Introduksi

Masalah kebangsaan – yakni, penindasan terhadap nasion dan bangsa minoritas – yang telah menjadi karakter dari kapitalisme sejak lahir, menempati posisi yang sentral dalam teori Marxis. Tulisan-tulisan Lenin khususnya mengupas masalah yang penting ini secara rinci, dan tulisan-tulisan ini terus menyediakan kepada kita fondasi yang kuat untuk memahami isu yang paling kompleks dan eksplosif ini. Tanpa posisi yang tepat mengenai masalah kebangsaan kaum Bolshevik tidak akan pernah bisa merebut kekuasaan pada 1917. Kaum proletariat hanya mampu menyatukan di bawah panji sosialisme kekuatan-kekuatan massa yang dibutuhkan untuk menumbangkan kekuasaan kaum penindas bila mereka menempatkan diri mereka di pucuk kepemimpinan semua lapisan masyarakat yang tertindas. Ketidakmampuan untuk memahami masalah-masalah dan aspirasi-aspirasi dari bangsa-bangsa yang tertindas di bawah rejim Tsar akan melemahkan perjuangan revolusioner kaum proletariat.

Dua hal fundamental yang merintangi progres umat manusia adalah kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan negara-bangsa. Tetapi sementara rintangan yang pertama cukuplah jelas, yang kedua biasanya tidak menerima perhatian yang diperlukan. Hari ini, di tengah epos kemunduran imperialisme, ketika kontradiksi-kontradiksi dari sebuah sistem sosio-ekonomi yang sedang membusuk ini telah mencapai limitnya dan sudah tak tertanggungkan lagi, masalah kebangsaan kembali mencuatkan kepalanya di mana-mana, dengan konsekuensi-konsekuensi yang paling tragis dan berdarah-darah. Kaum reformis yang tak berdaya membayangkan kalau masalah kebangsaan telah secara damai lenyap ke latar belakang, sebagai sebuah fase perkembangan sejarah yang sudah jauh ditinggalkan oleh umat manusia. Namun, justru masalah kebangsaan hari ini telah mengambil bentuk yang sungguh kejam dan beracun, yang mengancam untuk menyeret seluruh bangsa kembali ke barbarisme. Solusi terhadap masalah kebangsaan adalah sebuah komponen vital dari kemenangan sosialisme dalam skala dunia.

Tidak ada satu pun negeri – bahkan negeri yang paling besar dan kuat sekalipun – yang bisa menghindari dominasi pasar dunia yang mencekik. Fenomena yang oleh kaum borjuasi disebut globalisme ini, yang telah diprediksi oleh Marx dan Engels lebih dari 150 tahun yang lalu, sekarang telah menjadi kenyataan. Sejak Perang Dunia Kedua, dan terutama selama 20 tahun terakhir, kita dapati intensifikasi divisi kerja dalam skala internasional yang luar biasa dan pertumbuhan perdagangan dunia yang kolosal, sampai ke tingkatan yang tidak akan pernah bisa dibayangkan oleh Marx dan Engels. Perekonomian dunia telah tersatukan sampai ke tingkatan yang tak pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Ini adalah perkembangan yang paling progresif karena ini berarti bahwa kondisi material untuk sosialisme sedunia hari ini telah tersedia.

Kendali atas ekonomi dunia ada di tangan 200 korporasi internasional terbesar. Konsentrasi kapital telah mencapai proporsi yang luar biasa. Setiap hari 1,3 triliun dolar AS menyeberangi perbatasan-perbatasan negara dalam transaksi-transaksi internasional dan 70% dari transaksi ini dilakukan oleh korporasi-korporasi multinasional. Setiap hari perusahaan-perusahaan monopoli raksasa bersaing mati-matian untuk saling mencaplok satu sama lain. Miliaran dolar dihabiskan untuk melakukan ini, yang mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi yang begitu besarnya ke tangan segelintir perusahaan, yang jumlahnya semakin hari semakin sedikit. Mereka bertingkah seperti kanibal yang buas dan lapar, yang saling memangsa untuk meraup laba yang lebih besar. Dalam kegilaan kanibalistik ini, kelas buruh selalu menjadi pihak yang kalah. Segera setelah merger dilakukan, kantor pusat segera mengumumkan gelombang PHK dan penutupan pabrik dan kantor, dan menekan para pekerjanya untuk bekerja lebih lama dengan gaji lebih rendah guna meningkatkan laba, dividen, dan bonus para eksekutif perusahaan.

Dalam konteks ini bukunya Lenin – Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme – sangatlah relevan hari ini. Lenin menjelaskan bahwa imperialisme adalah kapitalisme pada periode monopoli dan konglomerat besar. Tetapi tingkatan monopoli pada jamannya Lenin tampak seperti mainan anak-anak jika dibandingkan dengan hari ini. Pada 1999, jumlah pengambilalihan perusahaan luar negeri mencapai 5100. Terlebih, nilai dari pengambilalihan/merger ini meningkat 47% dibandingkan pada 1998, mencapai rekor 798 miliar dolar AS.[1] Dengan uang sebanyak ini kita bisa menyelesaikan masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi oleh dunia: kemiskinan, buta huruf, dan penyakit menular. Tetapi ini mensyaratkan keberadaan sebuah sistem produksi yang rasional, dimana kebutuhan mayoritas berdiri di atas kepentingan laba dari minoritas. Kekuatan besar yang dimiliki oleh korporasi-korporasi multinasional raksasa ini, yang kian melebur dengan negara kapitalis, menghasilkan fenomena yang oleh ahli sosiologi Amerika Wright-Mills disebut “Military Industrial Complex” (Kompleks Industrial Militer) dan mendominasi dunia jauh lebih luas daripada yang pernah terlihat dalam sejarah.

