facebooklogocolour

1947211438 48917a4427 bMiliaran perempuan di seluruh dunia menghadapi diskriminasi, kekerasan dan penindasan setiap hari. Namun ini tidak selalu demikian. Lewis Henry Morgan, salah satu antropolog perintis, mengemukakan gagasan revolusioner bahwa perempuan dalam masyarakat awal bebas dan setara, dan bahwa asal mula penindasan perempuan dapat ditemukan dalam kemunculan kepemilikan pribadi dan keluarga monogami. Hari ini, Morgan dicibir oleh tatanan akademis, tetapi dalam artikel ini, Fred Weston menjelaskan bahwa gagasan dasar Morgan tentang evolusi keluarga telah didukung oleh penelitian dan penemuan modern. Kaum Marxis harus mempertimbangkan ide-ide Morgan bersama dengan bukti terbaru, untuk memahami asal mula penindasan perempuan dalam masyarakat, dan bagaimana kita dapat mengakhiri penindasan ini untuk selama-lamanya. 

Penindasan terhadap perempuan dan asal usul keluarga seperti yang kita ketahui merupakan isu utama yang dihadapi oleh setiap insan yang ingin berjuang demi dunia yang lebih baik. Mayoritas perempuan masih mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Di sejumlah negeri, mereka bahkan hidup dalam kondisi seperti budak. Jutaan gadis dan perempuan dipaksa menjalani sunat perempuan (mutilasi genital), salah satu metode paling biadab yang digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan, sementara jutaan gadis muda diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fakta sehari-hari, dengan fenomena femisida yang terus berlanjut.

Ini adalah barbarisme dalam masyarakat hari ini, dan terlepas dari beberapa pencapaian penting dalam hak perempuan, kita masih sangat jauh dari mencapai kesetaraan sejati dan penuh antara laki-laki dan perempuan. Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah ini semua adalah relasi alami antara laki-laki dan perempuan? Kita sering diberitahu bahwa demikianlah kodrat perempuan dalam masyarakat; bahwa keluarga 'nuklir' monogami, dengan sosok ayah yang mendominasi, selalu demikian adanya sedari awal, dan bahwa laki-laki pada dasarnya agresif terhadap perempuan. Tetapi benarkah demikian?

Marx dan Engels membantah ini dengan tegas. Terutama Engels, dia mengembangkan pendekatan Marxis terhadap masalah penindasan perempuan dalam karyanya yang terkenal itu, Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, yang diterbitkan pada 1884. Dia terutama mengambil rujukan dari karya Lewis Henry Morgan, Ancient Society (1877), yang berargumen: “gagasan tentang keluarga telah mengalami perubahan melalui tahap-tahap perkembangan yang suksesif”, di mana keluarga monogami modern hanyalah “bentuk terakhir dalam serangkaian bentuk yang telah ada.”[1] Dia menjelaskan bahwa ini terkait erat dengan perkembangan teknik, alat, dan senjata baru, dalam kata lain, perkembangan tenaga produktif.

Morgan memiliki pendekatan yang secara fundamental materialis terhadap masalah bentuk keluarga, dan awalnya dia memiliki pengaruh besar di antara para antropolog pada masanya. Tetapi di kemudian hari, ide-idenya dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas masyarakat borjuis, dan terutama setelah Engels menggunakan temuannya untuk menguraikan pandangan Marxis tentang masalah keluarga.

Pada abad ke-20, ide-ide Morgan dan Engels diserang dengan ganas oleh para antropolog konservatif, seperti Bronisław Malinowski, yang menyatakan dengan terus terang:

“Jika sekali kita sampai pada titik di mana kita menyingkirkan keluarga individual sebagai elemen penting masyarakat kita, maka kita akan dihadapkan dengan bencana sosial yang bahkan lebih parah dari pergolakan politik revolusi Perancis dan perubahan ekonomi Bolshevisme.”[2] 

Antropolog lainnya, seperti mazhab antropologi Boas, menolak gagasan tahapan dalam sejarah, “determinisme” dan “teori evolusi”, dan dia mendukung pendekatan idealis yang masih memiliki pengaruh kuat dalam ilmu antropologi hari ini.

Jelas, Morgan dibatasi oleh level sains pada pertengahan abad ke-19, dan beberapa idenya sudah kedaluwarsa. Tetapi yang jauh lebih penting adalah gagasannya mengenai evolusi keluarga.

Masalah evolusi keluarga sangatlah signifikan dan menentukan bagi perjuangan demi dunia yang lebih baik. Dan pada akhirnya, masalah ini hanya dapat dikaji dengan pendekatan yang benar-benar ilmiah terhadap sejarah spesies kita.

Metode materialis

Morgan mendedikasikan dirinya untuk mempelajari bentuk-bentuk awal masyarakat dan melakukan upaya tulus untuk memahami struktur sosial internal mereka dan apa yang mendorong perubahan dalam struktur ini, seperti halnya Darwin telah mengabdikan dirinya untuk mempelajari evolusi biologis.

Morgan percaya bahwa, dengan mengamati masyarakat-masyarakat yang ada pada masa itu yang berada di tingkat perkembangan yang berbeda dan membandingkan mereka satu sama lain, kita dapat merekonstruksi gambaran tentang bagaimana masyarakat manusia secara keseluruhan berevolusi. Dengan demikian, dia mengembangkan teori evolusi sosial: bahwa masyarakat melalui tahapan perkembangan yang serupa, dan bahwa ada arah dalam proses tersebut, dari bentuk yang kurang berkembang ke bentuk yang lebih berkembang.

Morgan memahami bahwa institusi sosial muncul sesuai dengan perkembangan tertentu dalam kondisi sosial. Dengan melakukan itu, dia secara tidak sadar menarik kesimpulan yang sangat serupa dengan materialisme historis, metode yang dikembangkan oleh Marx dan Engels. Morgan menyatakan:

“Fakta penting bahwa umat manusia mulai dari tingkatan rendah dan lalu berkembang maju, terungkap secara ekspresif oleh berkembangnya secara suksesif seni mata pencaharian mereka. Seluruh supremasi manusia di muka bumi bergantung pada perkembangan kecakapan tersebut. Umat manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat dikatakan telah memperoleh kendali mutlak atas produksi makanan; yang pada awalnya tidak mereka miliki di atas hewan lain. Tanpa kemampuan memperluas basis sumber penghidupan mereka, umat manusia tidak mungkin menyebarkan dirinya ke wilayah lain yang tidak memiliki jenis makanan yang sama, dan akhirnya ke seluruh permukaan bumi; dan terakhir, tanpa memperoleh kontrol mutlak atas keragaman dan jumlah sumber penghidupan, mereka tidak dapat berkembang biak menjadi negara-negara berpenduduk padat. Oleh karena itu, epos kemajuan besar umat manusia telah diidentifikasi, kurang lebih secara langsung, dengan perluasan sumber-sumber penghidupan.”[3]

Pendekatan evolusioner Morgan terhadap perkembangan masyarakat, yang ditentukan oleh perkembangan tenaga produktif, menonjol dengan jelas. Dia membagi masyarakat ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda, “kebiadaban, barbarisme dan peradaban”, dengan kebiadaban mencakup tiga periode, Bawah, Tengah dan Atas, yang lebih rendah adalah yang paling tidak berkembang. Morgan menjelaskan, dengan alat dan teknik baru, seperti memancing, atau busur dan anak panah, umat manusia melangkah dari satu tahap ke tahap lainnya. “Barbarisme” ia bagi menjadi tiga tahap: pertama, penguasaan teknik tembikar; kedua, domestikasi ternak, bercocok tanam, perkembangan sistem irigasi awal, penguasaan teknik batu bata, dll.; dan ketiga, penggunaan logam, seperti perunggu dan besi.

Kata-kata yang dia gunakan, “kebiadaban, barbarisme, dan peradaban”, memiliki konotasi yang agak menghina, tetapi Morgan tidak menggunakan kata-kata tersebut dengan konotasi buruk yang sama. Yang menarik bagi kita di sini adalah esensi maknanya, dan bukan konotasi kata-kata tersebut hari ini. Demikian pula, kronologi evolusi manusia yang dipaparkan Morgan sudah tidak lagi sesuai dengan apa yang telah ditemukan oleh penelitian lebih lanjut selama lebih dari 150 tahun, tetapi gagasan Morgan tentang umat manusia yang berkembang melalui tahapan pada dasarnya benar.

