Korea Selatan tidak hanya terkenal dengan fenomena K-Pop saja, tetapi juga merupakan salah satu negara yang telah meraih banyak penghargaan di bidang industri film. Bila pada 2019 silam kita mengenal ketenaran film Parasite, maka tahun ini serial drama Squid Game menarik jutaan penonton di seluruh dunia. Squid Game adalah serial televisi yang menjadi terkenal berkat konsep yang menarik dengan memberikan bumbu kebrutalan pada permainan anak-anak. Beberapa desain ikonis dalam film ini dapat dilihat di mana-mana, seperti pakaian prajurit bertopeng berwarna merah dan boneka anak raksasa. Sekilas, serial Squid Game menggambarkan kesengsaraan manusia yang memilih mempertaruhkan nyawa demi sebuah permainan yang dinikmati oleh orang kaya. Sebuah ironi memang, ketika harga sebuah nyawa yang mereka pertaruhan tidak lebih berharga dibandingkan dengan hadiah permainan berupa uang senilai miliaran won.
Secara umum Squid Game menceritakan sebuah kontes rahasia yang diikuti oleh orang-orang yang mengalami kesulitan finansial seperti: terjebak hutang, kebangkrutan akibat kesalahan dalam investasi, dsb. Dengan janji hadiah miliaran won, mereka hanya perlu menang dalam setiap permainan tradisional ini, namun dengan satu konsekuensi mengerikan: peserta yang gagal dalam permainan akan mati.
Di episode awal, penonton akan langsung disuguhkan adegan yang cukup mengerikan, di mana satu persatu peserta yang gagal menyelesaikan permainan mati tertembak. Namun, adegan mengerikan di episode awal ini mampu dialihkan dengan dalih bahwa mereka tidak pernah memaksa para peserta untuk mengikuti permainan tersebut.
Dengan berdalih tidak ingin memberatkan peserta yang telah menjalani hidup yang keras, penyelenggara selalu mendeklarasikan bahwa kontes ini menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi. Hal ini ditunjukkan dalam episode kedua dimana panitia memberikan opsi pada peserta untuk pulang bila mayoritas setuju untuk mengakhiri permainan.
Ironisnya, walaupun mayoritas peserta telah memilih untuk mengakhiri permainan, namun setelah peserta kembali pada kehidupan nyata, kondisi hidup memaksa mereka kembali ke permainan yang mengerikan ini. Bagi mereka lebih baik berjuang di dalam permainan yang mengerikan dengan risiko kehilangan nyawa mereka daripada harus kembali lagi ke dalam kehidupan nyata mereka yang miskin dan terlilit hutang.
Konsep permainan Squid Game sendiri sebenarnya adalah sebuah parodi sistem kapitalisme yang dibawa pada titik paling ekstrem. Prinsip “keadilan” dan “demokrasi” yang diklaim oleh penyelenggara justru dengan cepat menciptakan kecurangan serta kekacauan sehingga panitia harus turun tangan untuk menghentikannya karena “merusak keseruan” kontes.
Kekacauan ini mencerminkan kapitalisme dan demokrasi borjuis, yang selalu diklaim oleh politisi dan akademisi borjuis sebagai lambang kebebasan dan kesetaraan. Justru kebebasan dan kesetaraan tersebut digunakan sebagai ilusi untuk memecah belah rakyat miskin, dengan menciptakan barbarisme melalui kompetisi. Eksploitasi buruh oleh para kapitalis yang sering kali dijustifikasi dengan kalimat “tidak ada yang gratis” juga mencerminkan konsep dasar dari kontes Squid Game: para peserta harus bekerja keras untuk mendapatkan kebebasan, meskipun harus bertaruh nyawa. Tidak ada yang gratis, terutama bagi rakyat miskin.
Munculnya tamu VIP sebagai donatur kaya yang menonton permainan dengan canda tawa, serta perlakuan menghamba dari penyelenggara dan penjaga terhadap tamu VIP tersebut juga melambangkan ketimpangan sosial dan sistem hukum yang tumpul. Para tamu VIP hanya mampu melihat penderitaan rakyat miskin sebagai hiburan dan bahkan melihat kemiskinan sebagai hal positif karena memotivasi rakyat untuk bekerja.
Tidak kalah menjijikkan, serial ini juga digunakan sebagai pembenaran terhadap moralitas dalam sistem kapitalisme. Banyak influencer dan komentator dengan tidak tahu malu mengatakan bahwa pelajaran penting dari serial ini justru adalah pentingnya manajemen finansial, individualisme dalam kompetisi pekerjaan, dan berinvestasi. Alih-alih melihat ketimpangan sosial yang membuat para peserta jatuh pada permainan mengerikan ini, mereka menganggap nyawa yang jatuh akibat kompetisi adalah hal yang normal.
Squid Game secara tidak langsung menunjukkan realitas kejam kapitalisme di Korea Selatan. Krisis hutang yang digambarkan dalam film ini bukan sekedar fiksi belaka. Krisis hutang merupakan salah satu masalah pokok bagi perekonomian Korea Selatan saat ini. Jeratan hutang telah menjadi tren yang disebut “bittoo”, terutama di kalangan kaum muda Korea Selatan. Bittoo adalah bahasa gaul Korea Selatan, yang memiliki arti berhutang untuk berinvestasi, sebagai satu-satunya cara untuk menjadi lebih kaya dibanding generasi sebelumnya.
Tren bittoo muncul akibat upah yang stagnan dan biaya hidup yang terus meningkat, terutama harga properti yang terus meroket meskipun berbagai kebijakan telah dikeluarkan untuk mengontrol kenaikannya. Maraknya tren hutang ini menyebabkan pemerintah berusaha untuk membatasi jumlah maksimum hutang sebesar 40% dari penghasilan individu. Namun, kebijakan ini justru mendapat respons negatif serta membuat masyarakat menjadi panik dan berhutang lebih banyak, bahkan dari sumber yang berisiko.
Risiko hutang di kalangan kaum muda Korea Selatan semakin menajam akhir-akhir ini. Data bank sentral Korea Selatan menunjukkan bahwa mereka yang berusia 30an sangat terekspos sebagai generasi yang paling berhutang relatif paling banyak terhadap pendapatan mereka, dengan total pinjaman sekitar 270 persen dari pendapatan tahunan mereka.
Selain harga rumah yang tidak terjangkau, upah yang stagnan, serta hutang yang terus meningkat, lapangan pekerjaan pun semakin berkurang, terutama setelah pandemi. Hal ini memperparah kondisi hidup kaum muda dan juga orang-orang yang lebih tua. Hampir 1 dari 10 kaum muda Korea Selatan tidak memiliki pekerjaan, dan 60 persen dari masyarakat berumur 66 tahun ke atas hidup dalam kemiskinan. Kesulitan ekonomi tersebut membawa keputusasaan, sampai-sampai membuat kaum muda Korea Selatan tidak ingin menikah dan memiliki anak karena dianggap memakan biaya terlalu banyak. Bahkan banyak dari kaum muda Korea Selatan memutuskan mengakhiri hidupnya karena depresi.
Di tengah kesengsaraan yang dihadapi rakyat Korea Selatan, para chaebol – sebutan bagi kaum konglomerat dan korporasi besar di Korea Selatan – memiliki kekayaan yang terus meningkat. Dilaporkan bahwa 50 orang terkaya di Korsel kekayaannya terus meningkat sebesar 40% pada tahun 2021. Skandal korupsi dan nepotisme juga membuat ketidakpuasan semakin tajam.
Squid Game secara tidak langsung menggambarkan kapitalisme di Korea Selatan yang represif. Sepanjang sejarah, pemerintahan Korea Selatan terkenal sangat anti-buruh. Seperti halnya prajurit berbaju merah muda yang menjaga permainan Squid Game, pemerintahan Korea Selatan tidak segan-segan membunuh dan menangkapi para pemimpin gerakan buruh. Pembantaian gerakan perlawanan di Gwangju pada 1980 menjadi salah satu dari berbagai contoh penindasan pemerintah terhadap buruh. Meskipun saat ini Korea Selatan sudah tidak lagi berada di bawah kediktatoran militer, nasib kelas buruh tidak jauh berbeda dengan era kepemimpinan militer terdahulu. Penindasan tidak lagi dilakukan secara vulgar dengan moncong senjata, tetapi lewat dominasi ekonomi chaebol.