Di sini kita saksikan sebuah kontradiksi yang mencolok. Di atas basis globalisasi, para apologis borjuis dan terutama kaum borjuis kecil berargumen bahwa negara-bangsa sudah tidak penting lagi. Ini bukan argumen yang baru. Ini argumen sama yang diajukan oleh Kautsky pada periode Perang Dunia Pertama, apa yang disebut teori “ultra-imperialisme”. Kautsky berargumen bahwa perkembangan kapitalisme monopoli dan imperialisme akan berangsur-angsur menghilangkan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Tidak akan ada lagi perang karena perkembangan kapitalisme itu sendiri akan membuat negara-bangsa menjadi mubazir. Teori yang sama juga diajukan hari ini oleh teoretikus revisionis seperti Eric Hobsbawm di Inggris. Sang mantan Stalinis ini telah menyebrang ke sayap kanan dan berargumen bahwa negara-bangsa hanyalah sebuah periode singkat dalam sejarah manusia yang kini telah lewat. Para ekonom borjuis telah mengajukan argumen yang serupa sepanjang sejarah. Mereka mencoba menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalisme dengan menyangkal keberadaan mereka. Namun justru hari ini ketika pasar dunia telah menjadi kekuatan dominan di atas bumi antagonisme-antagonisme nasional di mana-mana mencuat dan mengambil karakter yang meledak-ledak. Masalah kebangsaan jauh dari selesai dan di mana-mana menjadi intens dan beracun.

Dengan perkembangan imperialisme dan kapitalisme monopoli, sistem kapitalisme telah tumbuh melampaui batas-batas sempit kepemilikan pribadi dan negara-bangsa, yang memainkan peran yang serupa seperti halnya kekuasaan bangsawan-bangsawan kecil pada masa kebangkitan kapitalisme. Selama Perang Dunia Pertama, Lenin menulis: “Imperialisme adalah tahapan tertinggi kapitalisme. Di negeri-negeri termaju kapital telah tumbuh melampaui batas-batas negara-bangsa, telah menggantikan kompetisi dengan monopoli, dan telah menciptakan kondisi-kondisi objektif untuk sosialisme.”[2]. Siapapun yang gagal memahami kebenaran elementer ini akan menemui dirinya tidak mampu memahami masalah kebangsaan dan semua manifestasi terpenting pada epos hari ini.

Seluruh sejarah seratus tahun silam adalah sejarah pemberontakan kekuatan produksi terhadap batas-batas sempit negara-bangsa. Dari pemberontakan ini muncul ekonomi dunia, yang diikuti oleh krisis dunia, Perang Dunia I dan II, dan perang-perang lainnya. Oleh karenanya gambaran yang dilukiskan oleh Profesor Hobsbawm, gambaran sebuah dunia dimana kontradiksi-kontradiksi nasional sudah lenyap, adalah fantasi tak berguna. Justru sebaliknya. Dengan krisis kapitalisme masalah kebangsaan tidak hanya ditemui di negeri-negeri eks-koloni. Ini juga mulai mempengaruhi negeri-negeri kapitalis maju, bahkan di tempat dimana sebelumnya masalah ini tampaknya sudah terselesaikan. Di Belgia, salah satu negeri kapitalis termaju di Eropa, konflik antara orang Walloon (penduduk Belgia di bagian Selatan yang berbahasa Prancis) dan Flemish (penduduk Belgia di bagian Utara yang berbahasa Belanda) telah menjadi sangat intens, dan di bawah kondisi tertentu dapat memecah Belgia. Di Siprus ada antagonisme nasional antara orang Yunani dan Turki, dan konflik yang lebih luas antara negeri Yunani dan Turki. Baru-baru ini masalah kebangsaan di daerah Balkan hampir menyeret Eropa ke ambang peperangan.

Di Amerika kita temui problem rasisme terhadap orang Hitam dan juga orang Hispanik (penduduk keturunan Amerika Latin). Di Jerman, Prancis, dan negeri-negeri lain kita temui diskriminasi dan serangan-serangan rasis terhadap kaum imigran. Di negeri-negeri bekas Uni Soviet masalah kebangsaan telah menjelma menjadi kekacauan yang berdarah-darah dan perang sipil. Di Inggris, negeri kapitalis tertua, masalah kebangsaan masih belum terselesaikan, tidak hanya di Irlandia Utara tetapi juga di Wales dan Skotlandia. Di Spanyol, ada masalah Euskadi, Catalonia, dan Galicia. Di Italia, setelah ratusan tahun unifikasi, Partai Liga Utara (Lega Nord) mengajukan tuntutan separatisme di Italia, dengan alasan hak penentuan nasib diri sendiri untuk Italia Utara (Padania). Kesimpulannya jelas. Kita tidak bisa mengabaikan masalah kebangsaan. Bila kita ingin mengubah masyarakat ini, kita harus memiliki posisi yang rinci, jelas, dan tepat mengenai masalah kebangsaan. Untuk alasan ini, kami menulis karya ini untuk kaum buruh dan kaum muda yang ingin memahami gagasan Marxisme untuk mengubah masyarakat.

Bagian satu: Masalah Kebangsaan dalam Sejarah

“Di Eropa Barat, epos tahapan pembentukan nasion-nasion borjuis, bila kita kecualikan perjuangan kemerdekaan Belanda dan nasib negeri kepulauan seperti Inggris, dimulai dengan Revolusi Prancis [1789], dan umumnya selesai sekitar seratus tahun kemudian dengan pembentukan Jerman.” (Leon Trotsky, History of Russian Revolution)

Walaupun kebanyakan orang berpikir bahwa negara-bangsa adalah sesuatu yang alami, dan oleh karenanya berakar dari masa lalu yang lampau, bila bukan berakar dari darah dan jiwa manusia, sesungguhnya negara-bangsa adalah bentukan manusia yang relatif modern, yang muncul kira-kira 200 tahun yang lalu. Satu-satunya pengecualian adalah Belanda, dimana revolusi borjuis pada abad ke-16 mengambil bentuk perang pembebasan nasional melawan Spanyol, dan Inggris karena posisinya yang unik sebagai sebuah kerajaan kepulauan, dimana perkembangan kapitalisme dimulai jauh lebih awal daripada yang lain (dari abad ke-14). Sebelum periode ini, tidak ada nasion, hanya suku, negara-kota, dan kerajaan. Tidaklah tepat secara ilmiah kalau kita menyebut yang belakangan ini sebagai “nasion” atau “bangsa”, seperti yang biasanya dilakukan. Seorang penulis nasionalis dari Welsh bahkan menulis mengenai “bangsa Welsh” sebelum invasi Romawi ke Inggris (pada abad ke-1). Welsh pada saat itu adalah sekumpulan suku-suku yang tidak berbeda secara fundamental dengan suku-suku lainnya yang bermukim di kepulauan yang hari ini dikenal sebagai Inggris. Para penulis nasionalis selalu mencoba menciptakan kesan bahwa “bangsa” (terutama bangsa mereka sendiri) adalah sesuatu yang sudah ada sejak awal. Pada kenyataannya negara-bangsa adalah sebuah entitas yang berevolusi secara historis. Negara-bangsa tidak selalu ada, dan tidak akan selalu ada di masa depan.

Pada kenyataannya negara-bangsa adalah produk dari kapitalisme. Negara-bangsa dibentuk oleh kaum borjuasi yang membutuhkan pasar nasional. Kaum borjuasi harus menghancurkan halangan-halangan lokal, dengan daerah-daerah lokal yang kecil, dengan pajak-pajak lokal mereka, tol-tol jalan, sistem keuangan yang beraneka ragam, sistem perhitungan dan timbangan yang berbeda-beda. Berikut ini adalah ekstrak dari buku Robert Heilbroner, yang menceritakan perjalanan seorang pedagang Jerman pada tahun 1550:

“Andreas Ryff, seorang pedagang, yang berjenggot dan bermantel bulu, pulang ke rumahnya di Baden; dia menulis ke istrinya bahwa dia telah mengunjungi tiga puluh pasar dan kakinya sakit dari menunggang kuda terlalu lama. Dia bahkan lebih gusar oleh kesulitan-kesulitan pada saat itu; setiap 10 mil dia harus berhenti untuk membayar uang tol daerah; dari Basle ke Cologne dia harus membayar 31 uang tol.

“Dan tidak hanya itu saja. Setiap daerah yang dia kunjungi punya mata uang sendiri, aturan dan regulasi sendiri, hukum sendiri. Di daerah sekitar Baden saja ada 112 ukuran panjang yang berbeda, 92 ukuran berat gandum dan 123 ukuran volume air, 63 ukuran volume bir, dan 80 ukuran berat.”[3]

Menghapus partikularisme lokal ini adalah langkah maju yang besar pada saat itu. Menyatukan kekuatan produksi ke dalam satu negara-bangsa adalah tugas historis kaum borjuasi yang luar biasa progresif. Landasan revolusi ini sudah dibangun sejak periode akhir Abad Pertengahan, di periode kemunduran feodalisme dan kebangkitan kaum borjuasi di kota-kota yang perlahan-lahan menuntut hak-hak mereka. Para raja medieval membutuhkan uang untuk perang-perang mereka dan terpaksa mengandalkan pinjaman dari kelas pedagang dan bankir seperti keluarga Fugger dan Medici pada abad ke-15. Tetapi ekonomi pasar belum berkembang sepenuhnya. Yang ada pada saat itu masihlah bentuk embrionik dari kapitalisme, dengan produksi skala-kecil dan pasar-pasar lokal. Kita belum bisa berbicara mengenai pasar nasional yang utuh, atau negara-bangsa. Elemen-elemen dari sejumlah negara Eropa modern sudah terlihat dalam garis besar, tetapi ini masih dalam bentuk yang belum berkembang. Walaupun bangsa Prancis mulai mengambil bentuk sebagai akibat dari perang ratusan tahun dengan Inggris, tetapi peperangan-peperangan ini berkarakter feodal dan dinastik, dan bukan berkarakter nasional. Para tentara yang berperang lebih setia pada tuan bangsawan mereka sendiri dan bukan pada Raja Prancis. Para tentara ini, walaupun datang dari wilayah yang sama dan menggunakan bahasa yang sama, mereka, lebih menganggap diri mereka sebagai orang Brenton, Burgundy, dan Gascogne, alih-alih orang Prancis.

