Dua periode sudah rakyat melewati sekolah Jokowi. Sebentar lagi pemerintahannya akan digantikan oleh Prabowo-Gibran. Di saat pelantikan pertamanya pada 2014, Jokowi dipuji majalah The Time sebagai harapan baru bagi demokrasi Indonesia. Tapi semua sudah berlalu dan semua pujian kini menjadi kebalikannya. Jokowi mendapat skor buruk dalam ranking demokrasi di akhir masa jabatannya.
Berangkat dari pengusaha kecil di Solo kemudian memasuki istana negara, dia digambarkan sebagai orang yang jauh dari elite politik tradisional dan mesin militer Orde Baru yang lama. Namun dengan cepat Jokowi membuyarkan harapan rakyat bahwa dia akan memerintah dengan cara yang berbeda dari elite lama.
Sejauh ini, pemerintahan Jokowi dapat diandalkan oleh borjuasi karena dapat memberikan kestabilan politik relatif di tengah krisis. Kendati di awal pemerintahan Jokowi mewarisi krisis dan perlambatan ekonomi, dia mampu melewati hari-harinya tanpa gejolak sosial yang berarti. Dia mampu menyatukan partai-partai borjuis oposisi lainnya ke dalam koalisinya dengan membagi-bagi posisi dan jabatan kepada mereka. Harapan bahwa kabinet akan diisi oleh orang-orang ahli dan bukan dibagi-bagikan dalam politik dagang sapi pun menguap ke udara tanpa bekas.
Lebih parahnya lagi, semua reformasi undang-undang yang berpihak pada pemodal lolos dengan mudah. Bahkan di akhir pemerintahannya, dia telah membangun kroni di belakangnya demi memastikan dirinya masih memiliki pengaruh di pemerintahan selanjutnya.
Alih-alih menjadi presiden ‘progresif’ yang memberi banyak ruang demokrasi seperti yang banyak diharapkan oleh banyak Kiri kita, Jokowi menjadi presiden yang mencekik demokrasi. Untuk menggambarkan karakter represif rezim Jokowi, kita tidak dapat menemukannya pada karakter individunya. Kita perlu menemukan karakter rezim ini dalam keseluruhan situasi dunia hari ini.
Krisis ekonomi
Pemerintahan Jokowi dilatarbelakangi oleh krisis kapitalisme global, pandemi dan perang dagang AS dan Tiongkok yang semakin menajam. Di seluruh dunia tidak ada satu pun rezim yang kebal terhadap situasi ini. Di mana-mana krisis ini berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dan sosial. Tidak terkecuali di Indonesia.
Di tahun 2020, untuk pertama kalinya dalam dua dekade, PDB Indonesia menyusut. Konsumsi sangat lemah, demikian juga dengan investasi. Pengangguran mencapai tingkat tertinggi setelah lebih dari satu dekade. Pengangguran naik 2,67 juta dibanding tahun sebelumnya dan telah menembus 9,77 juta orang.
Pemerintahan Jokowi berkeyakinan bahwa investasi dapat menjadi obat mujarab bagi pemulihan ekonomi. Semua cara dilakukan demi menggaet investasi. UU Cipta Kerja disahkan terlepas dari semua kontroversinya yang merugikan kelas pekerja dan merusak lingkungan.
Tapi apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Pemulihan ekonomi dunia masih pucat pasi, yang terus menjadi momok bagi masa depan perekonomian Indonesia. Geopolitik dunia semakin jauh dari stabil. Para ahli strategi kapital pesimis. Mustahil ekonomi dunia mencapai kestabilan seperti sediakala. Perang dagang AS dan Tiongkok serta kebijakan bank sentral menaikkan suku bunga menjadi faktor memperlemah proses pemulihan ekonomi. Faktor-faktor ini hanyalah salah satu elemen dari krisis. Krisis ini kemudian diperparah oleh perang Rusia-Ukraina dan perang Gaza.
