facebooklogocolour

Palestine Image Socialist AppealSemenjak serangan kejutan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, militer Israel meningkatkan intensitas pengeboman terhadap Palestina secara signifikan. Pada saat artikel ini ditulis, 10 ribu orang telah tewas di Gaza akibat pengeboman Israel. Liputan brutalitas serangan Israel turut mencengangkan dunia.

Sementara itu, rakyat yang bersimpati di berbagai negara mulai menunjukkan simpati dalam berbagai cara. Mulai dari memberi donasi pada NGO, boikot konsumsi perusahaan yang mendukung Israel, demonstrasi solidaritas, menyerukan solidaritas lewat media sosial, hingga aksi simbolis seperti bersepeda dengan membawa bendera Palestina. Berbagai aksi tersebut bahkan dapat ditemukan di negara yang mendukung Israel, yang menunjukkan adanya kontradiksi antara kelas penguasa dan massa.

Meski kesadaran dan simpati rakyat terus menguat, mulai muncul sebuah keraguan terhadap aksi solidaritas yang mereka lakukan selama ini. Terdapat kesadaran bahwa meskipun aksi protes dan solidaritas digaungkan dengan kuat selama bertahun-tahun, penyerangan Israel terhadap Palestina justru semakin kejam. Dengan demikian, mulai muncul keraguan terhadap efektivitas aksi solidaritas yang telah dilakukan, khususnya aksi boikot konsumsi.

Sinisme yang muncul menunjukkan rakyat haus akan solusi konkret terhadap Palestina yang tidak mampu diberikan oleh siapa pun hingga saat ini, baik tokoh dan gerakan sayap kanan Islam maupun kaum liberal. Sebagai kaum revolusioner, adalah tanggung jawab kita untuk menjelaskan solusi konkret kepada massa yang semakin menginginkan pembebasan Palestina.

Kebuntuan aksi simbolis

Aksi simbolis adalah wujud aksi nyata yang paling sering dilakukan oleh rakyat. Berbagai aksi simbolis individual berupa donasi, menaruh gambar atau stiker pro-Palestina di media sosial, dan aksi sosial seperti gowes bersama. Meskipun aksi ini paling sering dilakukan, aksi simbolis tidak memiliki pengaruh apapun dalam menghentikan penindasan di Palestina. Gerakan ini jelas memiliki niat yang baik, tetapi niat baik saja tidak cukup untuk menghentikan okupasi di Palestina.

Ada yang mengklaim bahwa aksi tersebut setidaknya dapat berguna untuk “meningkatkan kesadaran” masyarakat. Kita perlu membandingkan klaim tersebut dengan realitas yang ada. Terlihat di berita dan media sosial, masyarakat jelas semakin sadar dan bersimpati terhadap penindasan Palestina. Berbagai macam aksi solidaritas telah dilakukan di seluruh dunia. Meski demikian, penindasan tidak hanya terus berlangsung, bahkan semakin parah. 

Dalam situasi terbaik, aksi simbolis hanya bermain kucing-kucingan dengan Israel. Misal, dengan kita mendonasikan uang untuk rumah sakit, Israel dapat dengan mudah membom rumah sakit itu kapan saja. 

Dapat disimpulkan bahwa aksi simbolis adalah bentuk ketidaktahuan atas solusi konkret dalam masalah Palestina. Dalam kebuntuan, rakyat akhirnya melakukan apapun untuk membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Dengan demikian, diperlukan solusi konkret melalui ide dan gagasan yang berdasar pemahaman terhadap bagaimana Israel dapat mempertahankan penindasan tersistematis atas Palestina.

Apakah aksi boikot lebih efektif?

Aksi boikot menjadi bentuk aksi yang tampak di permukaan lebih konkret dibanding aksi simbolis. Aksi boikot ini dilakukan dengan menolak membeli dan memakai barang dan jasa dari Israel serta perusahaan yang berafiliasi dengan Israel. Aksi boikot menjadi sebuah gerakan massa melalui dibentuknya gerakan BDS atau Boycott, Divestment, and Sanctions (Boikot, Divestasi, dan Sanksi) pada 2005 dan hingga kini digaungkan oleh para aktivis.

Meski aksi ini tampaknya memiliki perspektif yang lebih jelas dibanding aksi simbolis, yaitu pemahaman bahwa kekuatan ekonomi Israel menjadi penyebab penindasan rakyat Palestina, aksi ini tetap tidak memiliki dampak yang signifikan. Mesin kapitalisme dan militer Israel masih tetap berdiri kuat menginjak kepala rakyat Palestina. Dengan klaim bahwa tujuan boikot adalah untuk mengisolasi Israel secara ekonomi, dengan invasi Gaza baru-baru ini yang sangat berdarah-darah, aksi boikot ini jelas gagal total.