Bahwa masyarakat manusia telah melewati beberapa tahap perkembangan, yang secara fundamental berdasarkan materi-materi yang digunakan untuk membuat perkakas, secara umum diakui oleh para arkeolog saat ini, ketika mereka menamai periode sejarah seperti Zaman Batu, Zaman Perunggu, dan Zaman Besi. Melalui perkembangan alat, manusia beralih dari berburu-meramu menjadi pertanian pada masa Neolitikum, atau “Zaman Batu Baru”. Kemudian, ada kemajuan dalam teknik menempa logam, pertama dengan perunggu dan kemudian dengan besi, yang memungkinkan munculnya peradaban besar dunia kuno. Ini bukanlah proses yang linear dan identik di semua benua. Sebagian ini juga tergantung pada sumber daya lokal yang tersedia. Namun, demikianlah gambaran yang diterima secara umum.

Pendekatan materialis inilah yang menarik perhatian Marx dan Engels. Seperti yang dijelaskan Engels pada 1884: “Morgan, dengan caranya sendiri yang berbeda, telah menemukan di Amerika konsepsi materialistis tentang sejarah yang ditemukan oleh Marx empat puluh tahun yang lalu, dan dalam perbandingannya tentang barbarisme dan peradaban, ini telah membawanya, dalam poin-poin utama, ke kesimpulan yang sama seperti Marx.”[4]

Marx, pada kenyataannya, telah mempelajari karya Ancient Society Morgan, dan juga karya-karya antropolog lainnya pada masa itu, dan dia menulis catatan yang ekstensif, dengan tujuan menulis sebuah karya dengan interpretasinya sendiri atas temuan-temuan terbaru mereka. Sayangnya, Marx meninggal sebelum dia dapat menyelesaikan karya ini, tetapi catatannya[5] digunakan oleh Engels untuk menghasilkan teks klasiknya pada 1884, tidak lama setelah kematian Marx. Oleh karena itu, karya Engels tentang asal-usul keluarga dapat dianggap sebagai karya bersama pendiri Marxisme.

Perkawinan sedarah dan pergaulan bebas di masa purba

Morgan menyatakan, masyarakat purba dimulai dengan apa yang disebutnya keluarga “consanguine” (“kerabat”), yaitu perkawinan di antara kerabat dekat. Baru kemudian, jelasnya, melalui berbagai tahapan, reproduksi seksual antara individu-individu terkait dihapus dan dilarang.

Ketika Morgan pertama kali mengemukakan gagasan ini, gagasan ini ditolak mentah-mentah, dan masih banyak orang yang masih menolaknya hari ini. Lagi pula, perkawinan sedarah tampak sangat asing dalam norma sosial kita hari ini. Karena perkawinan sedarah tampak sangat tidak wajar pada masanya, beberapa sosiolog, seperti Westermarck, berpendapat bahwa ada naluri alami untuk menghindari perkawinan sedarah.

Namun, penelitian terbaru telah mendukung gagasan bahwa perkawinan sedarah memang ada di antara manusia purba; ini menunjukkan bagaimana konsep keluarga telah berubah banyak selama ribuan tahun. Sebuah makalah yang diterbitkan pada 2018 menyimpulkan bahwa proporsi kelainan bawaan yang relatif tinggi pada tengkorak-tengkorak Zaman Es kemungkinan besar disebabkan oleh perkawinan sedarah, sebuah teori yang didukung oleh rendahnya keragaman genetik yang ditemukan di tulang belulang tersebut.[6]

Perkawinan sedarah ini tidak terus berlanjut. Sebuah penelitian menarik dari University of Cambridge melaporkan, analisis tulang belulang manusia di situs Sunghir, Siberia, menunjukkan:

“Manusia purba tampaknya telah mengenali bahaya perkawinan sedarah setidaknya 34.000 tahun yang lalu, dan mengembangkan jaringan sosial dan perkawinan yang sangat canggih untuk menghindarinya.”[7]

Ini penting karena secara krusial menunjukkan bahwa hubungan seksual antara manusia berubah. Pada tahap tertentu keluarga manusia berevolusi, dengan relasi baru muncul dari yang lama. Memang, “jaringan sosial dan perkawinan yang canggih” bahkan mungkin mewakili bentuk paling awal dari apa yang kemudian dikenal sebagai “gens”.

Morgan menyaksikan adanya empat tahap perkembangan keluarga selanjutnya berdasarkan larangan inses, di mana laki-laki dan perempuan tidak diizinkan untuk kawin dengan anggota klan atau “gens” mereka sendiri. Dengan kata lain, muncul sistem yang melarang perkawinan dalam kelompok tertentu.

Dia berhipotesis bahwa, di bawah sistem ini, “perkawinan kelompok” adalah norma. Apakah ini berarti semua laki-laki dari satu kelompok memperistri semua perempuan dari kelompok lain pada saat yang sama? Belum tentu. Telah ditemukan masyarakat di mana “perkawinan kelompok” secara efektif melibatkan suatu bentuk “persekutuan” antar kelompok, di mana individu dalam satu kelompok hanya dapat memilih pasangan mereka dari dalam kelompok lain.

Apa yang harus ditekankan, bagaimanapun, adalah sifat perkawinan yang relatif bebas pada periode awal masyarakat manusia. Bertentangan dengan konsep keluarga tradisional, laki-laki dan perempuan tidak terikat secara permanen pada satu pasangan, dapat dengan bebas memutuskan hubungan dan mencari pasangan lain.

Selama ribuan tahun telah berkembang sebuah moralitas tertentu di bawah tekanan masyarakat kelas, di mana perempuan dianggap sebagai milik laki-laki, dan di mana perempuan harus setia pada satu laki-laki sepanjang hidupnya. Moralitas ini telah terpatri dalam kesadaran kolektif, yang membuatnya tampak seperti keadaan yang alami dan universal. Akan tetapi, banyak penelitian menunjukkan bahwa “hubungan bebas” – dalam arti kebebasan individu untuk memilih dengan siapa mereka akan berpasangan, kapan dan untuk berapa lama – jelas ada dalam masyarakat manusia purba.

Seperti yang dijelaskan Engels: “Lalu, apa yang dimaksud dengan hubungan seks bebas? Bahwa tidak ada pembatasan yang dipaksakan seperti saat ini atau di masa lalu.” Tetapi kemudian dia juga menambahkan, “Ini tidak berarti bahwa hubungan bebas dilakukan secara sembarangan dalam praktik sehari-harinya. Pasangan terpisah untuk jangka waktu tertentu sama sekali tidak dikecualikan; bahkan dalam perkawinan kelompok, mereka mencakup mayoritas.”[8]

Keberadaan “pasangan”, atau pasangan dalam konteks klan atau “gens” yang lebih besar, bagaimanapun, tidak boleh dilihat sebagai “pernikahan” seperti yang kita kenal. Morgan menekankan bahwa “hubungan ini berdasarkan pasangan laki-laki dengan perempuan di bawah bentuk pernikahan, tetapi tanpa kohabitasi eksklusif ... Perceraian atau perpisahan dapat diputuskan baik oleh suami atau istri.”[9] [penekanan saya]. Artinya baik pria maupun perempuan tidak terikat satu sama lain secara permanen dalam pernikahan seperti yang kita ketahui hari ini.

Kendati demikian, bentuk relasi ini menyiapkan landasan bagi bentuk keluarga monogami selanjutnya, yang menurut Morgan: “didirikan atas pernikahan seorang pria dengan seorang perempuan, dengan kohabitasi eksklusif; dan kohabitasi eksklusif ini merupakan inti dari institusi keluarga monogami. Ini terutama merupakan keluarga masyarakat beradab, dan karena itu pada dasarnya modern.”[10] Tetapi munculnya keluarga modern ini membutuhkan penggulingan total dari tatanan yang ada sebelumnya.

Keturunan matrilineal

Sebelum munculnya keluarga monogami dan patriarkal, posisi perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki. Dalam masalah inilah Morgan bisa dibilang memberikan kontribusi terbesar bagi pemahaman kita tentang masyarakat manusia.

Morgan bukanlah seorang antropolog yang hanya mengamati dari kejauhan, tetapi melakukan kerja lapangan yang nyata dan konkret di antara orang Iroquois, yang dia pelajari dengan cermat, tinggal di antara mereka selama beberapa waktu. Dia juga mempelajari penduduk asli Amerika lainnya, sambil mengumpulkan informasi dari banyak sumber lain tentang masyarakat pada tahap awal perkembangan manusia.

Dia melihat bahwa perempuan memiliki status yang jauh lebih setara di antara orang Iroquois daripada di dunia “beradab”. Engels, berdasarkan penelitian Morgan, berkomentar: “Semuanya setara dan bebas - termasuk perempuan.”[11]  Tetapi mengapa demikian?

Morgan menyimpulkan bahwa, pada periode sebelumnya, manusia hidup dalam klan matrilineal, di mana keturunan ditelusuri melalui garis ibu, bukan keluarga patriarkal (secara harfiah, kekuasaan ayah) yang akhirnya muncul dengan munculnya kepemilikan pribadi dan masyarakat kelas.

Ada banyak perdebatan tentang apakah “matriarki” pernah ada, tetapi ini adalah perdebatan yang keliru dan menyesatkan. Matriarki mengimplikasikan kekuasaan perempuan, namun yang disoroti Morgan adalah matrilinealitas, yaitu garis keturunan yang ditelusuri melalui garis ibu pada periode paling awal masyarakat manusia; ini karena tidak adanya pasangan yang ketat atau permanen, yang berarti tidak ada cara pasti untuk mengetahui siapa ayahnya. Matrilinealitas bukan berarti laki-laki tidak memiliki peran, atau berada di bawah perempuan.

Banyak upaya untuk menyangkal matrilinealitas, dan itu karena semua sejarah tertulis, yang dimulai dari milenium ke-4 SM, berasal dari peradaban yang patriarkal, masyarakat kelas. Oleh karena itu, mudah untuk melihat dari mana gagasan bahwa “laki-laki selalu mendominasi perempuan” berasal. Namun, keberadaan masyarakat matrilineal yang masih ada hingga saat ini memberikan dukungan bagi teori Morgan.

Di provinsi Yunnan dan Sichuan di China ada suku Mosuo, di mana garis keturunan masih ditelusuri melalui perempuan dalam keluarga dan harta benda diwariskan melalui garis perempuan. Anak-anak ada di bawah keluarga ibu dan tinggal di dalam rumah tangga ibunya. Laki-laki Mosuo bertugas membesarkan anak-anak dari saudara perempuan dan sepupu perempuan mereka (sebuah fenomena yang dijelaskan Morgan dalam masyarakat matrilineal yang dia pelajari) dan mereka bertanggung jawab beternak dan memancing, yang semuanya mereka pelajari dari paman mereka (saudara laki-laki ibu mereka) dan anggota keluarga laki-laki yang lebih tua.

Suku Bribri di Kosta Rika, suku Minangkabau di Sumatra Barat, beberapa suku Akan di Ghana, dan suku Khasi di India, masih menarik garis keturunan mereka dari ibu. Tak satu pun dari masyarakat ini memiliki kontak dengan satu sama lain.

Antropolog terkemuka Franz Boas berusaha menemukan contoh peralihan dari patrilinealitas ke matrilinealitas guna mendiskreditkan keseluruhan skema Morgan. Dia percaya dia telah menemukan ini di antara suku Kwakiutl di Pantai Barat Laut Pasifik Amerika. Tapi ini kemudian terbukti menjadi contoh yang tidak valid. Boas menemukan garis keturunan yang dilacak melalui ayah dan ibu, tetapi yang dia abaikan adalah bahwa masyarakat ini telah mengalami trauma luar biasa di bawah pengaruh kontak dengan orang Eropa, dan seluruh sistem mereka tengah luluh lantak di bawah tekanan kontak ini.

Bisa dibayangkan bagaimana penelusuran keturunan dan pewarisan harta melalui garis ibu akan memperkuat posisi perempuan dalam masyarakat. Tetapi ada faktor penting lain dalam masyarakat prasejarah yang harus diperhitungkan: karakter masyarakat berburu-meramu yang sangat egaliter pada umumnya.

Komunisme primitif

Kita harus mencatat bahwa, meskipun Morgan sendiri bukan komunis, tetapi seorang Republikan AS dan seorang borjuis kaya yang percaya bahwa sistem politik Amerika Serikat adalah bentuk masyarakat tertinggi, dia merujuk beberapa kali dalam karyanya Ancient Society fakta bahwa manusia purba hidup secara komunis, yaitu tanpa kepemilikan pribadi.

Colin Renfrew adalah mantan Profesor Arkeologi di Universitas Cambridge, dan merupakan anggota Partai Konservatif House of Lords 1991-2021, dan oleh karena itu tidak dapat dituduh memiliki simpati Komunis! Dalam bukunya, Prehistory – The making of the Human Mind, dia menyatakan:

“Masyarakat berburu-meramu awal, seperti nenek moyang paleolitik kita, tampaknya selalu merupakan komunitas egaliter, di mana individu berpartisipasi atas dasar kesetaraan.”[12] [penekanan saya].

Apa basis dari egalitarianisme ini? Dalam masyarakat berburu-meramu tidak ada pembagian ke dalam kelas-kelas, tidak ada pemilik alat produksi, tidak ada kepemilikan tanah. “Properti” kecil yang ada hanyalah alat dan senjata sederhana untuk berburu dan menyembelih hewan dan untuk mencari makan serta pakaian yang dikenakan orang.

Karena tidak ada kepemilikan pribadi atau pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas, tidak ada kaum yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, dan karena itu tidak ada aparatus bersenjata yang berdiri di atas masyarakat. Morgan menyatakan:

“Tidak ada negara. Pemerintahan mereka pada dasarnya demokratis, karena prinsip-prinsip yang mengatur gens, fratria, dan suku adalah demokratis.”

Dalam uraiannya tentang suku Iroquois dia menyatakan bahwa: “setiap rumah tangga mempraktikkan komunisme dalam kehidupan mereka”.[13]

Gagasan bahwa manusia hidup dalam apa yang disebut Marx dan Engels “komunisme primitif”, tanpa konsep kepemilikan pribadi, selalu tidak dapat diterima oleh mereka yang mempertahankan gagasan bahwa kaum kaya dan miskin, atau kaum penghisap dan yang dihisap, selalu ada; bahwa persaingan individual kapitalisme modern di mana semua orang saling menginjak hanyalah bagian dari “sifat manusia” dan kita harus menerimanya.

Seperti yang dikatakan antropolog Amerika Leslie A. White dalam bukunya The Evolution of Culture, The Development of Civilization to the Fall of Rome:

“... teori komunisme primitif menjadi begitu mengancam sehingga anggota dari tiga 'mazhab' antropologi merasa terpanggil untuk membungkamnya. Lowie dari mazhab Boas telah menyerangnya berulang kali. Malinowski, pemimpin mazhab Fungsionalis, mencapnya ‘mungkin kekeliruan paling menyesatkan yang ada dalam ilmu antropologi sosial’... Lowie telah dipuji oleh para teolog Katolik karena kritiknya terhadap teori komunisme primitif, dan melalui ini, penentangannya terhadap doktrin sosialis. (…) Tampaknya ada upaya untuk ‘membuat dunia aman bagi kepemilikan pribadi’.”[14]

Terlepas dari semua keberatan ini, ada banyak penelitian yang menegaskan sifat egaliter masyarakat berburu-meramu, di mana perempuan menikmati posisi yang jauh lebih tinggi dalam masyarakat, diperlakukan setara dan bukan sebagai milik laki-laki.[15] 

Karakteristik utama manusia adalah kecenderungan mereka untuk bekerja sama dan berbagi. Manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa ini. Dibandingkan binatang lainnya, kita tidak cepat atau kuat. Sebagai individu yang terisolasi, dalam kondisi yang berlaku pada saat itu, kita akan terus berada dalam bahaya diserang oleh karnivora besar, sementara pada saat yang sama kesulitan memperoleh makanan. Oleh karena itu, kerja sama ini tidak datang dari semangat altruisme abstrak, tetapi merupakan kebutuhan material. Kerja sama diperlukan tidak hanya dalam berburu, tetapi juga dalam meramu.

Berburu, meramu, dan matrilokalitas

Tampaknya ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam masyarakat berburu-meramu prasejarah, meskipun pembagian kerja ini bervariasi dari satu suku ke suku lain. Selain itu, pembagian kerja ini tidaklah ketat seperti yang kita temui di kemudian hari dalam masyarakat kelas, semisal masyarakat Yunani Kuno.

Laki-laki kadang-kadang berpartisipasi dalam meramu dan perempuan membantu berburu, seperti yang baru-baru ini ditunjukkan oleh ditemukannya kuburan perempuan dengan senjata mereka. Namun secara umum, laki-laki cenderung berburu dan perempuan cenderung meramu. Dan tugas yang satu tidak kalah pentingnya dari yang lainnya. Nyatanya, pemburu terkadang kembali dengan tangan kosong, sementara peramu selalu membawa pulang sesuatu. Dengan demikian, pembagian kerja pada tahapan ini tidak menyiratkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki.

Pada kenyataannya, pembagian kerja yang ada dalam keluarga justru cenderung mengangkat posisi perempuan. Kit Opie dan Camilla Power, penulis makalah Grandmothering and Female Coalitions – A Basis for Matrilineal Priority?[16]  , berargumen bahwa, dalam masyarakat yang mereka teliti, jumlah kalori yang dibutuhkan untuk memberi makan semua orang dewasa dan anak-anak dalam satu kelompok akan membutuhkan kerja sama perempuan, dan kerabat perempuan mereka, khususnya nenek, bersama dengan laki- laki. Di antara orang !Kung di Gurun Kalahari, misalnya, penelitian ini menunjukkan bahwa “meramu menyumbang 60 sampai 80 persen dari total kebutuhan pangan”.[17]

Perempuan yang tidak bisa mencari makan, baik karena berada di tahap akhir kehamilan atau sedang menyusui bayi yang baru lahir, dijamin kebutuhan kalorinya karena perempuan lain akan menyediakannya. Sekali lagi, ini bukan karena semangat altruisme yang abstrak. Ini adalah praktik standar bahwa setiap orang membantu yang lainnya, karena mereka tahu ketika mereka menemukan diri mereka dalam kondisi yang sama, mereka juga akan menerima bantuan.

Dengan demikian, gagasan bahwa perempuan sepenuhnya bergantung pada laki-laki, dan oleh karena itu bahkan di jaman purba perempuan harus mencari laki-laki untuk bisa bertahan hidup, tidak memiliki basis sama sekali.

Semua ini menyediakan basis material yang mendasari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Opie dan Power juga menjelaskan peran perempuan yang lebih tua, yang tidak bisa lagi melahirkan anak, tetapi dapat memainkan peran kunci di kemudian hari dalam membantu membesarkan cucu mereka. Ini dapat menjelaskan karakter keluarga matrilokal – yakni perempuan yang dekat dengan ibu mereka – dan maka dari itu juga karakter keluarga matrilineal.

Mereka menunjukkan: “Bukti dari genetika molekuler menunjukkan adanya kecenderungan tertentu di antara nenek moyang manusia, di mana kerabat perempuan cenderung berkumpul, dan kecenderungan ini tetap ada dengan munculnya manusia modern. Studi mengungkapkan perbedaan dalam pola filopatri [kecenderungan seseorang untuk kembali ke, atau tinggal di, daerah asalnya, atau tempat kelahirannya] antara populasi berburu dan bertani di Afrika sub-Sahara.”[18]

Mereka menambahkan: “Semakin besar ketergantungan pada perburuan dalam populasi ini, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi virilokal.” Ini berarti perempuan dalam masyarakat berburu-meramu cenderung tinggal dalam kelompok di mana perempuan tersebut berkerabat, dengan ibu, saudara perempuan, sepupu perempuan, tetapi laki-laki yang mereka kawini berasal dari luar. Semua ini adalah konfirmasi jelas dari apa yang dijelaskan Morgan pada 1877!

Tentu saja  ada pengecualian, seperti penduduk asli Alaska Utara, di mana ditemui “laki-laki yang menyediakan hampir semua makanan”. Mereka adalah masyarakat pemburu, dan bukan pertanian. Namun, ini bukan karena penduduk di sana semata “berpikir” berburu adalah pekerjaan yang lebih baik, dan “memilih” untuk tidak bercocok tanam.

Artikel lain menjelaskan bahwa di “beberapa daerah arktik dan subarktik, hanya ada sedikit hewan kecil yang bisa diperoleh dan tidak ada tanaman yang dapat dijadikan bahan makanan, jadi hewan buruan yang besar menyumbang proporsi yang sangat besar dari semua makanan yang dikonsumsi.”[19] Ada alasan material yang konkret mengapa laki-laki memainkan peran penting dalam mengumpulkan makanan dalam situasi seperti ini: “Kemungkinan untuk meramu atau pindah ke pertanian secara signifikan tidak mungkin terjadi di masyarakat Arktik atau subarktik ini.”[20] 

Menemukan “pengecualian” ini tidak menihilkan gambaran keseluruhan evolusi sosial, di mana ada kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan pertanian. Seperti yang dijelaskan penulis, “Bila kita ingin memahami transisi ke masyarakat pertanian, masyarakat [di daerah arktik dan subarktik] ini bukanlah model yang baik untuk masyarakat berburu-meramu yang muncul di Afrika, Eropa, dan tempat lain yang mengalami transisi ke pertanian.”[21] 

Ini jelas memiliki signifikansi besar bagi posisi perempuan dalam masyarakat tersebut. Perempuan tidak pindah dari rumah ayah mereka ke rumah suami mereka dan tetap di sana, dikelilingi oleh keluarga laki-laki, seperti yang sangat umum saat ini di seluruh dunia. Ini berarti perempuan secara signifikan kurang bergantung pada pasangan laki-laki mereka. Sebaliknya, pasangan laki-laki mereka menemukan dirinya dikelilingi di semua sisi oleh kerabat keluarga perempuan dan, sampai batas tertentu, bergantung pada mereka.

Dalam beberapa kasus, pemburu laki-laki harus memberikan semua hasil tangkapannya kepada ibu pasangannya sebelum sang ibu membagikannya ke seluruh keluarga. Tidak heran jika komunitas yang masih menganut sistem matrilineal seperti itu memiliki tingkat kekerasan terhadap perempuan yang lebih rendah daripada masyarakat umumnya.

Properti, ketidaksetaraan dan monogami

Cara hidup egaliter ini mulai berubah setelah munculnya pertanian, yang dikenal sebagai Revolusi Neolitik, kira-kira 12.000 tahun yang lalu.

Studi telah mengkonfirmasi, ketidaksetaraan gender secara bertahap berubah dalam jangka waktu yang panjang seiring dengan peralihan dari berburu-meramu ke pertanian, khususnya budidaya tanaman. Bukti arkeologis dari seluruh dunia menunjukkan adanya perubahan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan setelah diadopsinya pertanian. Penyebab langsung bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, tetapi sejumlah faktor penting jelas memainkan peran: meningkatnya angka kelahiran dan oleh karena itu tanggung jawab pengasuhan anak yang lebih besar, persyaratan pengolahan makanan yang lebih besar, dan akhirnya penggunaan alat pertanian yang lebih berat seperti bajak.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh Social Science Research Network pada 2012 menjelaskan:

“... peralihan ke pertanian menyebabkan pembagian kerja dalam keluarga, di mana laki-laki menggunakan kekuatan fisiknya dalam produksi makanan dan perempuan mengurus anak, pengolahan dan produksi makanan dan tugas-tugas rumah tangga lainnya.”

“Konsekuensinya, peran perempuan dalam masyarakat tidak lagi memberi perempuan kemandirian ekonominya sendiri. Intinya, pergeseran umum dalam pembagian kerja yang terkait dengan Revolusi Neolitik memperburuk pilihan perempuan di luar (di luar pernikahan), dan ini meningkatkan daya tawar laki-laki dalam keluarga, yang, dari generasi ke generasi, diterjemahkan ke dalam norma dan perilaku yang membentuk kepercayaan budaya tentang peran gender dalam masyarakat. (…) Singkatnya, kami menyediakan bukti baru yang konsisten dengan hipotesis bahwa Revolusi Neolitik awal, melalui pengaruhnya terhadap kepercayaan budaya, merupakan sumber peran gender modern.”[22]

Bersamaan dengan pergeseran pembagian kerja, tampaknya juga terjadi pergeseran dari matrilokalitas ke patrilokalitas, yang akan berdampak lebih jauh pada posisi perempuan di rumah tangga. Penelitian La Sapienza University of Rome pada 2004 mengungkapkan, studi DNA mitokondria di 40 populasi sub-Sahara Afrika menunjukkan “perbedaan mencolok dalam struktur genetika populasi produsen-makanan [masyarakat pertanian dan peternak] (suku berbahasa Bantu dan Sudanic) dan populasi berburu-meramu (suku Pygmies, !Kung, dan Hadza).”[23] Perempuan dalam populasi berburu-meramu, seperti !Kung dan Hadza, lebih cenderung menetap dengan ibu mereka setelah menikah daripada perempuan dari populasi penghasil makanan yang bergantung pada pertanian, yang menunjukkan hubungan kuat antara pertanian dan patrilokalitas.

Kapan tepatnya matrilinealitas memberi jalan pada patrilinealitas tentu saja hampir tidak mungkin untuk ditentukan. Peralihan itu terjadi jauh di masa lalu yang tidak tercatat, dan setiap masyarakat akan berkembang dengan caranya sendiri dan dengan kecepatannya sendiri. Tetapi, dapat dipastikan bahwa peralihan ini berlangsung pada satu titik tertentu, antara munculnya pertanian dan kebangkitan masyarakat kelas yang pertama, kira-kira 5 sampai 6 ribu tahun yang lalu, karena setiap masyarakat ini bersifat patrilokal, patrilineal, dan terutama patriarkal.

Menurut Morgan, kunci dari peralihan dramatis ini dapat ditemui dalam kebangkitan kepemilikan pribadi. Dia menjelaskan: “masalah warisan pasti muncul, yang menjadi semakin penting dengan semakin besarnya dan beragamnya kepemilikan, dan ini menghasilkan suatu aturan yang mapan tentang warisan.”[24]

Properti tidak segera muncul sebagai properti pribadi, karena pada awalnya aturan warisan didasarkan pada kepemilikan bersama atas tanah dan ternak dalam gens, yang pada dasarnya adalah unit keluarga besar yang membentuk basis masyarakat hingga terbentuknya negara pertama. Ini berarti bahwa properti tidak dapat ditransfer ke luar dari gens.

Di bawah gens matrilineal, anak-anak tetap berada dalam gens ibu. Oleh karena itu, melalui garis perempuanlah properti diwariskan. Ini berarti bahwa anak laki-laki tidak berada dalam gens ayah mereka, tetapi dalam gens pasangan perempuan mereka. Namun, pada titik tertentu, di berbagai belahan dunia dan pada waktu yang berbeda, ketika laki-laki mulai mengumpulkan properti yang semakin besar, berlangsunglah peralihan di mana hak properti diturunkan melalui garis laki-laki.

Ketidaksetaraan, kelas, dan penindasan terhadap perempuan tidak langsung muncul dalam masyarakat pertanian dan peternakan yang pertama. Tetapi begitu peralihan ke pertanian telah tercapai, maka terciptalah kondisi yang semakin meningkatkan produktivitas tanah. Seperti yang dapat dilihat di sejumlah situs neolitik, “komunisme dalam kehidupan” terus berlanjut bahkan ketika manusia telah beralih dari kehidupan nomaden ke kehidupan menetap. Namun, surplus yang akhirnya tercipta berarti cepat atau lambat kelas-kelas pasti tercipta, dan bersamaan dengan munculnya kelas-kelas muncul pula ketidaksetaraan sosial. Korban pertamanya adalah perempuan. Selama periode dari masyarakat pertanian menetap awal hingga munculnya peradaban awal yang dikenal dalam sejarah, proses ini telah selesai.

Proses ini terulang secara independen di banyak bagian dunia, termasuk Mesopotamia (sekarang Irak), Mesir, Amerika Tengah dan Selatan, Cina, Asia Selatan, dan sebagian Afrika Sub-Sahara. Tentunya beragam masyarakat ini berbeda satu sama lain, tetapi mereka memiliki banyak kesamaan.

Kita tidak bisa mengatakan dengan persis bagaimana peralihan dari garis keturunan matrilineal ke garis keturunan patrilineal terjadi. Namun, Morgan mewawancarai anggota dari beberapa suku di Amerika Utara dan mencatat bahwa beberapa dari mereka baru saja beralih dari warisan melalui garis perempuan ke garis laki-laki – dalam beberapa kasus peralihan ini masih ada dalam memori mereka.

Seperti yang dia katakan: “Banyak suku Indian sekarang memiliki banyak properti berupa ternak dan rumah serta tanah yang dimiliki oleh individu, di mana praktik memberikan warisan kepada anak-anak mereka di masa hidup mereka telah menjadi hal yang umum untuk menghindari aturan warisan gens [warisan lewat garis keturunan ibu].”[25] Dia menjelaskan, seiring dengan bertambahnya jumlah properti yang dimiliki laki-laki, maka semakin ini “menimbulkan perlawanan terhadap aturan warisan gens”, yaitu aturan warisan melalui garis ibu. Ini adalah contoh hidup bagaimana transisi dari matrilinealitas ke patrilinealitas dapat terjadi di masyarakat lain.

Dengan demikian, munculnya kepemilikan pribadi merupakan elemen kunci yang menentukan perubahan radikal dalam status perempuan, dari sederajat menjadi subordinat pada laki-laki. “Keluarga monogami berasal dari properti,” tulis Morgan.[26]

Suatu bentuk masyarakat baru muncul, di mana laki-laki pemilik properti mulai memaksakan kondisi baru kepada perempuan. Satu-satunya cara untuk memastikan bahwa perempuan melahirkan anak-anak suaminya adalah dengan menerapkan aturan perilaku yang ketat, seperti memasung perempuan di dalam rumah, melarang perempuan keluar rumah tanpa ditemani, dan kesetiaan pasangan yang ketat.

Morgan menguraikan prosesnya sebagai berikut: “Setelah rumah, tanah, ternak, dan komoditas yang dapat ditukar telah menjadi begitu besar jumlahnya, dan telah dipegang oleh kepemilikan individu, maka perkara warisan akan menuntut perhatian manusia.”

Morgan menjelaskan, keluarga akhirnya menjadi “organisasi pembuat properti”, dan dia menambahkan: “Saatnya telah tiba ketika monogami, setelah memastikan garis keturunan anak, akan menegaskan dan mempertahankan hak eksklusif mereka untuk mewarisi properti almarhum ayah mereka.”[27]

Morgan, seperti yang telah kita lihat, tidak membatasi dirinya mengamati suku Iroquois, atau informasi yang dia terima dari sarjana dan penjelajah lainnya. Dia juga memeriksa sumber lain, misalnya, mengenai orang Yunani dan Romawi kuno, dan apa yang dapat dikaji dari tulisan-tulisan awal mereka, dari mitos dan legenda mereka, tentang struktur keluarga mereka sebelumnya.

Dia menemukan jejak gens dalam teks dan mitos paling awal dari orang Romawi dan Yunani kuno, serta dalam “sept” Irlandia, “klan” Skotlandia, “ganas” Sanskerta, dan seterusnya. Ini sangat penting, karena budaya ini tidak pernah memiliki kontak dengan suku asli Amerika yang diamati Morgan.

Orang Yunani dan Romawi kuno telah mengadopsi gens berbasis laki-laki, setelah bertransisi dari gens berbasis perempuan yang ada sebelumnya, dan dia menjelaskan bagaimana proses ini berlanjut pada periode awal urbanisasi.

Dalam masyarakat Yunani kuno, kita saksikan kejatuhan perempuan dalam salah satu bentuk terburuknya. Khawatir bahwa setiap kontak dengan laki-laki lain dapat mengarah pada hubungan seksual, laki-laki Athena tidak mengizinkan istri mereka keluar rumah dan berada di tengah publik; dan laki-laki dari luar keluarga tidak diizinkan bertemu dengan perempuan. Di Roma kuno, paterfamilias [kepala keluarga laki-laki] adalah otoritas tertinggi, yang memiliki kuasa atas hidup dan mati semua anggota keluarganya, istri, keturunan, serta budak.

Perlu dicatat bahwa “monogami” ini sebenarnya hanya berlaku untuk perempuan. Dan di samping moralitas baru yang mencekik ini muncul berbagai bentuk prostitusi perempuan (dan dalam beberapa kasus laki-laki) di masyarakat kelas kuno. Negara Athena bahkan mengatur prostitusi, dengan dikenalkannya rumah bordil.

Sebelum masyarakat kelas ini muncul, perempuan telah dipuja dan dihormati sebagai pemberi kehidupan. Epos Yunani merujuk pada dewi-dewi dan pejuang perempuan, yang dipuja dan dihormati. Robert Graves dalam The Greek Myths mengungkapkan pandangan bahwa Yunani Zaman Perunggu telah beralih dari masyarakat “matriarkal” – atau lebih tepatnya matrilineal – menjadi masyarakat patriarkal. Dia merujuk pada kisah Zeus yang menelan Metis, Dewi Kebijaksanaan, setelah itu “bangsa Achaea merepresi pemujaan Dewi Metis dan menyerahkan semua kebijaksanaan kepada Zeus sebagai dewa patriarkal mereka.”[28]

Penurunan derajat perempuan di surga ini jelas merupakan cerminan dari penurunan derajatnya di bumi. William G. Dever berpendapat dalam bukunya Did God have a wife?, bahwa proses serupa terjadi dalam mitologi orang Ibrani kuno, yang pada periode awal percaya Yahweh (tuhan mereka) memiliki seorang istri, yang dianggap sebagai Ratu Surga.