Penerimaan bantuan dari IMF pada saat krisis 1997 semakin memperlemah kekuatan buruh dan meningkatkan privatisasi pada sektor ekonomi. Serikat buruh dalam sejarah Korea Selatan juga sangat dibatasi. Semenjak dilarangnya serikat buruh GCKTU, serikat buruh yang cukup militan yang dibangun pada 1947, hanya ada 1 serikat buruh yang berdiri yaitu FKTU, serikat buruh reaksioner yang dibentuk pada 1946 untuk setia terhadap pemerintah dan menandingi GCKTU.
Tandingan terhadap FKTU baru muncul ketika serikat buruh tandingan yang lebih militan, KCTU muncul pada 1994 sebagai lanjutan dari gerakan demokrasi buruh pada 1987. KCTU sempat dicap sebagai organisasi teroris dan baru diakui pada November 1999. KCTU hingga saat ini terus ditindas oleh pemerintah, dengan pemimpinnya Yang Kyeung-Soo baru-baru ini ditangkap oleh polisi pada 2 September 2021 karena memprotes sikap pemerintah yang enggan untuk memberikan tunjangan bagi masyarakat yang terkena dampak pandemi. Merespons situasi ini KCTU melakukan pemogokan besar menuntut pembebasan Yang Kyeung-Soo pada 30 Oktober. Protes ini diikuti 80.000 buruh di 13 kota, dengan pemogokan 1 hari yang diikuti oleh 550.000 buruh di seluruh negeri.
Karya seni meniru realitas. Squid Game dan kondisi Korea Selatan saat ini mengekspos permasalahan dasar kapitalisme, yakni konflik antara kaum miskin tertindas dan kaum borjuasi yang diwakili oleh chaebol yang menguasai kekuatan ekonomi. Sementara para chaebol bisa hidup bergelimang emas, mayoritas rakyat Korea Selatan hidup dalam kondisi seperti neraka. Seperti halnya film Parasite sebelumnya, serial Squid Game juga mengungkapkan kengerian dan ketidaksetaraan di Korea Selatan. Terlepas dari tema surealismenya, kondisi material inilah yang melatarbelakangi serial Squid Game dan popularitasnya.
Ada ketidakpuasan yang terus menggerogoti fondasi rezim Korea Selatan. Korea memiliki kelas buruh yang kuat dan militan. Bila kelas buruh memiliki partai revolusioner mereka sendiri, sudah tentu ini akan mengubah perimbangan kekuatan di Korea Selatan. Krisis dan pandemi telah membuat kesengsaraan rakyat Korea Selatan semakin tidak tertanggungkan. Situasi ini menuntut pemecahan yang radikal dari atas hingga bawah. Pemecahan masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan transfer kekuatan politik dan ekonomi kepada kelas buruh, yang akan mengakhiri kapitalisme dan membuka jalan ke sosialisme..
Sosialisme mungkin bukanlah sesuatu yang positif di Korea Selatan karena mereka melihat karikatur sosialisme Korea Utara yang otoriter. Namun kelas pekerja akan segera menyadari bahwa sosialisme berarti kepemilikan dan kontrol demokratik kelas pekerja terhadap ekonomi. Kita telah menyaksikan bagaimana minat terhadap sosialisme muncul di negara paling reaksioner sekalipun seperti di Amerika Serikat. Ketika kondisi mencapai titik kritis, masyarakat akan mencari gagasan paling revolusioner tanpa memedulikan label, dan pernyataan ini terus dibuktikan oleh sejarah.
Meskipun serikat buruh mulai berkembang dan sangat militan di Korea Selatan, hal ini saja tidaklah cukup. Kelas pekerja Korea Selatan perlu memiliki partai massa buruh revolusioner mereka sendiri. Peran partai massa buruh revolusioner yang dibekali teori dan gagasan revolusioner tidak dapat dikesampingkan sebagai kekuatan politik. Jika kedua kekuatan ini digabungkan, maka kelas buruh akan menjadi kekuatan tak terbendung yang mampu mengakhiri horor kapitalisme, yang diparodikan dengan begitu gemilang oleh Squid Game.