Hilirisasi
Di tengah ketegangan ekonomi dunia, pemerintah melakukan hilirisasi guna menggenjot nilai ekspor tambang. Hilirisasi ini diharapkan mampu menguatkan fondasi ekonomi di tengah situasi perekonomian dunia yang sulit dan penuh ketidakpastian. Seperti yang dikatakan Sri Mulyani, “Pemerintah saat ini sedang melakukan berbagai langkah untuk menguatkan fondasi ekonomi di tengah situasi sulit dan penuh ketidakpastian, termasuk melalui kebijakan hilirisasi ini.”
Kendati demikian, hilirisasi bukanlah resep pasti yang dapat menyelesaikan krisis. Pasar dunia telah terbelah menjadi blok-blok yang saling bersaing. Tiap-tiap negara berusaha mengamankan pasar dalam negeri mereka sendiri dengan berbagai kebijakan proteksionis. Ini akan mengancam pasar ekspor global.
Sedangkan di Indonesia, krisis ini mendorong turunnya tren ekspor. Dibanding dengan tahun 2022 saja, ekspor Indonesia pada 2023 turun sebesar 29,4 persen. Kondisi ini menuntut Jokowi melakukan hilirisasi dengan melarang ekspor mineral mentah (nikel, konsentrat tembaga, bauksit, timah, dll) untuk meningkatkan nilai produk di pasar dan menggeser investasi masuk ke Indonesia.
Hilirisasi bukan hal baru. Ini pernah dilakukan dan gagal. Sebelum perang dagang AS-Tiongkok, Indonesia telah melakukan upaya pelarangan ekspor mineral pada 2014. Tapi ini dibatalkan pada 2017 oleh Jokowi karena pembeli bauksit dari Tiongkok beralih ke Papua Nugini dan Australia. Praktis pangsa Indonesia dalam pasokan bauksit ke Tiongkok turun tajam dari 60 persen ke 15 persen pada saat itu.
Kali ini Jokowi melakukan hal serupa. Meskipun Indonesia memproduksi 37 persen nikel dunia, produksi bauksit, emas dan tembaganya kurang dari 5 persen dari total produksi global. Dengan mengobral ‘insentif’ untuk investor, investasi asing pun berdatangan mengeksploitasi sumber daya alam. Smelter menjamur terutama di wilayah timur yang memiliki pasokan mineral yang melimpah.
Pada 2022 investasi asing langsung di industri pertambangan dan logam dasar mencapai $16 miliar. Sebagian besar investasi ini berasal dari perusahaan Tiongkok yang mendominasi industri nikel di Indonesia. Sementara total investasi asing langsung mencapai $45,6 miliar, yang merupakan sebuah rekor.
Kendati demikian ada kerugian dari ambisi hilirisasi ini. Menurut data Kementerian Keuangan pada Januari sampai Agustus 2023, penerimaan bea keluar turun tajam 80,3 persen akibat larangan ekspor mineral mentah. Penerimaan pajak juga stagnan akibat obral insentif pajak yang digelontorkan untuk menarik investasi hilirisasi. Memang benar ada peningkatan ekspor, terutama jenis ekspor logam dasar. Tapi keberhasilan hilirisasi masih jauh dari realitas.
Sejauh ini hasil hilirisasi lebih banyak diekspor dalam bentuk bahan baku, dan lalu diimpor kembali dalam bentuk barang jadi. Badan Pusat Statistik menunjukkan sejauh ini Indonesia masih mengimpor peniti dengan bahan baku besi antikarat (stainless steel) dari nikel. Impor ini mengalami peningkatan dari Rp 243,7 miliar per Juli 2022 menjadi 258,4 miliar atau 852,3 ton per Juli 2023. Ibaratnya, kita mengekspor nikel sebagai bahan baku anti-karat, tapi kita juga mengimpor sendok, peniti, peralatan dapur, serta kesehatan dan lain sebagainya dari negara lain. Fakta kecil ini saja menunjukkan bahwa Indonesia hanya berperan sebagai pasar dan pemasok bahan baku bagi negara-negara lain.