Menghadapi fakta tersebut, aktivis boikot membantah dengan argumen bahwa “setidaknya” aksi boikot dapat meningkatkan kesadaran masyarakat. Argumen ini jelas adalah pengakuan akan kebingungan mereka. Bahkan ada argumen bahwa “setidaknya” aktivitas boikot dapat memperkuat ekonomi lokal. Di bawah sistem kapitalisme yang terhubung secara global, sistem ekonomi sebuah negara setidaknya terikat sebuah benang dengan ekonomi Israel. Dengan demikian, pernyataan tersebut adalah dukungan secara tidak langsung terhadap Israel!

Pada akhirnya aksi boikot juga menjadi bentuk kebingungan pada gerakan. Meski aksi boikot secara sadar atau tidak memahami bahwa ekonomi Israel menjadi faktor penting dalam bertahannya penindasan Palestina, pemahaman ini saja tidak cukup. Kita perlu secara memahami karakter dari Israel dan imperialisme yang menyokong Israel agar kita mampu mengambil langkah konkret dalam pembebasan Palestina.

Karakter Israel yang sesungguhnya

Secara garis besar, Israel saat ini berdiri sebagai negara kapitalis seperti negara lainnya. Israel menjadi negara kapitalis yang maju berkat kerja sama antara Israel dengan imperialisme Barat. Kami memahami berdirinya Israel meniscayakan penindasan dan bahkan pengusiran warga Palestina, imperialis Barat memberi bantuan ekonomi, militer, serta politik agar Israel mampu melakukan ekspansi pada tanah Palestina. 

Sebagai gantinya, Israel menjadi benteng imperialisme Barat di Timur Tengah. Israel juga membiarkan negara Barat untuk melakukan ekspansi pasar di Israel. Ekspansi ini dilakukan dengan berinvestasi pada industri teknologi yang canggih serta memakai tenaga kerja buruh Israel yang terkenal berpendidikan tinggi.

Ada perspektif dari aktivis sayap kanan dan kiri yang melihat Israel sebuah blok homogen. Buruh Yahudi serta bos mereka secara bersama bersatu dalam menindas Palestina serta mengambil keuntungan yang sama darinya. Namun, perspektif ini salah besar. Seperti negara kapitalis lainnya, Israel berdiri dengan dasar penindasan kelas mayoritas, yaitu kelas pekerja, oleh kelas minoritas, yaitu kelas kapitalis. Komposisi kelas pekerja di Israel terdiri dari warga Yahudi-Israel, warga Palestina dengan kewarganegaraan Israel yang mencakup 20% dari populasi Israel, serta warga Palestina yang tinggal di wilayah jajahan Israel.

Dengan berdiri di atas sistem kapitalis, Israel tidak luput dari kontradiksi dasar kapitalisme, khususnya konflik kelas. Kaum buruh tidak memiliki kepentingan dan tidak mengambil keuntungan dari penindasan Palestina. Meski keuntungan dari ekonomi Israel semakin memperkaya kaum kapitalis, kaum buruh justru menghadapi kehidupan yang semakin sulit melalui pengurangan upah dan bantuan pemerintah. Selain itu, mereka harus rela melihat keluarga mereka berperang ke tanah Palestina dan bahkan mati di sana, hanya untuk menindas rakyat Palestina demi keuntungan kapitalis Israel dan imperialis Barat.

Kondisi hidup buruh Israel yang semakin sulit menyebabkan mereka berusaha melawan bos mereka sendiri. Memang pemerintah Israel terkadang berhasil memainkan strategi pecah belah melalui konflik Israel-Palestina. Mereka memberi ilusi bahwa buruh harus mendukung pemerintah Israel untuk melindungi mereka dari “terorisme” Hamas. Namun, buruh Israel sepanjang sejarah mampu belajar dari pengalaman dan merobek ilusi tersebut. Hal ini terlihat dari aksi pemogokan umum di masa lalu yang mempersatukan buruh Arab dan Yahudi di Israel dengan erat.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konflik Israel-Palestina pada akhirnya digunakan oleh kapitalis Israel dan imperialis Barat untuk memecah belah kaum pekerja. Ilusi ini ditebarkan untuk mengaburkan musuh sesungguhnya bagi pekerja di seluruh dunia: kaum kapitalis di negara mereka masing-masing. Maka dari itu, jelas bahwa solusi terakhir bagi berakhirnya penindasan Palestina bukanlah pemisahan Israel-Palestina, tetapi perjuangan kelas melawan imperialisme, yang berdasarkan persatuan antara kaum buruh di seluruh wilayah Timur Tengah untuk membentuk Federasi Sosialis Timur Tengah, di mana semua bangsa, tidak hanya Israel dan Palestina, tetapi juga Lebanon, Suriah, Mesir, Iran, Irak, Kurdi, Arab Saudi, Yemen, dan banyak lainnya, yang telah dipecah belah oleh Imperialisme, dapat hidup bersama secara harmonis. Kebenaran dari program Federasi Sosialis ini telah dibuktikan oleh sejarah dengan terbentuknya Federasi Sosialis Yugoslavia, yang berhasil menyelesaikan konflik nasional antar berbagai bangsa di wilayah Balkan.

Selain itu, perjuangan pembebasan Palestina tidak bisa hanya dilakukan oleh kelas pekerja Timur Tengah. Kelas pekerja di negeri-negeri Imperialis Barat – terutama Amerika Serikat – harus juga berjuang mengakhiri pemerintahan borjuis mereka yang telah lama mengintervensi di Timur Tengah dan menciptakan kekacauan di sana demi profit mereka.

Perjuangan kelas sebagai dukungan nyata

Memahami karakter dari penindasan warga Palestina, dapat kita simpulkan bahwa solusi nyata dari menghentikan penindasan warga Palestina adalah perjuangan kelas untuk menghancurkan kapitalisme dan imperialisme secara global. Perjuangan ini tidak bisa hanya dilakukan secara individu, seperti berhenti bekerja dari kantor yang mendukung Israel. Perjuangan kelas harus dilakukan secara kolektif melalui boikot produksi bersama massa melalui pemogokan bersama buruh. 

Pemogokan memiliki peran yang penting dalam menghancurkan kapitalisme karena menekankan kekuatan kaum pekerja yang sesungguhnya, yaitu sebagai produsen penghasil profit kapitalis. Berbeda dengan boikot konsumen yang tidak memiliki peran signifikan dalam mesin kapitalisme, berhentinya produksi akan jelas menghambat profit bagi para kapitalis. Selain itu, dalam sejarah kita dapat menemukan berbagai aksi pemogokan buruh yang dilakukan sebagai aksi solidaritas terhadap gerakan pembebasan. Berbagai aksi tersebut bahkan memiliki dampak yang nyata dalam membantu gerakan.

Salah satu contoh pemogokan solidaritas adalah pemogokan buruh Rolls Royce Skotlandia. Mereka melakukan boikot pelayanan perbaikan untuk mesin jet milik junta militer Pinochet di Chili hingga mesin tersebut rusak sehingga tidak dapat digunakan untuk merepresi buruh Chili. Contoh lain dapat ditemukan pada saat pemboman Gaza tahun 2021, serikat buruh pelabuhan Afrika Selatan SATAWU menolak menurunkan kapal milik Israel. Contoh pemogokan untuk solidaritas dengan Palestina terbaru dilakukan oleh gabungan beberapa serikat buruh transportasi di Belgia yang menolak memproses seluruh alat militer yang dikirim Israel. 

Federasi Serikat Buruh Palestina bahkan telah mengeluarkan surat pernyataan yang menuntut seluruh serikat buruh internasional untuk melakukan mogok sebagai aksi solidaritas yang nyata. Dengan demikian, setiap organisasi massa dan serikat buruh yang mengklaim solidaritas dengan Palestina memiliki kewajiban untuk melaksanakan pemogokan yang terutama menyerang industri militer yang menyokong imperialisme Israel.

Urgensi perjuangan kelas di Indonesia

Jelas ada keraguan terhadap urgensi melakukan perjuangan kelas di Indonesia, negara yang dikenal sebagai pendukung Palestina. Faktanya, Indonesia tidak mampu mengambil langkah signifikan dalam menghentikan penindasan Palestina. Melihat eskalasi konflik yang terjadi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi hanya mampu mendesak PBB untuk mengusulkan gencatan senjata dan kembali pada solusi dua negara. Kita harus sadar bahwa usulan tersebut adalah solusi impoten dan menolaknya dengan keras.

Gencatan senjata tanpa mengakhiri akar penindasan Palestina hanya menunda sementara penderitaan warga Palestina, hanya untuk kembali pada penindasan yang bahkan jauh lebih kejam. 

Kebuntuan dari gencatan senjata serta solusi dua negara terbukti melalui kegagalan Perjanjian Oslo. Perjanjian yang diharapkan menciptakan perdamaian melalui solusi dua negara dengan membentuk Otoritas Nasional Palestina sebagai pemerintah “negara” Palestina justru memperparah konflik. Otoritas Palestina menjadi polisinya Israel, yang lalu mengecewakan rakyat dan kekecewaan ini menjadi basis terbentuknya Hamas. Di bawah Perjanjian Oslo, Israel terus mencaplok wilayah Palestina dan menginjak-injak hak mereka. Perjanjian Oslo tidak menghentikan penjajahan Israel terhadap Palestina.

Otoritas Palestina bahkan tidak segan merepresi rakyatnya sendiri ketika Palestina berada dalam krisis. Saat warga Teluk Timur melakukan protes atas impotensi Otoritas Palestina dalam serangan Gaza pada 18 Oktober 2023, tentara Otoritas Palestina menembak mati seorang gadis kecil. Hari ini, mayoritas rakyat Palestina sudah tidak lagi mendukung Otoritas Palestina, dan kapan saja pemerintahan Abbas dapat jatuh.

Selain itu, jika kita kembali melihat kapitalisme sebagai sistem global, Indonesia setidaknya terikat oleh sebuah benang dengan penindasan Palestina. Benang tersebut adalah hubungan Indonesia dengan imperialisme Barat. Indonesia mungkin dapat mengklaim bersimpati dengan Palestina dan mengecam Israel. Namun, faktanya Indonesia masih menjalin hubungan erat dengan Amerika, yang merupakan pendukung terbesar dari Israel!

Pemerintahan Indonesia pun tidak berbeda dengan Imperialisme Israel ketika rejim ini menindas dan merepresi rakyat Papua. Setiap kata simpati yang dilontarkan oleh pemerintahan ini oleh karenanya penuh dengan kemunafikan.

Seperti kata Karl Liebknecht, musuh sesungguhnya ada di negara kita sendiri!

Apa yang harus dilakukan?

Dengan demikian, buruh dan gerakan massa di Indonesia bisa memulai dengan melakukan pemogokan, khususnya di industri yang memiliki peran khusus dalam menyokong militer Israel. Ini akan menghantarkan pukulan terhadap mesin militer Israel yang hari ini tengah membombardir Gaza. Taktik perjuangan ini telah diadopsi oleh sejumlah serikat, misalnya serikat buruh pelabuhan Barcelona (Organization of Port Dockers of Barcelona dan Port Workers Union) telah memutuskan untuk tidak memperbolehkan aktivitas kapal yang mengangkut peralatan militer. Buruh perusahaan Airbus juga telah mengorganisir protes dengan mengusung tuntutan yang sama, menolak menyokong militer Israel. Selain itu, demonstrasi massa juga dapat dilakukan sebagai solidaritas nyata terhadap Palestina, dengan mendorong slogan “Intifada sampai Menang”, “Lawan Imperialisme Israel, Lawan Imperialisme Barat”, “Tolak Intervensi Imperialis”, “Akhiri Okupasi”, “Federasi Sosialis Timur Tengah Sebagai Solusi Israel-Palestina”. 

Kita juga harus menolak pemerintah kapitalis Indonesia yang hanya memberikan layanan bibir pada perjuangan Palestina, yang gugatannya ke PBB jelas tidak mampu menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Kita harus terus mengekspos kemunafikan dari pemerintahan borjuasi kita sendiri.

Kita harus menegaskan bahwa pembebasan Palestina hanya dilakukan oleh kaum buruh secara internasional. Gelombang demonstrasi dan aksi massa pro-Palestina yang kini menyapu dunia telah menunjukkan potensi dari kelas buruh internasional.

Terakhir, kita harus menyerukan pembentukan Federasi Sosialis Palestina sebagai bagian dari Federasi Sosialis Timur Tengah. Tidak ada solusi bagi bangsa Palestina di bawah kapitalisme. Hanya revolusi sosialis yang dapat menyelesaikan konflik yang berdarah-darah ini. Mereka yang mengatakan bahwa revolusi sosialis adalah solusi yang terlalu ekstrem hanya perlu melihat kondisi ekstrem yang hari ini ada. 75 tahun sudah bangsa ini ditindas. Selama 75 tahun semua solusi di bawah kapitalisme telah dicoba, dan hasilnya adalah semakin hilangnya tanah air Palestina. Kembali ke status quo berarti mendukung Israel, karena tidak ada jalan keluar dari status quo. Status quo-lah yang menghasilkan horor berdarah-darah hari ini.

Kaum buruh dan kaum muda Indonesia dapat membantu pembebasan nasional Palestina dengan mengobarkan perjuangan sengit menumbangkan kapitalisme dan imperialisme, dimulai dari kelas penguasa kapitalis kita sendiri. Untuk bisa menang, kita membutuhkan organisasi revolusioner. Jika Anda setuju bahwa perjuangan kelas internasional diperlukan untuk pembebasan Palestina, maka bergabunglah dengan kami untuk membangun organisasi sosialis revolusioner!

Intifada sampai Menang!

Federasi Sosialis Seluruh Palestina, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Timur Tengah!