Revolusi dan aksi massa tidak bisa dipisahkan dari arus sejarah modern Indonesia. Bagaikan palu godam, revolusi terus menghantam dan menerobos semua yang merintangi laju arus sejarah bangsa ini. Dari masa ke masa, semua kekuatan yang konservatif dan tua senantiasa berusaha meredam revolusi yang berupaya membuka jalan baru bagi masyarakat. Namun vitalitas revolusi tak bisa dipadamkan dan terus menyala. Berulang kali, nyalanya redup dan hampir saja ditelan kegelapan pekat reaksi, tapi pastilah ia berkobar kembali untuk membakar dunia yang lama.
Hari ini, masyarakat Indonesia dihadapkan dengan satu rintangan terbesarnya: kapitalisme-imperialisme. Sistem kapitalisme yang tua bangka dan sekarat ini tidak lagi mampu memajukan umat manusia, dan kekeraskepalaannya untuk terus hidup harus dibayar mahal oleh rakyat pekerja. Kemelaratan yang tak tertanggungkan, kelaparan yang setiap harinya merenggut nyawa puluhan ribu, perang yang menghancurkan semua yang beradab, udara kotor yang sesak dan air yang amis, iklim yang memberontak melawan manusia, kebodohan dan ketidaktahuan barbar yang bersemayam di benak manusia – semua ini terakumulasi di satu kutub, di sisi kaum papa. Sebaliknya di kutub yang berseberangan, di sisi kaum kaya, gunung emas dan sungai anggur yang mengalir tanpa henti.
Masa kapitalisme yang jaya, yang ditandai oleh Zaman Pencerahan, telah terjungkir balik, dan hanya kegelapan yang kini membayang-bayangi umat manusia. Dunia kembali lagi menanti revolusi yang akan mendobrak kegelapan ini, dan derap langkah revolusi ini – yaitu revolusi sosialis – sudah mulai terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Manusia-manusia yang mampu mendengar derap kokoh ini, yang telinganya tidak pekak oleh kebodohan, pun sudah mulai mengumpul dan berlipat.
Imperialisme dan Bangsa Indonesia
Sejarah bangsa Indonesia berjalan bersanding dengan sejarah kapitalisme dunia, imperialisme khususnya. Dalam usahanya untuk “bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, membangun hubungan di mana-mana” guna memantapkannya “eksploitasinya atas pasar dunia”, kapitalisme menancapkan benderanya di bumi Indonesia dan menghancurkan bentuk masyarakat kelas yang lama untuk membuka jalan bagi bentuk yang baru. Sistem eksploitasi baru – yang berdasarkan kerja-upahan, produksi komoditas skala-besar, dan perdagangan bebas – menggantikan yang lama, yang uzur, lamban, dan tidak produktif.
Kapitalisme barat mencangkokkan dirinya secara paksa ke bumi Indonesia, lewat sebuah proses yang berlumuran darah. Puluhan ribu nyawa dikorbankan untuk menahbiskan Jalan Daendels, yang dibangun untuk menghisap dengan lebih baik lagi. Sistem tanam paksa menumpahkan darah, keringat, dan air mata rakyat tani yang membasahi seluruh tanah Jawa yang subur, guna menghasilkan hasil bumi berlimpah untuk memuaskan nafsu pasar dunia yang tiada habisnya itu. Ratusan ribu rakyat diculik dari kampungnya dan dijual sebagai budak untuk mengisi kas negara Belanda. Sungguh kapitalisme lahir dengan darah menetes dari semua pori-porinya.
Penghisapan brutal dan vulgar seperti itu sudah tidak ada lagi, seperti mimpi buruk yang telah lama berlalu. Belanda telah dienyahkan dari bangsa kita. Kemerdekaan telah diproklamirkan dengan begitu megahnya. Namun, ternyata rakyat hanya bangun dari satu mimpi buruk untuk masuk ke mimpi yang bahkan lebih buruk dan surreal. Rantai penjajahan dan penghisapan masih mengikatnya. Eksploitasi modern hari ini berjalan dengan lebih mantap dan mengakar lewat mekanisme pasar dunia. Setiap aspek kehidupan masyarakat dirantai oleh jejaring kapital domestik dan asing yang berkait kelindan. Kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan di tengah kekayaan yang berlimpah menjadi fakta universal bagi semua rakyat pekerja. Kedaulatan menjadi kedok atas dominasi modal asing.
Kapitalis hidung mancung yang berkulit putih telah diganti dengan kapitalis hidung pesek yang berkulit sawo matang. Bayonet tentara KNIL diganti oleh pentung dan bedil Polri dan TNI, yang sama bengisnya bila bukan lebih bengis lagi. Terlebih lagi, borjuasi kita tidaklah lebih dari kacung modal asing. Sejak lahir mereka telah menetek pada modal asing, sehingga tabiatnya sampai hari ini merangkak-rangkak dan menjilat sepatu tuan asing mereka. Dengan pasar dunia yang hari ini sudah matang, borjuasi nasional kita merupakan kepanjangan tangan dari kapital global, dan penghambaan mereka pada modal asing telah menjadi keniscayaan yang tak bisa lagi diganggu gugat.