Gangguan rantai pasok dan perang dagang mengharuskan Jokowi melakukan hilirisasi terlepas dari banyak yang harus dikorbankan. Masyarakat di sentra-sentra hilirisasi masih hidup miskin. Pekerja tambang yang bekerja di smelter-smelter dieksploitasi dengan kejam. Tanah, lingkungan dan hutan dirusak dan upah buruh ditekan untuk memenuhi ambisi ini. Ini lebih seperti penjual yang sedang mengobral dagangannya atas nama hilirisasi.
Karakter rezim Jokowi
Jokowi mampu mempertahankan kestabilan relatif di tengah krisis dunia. Dia berhasil mendorong reformasi yang berpihak pada pemodal yang tidak berani dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Jokowi membersihkan jalan bagi mulusnya modal dengan mencekik demokrasi.
Banyak pengamat serta aktivis mengeluhkan bahwa demokrasi semakin dilemahkan. Bahkan corong bicara borjuasi, The Economist, yang semula mengeluh mengenai lemahnya demokrasi di bawah Jokowi, mau tidak mau harus mengakui bahwa Jokowi memenuhi perannya menyeimbangkan dunia yang sedang terbelah.
Krisis kapitalisme juga tercermin dalam krisis demokrasi borjuis. Kapitalisme yang sedang krisis membutuhkan tangan besi yang berani memberi kepastian pada berjalannya status quo. Meskipun demokrasi merupakan alat terbaik untuk menjaga kepentingan kapitalisme, kelas penguasa bisa membuangnya bila tidak dibutuhkan.
Rejim Jokowi dapat bertahan tanpa adanya perlawanan serius dari gerakan buruh karena keimpotenan reformis gerakan buruh, yang dengan aparatus birokratiknya mengekang semua ekspresi militansi dari buruh alih-alih mengolahnya.
Pada 2014, dan lagi pada 2019, ketika Jokowi maju dalam pemilihan presiden, kaum kiri mendorong politik memilih terbaik dari yang terburuk. Dengan segala dalih mereka mendukung Jokowi. Dukungan ini secara efektif melucuti perlawanan rakyat. Pada akhirnya, peran kriminal Kiri inilah yang membuat Jokowi bisa bertahan dua periode tanpa adanya perlawanan serius dari rakyat. Inilah yang memberikan basis bagi kestabilan dan tangan besi Jokowi hari ini.
Apa selanjutnya?
Jokowi berusaha mati-matian supaya warisan pembangunannya selama ini dilanjutkan oleh presiden selanjutnya, dan dia telah berhasil lewat kemenangan Prabowo. Tapi siapa pun yang menjadi presiden mau tidak mau akan melanjutkan dikte dari para kapitalis. Seperti kata The Economist, peran yang dibutuhkan pemimpin selanjutnya adalah menyeimbangkan dunia yang terbelah, terlepas itu harus mengangkangi demokrasi. Itu artinya, ada atau tidak ada penerus Jokowi, presiden selanjutnya akan terdikte melakukan agenda yang telah dilakukan Jokowi sebelumnya. Tidak ada basis demokrasi yang sehat di atas krisis dan ketegangan geopolitik dunia.
Para pemimpin reformis gerakan buruh dan kaum Kiri liberal telah terekspos tidak berdaya dan bangkrut. Mereka sedang tersapu oleh sejarah. Mereka tidak berdaya karena mereka percaya dan berpegang erat pada sistem kapitalisme. Dengan bangkrutnya pemimpin reformis dan kiri, pendulum politik akan mulai bergerak ke kutub paling kanan atau ke kutub paling kiri, dengan cepat dan silih berganti. Polarisasi tajam sedang dipersiapkan. Krisis ini akan mempercepat proses radikalisasi massa, dimulai terlebih dahulu dalam lapisan buruh dan muda yang lebih sadar kelas. Mereka akan mencari solusi revolusioner untuk problem-problem kapitalisme yang semakin mendesak, yang sudah tidak bisa lagi dipecahkan oleh reformisme. Tugas kita sebagai kaum revolusioner adalah mempersiapkan diri untuk ayunan tersebut. Bukan menunggu secara pasif tapi aktif membangun partai revolusioner kita sendiri yang dapat menghimpun lapisan muda baru yang teradikalisasi itu. Dengan cara seperti inilah kita mempersiapkan generasi mendatang untuk menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme.