pemuda seiring dengan perjuangan mereka membentuk serikat-serikat di tempat-tempat kerja dengan upah minimum. Para penulis Anarkis seperti Proudhon, Kropotkin, Bakunin, dan Durruti dicari lagi oleh lapisan-lapisan baru kaum muda. Karya-karya para penulis seperti Howard Zinn, Michael Albert, dan Noam Chomsky, yang membongkar kejahatan-kejahatan imperialisme dan kapitalisme, dicari dan dibaca lagi oleh generasi baru dengan sangat antusias.

Sejauh mereka membuka mata rakyat mengenai watak eksploitatif dan tidak-demokratis dari tatanan masyarakat kapitalis, maka tumbuhnya ketertarikan terhadap pemikiran-pemikiran ini sangatlah positif. Anarkisme adalah gagasan yang menarik bagi banyak pemuda karena kesederhanaannya: menolak setiap hal dan semua hal yang berhubungan dengan status quo. Namun bila diteliti lebih mendalam, terdapat kekurangan substansi menyeluruh dan kurang dalamnya analisis dalam gagasan-gagasan ini. Di atas segalanya, terdapat sangat sedikit solusi yang ditawarkannya untuk menyelesaikan permasalahan kapitalisme. Setelah membaca materi mereka, seseorang akan bertanya “namun apa yang akan menggantikan kapitalisme, dan bagaimana kita mewujudkannya, dimulai dari kondisi-kondisi yang ada secara riil hari ini?”

Penulis artikel ini berpendapat bahwa hanya Marxisme yang bisa menyediakan panduan teoritis yang bisa mengarahkan energi gerakan menuju transformasi revolusioner atas tatanan masyarakat. Bukan Stalinisme--karikatur sosialisme yang tidak demokratis dan totaliter--melainkan Marxisme sejati: metode analisis sosial yang paling modern, dinamis, dan menyeluruh yang telah dikembangkan oleh umat manusia. Hanya gagasan Marxisme yang bisa memberikan analisis revolusioner dan juga solusi sosialis revolusioner terhadap krisis yang dihadapi oleh kelas buruh sedunia.

Penerbitan buku ini (Artikel ini adalah pengantar untuk buku “Marxisme dan Anarkisme”) menandai sebuah langkah maju penting dalam mempersenjatai generasi baru para pejuang kelas di AS secara teoritis. Pertentangan antara Marxisme dan Anarkisme telah lama didiskusikan. Bukanlah kebetulan bahwa saat perjuangan kelas kembali memanas maka perdebatan-perdebatan lama juga kembali bermunculan. Banyak orang yang baru bangkit ke kehidupan politik yang membayangkan bahwa mereka terlibat dalam sesuatu yang sepenuhnya baru dan asli; namun sebagaimana yang dikatakan Alkitab, tidak ada yang baru di bawah matahari. Walaupun mereka tidak menyadarinya, banyak perdebatan ini telah berlangsung di masa lalu.

Terdapat banyak kesalahpahaman mengenai sejarah, asal-usul, dan konten asli Marxisme dan Anarkisme. Kita bisa dan harus belajar dari pengalaman kolektif kelas kita; dari apa yang berhasil dan apa yang gagal. Kumpulan tulisan ini akan memperjelas perspektif Marxis mengenai batasan-batasan Anarkisme, dan kebutuhan akan suatu partai, teori, program, perspektif, organisasi, demokrasi internal, dan akuntabilitas.

Batas-Batas Spontanitas

Jutaan rakyat yang telah turun ke jalan dan berunjuk rasa di alun-alun Spanyol dan Yunani menentang kebijakan pemotongan dan pengetatan anggaran tidak percaya pada para politisi dan pimpinan serikat buruh. Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Baik di Yunani maupun Spanyol pemerintahan yang melancarkan serangan-serangan demikian adalah pemerintahan yang mengaku “sosialis”. Massa telah menitipkan kepercayaan pada mereka dan mendapati diri mereka malah dikhianati. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka maka mereka tidak boleh menitipkan segala sesuatu pada para politisi melainkan harus mengambil tindakan sendiri.

Hal ini menunjukkan insting revolusioner yang tepat. Mereka yang mencela gerakan-gerakan tersebut sebagai gerakan “yang spontan belaka” telah menunjukkan ketidaktahuan mereka mengenai esensi revolusi, yakni intervensi langsung massa terhadap politik. Spontanitas ini merupakan suatu kekuatan besar—namun pada suatu titik akan menjadi kelemahan fatal bagi gerakan.

Mereka yang mengkritik gerakan protes karena protes ini tidak memiliki program yang jelas, menunjukkan ketidaktahuan mereka akan apa itu revolusi sebenarnya. Pendekatan semacam ini adalah tipikal pendekatan dari kaum pedantik dan orang congkak, dan bukan pendekatan dari kaum revolusioner. Sebuah revolusi, pada esensinya mengguncang masyarakat sampai ke sumsumnya, membangkitkan lapisan-lapisan yang paling terbelakang dan “apolitis” dan menggiringnya ke dalam aksi langsung. Menuntut agar massa ini memiliki pemahaman yang sempurna adalah sama halnya dengan menuntut hal yang mustahil.

Tentu saja gerakan massa akan mengidap kebingungan dalam tahapan-tahapan awalnya. Massa hanya bisa belajar melalui pengalaman langsung mereka dalam perjuangan. Namun bila kita mau berhasil maka kita perlu melampaui kebingungan dan kenaifan awal, tumbuh dewasa, dan menarik kesimpulan-kesimpulan dewasa.

Para pemimpin “anarkis” itu—ya, kaum anarkis juga punya para pemimpin, atau orang-orang yang berkeinginan untuk memimpin--yang percaya bahwa kebingungan, ketiadaan organisasi, dan ketiadaan definisi ideologis adalah sesuatu yang baik dan diperlukan, memainkan peran yang buruk. Hal ini sama saja dengan mencoba mempertahankan agar anak-anak tetap berada dalam kondisi kanak-kanak, sehingga selamanya tidak mampu bicara, berjalan, dan berpikir untuk dirinya sendiri.

Berkali-kali dalam sejarah peperangan, pasukan besar yang terdiri dari tentara yang berani namun tidak terlatih dikalahkan oleh pasukan yang lebih kecil yang terdiri dari para prajurit yang disiplin yang terlatih dan dipimpin oleh para perwira cakap dan berpengalaman. Menduduki alun-alun adalah cara untuk menggerakkan massa. Namun itu saja tidak cukup. Kelas penguasa bisa saja tidak mampu membubarkan para demonstran secara paksa pada awalnya, namun mereka mampu menunggu sampai gerakan ini melemah, dan kemudian melancarkan serangan keras untuk mengakhiri “gangguan-gangguan”.

Sudah tak perlu dikatakan lagi bahwa Kaum Marxis akan selalu berada di baris depan di setiap pertempuran untuk meningkatkan taraf hidup kelas buruh. Kita akan berjuang untuk setiap pencapaian, tak peduli seberapa kecilnya pencapaian tersebut, karena perjuangan untuk sosialisme tidak akan terbayangkan tanpa perjuangan sehari-hari untuk meningkatkan taraf hidup di bawah kapitalisme. Hanya melalui serangkaian perjuangan parsial, yang berwatak defensif dan ofensif, maka massa bisa menemukan kekuatan mereka sendiri dan meraih kepercayaan diri yang diperlukan untuk bertempur sampai penghabisan. Terdapat berbagai kondisi di mana pemogokan dan demonstrasi massa bisa memaksa kelas penguasa untuk memberikan konsesi. Namun dalam kondisi-kondisi saat ini tak ada konsesi berarti yang bisa mereka berikan.

Agar suatu perjuangan berhasil maka perlu meningkatkan gerakan ke tahapan yang lebih tinggi. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan menghubungkan secara tegas gerakan demonstrasi dengan gerakan buruh di pabrik-pabrik dan serikat buruh. Slogan pemogokan massa sudah dikedepankan dalam bentuk embrio. Namun pemogokan massa sendiri saja tidak bisa memecahkan masalah-masalah masyarakat. Gerakan ini pada akhirnya harus dihubungkan dengan pemogokan massa tanpa-batas, yang akan mengedepankan masalah kekuasaan negara.

Para pimpinan yang bimbang dan terombang-ambing hanya mampu melahirkan kekalahan dan demoralisasi. Perjuangan buruh dan pemuda akan sepenuhnya lebih mudah bila dipimpin oleh orang-orang pemberani dan berpandangan jauh ke depan. Namun para pimpinan tersebut tidak turun dari langit. Dalam alur perjuangan, massa akan menguji setiap tendensi dan pimpinan. Mereka akan segera menemukan kekurangan para tokoh dadakan yang muncul di tahapan-tahapan awal gerakan revolusioner, seperti busa yang muncul di puncak gelombang dan menghilang saat gelombang menghantam daratan.

Gerakan-gerakan spontan demikian merupakan konsekuensi dari berpuluh tahun degenerasi atau kemerosotan partai-partai dan serikat-serikat massa tradisional. Di satu pihak, ini sebenarnya mencerminkan sebuah reaksi sehat, sebagaimana yang dikatakan Lenin di “Negara dan Revolusi” saat dia mengacu pada kaum Anarkis. Gerakan-gerakan seperti Indignados di Spanyol muncul karena kebanyakan buruh dan pemuda merasa tidak diwakili oleh siapa pun. Mereka bukanlah kaum anarkis. Mereka menunjukkan kebingungan dan tidak memiliki program yang jelas. Lantas dari mana mereka akan mendapatkan pemikiran-pemikiran jernih?

Gerakan-gerakan baru ini merupakan sebuah ekspresi dari krisis mendalam yang melanda sistem kapitalisme. Sedangkan di sisi lain, gerakan-gerakan baru demikian belum memahami keseriusan situasi yang ada. Terlepas dari semua energi dan elannya, gerakan-gerakan demikian memiliki keterbatasan yang akan terekspos dengan cepat. Pendudukan alun-alun dan taman, meskipun bisa menjadi suatu pernyataan yang kuat, pada akhirnya tidak akan bergerak ke mana-mana. Butuh langkah-langkah radikal untuk mengusung transformasi masyarakat secara menyeluruh.

Bilamana gerakan tersebut tidak diusung ke tingkatan yang lebih tinggi, pada tahapan tertentu, maka gerakan tersebut akan surut dan orang-orang akan kecewa dan terpatahkan semangatnya. Dari refleksi terhadap pengalaman mereka, semakin banyak aktivis akan menyadari perlunya sebuah program revolusioner yang konsisten. Ini hanya bisa disediakan oleh Marxisme.

Apakah Kita Perlu Kepemimpinan?

Argumen bahwa kita tidak membutuhkan partai dan pimpinan adalah suatu kesalahan yang besar. Pada kenyataannya argumen ini bahkan tidak logis. Tidak cukup hanya menolak sesuatu. Kita harus tahu apa yang harus menggantikannya.

Jika sepatu saya membuat kaki saya sakit, maka jawabannya bukanlah bertelanjang kaki namun mencari sepatu yang pas. Jika makanan kita buruk, kesimpulannya bukan malah tidak makan sama sekali, melainkan kita perlu mendapatkan makanan yang layak, lezat, dan bergizi. Jika saya tidak puas dengan dokter saya, maka saya perlu mencari dokter yang lebih baik. Sama halnya dengan partai dan kepemimpinan.

Kepemimpinan kelas buruh saat ini sangatlah buruk. Kami setuju dengan kaum anarkis mengenai hal ini. Namun kesimpulannya bukan berarti kita tidak membutuhkan kepemimpinan sama sekali. Sebaliknya. Kesimpulannya adalah kita harus berjuang menggantikan kepemimpinan saat ini dengan kepemimpinan yang benar-benar mewakili kepentingan dan aspirasi kelas buruh. Kami berjuang untuk transformasi revolusioner masyarakat. Kondisi-kondisi obyektif untuk transformasi demikian sudah lebih dari matang. Kami yakin sepenuhnya bahwasanya kelas buruh bisa mengemban tugas demikian. Lantas mengapa kita meragukan kemampuan kaum buruh untuk mengubah organisasi-organisasi mereka menjadi senjata untuk mengubah tatanan masyarakat? Bila mereka tidak bisa melakukan itu, bagaimana mungkin mereka bisa menggulingkan kapitalisme?

Banyak kaum muda, saat mereka melihat organisasi-organisasi kelas buruh yang ada saat ini, yaitu serikat-serikat buruh dan khususnya partai-partai buruh massa, mereka merasa jijik dengan struktur birokratis dan kelakuan para pimpinannya, yang terus menerus berkompromi dengan kaum bankir dan kapitalis. Mereka menampakkan diri seakan-akan sebagai bagian dari kelas penguasa. Di AS bahkan belum ada partai buruh massa. Maka tidak heran bila banyak orang menolak semua partai dan bahkan mengaku menolak politik sepenuhnya.

Namun ini adalah kontradiksi dalam istilah itu sendiri. Gerakan Occupy sangatlah politis. Dalam penolakan mereka terhadap partai-partai politik yang ada, mereka dengan seketika muncul sebagai sebuah alternatif. Namun alternatif macam apa? Tidak cukup untuk mengatakan: “Kami menentang sistem saat ini karena tidak adil, menindas, dan tidak manusiawi.” Kita perlu mengajukan suatu sistem alternatif yang adil, egaliter, dan manusiawi.

Meskipun mereka masih sangat lemah, tendensi-tendensi anarkis telah tumbuh belakangan ini sebagai akibat kebangkrutan para pimpinan reformis dari organisasi-organisasi massa buruh. Oportunisme yang maha besar dari para pimpinan buruh menimbulkan bangkitnya sentimen ultra-kiri dan anarkis di antara lapisan kaum muda. Sebagaimana yang dikatakan Lenin, ultra-kiriisme adalah harga yang harus dibayar oleh gerakan akibat oportunisme.

Pada pandangan pertama, pemikiran tersebut kelihatan menarik: “Lihatlah para pimpinan buruh! Mereka cuma kumpulan birokrat dan pengejar karier yang selalu menjual kita. Kita tidak butuh para pemimpin! Kita tidak butuh organisasi!” Sayangnya, tanpa organisasi kita tidak bisa mencapai apapun. Serikat buruh mungkin masih jauh dari sempurna, namun hanya serikatlah yang dimiliki oleh kaum buruh untuk mencegah kaum kapitalis terus-menerus menginjak mereka.

Kaum majikan paham akan bahaya serikat buruh bagi mereka. Inilah mengapa mereka selalu berupaya merongrong serikat buruh, mengekang hak-haknya, dan menghancurkan semuanya. Kita bisa lihat hukum-hukum anti-serikat seperti Taft-Harley yang selalu membatasi dengan ketat hak buruh untuk mogok. Scott Walker, sang gubernur Republiken dari Wisconsin, mengesahkan hukum anti serikat untuk melucuti kaum buruh di hadapan pemotongan anggaran yang membabi buta. Sedangkan di Ohio, upaya serupa telah dikalahkan oleh rakyat lewat referendum karena rakyat paham perlunya mempertahankan serikat-serikat.

“Namun para pimpinan serikat adalah para birokrat! Mereka selalu mencari kompromi dengan para majikan!” Bisa jadi, namun alternatif apa yang kalian ajukan? Bisakah kita berjuang tanpa serikat? Tanpa serikat buruh maka kelas buruh akan terpecah-pecah dan nasibnya tergantung pada belas kasihan kaum majikan. Sejak dulu Marx menunjukkan bahwa tanpa organisasi kelas buruh hanyalah bahan mentah eksploitasi. Tugasnya bukanlah membuang bayi berikut air mandinya, melainkan mengubah serikat-serikat tersebut menjadi organisasi perjuangan kelas yang militan.

Kepemimpinan organisasi kelas buruh telah mengalami tekanan dari kaum borjuasi lebih berat dari periode sejarah manapun sebelumnya. Mereka telah mencampakkan pemikiran-pemikiran yang menjadi dasar pembentukan gerakan dan tercerai dari kelas yang seharusnya mereka wakili. Mereka mewakili masa lalu dan bukannya masa kini atau masa depan. Massa akan mendorong mereka ke kiri atau malah menyapu mereka dalam periode penuh topan badai yang kini muncul.

Tanpa bantuan dari para reformis, Stalinis, dan para pimpinan serikat buruh yang melakukan kolaborasi kelas, maka tidak mungkin sistem kapitalis bisa dipertahankan barang satu detik pun. Ini adalah gagasan penting yang harus terus kita tekankan. Para pimpinan serikat buruh dan partai-partai reformis di semua negara punya kekuatan besar di tangan mereka -- jauh lebih besar dari masa manapun dalam sejarah kelas buruh.

Pada analisis terakhir, birokrasi buruh  merupakan kekuatan yang paling konservatif dalam masyarakat. Mereka menggunakan otoritas mereka untuk mendukung sistem kapitalis. Inilah mengapa Trotsky mengatakan bahwa krisis umat manusia direduksi pada krisis kepemimpinan proletar. Nasib umat manusia bergantung pada penyelesaian permasalahan ini. Namun anarkisme tidak mampu memecahkan masalah ini, karena anarkisme bahkan menolak mengakui bahwasanya permasalahan demikian memang ada.

Kita perlu melawan dan mengusir kaum birokrat dan kariris dari jabatan-jabatan mereka, kita perlu membersihkan organisasi-organisasi buruh dari elemen-elemen borjuis dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang memang benar-benar siap berjuang untuk kelas buruh. Menolak berjuang untuk mengubah kepemimpinan adalah sama halnya dengan mempromosikan pelestarian kekuasaan di tangan birokrasi, sama halnya dengan mempromosikan pelestarian perbudakan oleh kapitalis. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Trotsky, menolak berjuang demi kekuasaan serikat buruh dan kekuasaan politik sama saja dengan membiarkan kekuatan tersebut berada di tangan pihak yang menggenggamnya saat ini.

“Satu Serikat Raksasa”?

IWW (Industrial Workers of the World) melakukan kerja luar biasa sebelum Perang Dunia I dengan mengorganisir seksi-seksi kelas buruh yang tak terorganisir -- buruh perkebunan dan buruh-buruh tidak terampil, buruh-buruh pelabuhan, buruh-buruh penebang pohon, dan kaum imigran. Slogan Satu Serikat Raksasa menjadi slogan penyatu yang beroposisi terhadap serikat buruh-isme konservatif AFL (American Federation of Labour) yang tua.

Kaum “wobblies”, sebutan para aktivis IWSS, memimpin pemogokan-pemogokan penting, dari pemogokan di Goldfield, Nevada, pada tahun 1906 dan Pemogokan Mobil Baja di McKees Rocks, Pennsylvania pada 1909, pemogokan tekstil Lawrence pada 1912, dan Pemogokan Sutra Paterson pada 1913. Mereka sering berhadapan dengan kerasnya represi, pemukulan, dan bahkan penggantungan. Joe Hill (Joel Hägglund), sang “wobbly bard” yang menulis banyak sajak dan lagu perjuangan, dituduh terlibat pembunuhan dan dieksekusi oleh negara bagian Utah pada 1915 atas dasar bukti yang mengada-ada.

Pada Konvensi Pendirian IWW, Bill Haywood, saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Tambang Barat, mengatakan: “Ini adalah Kongres Kontinental kelas buruh. Kita disini untuk mengkonfederasikan buruh negeri ini ke dalam suatu gerakan kelas buruh yang bertujuan mewujudkan emansipasi kelas buruh yang bebas dari belenggu perbudakan kapitalisme.” (Catatan Konvensi Pertama IWW)

IWW saat itu merupakan organisasi buruh yang konsisten revolusioner dan mendasarkan dirinya di atas doktrin-doktrin perjuangan kelas buruh. IWW bukanlah suatu organisasi anarkis, namun ia tidak memiliki ideologi yang koheren dan konsisten. Seseorang bisa saja mengatakan bahwa ideologi IWW merupakan campuran ganjil dari anarko-sindikalisme dan Marxisme. Kontradiksi ini segera terungkap dalam perdebatan awal. Daniel de Leon, salah satu pelopor Marxis di Amerika, merupakan salah satu pendiri IWW tahun 1905. Namun ia tidak setuju dengan para pimpinan IWW yang menentang aksi politik.

Sementara De Leon menyatakan dukungan terhadap aksi politik melalui Partai Buruh Sosialis, di sisi lain para pimpinan lainnya, termasuk Bill Haywood, lebih memilih aksi langsung. Faksi Haywood menang, dan sebagai hasilnya Preambul IWW ditambah dengan mencantumkan larangan “berafiliasi dengan partai politik manapun.” Para pengikut De Leon keluar dari IWW sebagai bentuk protes. Tindakan ini keliru, karena kehidupan sendiri akhirnya membuat orang seperti Bill Haywood berubah pikiran.

Kenyataannya, IWW meminjam banyak hal dari Marxisme. Dua pilar utama platform IWW adalah doktrin perjuangan kelas dan pemikiran emansipasi buruh merupakan tugas yang harus diemban kelas buruh itu sendiri. Ini adalah pemikiran yang datang dari Marx. Pada kenyataannya IWW adalah  lebih dari sekedar serikat. IWW adalah serikat buruh industri militan sekaligus organisasi revolusioner -- sebuah embrio partai revolusioner. Hal ini dengan segera ditampakkan oleh topan badai peristiwa di sekitar Perang Dunia I dan Revolusi Rusia.

IWW sendiri merupakan organisasi yang bersifat internasionalis. Mereka menentang Perang Dunia I, sikap yang sama dengan sikap Kaum Bolshevik Rusia. Koran IWW, berjudul Buruh Industri, menerbitkan sebuah tulisan tepat sebelum deklarasi perang Amerika, yang berbunyi: “Wahai Kapitalis-Kapitalis Amerika, kami akan berperang melawan kalian! Kami tidak akan berperang untuk kalian! Tak ada satu pun kekuatan di dunia yang bisa memaksa kelas buruh berperang bila mereka menolak perang.” IWW kemudian mengesahkan resolusi anti-perang pada konvensinya di November 1916. Lenin menaruh perhatian serius pada IWW terutama karena alasan demikian.

Saat kaum buruh Rusia merebut kekuasaan negara ke dalam genggaman tangan mereka dan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengambil alih kekayaan dan alat produksi dari tangan para kapitalis, ini menimbulkan efek mendalam pada anggota-anggota Wobblies. Beberapa pimpinan terkemukanya seperti Bill Haywood, James Cannon, dan John Reed mulai mempertanyakan asumsi-asumsi lama mereka. Setelah paham bahwa dibutuhkan organisasi politik revolusioner, mereka menyebrang ke sisi Bolshevisme.

Elemen-elemen terbaik di IWW bergabung dengan Partai Komunis Amerika yang masih muda. April 1921, Haywood menyatakan dalam wawancara dengan Max Eastman, sebagaimana yang diterbitkan di The Liberator: 'Saya rasa saya selalu ada di sana,' katanya pada saya. 'Engkau ingat saya dulu pernah berkata bahwa yang kita butuhkan adalah lima puluh ribu aktivis IWW sejati dan sejuta anggota pendukung? Nah, bukankah itu adalah pemikiran serupa? Setidaknya saya selalu sadar bahwasanya yang diperlukan adalah memiliki suatu organisasi kumpulan orang-orang yang paham.

Fakta bahwa degenarasi Stalinis kemudian merusak perkembangan Partai Komunis tidak bisa merenggut apapun dari para pelopor pemberani yang memulai tugas mengorganisir kepeloporan revolusioner di AS di hadapan represi paling keras.

Mereka yang menolak menempuh transisi ke Marxisme akhirnya membawa IWW ke jalan buntu dan sampai sekarang IWW tidak pernah pulih dari kebuntuan demikian. Dogma anti-politik steril mereka telah membuat IWW terpuruk dan terisolasi dari peristiwa-peristiwa akbar bersejarah yang terjadi di skala dunia. Pada peringatan 15 tahun IWW di tahun 1920, IWW telah terjerembab pada kemerosotan yang tak terpulihkan. Tahun 2005, dalam peringatan 100 tahun pendiriannya, IWW hanya punya 5.000 anggota. Sangat kecil bila dibandingkan dengan AFL/CIO yang punya keanggotaan buruh hingga 13 juta.

Pemikiran “Satu Serikat Raksasa” masih terus bergema. Bisa dimaklumi kalau buruh-buruh muda frustrasi dengan perpecahan dan pertengkaran terus menerus di antara serikat-serikat arus utama saat ini, bahkan banyak buruh muda memilih tidak jadi anggota serikat buruh sama sekali. Bagaimanapun juga terlepas upaya-upaya heroik dari kaum Wobblies untuk mengorganisir segelintir warung kopi dan restoran cepat saji, membangun satu serikat raksasa dengan merekrut anggota satu per satu tidak akan pernah tercapai. Untuk hal ini, diperlukan sumber daya besar dari serikat-serikat utama. Untuk mengubah kebijakan kepemimpinan buruh saat ini, kita memerlukan perjuangan politik kelas buruh di dalam AFL-CIO dan Change to Win, bukan malah menjauhinya. Terlebih lagi, satu-satunya jalan untuk benar-benar mencapainya adalah melalui perebutan kekuasaan oleh kelas buruh, penyitaan alat produksi dan kekayaan kelas kapitalis, serta membuat hukum-hukum yang menjamin hak berserikat, menjamin upah, dan tunjangan. Ini akan menciptakan dasar bagi perwujudan “Satu Serikat Raksasa”, saat ratusan juta buruh akan diorganisir dalam satu federasi serikat buruh secara massal.

Bahkan dalam kemundurannya, IWW memainkan peran penting dalam mengilhami perkembangan serikatburuh-isme industrial modern yang berujung pada pembentukan CIO pada 1930an. Ini merupakan pencapaian besar. Sayangnya meskipun di antara anggotanya terdapat banyak buruh militan, kini IWW hanyalah bayangan dari dirinya yang dahulu.

Sejarah IWW adalah sumber inspirasi yang tak kunjung habis bagi pemuda saat ini. Kami sepenuhnya mengakui peran kepemimpinan yang dimainkan oleh IWW dalam tahun-tahun awalnya dan mendukung sepenuhnya kesadaran kelasnya yang militan dan tradisi-tradisi revolusionernya. Tendensi-tendensi “anarko-sindikalis”nya hanyalah manifestasi semu--cangkang luar dari embrio Bolshevisme. Kami dengan bangga menyatakan bahwa IWW merupakan bagian penting warisan historis kami.

Tanpa Pemimpin?

Sekilas pada pandangan pertama, pemikiran anti-kepemimpinan sepertinya merupakan pemikiran yang menarik. Bila semua pimpinan sudah melacur, lantas mengapa kita butuh pemimpin? Sayangnya pendapat ini tidak memberikan sumbangsih analisis kritis sama sekali. Bahkan dalam suatu pemogokan yang berjalan hanya setengah jam kita menemui ada kepemimpinan di sana. Harus ada seseorang yang mendatangi kantor majikan untuk menyampaikan tuntutan para buruh. Siapa yang akan dipilih buruh untuk menjalankan peran ini? Apakah mereka sekedar mengambil pilihan acak secara kebetulan atau malah mungkin menentukan dari undian nama?

Tidak. Masalah ini adalah masalah yang terlampau serius untuk diserahkan pada faktor kebetulan. Kaum buruh akan memilih orang yang mereka tahu akan membela kepentingan-kepentingan mereka: seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki cukup pengalaman, kecerdasan, dan keberanian untuk mewakili orang-orang yang memilihnya. Merekalah para pemimpin alami kelas buruh, dan mereka selalu ada di tiap tempat kerja. Membantah hal ini adalah membantah kenyataan hidup, yang sudah dipahami oleh setiap buruh.

Memang tidak banyak pemogokan skala besar yang sukses dalam periode terkini di AS, meskipun demikian banyak buruh setidaknya pernah berpartisipasi dalam suatu pemogokan. Namun berapa banyak buruh yang hidup dan pernah mengalami suatu pemogokan massa revolusioner atau pemberontakan massa? Sangat sedikit buruh yang punya pengalaman ini, dan karena itu tidak mampu menarik kesimpulan apapun atau menarik pelajaran sama sekali. Tugas menarik pelajaran dan mengambil kesimpulan ini hanya dimungkinkan lewat teori dan pengalaman perjuangan kelas.

Dalam dunia binatang, kumpulan pengalaman generasi-generasi sebelumnya diteruskan melalui mekanisme transmisi genetis. Binatang memiliki insting atau intuisi yang memungkinkan mereka tahu bagaimana bereaksi dalam situasi tertentu. Namun masyarakat manusia berbeda dari binatang manapun. Di sini kebudayaan dan pendidikan memainkan suatu peran penting dibandingkan faktor genetis. Bagaimana pelajaran-pelajaran generasi sebelumnya diteruskan pada generasi-generasi yang baru? Tidak ada mekanisme otomatis untuk hal ini. Transmisi harus dijalankan melalui mekanisme pembelajaran dan hal ini membutuhkan waktu.

Apa yang benar dalam masyarakat secara umum juga benar dalam kelas buruh dan perjuangan untuk sosialisme. Partai revolusioner merupakan mekanisme dimana pelajaran-pelajaran masa silam diteruskan pada generasi baru dalam bentuk umum (teori). Ini sama seperti informasi genetika. Bilamana informasi genetika tepat dan lengkap maka akan membawa pada pembentukan manusia yang sehat. Bila informasi genetika tersebut terdistorsi maka akan terjadi keguguran.

Sama halnya dengan teori. Sebuah teori yang dengan tepat merangkum semua pengalaman di masa silam bisa menjadi bantuan besar bagi generasi baru agar menghindari kesalahan di masa silam. Namun suatu teori yang salah hanya akan menyebabkan kebingungan, disorientasi, atau bahkan sesuatu yang lebih parah. Bila kita serius memperjuangkan revolusi, maka kita harus melakukan pendekatan dengan serius, bukan dengan cara amatir dan dangkal. Pertanyaan-pertanyaan mengenai strategi dan taktik harus menduduki tempat yang penting dalam pertimbangan kaum Marxis. Tanpa taktik, semua pembicaraan mengenai pembangunan gerakan revolusioner merupakan omong kosong: bagaikan pisau yang cuma ada gagangnya saja.

Konsepsi mengenai strategi revolusioner mengalir dari pengaruh terminologi militer. Terdapat banyak persamaan antara perjuangan kelas dan perang antar negara. Demi menggulingkan kaum borjuasi, kelas buruh, dan pelopornya harus memiliki organisasi yang kuat, terpusat, dan berdisiplin. Kader-kader pimpinannya harus memiliki pengetahuan yang diperlukan mengenai kapan harus maju menyerang dan kapan harus mundur, sehingga tahu kapan harus bertempur dan kapan harus menghindari pertempuran.

Pengetahuan demikian membutuhkan, selain pengalaman, sebuah studi yang cermat dan rinci mengenai pertempuran-pertempuran di masa silam, kemenangan-kemenangan, dan kekalahan-kekalahannya. Dengan kata lain, ia mensyaratkan teori. Sikap menyepelekan teori adalah suatu hal yang tidak bisa diterima, karena teori sebagian besar adalah generalisasi pengalaman historis kelas buruh sedunia.

Namun bukankah mungkin berimprovisasi dan membuat pemikiran-pemikiran baru berdasarkan pengalaman hidup kita dalam perjuangan kelas? Ya, tentu saja hal itu memungkinkan. Namun akan ada harga yang harus dibayar. Dalam sebuah revolusi, berbagai peristiwa bergerak silih berganti sangat cepat. Tidak ada waktu untuk berimprovisasi dan membuat kesalahan seperti orang buta di kamar gelap. Ada harga yang harus dibayar untuk tiap kesalahan yang kita buat dan ongkosnya sangatlah berat.

Dalam menampik pentingnya organisasi dan kepemimpinan, kaum anarkis ingin membuat agar gerakan tetap berada dalam tingkatan embrio, tak teorganisir, dan amatir. Namun perjuangan kelas bukanlah permainan anak-anak dan tidak boleh diperlakukan secara kekanak-kanakan. Seorang filsuf Amerika, George Santayana pernah berkata dengan sangat bijak: “Mereka yang tidak mau belajar dari sejarah akan terkutuk mengulanginya.” Sejarah gerakan revolusioner menyediakan kita contoh-contoh yang sangat kaya dan berlimpah, yang patut dipelajari dengan cermat bila kita tidak ingin mengulangi kesalahan-kesalahan fatal dan kekalahan-kekalahan tragis yang dibuat di masa silam.

Perlunya Teori

Sebaliknya, kelas penguasa punya pendirian yang tegas dan keras. Mereka bisa mengandalkan puluhan tahun pengalaman menangani demonstrasi dan gerakan-gerakan oposisi. Mereka menggabungkan distorsi-distorsi media dan kekerasan polisi yang semakin dimiliterisasi dengan metode-metode yang lebih halus: pemerasan, penyuapan, penipuan, dan provokator polisi. Negara bisa menggunakan pasukan birokrat mereka yang sudah tergembleng, politisi-politisi sinis, pengacara-pengacara cerdik, jurnalis-jurnalis pembohong, kaum akademisi, dan para pendeta yang licik: semua bersatu untuk mempertahankan status quo dimana mereka semua memiliki kepentingannya masing-masing.

Kaum Marxis sepenuhnya mendukung gerakan Occupy dan pencarian kolektif atas solusi terhadap krisis kapitalisme. Gerakan ini merepresentasikan suatu kebangkitan sosial baru dan tercermin dalam ketertarikan baru terhadap pemikiran-pemikiran dan teori-teori. Namun ada beberapa pihak yang mencemooh teori. “Kita tidak butuh teori-teori politik yang usang!” kata mereka. “Kita sedang menjalankan sebuah eksperimen besar dan kita akan berimprovisasi dan mengembangkan pemikiran-pemikiran kita sambil berjalan.” Seruan ini, yang secara dangkal tampaknya menarik, menyembunyikan suatu kontradiksi mendalam.

Dalam kehidupan nyata, tak ada orang serius yang bisa mengadopsi cara berpikir demikian dalam urusan kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja kita pergi ke dokter gigi karena sakit gigi, dan sang dokter berkata: “Sebenarnya saya belum pernah belajar ilmu kedokteran gigi, tapi buka saja mulutmu dan saya akan mencobanya.” Pasti kita akan kabur dari sana. Contoh lain adalah seorang tukang ledeng mengetuk pintu kita dan berkata: “Saya tidak tahu apa-apa tentang perledengan namun biarkan saya menangani septic tank-mu.” Pasti kita akan mengusirnya dari rumah kita.

Namun sementara kita menekankan (dengan cukup benar!) mengenai vitalnya sikap serius dan profesional terhadap segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari, ketika berbicara mengenai perjuangan revolusioner melawan kapitalisme, kita malah diminta mencampakkan semua pemahaman kritis kita. Tiba-tiba semuanya pantas disampaikan. Satu gagasan sama bagusnya dengan gagasan lainnya, tak peduli betapa tidak relevan atau gilanya gagasan tersebut. Segala sesuatunya kemudian direduksi ke dalam suatu majelis permanen para aktivis inti yang akhirnya hanya berdebat kusir dan impoten.

Hal demikian jelas tidak mengancam sistem kapitalis. Hal demikian tidak lebih dari gangguan kecil. Malah pernah muncul saran bahwasanya kaum bankir dan kapitalis tidak perlu membubarkan para demonstran dengan kekerasan, melainkan perlu mengikuti dan berpartisipasi dalam perdebatan-perdebatan di dalamnya, sehingga bisa membangun dialog bersahabat dengan kaum muda pembangkang ini dan menunjukkan pada mereka bahwa sesungguhnya kaum penindas dan penghisap tidaklah buruk sama sekali.

Dengan cara ini gerakan protes akan kehilangan watak revolusionernya. Gerakan ini akan perlahan-lahan diintegrasikan ke dalam sistem yang seharusnya ditentangnya. Para juru bicara paling militan dari gerakan protes ini bisa dikooptasi dan dibujuk dengan puja-puji, pekerjaan, dan karier: “Benar-benar pemuda yang sangat cerdas! Anda hampir meyakinkan saya! Anda tahu, kami sebenarnya membutuhkan banyak pemuda dengan kemampuan seperti anda di dunia bisnis...” Kita sudah menyaksikan hal ini terjadi berkali-kali sebelumnya.

Demi menghindari jebakan-jebakan ini, suatu pemahaman atas teori dan pelajaran-pelajaran masa lalu adalah prasyarat mendasar untuk mencapai keberhasilan. Sementara kebanyakan orang masih harus melalui proses pedih belajar dengan cara trial-and-error, kaum Marxis mendasarkan diri mereka pada pelajaran-pelajaran dari masa lalu. Kita bisa katakan apa yang berhasil dan apa yang tidak serta menerapkan pengetahuan ini ke dalam situasi saat ini. Memang ada kemungkinan kita membuat kesalahan, dan memang tidak sesederhana mencari jawaban di dalam buku masak revolusioner. Tetapi kita tidak perlu menciptakan ulang roda; roda sudah diciptakan beratus-ratus tahun yang lalu.

Reformisme atau Revolusi?

Di masa silam, kaum reformis memang bisa menegosiasikan beberapa remah roti yang terserak dari meja kapitalis untuk diberikan pada kelas buruh. Akan tetapi krisis kapitalisme saat ini juga berarti krisis reformisme. Jalan ke depan menuntut suatu perjuangan serius melawan reformisme, suatu perjuangan untuk meregenerasi organisasi massa kelas buruh, dan hal ini dimulai dengan serikat-serikat buruh. Serikat-serikat buruh harus ditransformasikan menjadi organisasi-organisasi tempur kelas buruh.

Kaum Marxis tidak menentang reforma-reforma. Sebaliknya kami sangat gigih memperjuangkan tiap reforma karena tiap reforma dapat membuat hidup lebih baik bagi mayoritas rakyat. Namun dalam kondisi saat ini, tidak ada reforma-reforma yang cukup berarti yang bisa dimenangkan tanpa perjuangan menyeluruh. Hari-hari dimana buruh bisa mendapatkan peningkatan upah secara serius dengan hanya mengancam melakukan aksi pemogokan sudah lama berlalu. Kaum majikan menyatakan mereka tidak mampu mempertahankan tingkat upah saat ini, apalagi memberikan konsesi-konsesi tambahan. Hari-hari dimana para pimpinan sayap kanan dari serikat buruh bisa membuat kompromi dari negosiasi dengan kaum majikan dan dengan negara telah lama hanya tinggal sejarah.

Dalam mengkritik kebijakan-kebijakan para pimpinan buruh terkini, kita harus mengajukan kebijakan-kebijakan lain yang lebih baik. Namun gerakan protes saat ini belum mengajukan suatu alternatif riil terhadap reformisme. Upaya-upaya untuk membatasi spekulasi dengan menerapkan pajak atas transaksi-transaksi finansial bukanlah alternatif terhadap sistem kapitalisme, melainkan hanyalah upaya setengah hati untuk mereformasi sistem yang tidak bisa direformasi. Hal ini semata-mata sejenis reformisme. Dukungan para politisi kapitalis terhadap pajak-pajak demikian merupakan hal yang signifikan karena hal ini menunjukkan bahwa langkah-langkah demikian bukanlah ancaman sama sekali bagi kapitalisme. Ini tidak akan menyelesaikan apapun dalam jangka panjang.

Mereka yang bermimpi memecahkan krisis melalui reforma-reforma merupakan orang-orang yang hidup di masa lalu, dalam satu fase kapitalisme yang kini sudah punah. Merekalah, bukan kaum Marxis, yang sesungguhnya adalah kaum utopis. Apa yang kita butuhkan adalah militansi mendarah daging dan kebangkitan perjuangan kelas. Namun dalam analisis terakhir, militansi saja tidak cukup. Dalam kondisi krisis kapitalis, bahkan capaian-capaian kelas buruh tidak akan bertahan lama.

Apa yang diberikan kaum majikan dengan tangan kanan akan mereka ambil kembali dengan tangan kiri, dan sebaliknya. Kenaikan-kenaikan upah tak bermanfaat lagi karena tertutupi inflasi atau kenaikan pajak. Pabrik-pabrik ditutup dan pengangguran meningkat. Satu-satunya jalan untuk menjamin agar reforma-reforma yang telah dimenangkan tidak direbut kembali oleh kaum kapitalis adalah dengan memperjuangkan perubahan tatanan masyarakat secara radikal. Lagi pula bahkan perjuangan untuk reforma-reforma hanya bisa berhasil bila perjuangan tersebut pada tingkatan tertentu berlangsung dalam cakupan paling luas dan paling revolusioner. Sejarah menunjukkan bahwa kelas penguasa hanya akan memberikan konsesi serius saat mereka takut kehilangan segalanya.

Tidak cukup hanya untuk berkata “tidak”. Kita harus menawarkan suatu alternatif. Sebagaimana kita perlu alternatif terhadap kapitalisme, kita juga membutuhkan alternatif terhadap kepemimpinan reformis yang lama. Kita harus berjuang melawan para pimpinan birokratis sayap kanan di organisasi-organisasi buruh. Kaum buruh AS harus berjuang untuk pecah dari kaum Demokrat dan Republiken serta membentuk suatu partai buruh berdasarkan serikat-serikat. Namun untuk melakukan hal ini, kita perlu mengorganisir, mendidik, dan melatih kader-kader revolusioner yang telah menarik kesimpulan-kesimpulan tepat dari seluruh sejarah perjuangan kelas baik di tingkat nasional maupun internasional.

Teori dan Praktik Anarkisme

Benar bahwasanya banyak pejuang gagah berani di antara kaum anarkis. Hal ini sungguh nyata dan terbukti di Spanyol pada dekade 1920an dan 1930an. Namun secara keseluruhan sejarah anarkisme selama seratus tahun belakangan jelas-jelas menunjukkan bahwa anarkisme adalah jalan buntu. Fakta yang paling mencengangkan adalah perbedaan tajam antara teori dan praktek. Trotsky mengatakan bahwa teori-teori anarkisme seperti payung yang penuh lubang: tak berguna saat turun hujan. Hal ini telah terbukti lagi dan lagi.

Sebagai suatu teori, anarkisme dipenuhi kebingungan dan dangkal. Pemikiran-pemikiran Bakunin adalah comotan dan jiplakan dari para sosialis utopis abad ke-19, khususnya Proudhon. Terlebih lagi, pemikiran-pemikiran ini seketika berkontradiksi dengan praktek Bakunin. Meskipun berbicara tentang “kebebasan” dalam organisasinya sendiri, Bakunin menerapkan sentralisme yang bengis. Bakunin (atau “Citizen B” atau “Warga B” sebagaimana ia dikenal) menjalankan tirani kediktatoran personal dalam organisasinya. Dalam polemik-polemiknya melawan Marx, ia tidak ragu dalam menggunakan metode-metode keji dan hina, termasuk anti-Semitisme. Hal ini bisa dilihat lebih detil dalam artikel Marx versus Bakunin.

Yang jauh lebih menarik adalah tulisan-tulisan Peter Kropotkin, salah satu pemikir yang menulis salah satu sejarah terbaik mengenai Revolusi Prancis, yang dikagumi oleh Trotsky. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa Kropotkin melupakan semua cita-cita anarkismenya pada tahun 1914, saat dia mendukung pihak Sekutu dalam Perang Dunia I. Dan Kropotkin bukanlah satu-satunya yang melakukan ini.

Di Prancis, sebelum Perang Dunia I, kaum anarko-sindikalis berhasil mendominasi konfederasi serikat buruh utama. Slogan utama mereka ditujukan untuk melakukan pemogokan massa, yang mereka pandang sebagai obat yang bisa mengatasi semua penyakit. Ini adalah kesalahan. Meskipun pemogokan massa adalah senjata paling kuat di gudang persenjataan perjuangan kelas, pemogokan tidak dapat memecahkan masalah yang utama, yakni masalah kekuasaan negara.

Pemogokan umum tanpa-batas – dibandingkan dengan pemogokan satu hari, yang hanya merupakan suatu unjuk rasa -- mengedepankan pertanyaan mengenai kekuasaan. Pemogokan seperti ini mengangkat isu: siapa yang menjalankan masyarakat; kami atau kalian? Karena itu, secara logis pemogokan semacam ini harus berujung pada perebutan kekuasaan oleh kelas buruh atau kalau tidak ia akan berakhir pada kekalahan. Jika kelas buruh tidak merebut kekuasaan negara, maka seluruh aparatus kekerasan seperti tentara, polisi, pengadilan, hukum, dan sebagainya, akan tetap berada di tangan kelas kapitalis. Ini adalah sesuatu yang tidak pernah dimengerti oleh kaum Anarkis, karena bagi sebagian besar dari mereka, pertanyaan mengenai kekuasaan negara tidak relevan atau bisa dengan segera dihapus dalam satu hari. Kaum anarkis memang bisa “mengabaikan” negara, namun negara jelas tidak akan mengabaikan buruh yang berjuang untuk mengubah tatanan masyarakat!

Sayangnya, pertanyaan mengenai negara, siapa yang menguasai masyarakat, tidak bisa dicampakkan begitu saja. Mari kita ajukan pertanyaan konkret. Bila semua buruh mogok, apa yang akan terjadi? Semua industri, transportasi, dan komunikasi, akan berhenti. Pabrik-pabrik, toko-toko, dan bank-bank akan tutup. Lalu apa? Kaum kapitalis bisa menunggu. Mereka tidak terancam bahaya kelaparan. Namun kelas buruh jelas tidak bisa menunggu. Mereka yang terlampau kelaparan akan menyerah dan bekerja kembali. Selain itu bila menunggu gerakan melayu bukanlah opsi yang memuaskan bagi kelas penguasa, maka mereka bisa menggunakan negara yang memiliki banyak cadangan penindasan yang bisa dipakai untuk menuntaskan tugasnya. Hal ini sudah terjadi lebih dari sekali dalam sejarah. Bahkan juga terjadi kini dalam Gerakan Occupy.

Dengan kata lain, bila tidak dihubungkan dengan perspektif kelas buruh merebut kekuasaan maka pertanyaan mengenai pemogokan umum hanyalah hasutan kosong.

Lantas apa yang terjadi dengan kaum anarko-sindikalis di Prancis secara praktek? Tahun 1914 saat Prancis ikut Perang Dunia I, para pimpinan serikat buruh anarko-sindikalis dengan seketika mencampakkan retorika mereka tentang pemogokan massa dan masuk ke pemerintahan koalisi dengan partai-partai borjuis, yaitu L'Union Sacrée atau Persekutuan Suci, yang mana kaum anarko-sindikalis ini memainkan peran perusak pemogokan selama Perang.

Kontras tajam antara teori dan praktek, antara perkataan dan perbuatan, adalah sepenuhnya tipikal dalam sejarah anarkisme sejak awal. Konsekuensi paling tragis terjadi di Spanyol selama periode revolusioner 1930an.

Anarkisme di Spanyol

Kaum Anarkis di Spanyol memiliki dukungan dari bunga-bunga kelas buruh di belakang mereka. Anggota-anggotanya merupakan pejuang kelas yang berdedikasi dan gagah berani. Serikat-serikat Anarkis, CNT, merupakan organisasi buruh terbesar di Spanyol. Buruh-buruh anarkis terkenal keberanian dan militansinya. Namun Revolusi Spanyol 1931-1937 menunjukkan kebangkrutan anarkisme sebagai panduan buruh di jalan menuju masyarakat sosialis.

Musim panas 1936, saat Franco mendeklarasikan pemberontakan militer fasis melawan Republik, kaum buruh Barcelona, dimana lapisan paling terorganisirnya berada di CNT, menyerbu barak-barak tentara. Hanya bersenjatakan senjata seadanya, mereka menghantam kaum fasis sebelum mereka bisa bergabung dengan kudeta Franco. Tindakan berani kaum buruh ini telah mencegah kemenangan fasis pada 1936.

Setelah peristiwa tersebut, kaum buruh anarkis memenangkan kendali penuh terhadap Barcelona. Mereka menunjuk komite-komite buruh untuk menjalankan pabrik-pabrik di bawah kontrol buruh dan membentuk laskar-laskar buruh. Negara borjuis yang lama mulai menghilang. Kekuasaan sepenuhnya adalah kekuasaan kelas buruh.

Dari sini harusnya sangatlah mudah untuk menunjuk delegasi-delegasi dari pabrik-pabrik dan laskar-laskar untuk membentuk suatu komite sentral, yang bisa memproklamasikan suatu pemerintahan buruh di Catalonia, serta menyerukan pada buruh dan tani di seluruh Spanyol untuk mengikuti teladan mereka.

Namun para pimpinan Anarkis tidak melakukan hal ini; mereka menolak membentuk sebuah pemerintahan buruh di Catalonia padahal mereka punya kesempatan itu. Bahkan saat Lluis Companys, presiden pemerintahan borjuis lama di Catalonia (Generalitat) menawari mereka untuk berkuasa, mereka menolaknya. Ini berakibat fatal bagi revolusi. Perlahan-lahan, kaum borjuasi dan Stalinis membangun kembali kekuasaan negara lama di Catalonia, serta menggunakannya untuk melucuti laskar-laskar rakyat dan menggilas elemen-elemen kekuasaan buruh.

Lantas apa yang dilakukan oleh para pimpinan anarkis? Tuan dan nyonya anarkis ini yang sebelumnya menolak membentuk pemerintahan buruh kemudian malah bergabung dengan pemerintahan borjuis dan membantu menenggelamkan revolusi. Ada menteri-menteri anarkis dalam pemerintahan borjuis nasional di Valencia dan pemerintahan lokal di Catalonia. Dalam prakteknya, kepemimpinan CNT digunakan sebagai “front merah” bagi pemerintahan borjuis. Tindakan-tindakan ini memiliki kontribusi besar bagi kekalahan Revolusi Spanyol, dan rakyat Spanyol menanggung akibatnya berupa empat dekade barbarisme fasis.

Ini bukan karena “beberapa apel busuk” dalam kepemimpinan pimpinan Anarkis, namun mengalir dari kelemahan-kelemahan hakiki dalam teori dan praktek anarkis. Tanpa kompas teori yang tepat sebagai pemandu di tengah badai dan tekanan revolusi maka keputusan-keputusan diambil dengan improvisasi sambil jalan. “Pragmatisme” dan demagogi kosong menjadi dominan. Selain itu tanpa suatu struktur organisasi yang kuat, terpusat, demokratis, dan akuntabel, para pimpinan tidak berada di bawah kontrol keanggotaan dan organisasi tidak bisa bertindak sebagai suatu kesatuan yang kuat.

Namun terdapat satu pengecualian signifikan, yaitu José Buenaventura Durruti, seorang pejuang revolusioner luar biasa yang mengorganisir milisi buruh. Bala tentara ini memasuki Aragon dan mengobarkan perang revolusioner melawan kaum fasis, mengubah setiap desa menjadi benteng revolusi. Namun Durruti hanya bisa mencapai semua ini setelah dia memecahkan diri dari dogma-dogma anarkis lama dan dalam prakteknya mendekat ke Marxisme revolusioner—ke Bolshevisme.

Walaupun para buruh anarkis jelas-jelas jujur dan benar, pengalaman historis anarkis sepenuhnya negatif. Inilah mengapa hari ini anarkisme sudah hampir hilang sebagai sebuah tendensi dalam gerakan buruh, dan hanya ditemui di pinggiran gerakan mahasiswa dan protes, dimana ia hanya berperan menebar kebingungan, seperti yang akan kita lihat.

Anarkisme dalam Gerakan Anti-Kapitalis

Dampak apa yang diakibatkan oleh teori dan praktek anarkisme dalam gerakan anti-kapitalis?

Permasalahan pertama adalah penolakan untuk menerima keputusan mayoritas. Elemen dasar demokrasi adalah minoritas harus menerima keputusan mayoritas. Kaum anarkis menolak hal ini. Bagi mereka ini tidak lain adalah “tirani” mayoritas terhadap minoritas.

Sayangnya karena hampir mustahil bagi kolektif dimanapun untuk mencapai kepuasan 100% bagi setiap orang, maka seseorang pasti kecewa bila pandangan tertentu mereka tidak diterima oleh mayoritas. Namun apa alternatifnya? Satu-satunya alternatifnya adalah politik konsensus. Apa artinya hal ini dalam praktek?

Katakanlah, ada seratus orang dalam suatu majelis, dan 99 orang mendukung suatu usulan, dan hanya satu orang yang menentang, apa yang harus terjadi? Menurut prinsip demokratis, pandangan 99, lah, yang diakui dan satu orang yang tidak setuju harus menerima keputusan itu. Dia tidak perlu mengubah pandangannya dan boleh terus menjalankan haknya untuk terus menyatakan argumennya dan berusaha meyakinkan mayoritas untuk mengubah pandangannya. Namun sementara waktu, keputusan mayoritaslah yang berlaku.

Selain masuk akal dari sudut pandang demokratis, prosedur ini memungkinkan kita untuk bergerak lebih lanjut ke pengambilan tindakan. Ini pada dasarnya adalah pertanyaan kelas. Prosedur demokratis ini dikenal baik oleh buruh dan aktivis serikat buruh. Ini bisa ditemukan di tiap pemogokan. Disiplin yang diterapkan pada buruh melalui sistem kapitalis--melalui pembagian tenaga kerja dan pola hidup yang dibentuk oleh kerja produksi--merupakan disiplin yang sama yang digunakan buruh-buruh untuk melawan para majikan melalui organisasi serikat-serikat buruh dan partai-partai politik buruh.

Berbeda tajam dengan para buruh, kelas menengah terbiasa menggunakan metode-metode individualis dan memiliki mentalitas individualistis. Sebuah majelis mahasiswa bisa berdebat selama berjam-jam, berhari-hari, dan berminggu-minggu tanpa sampai pada kesimpulan. Mereka punya waktu dan terbiasa pada hal macam itu. Namun sebuah pertemuan massa pabrik adalah sebuah urusan yang sepenuhnya berbeda. Sebelum pemogokan, buruh-buruh berdiskusi, berdebat, dan mendengar opini-opini yang berbeda. Namun pada akhirnya, keputusan harus diambil. Voting harus dilakukan dan mayoritas yang menentukan.

Hal ini jelas dan nyata bagi setiap buruh. Sembilan dari sepuluh kali, minoritas akan dengan sukarela menerima keputusan mayoritas. Sekali keputusan untuk mogok telah diambil, maka semua buruh akan mematuhinya. Dalam kebanyakan kasus, bahkan mereka yang berpendapat menentang suatu pemogokan akan mendukungnya dan bahkan memainkan peran yang aktif dalam garis piket mogok.

Namun bagaimana dengan metode konsensus anarkis? Artinya, dalam praktek, bila satu saja orang tidak setuju maka tidak ada keputusan yang bisa diambil. Ini adalah tirani minoritas atas mayoritas, yang mana hak-haknya tidak diakui. Hal ini bahkan mencirikan kediktatoran perorangan -- kebalikan sepenuhnya dari demokrasi dari sudut pandang manapun. Hal ini jelas tidak ada hubungannya dengan demokrasi atau sosialisme, namun jelas merupakan ekspresi egoisme dan individualisme borjuis kecil.

Supaya kita tahu ke mana hal ini berujung, mari kita kembali pada contoh pemogokan. Selalu terdapat beberapa orang yang akan mencoba terus bekerja meskipun rekan-rekan kerja mereka telah memutuskan mogok. Mereka mengeluh hak-hak individu mereka telah dilanggar oleh “tirani mayoritas”. Ini adalah logika yang sama dari apa yang disebut-sebut sebagai hukum “hak untuk kerja” (Right to Work Legislation) Orang-orang ini selalu digambarkan pers borjuis sebagai “para pejuang kebebasan dan hak-hak individu.” Meskipun demikian, buruh punya julukan sendiri bagi orang-orang macam itu: mereka dijuluki pengkhianat kelas atau buruh pengkhianat.

(Catatan: kaum kapitalis lewat pemerintahan mereka terus mencoba meloloskan hukum “Hak untuk Kerja” di Amerika untuk meremukkan serikat buruh. Di dalam hukum ini, seorang ketika diterima bekerja di satu pabrik atau perusahaan tidak diharuskan bergabung dengan serikat buruh yang sudah ada di pabrik tersebut. Dengan demikian, seorang bisa menikmati pencapaian-pencapaian yang telah diperjuangkan serikat buruh tersebut tanpa harus membayar iuran dan menjadi anggota serikat buruh, dan secara efektif menjadi buruh penitip nasib. Hukum ini bertujuan melemahkan serikat buruh.)

Disini, secara ringkas, kita telah memahami perbedaan antara sudut pandang revolusioner proletar, berdasarkan kehendak kolektif buruh, dan di sisi lain, sudut pandang individualisme borjuis-kecil.

Resep Impoten

Pengalaman baru-baru ini dari gerakan protes memberikan banyak contoh peran negatif yang dimainkan metode-metode anarkis. Untuk membantu memberikan gambaran secara konkret, saya sudah mengambil sejumlah contoh acak dari komentar-komentar yang ditulis oleh para partisipan Gerakan Occupy, yang mana semuanya saya temukan di situs Reddit.

Salah satu partisipan menulis:

“Jadi saya bertandang ke pertemuan lokal Occupy Wall Street berjudul 'Occupy Victoria'. Disana saya menemui bahwa kaum anarkis tidak bisa mengorganisir jalan keluar dari sebuah kotak bahkan bila nyawa mereka bergantung pada hal itu.”

Orang lainnya mengatakan ini:

“Meskipun dipimpin oleh komite yang menunjuk dirinya sendiri, kelompok Occupy Wall Street berfungsi berdasarkan apa yang mereka sebut sebagai 'pengambilan keputusan berdasarkan konsensus', yang mana kalau satu orang tidak setuju maka mereka bisa mengulang lagi seluruh pembicaraan dan terus menerus berdebat sampai setiap orang setuju.

“Dengan kata lain: Kediktatoran denominator umum paling rendah.

“Butuh satu setengah jam sebelum setiap orang diinformasikan apa yang akan kita lakukan pada hari Sabtu. Sebelum kami diberitahu secara sembrono dan tidak sengaja mengenai apa yang terjadi, kami disajikan dengan rentetan pidato ultra-kiri yang kosong, momen-momen hening untuk berefleksi mengenai perasaan-perasaan kami, memperdebatkan apakah boleh atau tidak mengambil foto, berdebat mengenai peran polisi, berdebat perlu atau tidak perlu menyatakan solidaritas dengan rakyat pribumi, dan sebagainya...ini sungguh bencana dan buang-buang waktu. Dua jam berikutnya kita tidak mencapai dan menyepakati apa-apa kecuali pembagian poster untuk dipasang.

“Satu-satunya keputusan pasti yang kami dapatkan adalah perdebatan akan dilanjutkan di situs web internet.”

Ini adalah contoh tipikal bagaimana “politik konsensus” digunakan untuk melumpuhkan gerakan, untuk membonsainya menjadi sekedar debat kusir, dan mencegahnya mengambil langkah maju. Hanya karena sekelompok kecil tidak puas, pertemuan harus berputar-putar lagi: “Kita harus berdiskusi lagi! Kita harus berdiskusi lagi!” Akibatnya kita tidak pernah melakukan apapun. Ini seperti orang yang ingin memuaskan dahaganya dengan minum air asin.

Seorang lainnya punya observasi ini:

“Permasalahan dengan konsensus adalah pandangan pihak yang tidak setuju akan tertutupi. Karena setiap orang harus setuju, atau setidaknya pura-pura setuju, maka pandangan yang tidak setuju tidak bisa secara jelas diekspresikan, karena takut akan mengganggu 'konsensus'. Akhirnya malah jadi perang atrisi -- siapa yang bisa mempertahankan posisi mereka paling lama -- dan dengan demikian mengusir banyak orang, karena kebanyakan orang tidak punya waktu atau kesabaran untuk mentolerir proses seperti ini.

“Dalam prakteknya, konsensus berakhir menjadi kediktatoran minoritas -- terkadang malah minoritas satu orang -- terhadap mayoritas. Hal ini sepenuhnya tidak demokratis dan menghalangi pengorganisiran dan perkembangan politik.

“Hal ini memberi kesempatan pada beberapa orang untuk merusak proses. Semua suara bisa diperdengarkan dalam demokrasi namun saat minoritas kecil ngotot tidak setuju hal ini bukan berarti mereka diperbolehkan memacetkan semua pengambilan keputusan lebih lanjut.

“Selain itu, bila satu atau dua orang punya keberatan etis terhadap sebuah proposal, bisa jadi ini disebabkan oleh perbedaan prinsipil dengan kelompok yang lebih luas, yang mana menimbulkan pertanyaan apakah masuk akal bila grup tersebut jadi bagian mereka.”

Frustrasi

Hal macam ini secara alami menimbulkan frustrasi bagi mereka yang berharap gerakan protes lebih dari sekedar debat kusir. Sayangnya, pengalaman ini sudah terlalu familier bagi banyak partisipan gerakan. Berikut merupakan pernyataan orang lainnya yang kali ini berasal dari Florida:

“Hal yang sama persis terjadi di Occupy Florida. Para administrator/sukarelawan yang menunjuk dirinya sendiri yang menjalankan grup Facebook dari cabang setempat dari gerakan yang tidak punya pimpinan ini berbicara dengan mengatasnamakan seluruh kelompok, dan ideologi diktator ini adalah semua permasalahan dikerucutkan pada korporasionisme (bagaimana penyalahgunaannya pada bahasa setempat). Bahkan Kapitalisme tidak didiskusikan sebagai kemungkinan biang kerok permasalahan.

Saya selipkan juga pertengkaran berikut “Sistemlah biang keladinya, goblok! Ya, maaf tapi saya tidak menganggap memerangi korporasionisme itu cukup saat...”

Lalu sang diktator menyela dengan berkata “Jangan panggil saya goblok! Dan jangan minta maaf sesudahnya...”

Kontradiksi-kontradiksi parah demikian diakui oleh kaum anarkis yang jujur, sebagaimana yang ditunjukkan oleh komentar berikut:

“Saya adalah seorang anarkis dan saya sepenuhnya setuju denganmu. Saya punya pengalaman yang sama di suatu protes lokal. Kami menghabiskan lebih dari dua jam untuk mendiskusikan pembentukan kelompok-kelompok kerja, dan mayoritas diskusi itu adalah meta-diskusi mengenai bagaimana kita harus mendiskusikan pembentukan kelompok-kelompok kerja. Saya benar-benar kehabisan banyak waktu dan akhirnya terpaksa pergi, dan saya lega karena proses organisasi itu rasanya seperti mencabut gigi.”

Pengguna Reddit lainnya menyalurkan rasa frustasinya yang dirasakan oleh banyak orang: “Apakah semua kelompok anarkis sedemikian tidak berguna seperti ini? Apakah ada orang lain yang juga punya pengalaman yang sama?”

Inti demokrasi adalah kekuasaan mayoritas. Sebagaimana perkataan cerdas seseorang “Kalau setiap orang harus setuju terhadap semua hal, mungkin kita harus ubah slogannya jadi “Kamilah 100%!” Dengan semua keterbatasannya, sistem demokrasi adalah satu-satunya yang membuka partisipasi sejati massa. Memang harus ada debat yang penuh dan bebas atas tiap sudut pandang yang dinyatakan. Namun bukan untuk mendegenerasikannya menjadi debat kusir. Sebaliknya debat harus diakhiri dengan suatu voting dimana mayoritas memutuskan, dan minoritas harus menerima keputusan mayoritas.

Pemaksaan konsensus secara tak terelakkan akan berujung pada kebuntuan, frustrasi, buang-buang waktu, dan akhirnya, merosotnya partisipasi massa. Banyak orang yang dulunya berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan Occupy akhirnya pergi meninggalkan komite-komite pengorganisiran karena mereka frustrasi dengan diskusi dan debat tanpa akhir yang tidak bergerak kemana-mana.

Metode-metode yang kelihatannya begitu demokratis, yang harusnya mendorong partisipasi maksimum, pada akhirnya hanya sukses dalam mengasingkan rakyat dan menghancurkan gerakan. Diperlukan sebuah metode yang berbeda, sebuah metode demokratis sejati, metode yang memberi kesempatan pada setiap orang untuk mengungkapkan pemikiran mereka dengan bebas namun pada akhirnya mengarah pada pengambilan keputusan yang jelas dan tindakan positif.

Klik-klik yang Menunjuk Dirinya Sendiri

Bukharin, seorang Bolshevik Rusia suatu ketika pernah bercanda bahwa anarkisme punya dua aturan: pertama, dilarang membentuk partai; kedua, dilarang mematuhi aturan pertama! Meskipun menurut teorinya metode-metode anarkis ini ultra-demokratis, namun dalam prakteknya tidak lebih dari bentuk birokrasi terburuk: kekuasaan klik-klik yang menunjuk dirinya sendiri. Watak kontradiktif posisi ini jelas bagi beberapa anarkis yang memiliki kematangan berpikir lebih tinggi.

“Saya adalah seorang anarkis dan saya setuju dengan kritik atas pengambilan keputusan konsensus. Membiarkan semua orang dalam kelompok besar untuk memiliki hak veto hanya akan menghasilkan kelumpuhan. Majelis-majelis massa, khususnya tanpa suatu agenda yang disiapkan dengan baik, cenderung akan melenceng jauh.

“Saya sudah pernah datang ke pertemuan-pertemuan yang terdiri dari mayoritas anarkis dimana pengambilan keputusan konsensus digunakan di sana. Terdapat beberapa permasalahan, namun kelompok tersebut berupaya sangat keras untuk menyadari isu-isu ini dan mereka berhasil menyelesaikan beberapa hal. Saya pelajari ada sejumlah hal berbeda dalam pengalaman ini.

“Meskipun tidak ada pemimpin resmi dalam grup, suatu kepemimpinan de facto yang terdiri dari 3 orang muncul, yang mendominasi diskusi dan pengambilan keputusan hanya karena lebih tua, lebih berpengalaman, dan lebih percaya diri. Bahkan ada satu orang (orang kulit putih, tidak heran bukan?) yang memimpin grup itu. Banyak kehebohan terkait hal ini, dan saya gembira saat orang-orang menyoroti pendiskusian dampak ras, kelas, dan gender dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan, namun meskipun demikian grup itu akhirnya ambruk karena semua ketidakpuasan tersebut.

“Grup ini hanyalah grup berjumlah sembilan orang, dan jumlah sekecil itu saja menghadapi masa sangat sulit untuk mencapai kata sepakat melalui pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Banyak hal akhirnya diloloskan karena anggota-anggota yang lebih muda, kurang percaya diri, terlalu sungkan untuk menyatakan keberatan atau menolak suatu keputusan. Lagi-lagi saya salut pada mereka yang berupaya menyadari permasalahan-permasalahan ini, namun permasalahan ini masih ada, sering kali tidak diungkapkan kecuali dalam kelompok-kelompok berkeanggotaan lebih sedikit.”

Metode-metode organisasi anarkis selalu berubah menjadi kebalikannya. Tendensi “anti-pemimpin”, “anti-sentralis”, dan “anti-birokratis” akhirnya malah jadi sistem paing birokratis dan tidak demokratis. Kita sudah menyaksikan hal ini berulang kali. Dibalik majelis anarkis tanpa bentuk yang demokratis, tanpa aturan, tanpa struktur, (dan menurut teori) tanpa pemimpin, seseorang selalu mengambil keputusan. Namun “seseorang” ini tidaklah dipilih oleh siapapun --  “Pemilihan? Voting mayoritas? Haram!” -- dan karena itu tidak bertanggung jawab pada siapa pun.

Dibalik adegan-adegan ini, organisasi-organisasi “non birokratis” ini dijalankan oleh klik-klik yang terdiri dari orang-orang (paling sering kaum anarkis) yang menunjuk dirinya sendiri. Hal ini, pada prakteknya, merupakan bentuk terburuk birokrasi -- suatu birokrasi yang tak bertanggungjawab yang bisa melakukan apa yang disukainya karena tidak ada metode kontrol demokratis formal sama sekali.

Negara

Pertanyaan mengenai negara adalah salah satu hal yang memisahkan antara Marxisme dan Anarkisme. Lantas apa itu negara? Marxisme menjelaskan bahwa negara adalah produk dan perwujudan dari pertentangan kelas yang tak terdamaikan dalam masyarakat. Negara muncul dimanapun, kapanpun, dan sepanjang pertentangan kelas tidak bisa didamaikan. Malahan keberadaan negara itu sendiri membuktikan bahwa pertentangan kelas tidak dapat didamaikan.

Friedrich Engels menarik kesimpulan dari analisis historis mengenai negara:

“Negara, oleh karena itu, sama sekali bukan kekuatan yang muncul dengan sendirinya di dalam masyarakat; dan ia juga bukan “realitas dari gagasan etis” atau “bayangan dan kenyataan dari  nalar”, seperti yang dikatakan oleh Hegel. Sebaliknya Negara merupakan produk masyarakat pada tahap perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa masyarakat tersebut telah terseret ke dalam sebuah kontradiksi yang tak terpecahkan di dalamnya, bahwa masyarakat ini telah pecah menjadi antagonisme-antagonisme yang tidak dapat ia singkirkan. Agar antagonisme-antagonisme ini, kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang saling bertentangan ini, tidak menghancurkan diri mereka sendiri dan masyarakat dalam perjuangan yang sia-sia maka dibutuhkan sebuah kekuatan, yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, yang akan melunakkan konflik ini dan menjaganya di dalam batas-batas ‘ketertiban’; dan kekuatan ini, yang lahir dari masyarakat namun menempatkan dirinya di atas masyarakat, dan semakin lama semakin mengasingkan dirinya dari masyarakat, itulah yang dinamakan negara.” (F. Engels, Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara).

Negara modern adalah sebuah binatang raksasa birokratis yang menelan sejumlah besar kekayaan yang diproduksi oleh kelas buruh. Baik kaum Marxis maupun Anarkis sepakat bahwa negara adalah alat penindasan yang harus dihapus. Pertanyaannya adalah: Bagaimana, oleh siapa? Apa yang akan menggantikannya? Ini adalah pertanyaan fundamental di tiap revolusi. Dalam sebuah pidato mengenai anarkisme selama Perang Sipil Rusia, Trotsky merangkum dengan sangat baik bagaimana posisi kaum Marxis tentang Negara.

“Borjuasi berkata: jangan sentuh kekuasaan negara; itu adalah hak istimewa suci yang turun-menurun milik kelas-kelas berpendidikan. Sedangkan kaum Anarkis berkata: jangan sentuh negara; itu adalah penemuan setan, alat iblis, jangan lakukan apapun dengan negara. Borjuasi berkata, jangan menyentuhnya, negara itu suci. Anarkis berkata; jangan menyentuhnya, negara itu dosa. Keduanya sama-sama berkata, jangan menyentuhnya. Namun kami berkata: jangan sekedar menyentuhnya, rebutlah ke dalam genggaman tanganmu sendiri, dan pakailah untuk kepentinganmu sendiri, untuk penghapusan kepemilikan pribadi, dan emansipasi kelas buruh.” (Leon Trotsky, Bagaimana Revolusi Dipersenjatai, Vol. 1, 1918, London: New Park, 1979)

Marxisme menjelaskan bahwa negara pada analisa terakhir terdiri dari badan orang-orang bersenjata: terdiri dari tentara, polisi, pengadilan, dan penjara. Negara merupakan alat kelas penguasa untuk menindas kelas-kelas lainnya. Berlawanan dengan pemikiran-pemikiran anarkis yang dipenuhi kebingungan, Marx menyatakan bahwa buruh memerlukan negara untuk melawan serangan balik dari kelas-kelas penindas. Namun pernyataan Marx telah dipelintir baik oleh kaum borjuis maupun kaum anarkis.

Komune Paris 1871 merupakan babakan paling akbar dan paling membangkitkan inspirasi dalam sejarah kelas buruh, Dalam gerakan revolusionernya yang gegap gempita, rakyat buruh Paris menggantikan negara kapitalis dengan organ-organ pemerintahan mereka sendiri dan menggenggam kekuasaan politik sampai kejatuhannya beberapa bulan kemudian. Kaum buruh Paris telah bersusah payah, di tengah kondisi yang luar biasa sulit, untuk mengakhiri penghisapan dan penindasan, dan untuk mengorganisir ulang tatanan masyarakat di atas landasan yang sepenuhnya baru.

Komune merupakan suatu babakan agung dalam sejarah kelas buruh sedunia. Untuk pertama kalinya, massa rakyat, yang dipimpin oleh kelas buruh, berhasil menggulingkan negara lama, dan memulai tugas mengubah tatanan masyarakat. Tanpa rencana aksi yang jelas, tanpa kepemimpinan dan organisasi, massa menampilkan keberanian, inisiatif, dan kreativitas dalam tingkatan yang mengejutkan. Namun pada analisis terakhir, ketiadaan kepemimpinan yang tegas dan berpandangan jauh ke depan serta ketiadaan sebuah program yang jelas berujung pada kekalahan tragis. Marx dan Engels mengikuti perkembangan-perkembangan di Prancis dengan sangat dekat dan mendasarkan diri mereka pada pengalaman untuk memformulasikan teori “kediktatoran proletar”, yang semata-mata merupakan istilah yang lebih ilmiah dari “kekuasaan politik kelas buruh.”

Marx dan Engels dengan seksama memetakan Komune, menyorot keunggulan-keunggulannya berikut kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya. Semua hal ini bisa dilacak balik ke kegagalan kepemimpinan. Para pemimpin Komune merupakan gado-gado, campuran dari suatu minoritas Marxis hingga elemen-elemen yang lebih dekat ke reformisme atau anarkisme. Salah satu penyebab kegagalan Komune adalah tidak dilakukannya suatu ofensif revolusioner terhadap pemerintahan reaksioner yang membentuk dirinya di Versailles. Ini memberi waktu bagi pasukan-pasukan kontra-revolusioner untuk bergerak ke Paris dan menyerangnya. Lebih dari 30.000 orang dibantai kontra revolusi. Komune secara harfiah dikubur di bawah tumpukan mayat yang menggunung.

Menyimpulkan pengalaman Komune Paris, Marx dan Engels menjelaskan:

“Satu hal yang terutama telah dibuktikan oleh Komune adalah bahwa 'kelas buruh tidak bisa begitu saja menggunakan mesin negara yang telah ada dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya'...” (Pengantar untuk edisi Jerman 1872 dari Manifesto Komunis).

Stalinisme atau Komunisme?

Kaum borjuis dan para pendukungnya ingin membingungkan kaum buruh dan pemuda dengan mencoba menyamakan komunisme dengan rezim Stalinis Rusia yang birokratis dan totaliter. “Kalian ingin Komunisme? Ini! Itulah Komunisme! Tembok Berlin itu Komunisme! Hungaria 1956 adalah Komunisme! Gulag-gulag Soviet adalah Komunisme!” Sayangnya, kaum anarkis juga menggaungkan argumen-argumen macam ini.

Ini adalah suatu fitnah bodoh. Negara buruh yang didirikan oleh Revolusi Bolshevik tidaklah birokratis dan tidak totaliter. Sebaliknya, sebelum birokrasi Stalinis merebut kontrol dari massa, negara buruh tersebut merupakan negara paling demokratis yang pernah ada. Prinsip-prinsip dasar kekuasaan Soviet tidak diciptakan oleh Marx maupun Lenin, melainkan berdasarkan pengalaman konkret Komune Paris, dan yang kemudian diuraikan oleh Lenin.

Kondisi-kondisi dasar bagi demokrasi buruh dipaparkan di karya Lenin yang paling penting: Negara dan Revolusi. Di sini dia menyebutkan kondisi-kondisi berikut terkait negara buruh atau kediktatoran proletar pada mulanya:

1.         Pemilihan-pemilihan yang bebas dan demokratis dengan hak untuk menarik kembali (recall) seluruh pengurus.

2.         Tidak ada pengurus yang menerima upah lebih tinggi dari buruh terampil.

3.         Tidak ada tentara reguler atau pasukan polisi, namun rakyat bersenjata.

4.         Secara perlahan, semua tugas administratif harus secara bergiliran dikerjakan oleh semua orang. “Setiap juru masak harus mampu jadi Perdana Menteri --  ketika semua orang jadi 'birokrat' maka tidak ada yang jadi birokrat.”

Ini adalah kondisi-kondisi yang dipaparkan oleh Lenin, bukan untuk sosialisme penuh atau komunisme, namun periode yang paling awal dari negara buruh—periode transisi dari kapitalisme ke sosialisme.

Transisi ke sosialisme—suatu bentuk lebih tinggi dari masyarakat berdasarkan demokrasi sejati dengan keberlimpahan untuk semua orang—hanya bisa diwujudkan oleh partisipasi aktif dan sadar dari kelas buruh yang menjalankan masyarakat, industri, dan negara. Hal ini bukanlah sesuatu yang akan diberikan kelas kapitalis atau para birokrat kepada kelas buruh dengan senang hati. Seluruh konsepsi Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky berdasarkan fakta ini.

Di bawah Lenin dan Trotsky, negara Soviet dibentuk untuk memfasilitasi akses buruh ke tugas-tugas mengontrol dan mengelola, menjamin kemajuan tak terinterupsi dari reduksi “fungsi-fungsi istimewa” kepejabatan dan kekuasaan Negara. Batasan-batasan ketat ditempatkan terkait upah, kekuasaan, dan hak-hak istimewa para pengurus demi mencegah pembentukan suatu kasta dengan hak-hak istimewa.

Soviet Deputi Buruh dan Prajurit adalah majelis terpilih yang terdiri bukan dari para birokrat dan politisi profesional melainkan para buruh, tani, dan prajurit biasa. Soviet bukanlah suatu kekuasaan yang berdiri di atas masyarakat namun suatu kekuasaan yang berdasarkan inisiatif langsung rakyat dari bawah. Hukum-hukumnya tidak seperti hukum-hukum yang didirikan oleh kekuasaan negara kapitalis. Soviet merupakan kekuasaan yang sepenuhnya berbeda dibandingkan kekuasaan yang umumnya ada pada republik-republik demokratis borjuis parlementer yang jenisnya masih berlaku di negara-negara maju Eropa dan Amerika. Kekuasaan Soviet sama jenisnya dengan kekuasaan Komune Paris 1871.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Lenin:

“Ciri-ciri fundamental dari kekuasaan semacam ini adalah: (1) sumber kekuasaan bukanlah datang dari hukum yang sebelumnya telah dibahas dan disahkan oleh parlemen, melainkan dari inisiatif langsung rakyat dari bawah, di daerah-daerah lokal mereka--'perebutan' langsung, kalau kita mau pakai ekspresi terkini; (2) polisi dan tentara, yang merupakan institusi-institusi yang terceraikan dari rakyat dan diarahkan untuk melawan rakyat, digantikan dengan mempersenjatai seluruh rakyat secara langsung; dengan demikian tata tertib negara yang ada di bawah kekuasaan demikian dijalankan dan dipertahankan oleh buruh dan tani yang bersenjata itu sendiri, oleh rakyat bersenjata itu sendiri; (3) kepejabatan, birokrasi, juga diganti dengan kekuasaan rakyat secara langsung atau setidaknya diletakkan di bawah kontrol istimewa. Para pengurus tidak hanya dipilih namun juga bisa ditarik kembali (recall) kapan pun rakyat menghendakinya; posisi mereka direduksi jadi sebatas agen-agen sederhana; dari apa yang awalnya merupakan suatu kelompok dengan hak-hak istimewa yang memegang 'jabatan' dengan gaji tinggi, akhirnya menjadi pekerja-pekerja ‘jasa khusus’ yang gajinya tidak melebihi bayaran biasa dari seorang buruh terampil.”

“Ini, dan hanya hal ini, yang menyusun intisari Komune Paris sebagai sebuah negara jenis khusus.” (Lenin, Kekuasaan Ganda, Kumpulan Tulisan, Vol. 24, hal. 38-39).

Lenin menekankan bahwa kaum proletar hanya membutuhkan suatu negara “yang disusun sedemikian rupa sehingga ketika dimulai maka saat itu juga ia mulai melayu dan akhirnya pupus”. Sebuah negara buruh yang sejati tidak punya kesamaan sama sekali dengan monster birokratis yang saat ini ada, termasuk dengan yang dulu ada di Rusia yang Stalinis.

Uni Soviet pada awalnya sama sekali bukanlah sebuah negara menurut pengertian yang kita pahami secara umum. Sebaliknya Uni Soviet hanyalah ekspresi terorganisir dari kekuatan revolusioner kelas buruh. Meminjam frase Marx, ia adalah sebuah “semi-negara,” sebuah negara yang didesain sedemikian rupa sehingga pada akhirnya ia akan melayu dan terurai ke dalam masyarakat, dan membuka jalan bagi terbentuknya administrasi kolektif masyarakat untuk kebaikan semua orang, tanpa kekerasan dan paksaan. Itulah, dan hanya hal itulah, konsepsi Marxis yang sejati mengenai negara buruh.

Kekerasan atau Non-Kekerasan

Masalah negara adalah secara alami berhubungan masalah kekerasan. Kelas penguasa memiliki banyak aparatus pemaksa yang bisa digunakannya: tentara, polisi, dinas intelijen, pengadilan, penjara, pengacara, hakim, dan para pengawas serta sipir penjara. Banyak demonstran yang mendapatkan pelajaran berharga mengenai teori Marxis mengenai negara lewat pentungan polisi.

Kita tidak perlu kaget dengan semua ini. Semua sejarah menunjukkan bahwa tak ada kelas penguasa yang menyerahkan kekayaannya, kekuasaannya, dan hak-hak istimewanya tanpa pertempuran -- dan biasanya ini artinya pertempuran tanpa belas kasihan. Setiap gerakan revolusioner akan menghadapi aparatus kekerasan negara ini.

Bagaimana sikap kaum Marxis terhadap kekerasan? Kaum borjuasi dan para pendukungnya selalu menuduh kaum Marxis sebagai penganjur kekerasan. Ini sangat ironis, karena justru kelas penguasa yang menumpuk persenjataan yang memenuhi gudang-gudang persenjataannya, ditambah pasukan-pasukan tentara yang bersenjata, polisi, penjara, dan sebagainya. Kelas penguasa sama sekali tidak menentang kekerasan sebenarnya. Malah faktanya, kekuasaannya berdasarkan kekerasan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Satu-satunya kekerasan yang dibenci kelas penguasa adalah saat kaum miskin, yang terhina dan terhisap, mencoba membela diri melawan kekerasan terorganisir dari negara borjuis. Dengan demikian kelas penguasa menentang kekerasan yang diarahkan terhadap kekuasaan, kekuatan, dan kekayaan kelasnya.

Tak perlu dikatakan lagi bahwa kami tidak menganjurkan kekerasan. Kami siap menggunakan setiap dan semua kesempatan yang diberikan oleh demokrasi borjuis. Namun kita tidak boleh tertipu. Dibalik kulit demokrasi borjuis terdapat kediktatoran bank dan konglomerasi.

Sementara rakyat diceramahi bahwa mereka bisa memutuskan arah negara secara demokratis melalui pemilihan umum, padahal kenyataannya semua keputusan riil diambil oleh jajaran direktur. Kepentingan segelintir bankir dan kapitalis lebih berbobot daripada suara jutaan rakyat jelata. Arti sesungguhnya dari demokrasi borjuis adalah: setiap orang bisa bicara (kurang lebih) tentang apa yang mereka mau asalkan konglomerasi yang menentukan apa yang seharusnya terjadi.

Kediktatoran konglomerasi umumnya disembunyikan dibalik kedok manis. Namun pada momen-momen kritis, kedok manis “demokrasi” ini dibuka dan menampakkan wajah buruk rupa kediktatoran Kapital. Pertanyaannya adalah apakah kita, Rakyat, punya hak untuk berjuang melawan kediktatoran ini dan berupaya menggulingkannya.

Jawabannya telah diberikan saat rakyat Amerika bangkit, mengangkat senjata, untuk membela hak-hak mereka melawan tirani Mahkota Inggris. Hal ini diabadikan dalam Amandemen Kedua Konstitusi Amerika, yang membela hak rakyat untuk mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan. Para “bapak bangsa” menjunjung tinggi hak-hak rakyat untuk melakukan pemberontakan bersenjata melawan suatu pemerintahan tirani. Konstitusi New Hampshire 1784 mengatakan bahwa “tindakan tidak mau melawan kekuasaan dan penindasan arbitrer adalah suatu ketertundukan yang absurd dan destruktif terhadap kebaikan dan kebahagiaan umat manusia.”

Setiap Revolusi dalam sejarah -- termasuk Revolusi Amerika -- menunjukkan ketepatan kata-kata Marx saat dia menulis bahwa “kekerasan adalah bidan dari tiap masyarakat lama yang hamil dengan janin masyarakat baru.” Meskipun demikian, dalam pernyataan programatik Marxisme yang paling pertama, yang tertuang dalam Prinsip-Prinsip Komunisme, Engels menulis sebagai berikut:

“Pertanyaan 16: Mungkinkah melaksanakan penghapusan kepemilikan pribadi melalui cara-cara damai?

“Jawaban: Ini adalah sesuatu yang kita idamkan kalau bisa terjadi, dan kaum Komunis adalah orang terakhir yang akan menolaknya. Kaum komunis paham betul bahwa konspirasi tidak hanya sia-sia namun juga berbahaya. Mereka paham betul bahwa revolusi tidak dibuat secara sengaja dan serampangan, namun muncul dimanapun dan kapanpun akibat situasi dan kondisi-kondisi yang independen dari kehendak dan kepemimpinan partai-partai tertentu dan seluruh kelas yang ada. Namun meskipun demikian kaum komunis mengetahui bahwa perkembangan proletar yang ada di hampir semua negara beradab telah menemui penindasan sangat keras, dan dengan cara demikian para lawan kaum komunis dalam segala cara telah mempromosikan revolusi. Bilamana kaum proletar yang ditindas pada akhirnya terdorong menuju suatu revolusi, kami kaum Komunis akan membela perjuangan kaum proletar tidak hanya dengan perkataan seperti selama ini namun juga dengan perbuatan” (Engels, Prinsip-prinsip Komunisme, Marx dan Engels, Pilihan Karya, Vol. I, hal. 89)

Faktanya adalah bahwa seketika kelas buruh mengorganisir diri dan memobilisasi diri untuk mengubah tatanan masyarakat, maka tak ada negara, tentara, dan polisi yang bisa menghentikannya. Sembilan dari sepuluh, kekerasan yang muncul dalam situasi revolusioner merupakan tindakan yang dilakukan oleh kelas penguasa, yang frustrasi dan melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Karena itu, bahaya kekerasan sebenarnya berbanding terbalik dengan kemauan kelas buruh untuk berjuang mengubah tatanan masyarakat. Sebagaimana pepatah Roma kuno: Si pacem vis para bellum -- Kalau kau ingin perdamaian maka bersiaplah untuk berperang.

Bagaimanapun juga hal ini tidak berarti bahwa kami menganjurkan tindakan-tindakan kekerasan sporadis secara berkelompok ataupun perorangan: entah itu kerusuhan, pemecahan jendela, pembakaran, dan lain sebagainya. Hal-hal demikian memang terkadang mencerminkan kemarahan dan frustrasi sesungguhnya yang dirasakan rakyat, khususnya kaum pengangguran dan pemuda yang termarjinalkan, yang murka pada ketidakadilan masyarakat kelas. Namun tindakan-tindakan macam ini tidak akan mencapai hasil positif sama sekali. Hal ini malah akan mengasingkan lebih banyak lapisan dari kelas buruh dan memberi alasan bagi kelas penguasa untuk melakukan penindasan keras skala penuh dengan menggunakan negara untuk menggilas semua gerakan protes pada umumnya.

Ada sebuah kekuatan dalam masyarakat yang jauh lebih kuat dibandingkan negara ataupun tentara paling kuat: yaitu kekuatan kelas buruh, bila mereka mengorganisir diri dan memobilisasi diri untuk mengubah tatanan masyarakat. Tak ada satu pun roda yang berputar, tak ada satu pun telepon yang berdering, tak ada satu pun lampu yang akan menyala tanpa izin dari kelas buruh! Begitu kekuasaan besar ini digerakkan, tak ada satu pun kekuatan di muka bumi yang bisa menghentikannya.

Ada organisasi-organisasi serikat buruh yang kuat dan lebih dari sekedar mampu untuk menggulingkan kapitalisme bila jutaan buruh yang mereka wakili dimobilisasi untuk tujuan ini. Sekali lagi permasalahannya adalah permasalahan kepemimpinan kelas buruh dan organisasi-organisasinya.

Apa yang Harus Dilakukan

Kepemimpinan organisasi-organisasi massa, dimulai dari serikat-serikat buruh, berada dalam kondisi yang menyedihkan dimanapun mereka berada. Ada kesempatan untuk pertempuran-pertempuran besar, namun juga kekalahan-kekalahan kelas buruh sebagai akibat kepemimpinan yang buruk. Bisa dimaklumi kalau banyak pemuda kemudian merasa jijik dengan peran yang dimainkan para pimpinan demikian, sehingga akhirnya berpaling kepada pemikiran Anarkis untuk menemukan solusi.

Bagaimanapun juga dalam banyak kasus, mereka yang mengklaim diri mereka sebagai kaum anarkis tidak punya pengetahuan baik mengenai teori ataupun sejarah anarkisme. Anarkisme mereka bukanlah anarkisme sama sekali, namun sebuah reaksi sehat terhadap birokrasi dan reformisme. Saat mereka berkata: “kami menentang politik!” maksud mereka adalah: “kami menentang politik yang ada saat ini, yang tidak merepresentasikan pandangan rakyat jelata!” Saat mereka berkata: “kami tidak butuh partai dan pemimpin!” maksud mereka adalah: “kami tidak butuh partai-partai politik dan para pimpinan yang ada saat ini dan yang terkucil dari masyarakat dan hanya mempertahankan kepentingan mereka sendiri serta orang-orang kaya yang membeking mereka.”

“Anarkisme” macam ini pada kenyataannya adalah cangkang luar dari Bolshevisme yang belum matang, yaitu cikal bakal Marxisme revolusioner. Mereka ini sesungguhnya adalah kaum muda yang tulus dan bercita-cita untuk mengubah tatanan masyarakat dengan segenap hati. Banyak di antara mereka yang akan memahami batasan-batasan pemikiran dan metode-metode anarkis serta akan mencari alternatif revolusioner yang lebih efektif. Tidak adanya kepemimpinan yang cakap dan program aksi yang jelas telah semakin dirasakan oleh banyak aktivis di gerakan Occupy.

Melalui pengalaman yang menyakitkan, generasi baru kelas buruh dan kaum muda mulai memahami watak permasalahan-permasalahan yang ada di hadapan mereka dan perlahan-lahan mulai paham kebutuhan atas solusi-solusi radikal. Elemen-elemen terbaik mulai paham bahwa satu-satunya jalan keluar dari kebuntuan ini adalah melalui rekonstruksi revolusioner terhadap tatanan masyarakat dari atas ke bawah.

Tidak akan mudah mencapai hal ini; namun memang tidak ada sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini yang bisa dicapai dengan cara yang mudah. Langkah pertama dan paling penting adalah menolak tatanan masyarakat yang sekarang ada, menolak semua institusinya, nilainya, dan moralitasnya. Dalam banyak hal ini adalah langkah paling mudah. Tidak sulit untuk memprotes dan menolak. Namun apa yang juga dibutuhkan adalah mengatakan dengan positif apa yang harus dilakukan?

Hal ini menggarisbawahi perlunya pemikiran, program, dan taktik yang jelas. Kesalahan-kesalahan dalam teori secara tak terelakkan akan berujung pada kesalahan-kesalahan dalam praktek. Ini bukanlah suatu latihan akademis. Perjuangan kelas bukanlah suatu permainan, dan sejarah penuh dengan contoh dimana ketiadaan kejelasan politik berujung pada konsekuensi-konsekuensi paling tragis. Spanyol pada tahun 1930an adalah salah satu contohnya.

Tahapan-tahapan awal revolusi tak terelakkan lagi akan diiringi oleh kenaifan dan segala macam ilusi. Namun ilusi-ilusi demikian akan hancur oleh berbagai peristiwa. Gerakan akan berlanjut dengan trial-and-error. Butuh waktu untuk belajar. Jika ada sebuah partai Marxis, suatu partai yang berakar di massa dan memiliki otoritas politik, maka proses pembelajaran tak diragukan lagi akan jauh lebih pendek, dan bahkan akan ada lebih sedikit kemunduran maupun kekalahan. Namun partai demikian belum ada. Karena itu partai demikian harus dibangun di tengah kobaran berbagai peristiwa.

Kebingungan, tidak adanya sebuah program, dan perdebatan tiada henti bukanlah pengganti terhadap aksi positif. Bila gerakan Occupy ingin berhasil, maka ia harus dipersenjatai dengan gagasan-gagasan yang jernih dan program revolusioner yang konsisten. Hal itu hanya bisa disediakan oleh Marxisme. Kelas buruh dan kaum pemuda telah menunjukkan upaya serta inisiatif yang dahsyat. Semua kini bergantung pada kemampuan elemen-elemen paling revolusioner dari kelas buruh dan kaum pemuda untuk menarik semua kesimpulan yang diperlukan. Saat mereka dipersenjatai dengan suatu program revolusioner sosialis sejati, maka mereka tak akan terkalahkan.

Perjuangkan Sosialisme!

Benarkah tidak ada alternatif terhadap kapitalisme? Tidak, tidak benar! Alternatifnya adalah suatu sistem berdasarkan produksi untuk kebutuhan banyak orang dan bukannya keuntungan segelintir orang; suatu sistem yang menggantikan kekacauan dan anarki ekonomi dengan perencanaan yang harmonis; yang menggantikan kekuasaan segelintir minoritas parasit kaya raya dengan kekuasaan mayoritas yang memproduksi kemakmuran bagi masyarakat. Nama alternatif ini adalah sosialisme.

Sosialisme yang sejati tidak ada hubungannya dengan karikatur birokratis dan totaliter yang ada di Rusia Stalinis. Sosialisme yang sejati adalah demokrasi sejati berdasarkan kepemilikan, penguasaan, dan pengelolaan tuas-tuas inti tenaga produktif oleh kelas buruh.

Banyak orang yang menganggap bahwasanya umat manusia mengendalikan nasibnya sendiri dan menjalankan tatanan masyarakat di atas landasan perencanaan produksi secara demokratis adalah suatu utopia. Bagaimanapun juga, patut dipahami, bahwa kebutuhan atas ekonomi terencana sosialis bukanlah penemuan Marx atau para pemikir lainnya. Hal ini sebenarnya mengalir dari suatu kebutuhan obyektif. Potensi sosialisme dunia mengalir dari kondisi kapitalisme sendiri yang ada saat ini. Yang harus dilakukan oleh kelas buruh yang menyusun mayoritas adalah mengambil alih pengelolaan tatanan masyarakat, merebut bank-bank dan perusahaan-perusahaan raksasa pemonopoli, serta memobilisasi potensi-potensi besar yang sebelumnya tak digunakan dan tak dikembangkan untuk mulai menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang kita hadapi.

Agar umat manusia bisa bebas memenuhi potensi penuhnya, maka diperlukan suatu industri, agrikultur, sains, dan teknologi yang bebas dari kekangan kapitalisme yang menyesakkan. Begitu tenaga-tenaga produktif dibebaskan dari batasan-batasan menyesakkan ini, maka dengan seketika masyarakat akan mampu memenuhi kebutuhan semua manusia dan mempersiapkan jalan bagi kemajuan raksasa umat manusia.

Kami mengundang semua orang yang tertarik untuk berjuang mengubah tatanan masyarakat, untuk bergabung bersama kami, untuk mendiskusikan, memperdebatkan perbedaan-perbedaan kita, dan untuk menguji keunggulan gagasan dan program dalam praktek perjuangan kelas. Hanya dengan cara ini kita bisa mengakhiri kebimbangan saat ini dan memperoleh kejernihan ideologis dan kohesi organisasional yang diperlukan untuk mencapai kemenangan puncak kita.

London, 6 Desember 2011.

Alan Woods.