Morgan dan Engels tentang masa depan keluarga

Apa yang dikatakan Morgan tentang perkembangan keluarga di masa lalu menantang pandangan tradisional, tetapi apa yang dia katakan tentang masa depan keluarga bahkan lebih mencemaskan kaum borjuasi:

“Ketika kita menerima fakta bahwa keluarga telah melewati empat bentuk secara suksesif, dan sekarang ada di bentuk kelima, pertanyaan segera muncul apakah bentuk ini bisa permanen di masa depan. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adalah, bahwa keluarga harus maju seiring kemajuan masyarakat, dan berubah seiring perubahan masyarakat, seperti yang telah terjadi di masa lalu.”[29]

Engels melangkah lebih jauh:

“Apa yang dapat kita prediksi sekarang tentang pranata hubungan seks setelah penghapusan produksi kapitalis di masa depan, pada dasarnya, bersifat negatif, sebagian besar terbatas pada apa yang akan musnah. Tapi apa yang akan menggantikannya? Pertanyaan ini akan dijawab setelah lahirnya generasi baru: generasi laki-laki yang seumur hidupnya tidak pernah memiliki kesempatan untuk membeli ketertundukan perempuan, baik dengan uang atau dengan kekuatan sosial lainnya, dan generasi perempuan yang tidak pernah diwajibkan untuk tunduk pada laki-laki mana pun karena pertimbangan apa pun selain cinta sejati, atau menahan diri untuk tidak menyerahkan dirinya kepada kekasihnya karena takut akan konsekuensi ekonomi. Begitu generasi seperti itu muncul, mereka tidak akan peduli tentang apa yang menurut kita harus mereka lakukan nantinya. Mereka akan menetapkan praktik mereka sendiri dan opini publik mereka sendiri, yang selaras dengan praktik masing-masing individu – dan begitu saja.”[30]

Engels sering dicecar sebagai laki-laki zaman Victoria, tetapi dari pernyataan di atas kita dapat melihat bahwa dalam masalah keluarga dan bagaimana manusia akan berhubungan satu sama lain secara seksual di masa depan dia sebenarnya sangatlah maju pada jamannya

Setelah Engels menerbitkan karya klasiknya, barisan Internasional Kedua dan kemudian Komunis Internasional dididik dalam gagasan-gagasan yang diuraikannya di karya tersebut. Ketika kaum Bolshevik memenangkan kekuasaan pada 1917, mereka mulai menerapkan ide-ide ini, yang dapat terlihat dalam berbagai undang-undang dan reforma yang diadopsi terkait dengan pernikahan, hak-hak perempuan, pengasuhan anak, dll.

Selain reforma politik, Lenin dan Trotsky menekankan perlunya kesetaraan sosial dan politik yang sejati, dengan membebaskan perempuan dari beban pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, dll., yang secara tidak proporsional membebani perempuan hingga hari ini.

Terisolasinya revolusi Rusia di sebuah negeri terbelakang berarti banyak dari reforma progresif tersebut hanya dapat tercapai secara parsial karena Uni Soviet tidak memiliki sumber daya material yang cukup untuk mempertahankan reforma-reforma tersebut. Meskipun demikian, reforma mereka yang berani memberi kita gambaran sekilas tentang apa yang dapat dicapai oleh masyarakat sosialis sejati. Dan persis karena alasan inilah tidak hanya kaum Bolshevik, tetapi bahkan Morgan sendiri, tidak dapat dimaafkan oleh kelas penguasa.

Reaksi borjuis terhadap Morgan dan Engels

Perlu dicatat di sini, Darwin dan Morgan menerima perlakukan yang sangat berbeda. Darwin juga tidak sepenuhnya memahami bagaimana evolusi terjadi, dan itu karena penemuan-penemuan ilmiah tertentu belumlah tercapai, seperti ilmu genetika. Ini tidak mengurangi peran historis Darwin yang telah mendorong pemahaman kita tentang bagaimana kehidupan telah berkembang.

Morgan diperlakukan berbeda. Borjuasi dapat menerima gagasan evolusi biologis. Mereka bahkan mencoba memelintirnya untuk membenarkan masyarakat kapitalis itu sendiri. Tetapi mereka tidak dapat mentolerir ide yang secara tak terelakkan mengarah pada kesimpulan bahwa kapitalisme itu sendiri hanyalah sebuah fase, yang ditakdirkan untuk berakhir.

Walaupun Morgan bukan musuh kapitalisme, temuannya di tangan Engels menunjuk ke satu arah: Seperti halnya masyarakat telah berubah di masa lalu seiring dengan perkembangan kekuatan produktif, demikian pula perkembangan lebih lanjut dari kekuatan produktif ini tengah mempersiapkan kondisi untuk kehancuran kapitalisme itu sendiri, dan dengan begitu mentransformasi keluarga seperti yang telah dikenal selama ribuan tahun di bawah berbagai bentuk masyarakat kelas. Oleh karena itu, ide-ide Morgan harus diserang dan didiskreditkan, karena menyerang pandangan Morgan berarti juga menyerang Engels dan pandangan-pandangan kaum Marxis, yang dianggap mempromosikan ide-ide berbahaya yang mengancam stabilitas masyarakat borjuis.

Kita tentu saja perlu bersikap objektif dalam mengkaji Morgan dan antropologi di jamannya. Misalnya, dia tidak memahami tingkat perkembangan yang dicapai oleh kebudayaan Amerindian yang lebih maju, seperti budaya Aztec. Dia mengira mereka berada di level yang sama dengan Iroquois. Bahkan ketika kekeliruannya ditunjukkan kepadanya oleh salah satu muridnya, dia tetap mempertahankan pandangan ini.

Meskipun demikian, Morgan jelas telah pecah dari cara pandang sempit para pendahulunya – dan bahkan orang-orang sezamannya – dan secara tidak sadar menerapkan metode materialisme historis untuk memahami perkembangan manusia awal. Dia memberikan kontribusi besar bagi pemahaman kita tentang perkembangan masyarakat manusia dan itu harus diakui.

Yang harus kita pahami ini. Orang-orang yang menyerang Morgan atau Engels tidak melakukan ini dengan maksud mempertajam pemahaman kita berdasarkan studi-studi yang lebih mutakhir – sesuatu yang Engels sendiri akan terbuka untuk itu. Tidak, mereka menyerang dan berusaha mendiskreditkan metode ilmiahnya, metode materialisme dialektis, sebagai bagian dari serangan yang lebih luas dan lebih umum terhadap Marxisme.

Hingga pertengahan abad ke-19 – periode kebangkitan kapitalis – para ekonom, sejarawan, paleontolog, dan antropolog borjuis awal masih dengan tulus berusaha menemukan mekanisme yang menentukan perkembangan masyarakat. Adam Smith, misalnya, bergulat dengan mekanisme yang menentukan bagaimana kapitalisme berfungsi. Tetapi itu membutuhkan Marx untuk menarik semua kesimpulan logisnya.

Namun, pada peralihan abad ke-20, ketika kapitalisme telah mencapai batasnya dan mulai stagnan dan memasuki krisis, kelas kapitalis telah berhenti memainkan peran progresif apa pun, dan ini berdampak juga pada pendekatan mereka terhadap studi mengenai perkembangan masyarakat manusia.

Kelas borjuasi kini menjadi benar-benar reaksioner dan mencari-cari ide untuk membenarkan keberlanjutan eksistensinya. Alasannya sangat jelas: kekayaan dan privilese mereka bergantung pada kelanjutan sistem hari ini, dan oleh karena itu mereka berusaha menunjukkan bahwa sistem ini tidak akan pernah berakhir.

Bronisław Malinowski adalah antropolog terkemuka yang memimpin serangan borjuis ini. “Keluarga individual [monogami] selalu ada, dan […] itu selalu berdasarkan pada perkawinan satu pasangan,” ujarnya pada 1931.[31]

Malinowski merespons gagasan bahwa keluarga telah berevolusi dari waktu ke waktu, melalui berbagai bentuk. Dia percaya analisis historis bentuk keluarga awal tidak memiliki bukti, dan bahwa keluarga selalu, sedang dan akan selalu menjadi mengambil bentuk keluarga individual atau monogami. Seperti dikutip di atas, dia percaya bahwa “keluarga individual” (dengan laki-laki sebagai kepala keluarga) adalah “elemen dasar dalam masyarakat kita”, dan bila kita mengubahnya maka ini akan menjadi “bencana sosial”.

Banyak antropolog, dalam meneliti masyarakat awal, menggunakan lensa masyarakat mereka sendiri. Dalam sains, ada yang namanya prasangka sosial. Sains bukanlah forum yang netral. Sains adalah medan pertempuran yang mencerminkan semua tekanan masyarakat kelas.

Antropologi, karena merupakan studi tentang masyarakat manusia, adalah salah satu ilmu yang paling rentan terhadap prasangka sosial semacam itu. Keyakinan agama, tradisi, moralitas, dan prasangka kelas semuanya dapat membutakan para antropolog untuk melihat apa yang sebenarnya ada di depan mata mereka, terutama ketika menyangkut norma seksual dan juga kepemilikan pribadi.