Kesadaran nasional yang sesungguhnya muncul hanya perlahan-lahan, dan penuh susah payah, selama beberapa abad. Proses perkembangan kesadaran nasional ini bersandingan dengan kebangkitan kapitalisme, ekonomi uang dan munculnya pasar nasional; contohnya perdagangan wol di Inggris pada akhir Abad Pertengahan. Membusuknya feodalisme dan kebangkitan monarki absolut, yang mendorong perkembangan borjuasi dan perdagangan untuk kepentingan mereka sendiri, mempercepat proses ini. Seperti yang dijelaskan oleh Robert Heilbroner:

“Pertama, unit-unit politik nasional di Eropa muncul secara perlahan-lahan. Di bawah hantaman perang tani dan penaklukan kerajaan, keberadaan feodalisme awal yang terisolasi digantikan dengan monarki yang tersentralisir. Dan dengan terbentuknya monarki datanglah pertumbuhan semangat kebangsaan; yang pada gilirannya berarti dukungan monarki untuk industri-industri tertentu, seperti industri tekstil di Eropa, dan perkembangan armada dan angkatan bersenjata dengan semua industri-industri satelit mereka. Aturan-aturan dan regulasi-regulasi yang beraneka ragam yang membebani Andreas Ryff dan para pedagang lainnya digantikan dengan hukum nasional, ukuran standar, dan mata uang standar.”[4]

Masalah kebangsaan, dari sudut pandang sejarah, oleh karenanya, berhubungan dengan periode revolusi borjuis demokratik. Masalah kebangsaan, dilihat dari sudut pandang ini, bukanlah bagian dari program sosialis, karena seharusnya masalah kebangsaan sudah diselesaikan oleh kaum borjuasi dalam pergulatannya melawan feodalisme. Kaum borjuasilah yang menciptakan negara-bangsa. Pada masanya pembentukan negara-bangsa adalah perkembangan yang sungguh progresif dan revolusioner. Dan ini tidak dicapai secara damai dan tanpa perjuangan. Bangsa Eropa yang pertama, yakni Belanda, dibentuk pada abad ke-16 sebagai hasil dari revolusi borjuis yang mengambil bentuk peperangan pembebasan nasional melawan Spanyol. Di Amerika Serikat, negara-bangsa lahir di atas basis peperangan pembebasan nasional yang revolusioner pada abad ke-18 dan dikonsolidasikan melalui perang sipil yang berdarah-darah pada 1860an. Di Italia negara-bangsa juga dicapai melalui perang kemerdekaan. Unifikasi Jerman, yang merupakan tugas progresif pada saat itu, dipimpin oleh Bismarck dengan cara-cara reaksioner, di atas basis peperangan dan kebijakan “darah dan besi”.

Revolusi Prancis

Pembentukan negara-bangsa modern di Eropa (dengan pengecualian Belanda dan Inggris) dimulai dengan Revolusi Prancis [1789]. Sampai pada saat itu, negara-bangsa identik dengan kerajaan. Bangsa adalah properti dari kerajaan yang berkuasa. Bentuk legal yang kuno ini diwariskan dari feodalisme, dan berbenturan dengan kondisi-kondisi baru yang menyertai kebangkitan kelas borjuasi. Untuk merebut kekuasaan kaum borjuasi harus mengajukan dirinya sebagai perwakilan rakyat, yakni sebagai perwakilan seluruh Nasion. Seperti yang dikatakan Robespierre: “Dalam negara aristokrasi, kata patrie [nasion atau tanah air] tidak memiliki makna apapun selain bagi keluarga patrisian [bangsawan] yang telah merebut kedaulatan ini. Hanya di bawah demokrasi maka negara menjadi patrie bagi seluruh individu di dalamnya.” (Maximilien Robespierre, Report on the Principles of Public Morality, 5 February 1794)

Prinsip pertama Revolusi Prancis adalah sentralisasi. Ini adalah prasyarat untuk keberhasilannya dalam perjuangan hidup-mati melawan rejim lama yang didukung oleh seluruh Eropa. Di bawah panji “Republik, satu dan tak terpecahkan”, Revolusi Prancis menyatukan Prancis untuk pertama kalinya menjadi sebuah bangsa, dan menyapu ke samping semua partikularisme lokal dan separatisme dari suku Breton, Norman, dan Provencal. Pilihan lainnya adalah disintegrasi dan kematian revolusi itu sendiri. Perjuangan berdarah-darah di Vendée adalah perang melawan separatisme dan reaksi feodal. Penumbangan Keluarga Bangsawan Bourbon[5] memberikan dorongan besar bagi pertumbuhan semangat kebangsaan di seluruh Eropa. Pada periode pertama, teladan yang ditunjukkan oleh rakyat revolusioner Prancis dalam menumbangkan tatanan monarki feodal lama menjadi inspirasi dan titik pusat kekuatan revolusioner dan progresif di seluruh Eropa. Kemudian, tentara revolusioner Republik Prancis terdorong untuk meluncurkan ofensif melawan kekuatan Eropa lama yang bersatu di bawah kepemimpinan Inggris dan Tsarisme Rusia untuk meremukkan revolusi. Kekuatan revolusioner berhasil memukul mundur kekuatan-kekuatan reaksi di setiap front, dan dengan demikian menunjukkan di hadapan seluruh dunia kekuatan dari rakyat revolusioner dan nasion yang bersenjata.

Tentara revolusioner Prancis membawa semangat Revolusi Prancis kemanapun mereka berangkat, dan membawa pesan revolusioner ke wilayah-wilayah yang didudukinya. Di fase kenaikan revolusi, tentara Republik Prancis tampil di hadapan rakyat Eropa sebagai pembebas. Supaya bisa mengalahkan tatanan yang lama, mereka terdorong untuk menyerukan kepada massa rakyat di seluruh Eropa untuk meluncurkan transformasi revolusioner yang sama yang telah berlangsung di Prancis. Ini adalah sebuah perang revolusioner, yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Perbudakan dihapus di koloni-koloni Prancis. Pesan revolusioner dari Deklarasi Hak-hak Manusia[6] di mana-mana menjadi pekik yang memproklamirkan akhir dari penindasan feodal dan monarki. Seperti yang dijelaskan oleh David Thompson, seorang sejarawan dari Inggris:

“Mereka [orang Prancis] mendapat bantuan dari penduduk lokal [dari wilayah-wilayah yang diduduki mereka], dan sisi destruktif dari kerja mereka sering kali disambut dengan cukup baik. Hanya setelah para penduduk lokal ini menemukan bahwa tuan-tuan Prancis mereka sama seperti penguasa lama mereka maka mereka menerima dengan penuh semangat gagasan pemerintahan otonomi. Gagasan bahwa “kedaulatan rakyat” harus mengarah ke kemerdekaan nasional adalah hasil tidak langsung dari okupasi Prancis; makna awalnya, untuk menghapus privilese dan membuat hak-hak manusia menjadi universal, menyatu dengan implikasi baru ini hanya sebagai hasil dari penaklukan. Kaum revolusioner Prancis menyebar liberalisme dengan sengaja tetapi menciptakan nasionalisme dengan tidak sengaja.” (David Thompson, Europe after Napoleon)

Keletihan dan degenerasi Revolusi Prancis menghasilkan kediktatoran Napoleon Bonaparte, seperti halnya degenerasi negara buruh Uni Soviet yang terisolasi lalu berakhir dengan kediktatoran Bonapartis Stalin. Pesan demokratik revolusioner yang sebelumnya dipelintir dan dibengkokkan menjadi ambisi dinastik dan imperial Napoleon, yang terbukti fatal bagi Prancis. Akan tetapi, bahkan di bawah Napoleon, kendati dalam bentuk yang terdistorsi, sejumlah pencapaian Revolusi Prancis masih dipertahankan dan menyebar ke seluruh Eropa, dengan hasil-hasil revolusioner, terutama di Jerman dan Italia.

“Pencapaian-pencapaiannya yang paling destruktif adalah yang paling permanen. Napoleon memperluas dan menyebar pengaruh Revolusi Prancis dengan menghancurkan feodalisme di negeri-negeri Eropa Barat, di Jerman, dan di Italia. Feodalisme sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana kaum bangsawan berkuasa di atas kaum tani, diakhiri; feodalisme sebagai sebuah sistem ekonomi, dimana kaum tani harus membayar upeti feodal kepada kaum bangsawan, diakhiri, walaupun sering kali untuk kompensasi dan perlindungan. Klaim-klaim Gereja tidak dibiarkan menghalangi reorganisasi ini. Kelas menengah dan kaum tani menjadi, seperti halnya kaum bangsawan, subyek negara, dimana semuanya harus membayar pajak. Sistem pemungutan pajak dibuat lebih adil dan efisien. Gilda-gilda tua dan oligarki kota dihapus; tarif-tarif internal dihapus. Dimana-mana kesetaraan yang lebih besar, dalam artian karier yang terbuka untuk orang-orang bertalenta, diresmikan. Angin modernisasi menghembus ke seluruh Eropa selama kampanye penaklukan Napoleon. Dia berhasil menaklukkan Eropa Barat dan menjadikannya wilayah-wilayah satelit yang terjajah dan tunduk, dan dengan demikian membebaskannya dari sistem pemerintahan yang kuno dan privilese-privilese, dari divisi teritorial yang sudah usang.” (David Thompson, Europe after Napoleon)

Tetapi kekuasaan Napoleon adalah sebuah anugerah dan juga kutukan pada saat yang sama. Untuk menghindari kenaikan pajak di Prancis, Napoleon menuntut pembayaran pajak yang besar di wilayah-wilayah yang ditaklukkannya. Kendati semua kemajuan sosial, kekuasaan Prancis tetap adalah penjajahan dari pihak asing. Seperti yang dikatakan dengan sangat bijak oleh Robespierre, tidak ada yang menyukai misionaris dengan bayonet. Invasi Prancis secara tak terelakkan menyulut perang-perang pembebasan nasional, yang pada akhirnya melemahkan pencapaian-pencapaian yang sebelumnya. Kekalahan Napoleon di Rusia dan kehancuran angkatan bersenjata Prancis adalah sinyal untuk gelombang pemberontakan nasional melawan Prancis. Di Prusia [Jerman], seluruh bangsa bangkit dan mendorong raja Frederick William III untuk mengobarkan peperangan melawan Napoleon. Dari chaos peperangan Napoleonik yang berdarah-darah dan pemecah-belahan negeri-negeri pemenang setelahnya, kita dapati kebanyakan negeri-negeri modern Eropa seperti yang kita kenal hari ini.

Masalah Kebangsaan Setelah 1848

Tahun 1848 adalah titik balik untuk masalah kebangsaan di Eropa. Di tengah kobaran api revolusi, aspirasi nasional rakyat Jerman, Cekoslowakia, Polandia, Italia, dan Hungaria yang selama ini terkekang akhirnya terdorong ke depan dengan tajam. Bila saja revolusi 1848 berhasil menang, akan terbuka jalan untuk menyelesaikan masalah kebangsaan di Jerman dan lainnya secara demokratik. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Engels, revolusi 1848 dikhianati oleh kaum borjuis kontra-revolusioner. Kekalahan revolusi 1848 berarti masalah kebangsaan harus diselesaikan dengan cara yang lain. Salah satu penyebab kekalahan revolusi 1848 adalah manipulasi masalah kebangsaan (misalnya masalah kebangsaan Cekoslowakia) untuk tujuan reaksioner.

Di Jerman, masalah kebangsaan dapat diekspresikan dalam satu kata: unifikasi. Setelah kekalahan revolusi 1848, wilayah Jerman tetap terpecah-pecah menjadi sejumlah negeri-negeri dan provinsi-provinsi kecil. Ini adalah halangan yang luar biasa besar untuk perkembangan kapitalisme di Jerman, dan oleh karenanya juga menghambat perkembangan kelas buruh. Unifikasi oleh karenanya adalah tuntutan yang progresif. Tetapi masalah siapa yang akan menyatukan Jerman dan dengan cara apa adalah hal yang penting dan sentral. Marx berharap bahwa tugas unifikasi Jerman akan dicapai dari bawah – yakni oleh kelas buruh dengan metode revolusioner. Tetapi ini tidak terjadi. Karena kaum proletariat gagal menyelesaikan masalah ini secara revolusioner pada 1848, ini diselesaikan secara reaksioner oleh Junker Bismarck[7] yang reaksioner.

Metode utama yang digunakan Junker Bismarck untuk menyelesaikan masalah kebangsaan adalah perang. Pada 1864, Austria dan Prusia bersatu untuk mengalahkan Denmark. Denmark kehilangan provinsi Schleswig-Holstein, yang setelah tarik ulur antara Austria dan Prusia akhirnya disatukan ke Jerman pada 1865. Setelah melakukan manuver untuk mengesampingkan Prancis dari konflik ini, Bismarck kemudian beraliansi dengan Italia untuk melawan Austria. Ketika Austria dikalahkan di pertempuran Königgrätz pada Juli 1886, dominasi Prusia atas Jerman menjadi terjamin. Dengan demikian, unifikasi Jerman tercapai secara reaksioner, melalui militerisme Prusia. Ini memperkuat posisi militerisme Prusia dan rejim Bonapartisnya Bismarck, dan menyemai benih perang-perang baru di Eropa. Oleh karenanya, cara bagaimana masalah kebangsaan diselesaikan, oleh kelas mana dan untuk kepentingan siapa, bukanlah masalah sepele dan tidak penting bagi kelas buruh. Ini saja sudah cukup untuk menjelaskan mengapa kita tidak boleh hanya menjadi pemandu sorak untuk kaum nasionalis borjuis dan borjuis kecil – bahkan ketika mereka sedang menyelesaikan sebuah tugas yang secara objektif progresif. Di setiap saat sudut pandang kelas harus dipertahankan.

Secara objektif, unifikasi Jerman tentu saja adalah sebuah perkembangan yang progresif, yang didukung oleh Marx dan Engels. Tetapi ini tidak berarti bahwa kaum sosialis Jerman harus mendukung Bismarck. Marx selalu menentang Bismarck yang reaksioner, tetapi ketika Bismarck berhasil menyatukan Jerman, Marx dan Engels dengan sangat enggan hati terdorong untuk mendukung unifikasi Jerman sebagai sebuah langkah maju, karena unifikasi ini akan memfasilitasi unifikasi kelas proletariat Jerman. Engels menulis ke Marx pada 25 Juli 1886:

“Hal ini [unifikasi Jerman] memiliki sisi baiknya karena ini menyederhanakan situasi; ini membuat revolusi menjadi lebih mudah dengan menyudahi perseteruan antara kapital-kapital kecil dan akan mempercepat perkembangan... Seluruh negeri-negeri kecil akan tersapu oleh gerakan, tendensi kedaerahan yang paling buruk akan menghilang dan partai-partai pada akhirnya akan menjadi partai nasional dan bukan lagi partai daerah...

“Menurut saya, oleh karenanya, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan sekarang adalah menerima kenyataan ini, tanpa memberinya justifikasi, dan menggunakan, sebisa mungkin, organisasi dan unifikasi nasional yang lebih besar dari kelas proletariat Jerman yang merupakan hasil dari unifikasi Jerman ini.”

Unifikasi Italia

Sebuah situasi yang serupa dapat ditemui di Italia. Pada akhir 1850an, kendati banyak usaha untuk mencapai unifikasi, Italia tetap terpecah belah dan tunduk di bawah Austria, yang telah menganeksasi wilayah utaranya. Selain itu, beberapa negeri kecil, termasuk Kerajaan Bourbon dari Dua Sisilia (Italia Selatan dan Sisilia) dilindungi dari revolusi oleh pasukan Austria yang siap mengintervensi. Negara Papal (Negara Kepausan)[8] di Italia Tengah ada di bawah “perlindungan” Prancis. Hanya kerajaan kecil Sardinia, yang berbasis di daerah Savoy dan Piedmont, yang bebas dari dominasi Austria. Di bawah kepemimpinan Count Cavour[9], seorang diplomat dan negarawan ulung, Kerajaan Sardinia-Piedmont yang konservatif perlahan-lahan memperluas pengaruh dan wilayah mereka, dan menendang keluar Austria.

Bersandingan dengan oposisi dari Kerajaan Piedmont terhadap Austria kita temui juga gerakan nasionalis yang radikal dan revolusioner, yang tergabung di dalamnya beraneka ragam kaum republiken, kaum demokrat dan kaum sosialis. Kekuatan-kekuatan ini dapat ditemui di setiap provinsi Italia dan juga di pengasingan. Perwakilan yang paling terkemuka dari anasir ini adalah Mazzini[10]. Gagasan-gagasannya yang penuh kebingungan dan ambigu bersesuaian dengan watak gerakan yang dia wakili. Sebaliknya, Cavour, yang memimpin Piedmont di Italia Utara, adalah ahli manuver yang licik dan culas. Dengan intrik diplomatik yang tipikal, dia pertama-tama mendapatkan izin dari Inggris dan Prancis untuk bergabung dengan ekspedisi militer mereka ke Krimea untuk melawan Rusia pada 1855. Lalu, dengan diam-diam dia menjanjikan kaisar Prancis Napoleon III wilayah Nice dan Savoy, dan sebagai imbal baliknya Prancis akan memberi bantuan pada Piedmont bila terjadi perseteruan dengan Austria. Perang pecah pada 1859 dan ini adalah titik mula dari unifikasi Italia. Ada pemberontakan di semua daerah milik bangsawan dan Negara Kepausan. Bersama dengan Prancis, tentara Piedmont memenangkan sebuah pertempuran menentukan melawan Austria di Solferino. Unifikasi Italia tampak tak terbendung. Tetapi ini tidak sesuai dengan kepentingan Louis Bonaparte, yang segera menandatangani gencatan senjata dengan pasukan Austria yang sedang mundur, dan dengan demikian Prancis mencampakkan Piedmont dan kaum revolusioner Italia.

Akhirnya, perang kemerdekaan Italia diselamatkan oleh pemberontakan di Sisilia, yang menyambut datangnya pasukan Garibaldi[11] yang terdiri dari 1000 sukarelawan yang berseragam merah. Setelah memenangkan pertempuran untuk merebut Sisilia, pasukan Garibaldi menyerang Italia Selatan dan memasuki Napoli. Persatuan Italia oleh karenanya tercapai secara revolusioner dari bawah, tetapi buah persatuan ini dituai oleh pihak lain. Cavour, sang pengintrik, membujuk London dan Paris bahwa akan lebih baik menerima dinasti Piedmont yang konservatif sebagai penguasa Italia daripada menunggu seluruh Italia jatuh di bawah kendali kaum revolusioner dan republiken. Pasukan Kerajaan Piedmont yang reaksioner memasuki Napoli tanpa perlawanan. Garibaldi, alih-alih melawan pasukan Piedmont, membuka gerbang kota dan menyambut Raja Piedmont, Victor Emmanuel, pada 26 Oktober dan menyanjungnya sebagai “Raja Italia”. Dengan cara demikian, rakyat Italia hanya meraih kemenangan parsial, alih-alih kemenangan penuh atas tatanan lama yang mereka bayar dengan darah mereka.

Alih-alih Republik, yang dicapai oleh Italia adalah monarki konstitusional. Alih-alih demokrasi, yang dicapai oleh Italia adalah hak pemilu yang terbatas, yang mengecualikan 98 persen rakyat. Paus diperbolehkan meneruskan kekuasaannya di Negara Kepausan sebagai konsesi pada Louis Bonaparte. Namun, kendati semua ini, unifikasi Italia adalah sebuah langkah maju yang besar. Seluruh Italia tersatukan, kecuali Venesia, yang tetap berada di bawah kontrol Austria dan Negara Kepausan. Pada 1866, Italia bergabung dengan Prusia dalam perang melawan Austria dan menerima Venesia sebagai imbalan. Akhirnya, setelah kekalahan Prancis di perang Franco-Prusia (1871), pasukan Prancis mundur dari Roma. Masuknya pasukan Italia ke Roma menandai kemenangan akhir dari unifikasi Italia.