Sejak awal abad ke-20, ada perlawanan terhadap ide-ide Morgan. Marvin Harris dalam The Rise of Anthropological Theory (1968) menjelaskan, antropologi modern memasuki abad ke-20 dengan mandat untuk “membongkar skema Morgan dan menghancurkan metode yang mendasarinya.”[32]

Apa metode yang ingin mereka hancurkan? Harris menjelaskan: “antropolog abad ke-19 percaya bahwa fenomena sosiokultural diatur oleh prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan.” Akan tetapi, pada abad ke-20, “Dipercaya secara luas bahwa antropologi tidak akan pernah dapat menemukan asal-usul institusi atau menjelaskan penyebabnya.”[33]

Ini adalah penolakan terhadap pendekatan ilmiah dan materialis terhadap studi antropologi, dan pergeseran ke metode yang tidak ilmiah dan idealis. Ini menyebabkan situasi di mana:

“Atas dasar bukti etnografis yang parsial, tidak benar, atau disalahtafsirkan, muncul pandangan budaya yang melebih-lebihkan semua aspek kehidupan manusia yang quixotic (acak), irasional, dan tak-dapat-dipahami. Para antropolog memuja keanekaragaman pola, dan mencari-cari peristiwa-peristiwa yang divergen dan tak-dapat-dibandingkan. Mereka menekankan makna subyektif dari pengalaman dengan mengesampingkan dampak dan relasi obyektif. Mereka menyangkal determinisme sejarah secara umum, dan di atas semua itu, mereka menolak determinisme kondisi kehidupan yang material.”[34]

Pendekatan idealis ini menolak metode materialis, evolusioner, dan dengan itu gagasan bahwa seseorang dapat menguraikan pandangan sejarah umum yang bersifat jangka panjang mengenai perkembangan masyarakat. Pendekatan idealis ini menolak gagasan bahwa kita bisa menemukan hukum perkembangan masyarakat, dan sebaliknya bersikeras bahwa setiap budaya harus dilihat secara terpisah sebagai sesuatu yang unik dan bukan bagian dari perkembangan yang suksesif. Franz Boas (1858-1942) adalah pelopor aliran ini, dengan teorinya tentang “partikularisme sejarah”.

Ini, pada dasarnya, adalah antisipasi pemikiran postmodernis, di mana kaum Kiri dan bahkan “Marxis” yang telah demor menjauhi cara pandang ilmiah materialis, dan mulai menyangkal tidak hanya hukum perkembangan, tetapi bahkan progres itu sendiri.

Ada antropolog yang melawan tren ini, seperti Leslie A. White dan Marvin Harris, yang dengan caranya sendiri menolak arus idealisme dan mempertahankan pendekatan materialis. Tetapi seperti yang dikomentari Harris pada 1999 dalam bukunya Theories of Culture in Postmodern Times: “Saya harus mengakui bahwa perubahan tajam dalam teori – yang menjauh dari pendekatan ilmiah yang prosesual dan menuju postmodernisme ‘apa pun boleh’ – telah jauh lebih berpengaruh daripada yang saya kira ketika saya melihat ke depan dari akhir tahun 1960-an.”[35] Perubahan tajam ini bukanlah kebetulan.

Dengan pendekatan Boasian, dan kemudian pendekatan postmodernis, yang tersisa hanyalah sekumpulan studi kasus individual, fakta-fakta yang terisolasi, yang tidak berhubungan satu sama lain, tanpa upaya untuk memeriksa hubungan sebab akibat yang ada, dengan kesimpulan akhir bahwa realitas tidak dapat diketahui.

Salah satu kritik dari mazhab Boasian terhadap Morgan, dan terhadap semua kaum evolusionis sosial pada masa itu, adalah mereka memiliki pandangan yang kaku tentang bagaimana kebudayaan manusia berkembang, dengan memaksakan sebuah model pada semua kebudayaan lokal.

Memang benar bahwa masyarakat manusia tidak semuanya berevolusi dengan cara yang persis sama, dengan melewati setiap fase yang telah ditentukan sebelumnya. Kita tidak akan menyangkal bahwa kondisi geografis dan iklim yang berbeda akan menghasilkan perbedaan tempo dan arah perkembangan. Misalnya, telah ditunjukkan bahwa ada kasus di mana budaya yang telah memulai bentuk pertanian awal, kemudian kembali berburu. Mengapa? Karena dalam kondisi tersebut, pertanian terbukti kurang produktif, atau perubahan iklim memaksa komunitas tersebut untuk bermigrasi. Ada alasan material yang konkret yang dapat menjelaskan mengapa komunitas tersebut kembali lagi ke mata pencaharian yang lebih kurang berkembang.

Jika kita menerapkan ini pada keluarga, kita saksikan bagaimana beberapa situs neolitik menunjukkan adanya kesetaraan seks bahkan untuk jangka waktu yang sangat lama setelah mengadopsi pertanian. Dan kita juga dapat menjumpai masyarakat berburu-meramu di mana penindasan terhadap perempuan muncul di bawah pengaruh bentuk-bentuk masyarakat selanjutnya, di mana sudah ada kontak dengan petani – sebuah contoh mencolok dari hukum perkembangan tak berimbang dan tergabungkan.

Namun, ini tidak menafikan hukum evolusi sosial dengan tahapan-tahapannya. Intinya, ada proses perkembangan yang condong ke satu arah, dan kita bisa memahaminya dengan memeriksa basis-basis materialnya. Tidak ada satu pun masyarakat kelas yang pernah memiliki tingkat kesetaraan yang diamati di bawah berbagai masyarakat berburu-meramu, entah dulu kala maupun sekarang.

Pandangan objektif tentang perkembangan masyarakat, pengamatan terhadap fakta-fakta yang ada, menunjukkan bahwa, ya, memang evolusi sosial menempuh jalan yang sedikit berbeda, tergantung pada kondisi setempat. Tetapi adalah satu hal untuk mengakui hal ini, dan hal yang sama sekali berbeda untuk menarik kesimpulan bahwa tidak ada hukum perkembangan sosial.

Boas bukanlah satu-satunya antropolog yang mengadopsi sudut pandang seperti itu. Orang lain setelah dia telah mengadopsi pendekatan idealis yang serupa. Apa yang dapat kita katakan adalah metode mereka, terlepas dari niatnya, sungguh sesuai dengan kepentingan kelas kapitalis. Alih-alih secara terbuka menggunakan bahasa reaksioner seperti Malinowski, mereka dapat bersembunyi di balik filsafat yang menampilkan dirinya sebagai progresif, padahal sebenarnya sangat reaksioner.

Perlunya pemahaman teoretis

Sebagai penutup, kita dapat mengajukan pertanyaan: Mengapa semua ini penting? Mengapa kita membela inti gagasan yang dijabarkan oleh Morgan, Engels, tentang evolusi sosial dan dengan itu gagasan bahwa keluarga telah berevolusi? Ini karena pemahaman teoretis diperlukan dalam perjuangan untuk menghapuskan penindasan.

Perdebatan ini bukan hanya masalah akademis. Konflik antara materialisme dan idealisme di semua ranah kehidupan adalah konflik antara kemajuan dan reaksi. Ini bagian dari perjuangan kelas.

Jika kita menerima pandangan anti-materialis dan idealis yang mendominasi antropologi di abad ke-20 – yang masih mendominasi hingga hari ini – kita tidak akan bisa memahami bagaimana dan mengapa masyarakat berubah, bagaimana dan mengapa keluarga berubah, dan oleh karena itu, bagaimana dan mengapa masyarakat bisa berubah lagi di masa depan. Yang tersisa hanyalah gagasan bahwa pikiran subjektif individulah yang menentukan perubahan, dan bukan perubahan kondisi yang menentukan perubahan dalam pemikiran.

Pergeseran dari cara pandang materialis dan evolusioner dalam antropologi merupakan langkah mundur, karena tidak menyisakan ruang bagi pemahaman ilmiah sejati tentang bagaimana masyarakat manusia berkembang dari tahap awalnya, melalui berbagai bentuk, hingga masyarakat industri saat ini.

Bila demikian, maka tidak ada gunanya berjuang demi perubahan radikal dalam struktur masyarakat. Sebaliknya, kita harus mengubah individu-individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Tidak ada cara konkret untuk mengubah kondisi material. Artinya, dalam perjuangan untuk hak-hak perempuan – dan lapisan tertindas lainnya – tidak ada peran bagi perjuangan kelas. Yang ada hanyalah perjuangan untuk mengubah kata-kata dan makna. Di jalan seperti ini, pergerakan berakhir di jalan buntu.