Pada paruh kedua abad ke-19, masalah kebangsaan di Eropa Barat kebanyakan telah diselesaikan. Dengan unifikasi Jerman dan Italia, setelah 1871 masalah kebangsaan di Eropa hanya terbatas di Eropa Timur saja, terutama di daerah Balkan yang meledak-ledak, dimana ambisi teritorial Rusia, Turki, Austria-Hungaria dan Jerman berkelit kelindan, dan akhirnya meledak menjadi Perang Dunia Pertama. Pada awalnya, terutama dari 1789 hingga 1871, masalah kebangsaan masih memainkan peran yang relatif progresif di Eropa Barat. Bahkan unifikasi Jerman di bawah Junker Bismarck yang reaksioner menurut Marx dan Engels adalah sebuah perkembangan yang progresif. Tetapi pada paruh kedua abad ke-19, perkembangan kekuatan produktif di bawah kapitalisme mulai melampaui batas-batas sempit dari negara-bangsa. Ini sudah termanifestasikan dalam munculnya imperialisme dan kecenderungan yang tak terbendung menuju peperangan antara negara-negara besar. Peperangan Balkan pada 1912-13 menandai selesainya formasi negara-bangsa di Eropa bagian tenggara. Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles (dengan semboyan “hak penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa”) menyelesaikan tugas menghancurkan kerajaan Austria-Hungaria dan memberikan kemerdekaan kepada Polandia.

DAFTAR ISI

Bag 1: Masalah Kebangsaan Dalam Sejarah

Bag 2: Marx dan Engels dan Masalah Kebangsaan

Bag 3: Lenin dan Masalah Kebangsaan

Bag 4: Masalah Kebangsaan Setelah Revolusi Oktober

Bag 5: Negara-Bangsa Hari Ini 

Catatan Kaki

[1] Pada paruh pertama 2018, nilai merger mencapai rekor 2,5 triliun dolar AS. (The New York Times, “A Record $2.5 Trillion in Mergers Were Announced in the First Half of 2018,” 30 Juni, 2018)

[2] Lenin, Collected Works, The Socialist Revolution and the Right of Nations to Self-determination, January-February 1916, vol. 22. 

[3] R. Heilbroner, The Worldly Philosophers, hal. 22.

[4] Ibid., hal. 34.

[5] Keluarga Bourbon adalah keluarga bangsawan Eropa yang berasal dari Prancis sejak abad ke-13. Mereka berkuasa tidak hanya di Prancis, tetapi juga di Spanyol, Naples, Sicily, dan Parma. Keluarga ini ditumbangkan pada Revolusi Prancis 1789.

[6] Deklarasi Hak-hak Manusia (Déclaration des droits de l'homme et du citoyen) adalah dokumen yang disahkan oleh Majelis Konstituante Nasional Prancis pada Agustus 1789, yang merupakan dokumen utama dari Revolusi Prancis.

[7] Otto von Bismarck (1815-1898) adalah Kanselir Jerman yang pertama dari tahun 1871-1890. Dia adalah politisi yang mendominasi Jerman dan Eropa sejak 1860an, terutama lewat kepemimpinannya dalam mengobarkan serangkaian perang yang menyatukan Jerman.

[8] Negeri Papal atau Negara Kepausan adalah wilayah di semenanjung Italia yang ada di bawah pemerintahan daulat langsung dari Paus dan Gereja Katolik, dari abad ke-8 sampai 1870. Gerakan dan Perang Unifikasi Italia akhirnya menyatukan semua wilayah di Italia, termasuk Negara Papal, menjadi satu negara Italia dan mengakhiri Negara Papal. Dari 1870 hingga 1929, Kepausan tidak memiliki wilayah sama sekali, dan hanya pada 1929 pemimpin fasis Benito Mussolini memberikan kedaulatan pada Negara Kota Vatikan.

[9] Count Cavour (1810-1861) adalah seorang politisi Italia yang memimpin gerakan unifikasi Italia. Dia adalah Perdana Menteri pertama Italia, sebuah jabatan yang dipegangnya hanya selama 3 bulan sebelum dia jatuh sakit dan meninggal akibat penyakit malaria.

[10] Giuseppe Mazzini (1805-1872) adalah seorang politisi, jurnalis dan aktivis dari Italia, yang berpengaruh besar dalam gerakan unifikasi Italia. Mazzini adalah seorang nasionalis dan republiken, yang menentang gagasan sosialisme dan perjuangan kelas yang diusung oleh Marx dan Engels.

[11] Giuseppe Garibaldi (1807-1882) adalah seorang politisi, nasionalis dan jenderal dari Italia, yang dianggap sebagai salah satu dari Bapak Bangsa Italia. Ekspedisi militernya yang beranggotakan kaum pemberontak berbaju merah adalah salah satu kampanye militer yang menentukan keberhasilan unifikasi Italia.