Apa yang dibutuhkan adalah kembali ke ide bahwa ada arah dalam perkembangan masyarakat, bahwa berbagai tahapan perkembangan telah membawa kita ke bentuk masyarakat hari ini, dan bahwa tahapan sekarang, yaitu masyarakat kapitalis, hanya mempersiapkan landasan bagi tahapan yang lebih tinggi, yaitu sosialisme, yang perlu diperjuangkan.

Masa depan keluarga

Bagi mereka yang menyangkal bahwa keluarga telah berevolusi melalui sejumlah bentuk yang berbeda, kita dapat menunjukkan fakta bahwa, terlepas dari keinginan  tokoh-tokoh seperti Malinowski, sangat jelas bahwa keluarga telah mengalami banyak perubahan, bahkan dalam waktu yang relatif singkat yang memisahkan kita dari zaman Morgan dan Engels.

Kita telah menyaksikannya sekarang. Hampir 50 persen dari semua pernikahan di Amerika Serikat saat ini berakhir dengan perceraian atau perpisahan, sedangkan di Inggris angkanya sekitar 42 persen. Perkiraan terbaru juga menunjukkan bahwa sekitar 40 persen kelahiran di Amerika Serikat terjadi di luar pernikahan.[36]

Di banyak negara di seluruh dunia, pernikahan menjadi semakin jarang. Semakin banyak orang menunda menikah. Ada pemisahan antara menjadi orang tua dan pernikahan. Seperti yang dijelaskan oleh sebuah artikel, “Dalam dekade terakhir institusi pernikahan telah berubah lebih dari ribuan tahun sebelumnya.”[37]

Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor, yang paling penting adalah masuknya perempuan dalam jumlah besar ke dalam pasar tenaga kerja, yang memberi perempuan tingkat kemandirian yang lebih besar.

Namun, masih ada kesenjangan upah gender yang signifikan. Terlepas dari pencapaian besar kaum perempuan, terutama sejak tahun 1970-an, mayoritas perempuan tidak sepenuhnya mandiri secara ekonomi karena ketidaksetaraan, kemiskinan, dan program pemangkasan anggaran sosial yang terus berlanjut. Kendati demikian, jelas perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki seperti dulu – setidaknya di negeri-negeri industri maju – dan dengan semakin meningkatnya kemandirian finansial perempuan muncul tuntutan yang lebih besar dari perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam hukum dan kondisi sosial

Oleh karena itu, kita dapat mengajukan pertanyaan lebih lanjut: Jika dalam 70 tahun terakhir saja semua perubahan yang dipaparkan di atas telah terjadi dalam keluarga, mengapa perubahan yang lebih besar tidak dapat terjadi selama puluhan ribu tahun, dan mengapa keluarga tidak dapat berubah ke arah progresif di masa depan?

Jelas bahwa penindasan terhadap perempuan tidak akan hilang dengan damai di bawah kapitalisme. Selain hambatan material yang dihadapi perempuan, ribuan tahun masyarakat kelas, budaya, dan ideologi misogini masih menentukan cara pandang miliaran penduduk saat ini. Prasangka dan moralitas berbasis-kelas telah terpatri kuat dalam kesadaran hari ini dan tetap kuat di bawah kapitalisme.

Ada anggapan keliru bahwa kapitalisme adalah akar dari penindasan perempuan. Ini terlalu menyederhanakan masalah. Seperti yang telah kita lihat, dominasi laki-laki atas perempuan dimulai ribuan tahun yang lalu ketika bentuk pertama masyarakat kelas muncul. Namun, budaya misoginis terus berkembang di bawah kapitalisme dan digunakan secara aktif oleh kelas penguasa ketika posisinya terancam, seperti yang kita saksikan hari ini.

Apa pun yang dapat digunakan untuk memecah belah kelas buruh berguna bagi kaum kapitalis. Rasisme, homofobia, transfobia, perpecahan agama dan etnis, semuanya adalah alat yang berguna untuk mengadu domba buruh. Inilah alasan kuat mengapa keluarga inti masih disajikan sebagai salah satu “pilar peradaban”, dan akan selalu demikian selama kita berada di bawah kapitalisme.

Emansipasi perempuan yang final dan sejati hanya akan tercapai ketika masyarakat kelas disingkirkan untuk selamanya. Seperti yang dikatakan Marx dan Engels, “revolusi adalah kekuatan pendorong sejarah.”[38] Tugas kita hari ini adalah berjuang untuk menggulingkan sistem kapitalis yang opresif, yang sudah tidak lagi memiliki peran historis.

Begitu semua kontradiksi yang mengalir dari masyarakat ini disingkirkan, dan begitu kekuatan produktif dibebaskan dari hambatan motif laba dan ditempatkan di bawah kendali kelas yang menghasilkan kekayaan, kelas buruh, maka kondisi-kondisi material akan berubah secara radikal. Dan dengan perubahan radikal ini, generasi mendatanglah yang akan memutuskan bagaimana mereka ingin berhubungan satu sama lain. Hubungan antar manusia pada akhirnya akan bebas dari kemiskinan material, dan bebas dari moralitas yang terdistorsi yang dipaksakan oleh masyarakat kelas.

 

[1] Morgan, Lewis Henry. Ancient Society. Bharati, 1947. p. 498.

[2] Montagu, M. F. Ashley (ed.). Marriage, Past and Present – A Debate Between Robert Briffault and Bronislaw Malinowski. Extending Horizons, 1956. p. 76.

[3] Morgan 19.

[4] Engels, Frederick. The Origin of the Family, Private Property and the State. Wellred Books, 2020. p. xxvii.

[5] Krader, Lawrence (ed.). The Ethnological Notebooks of Karl Marx. Van Gorcum & Comp. B.V., 1974.

[6] Trinkaus, E. “An abundance of developmental anomalies and abnormalities in Pleistocene people.” PNAS, Vol. 115, No. 47, 2018.

[7] University of Cambridge. “Prehistoric humans are likely to have formed mating networks to avoid inbreeding.” 5 Oct. 2017, https://www.cam.ac.uk/research/news/prehistoric-humans-are-likely-to-have-formed-mating-networks-to-avoid-inbreeding

[8] Engels 16.

[9] Morgan 28.

[10] Morgan 28.

[11] Engels 78.

[12] C Renfrew, Colin. Prehistory – The making of the Human Mind. Modern Library, 2007. p. 135.

[13] Morgan 66, 69.

[14] White, Leslie. The Evolution of Culture, The Development of Civilization to the Fall of Rome. McGraw-Hill, 1959. p. 256.

[15] Devlin, Hannah. “Early men and women were equal, say scientists.” The Guardian, 14 May 2015.

[16] Opie, Kit and Power, Camilla. “Grandmothering and Female Coalitions: A Basis for Matrilineal Priority?” Early Human Kinship, From Sex to Social Reproduction, edited by Nicholas J. Allen, et al., Wiley, 2008, p. 168-186.

[17] Hansen, Casper W., et al. “Modern Gender Roles and Agricultural History: The Neolithic Inheritance.” Journal of Economic Growth, Vol. 20, 2015, p. 7-8.

[18] Opie and Power 185.

[19] Kuhn, Steven and Stiner, Mary. “What's a Mother To Do? The Division of Labor among Neandertals and Modern Humans in Eurasia.” Current Anthropology, Vol. 46, No. 6, 2006, p. 995.

[20] Hansen et al. 9.

[21] Hansel et al. 9.

[22] Hansel et al. 3-5.

[23] Destro-Bisol, Giovanni, et al. “Variation of Female and Male Lineages in Sub-Saharan Populations: the Importance of Sociocultural Factors.” Molecular Biology and Evolution, Vol. 21, No. 9, 2004, p. 1673.

[24] Morgan 74.

[25] Morgan 168; penekanan saya.

[26] Morgan 398.

[27] Morgan 554.

[28] Graves, Robert. The Greek Myths. Penguin Books, 1972, p. 20.

[29] Morgan 449.

[30] Engels 63.

[31] Montagu 41.

[32] Harris, Marvin. The Rise of Anthropological Theory. Thomas Y Cromwell, 1968. p. 249.

[33] Harris 1.

[34] Harris 2.

[35] M Harris, Theories of Culture in Postmodern Times, Altamira, 1999, pg 13

[36] Wildsmith, Elizabeth, et al. “Dramatic increase in the proportion of births outside of marriage in the United States from 1990 to 2016.” Child Trends, 8 August 2018, https://www.childtrends.org/publications/dramatic-increase-in-percentage-of-births-outside-marriage-among-whites-hispanics-and-women-with-higher-education-levels

[37] Ortiz-Ospina, Esteban and Roser, Max. “Marriages and Divorces.” OurWorldInData.org, 2020, https://ourworldindata.org/marriages-and-divorces

[38] Marx and Engels. The German Ideology. Prometheus Books, 1998. p. 61.