Sedari awal tenaga penggerak utama dan sejati perjuangan kemerdekaan adalah kaum kromo, yaitu buruh dan tani. Borjuasi nasional dengan kaum intelektual mereka menunggangi perjuangan ini, menempatkan diri mereka sebagai pemimpin dengan maksud mengalihkan arus revolusioner massa ke kanal-kanal yang aman, kalau-kalau arus ini menghanyutkan mereka pula. Dan memang demikian. Setiap kali rakyat pekerja mengambil langkah untuk membebaskan diri mereka dari penjajahan asing, mereka mau tidak mau juga berjuang untuk mengakhiri semua bentuk penindasan, penghisapan, dan eksploitasi, dan dengan demikian segera berbenturan dengan borjuasi mereka sendiri. Revolusi mereka menyeluruh dan tidak berhenti di tengah jalan. Revolusi mereka tidak terinterupsi. Sementara para pemimpin nasionalis-borjuis selalu ragu-ragu dan setengah-setengah karena mereka lebih takut pada aksi massa yang revolusioner ketimbang imperialis. Setiap kali mereka berjuang, mereka selalu melirik ke belakang, kalau-kalau massa rakyat yang berhimpun, yang setiap harinya menjadi semakin kuat, mandiri, dan sadar kelas, akan menyingkirkan mereka pula. Maka dari itu, mereka selalu siap sedia berkompromi dengan imperialis, satu tabiat yang terus melekat pada dirinya sampai hari ini.
Borjuasi kita dimotivasi oleh kepentingan yang sempit dalam perjuangan kemerdekaan. Pekik lantang mereka mengenai hak dan kemerdekaan, mengenai kebebasan dan penentuan nasib sendiri, sungguh membuai, tetapi sesungguhnya mereka berjuang demi porsi rampasan yang pantas bagi mereka, demi kebebasan mereka untuk menghisap rakyat dari rumpun mereka sendiri. Begitu ini telah terjamin bagi mereka, begitu mereka jadi tuan di rumah sendiri, yaitu tuan penghisap atas semua rakyat miskin, pekik kemerdekaan mereka simpan rapat-rapat dan rakyat miskin mereka hajar agar tahu diri.
Sesungguhnya hari ini kita sudah merdeka semerdeka-merdekanya di bawah kapitalisme. Tidak ada lagi ruang untuk lebih merdeka lagi di bawah kapitalisme. Oleh karenanya, siapapun yang hari ini masih berceloteh tentang kemerdekaan, masih berandai-andai untuk menuntaskan bangsa yang belum selesai, masih terbuai oleh demagogi “Trisakti”, “Berdikari”, “Nawacita” dan semua variasi “Sukarnoisme” lainnya, mereka sesungguhnya tengah menjajakan ilusi dan menutupi pertentangan kelas yang sesungguhnya antara proletar dan borjuis. Nasionalisme dalam segala bentuknya, dan terutama dalam bentuk Sukarnoisme, yang tidak lain adalah nasionalisme borjuis-kecil, adalah racun bagi gerakan proletar.
Revolusi Nasional
Borjuasi kita sudah tidak bisa lagi memajukan bangsa ini dan membebaskannya dari kemiskinan dan keterbelakangan. Mereka kelas yang bangkrut sedari awal. Mereka tiba di panggung sejarah terlalu terlambat, sehingga tidak punya satupun tulang punggung progresif, apalagi revolusioner, seperti tuan Barat mereka berabad-abad yang lalu.
Guru besar kita pernah mengatakan bahwa “Borjuasi, secara historis, telah memainkan peran yang paling revolusioner.” Ini benar bagi borjuasi perintis di Eropa Barat, yang dalam perjuangan gigih mereka untuk menumbangkan feodalisme telah melahirkan pemikir-pemikir revolusioner Zaman Pencerahan yang berani. Mereka mengakhiri feodalisme, pertuantanahan dan absolutisme, mendirikan republik demokratik yang berdaulat, dan memodernisasi seluruh bangsa. Tetapi periode revolusioner kaum borjuis ini telah lama berakhir. Aksi berani dan heroik terakhir mereka adalah Revolusi 1789, dan sejak itu keberanian mereka terus terkikis seiring dengan menguatnya proletariat. Mereka bahkan sudah berpaling dari warisan Zaman Pencerahan mereka sendiri, merasa malu – dan bahkan terancam – oleh ekses-ekses revolusionernya. Tetapi kita kaum revolusioner berdiri di atas pundak raksasa-raksasa pemikir Pencerahan, dan kita meneruskan semangat revolusioner mereka.
Sementara, borjuasi kita hanyalah jiplakan murah dari borjuasi Barat yang sudah bangkrut. Perwakilan intelektualnya ecek-ecek, pretensius dan filistin. Mereka bukan lahir di masa ketika kapitalisme adalah kekuatan muda yang hidup dan berani, yang berani melawan segala yang tidak adil. Mereka lahir saat kapitalisme sudah membusuk, lahir pada tahapan tertinggi kapitalisme, yaitu imperialisme, sehingga mereka hanya mengadopsi fitur-fitur kapitalisme yang sudah uzur. Pada masa imperialisme ini, semua yang progresif dalam kapitalisme telah menjadi kebalikannya.
Riwayat perjuangan kemerdekaan bangsa kita menjadi saksi akan kepengecutan borjuasi nasional kita, ketidakberdayaan mereka untuk mendirikan bangsa yang berdaulat. Borjuasi kita selalu siap menjual tanah airnya sendiri untuk sedikit emas dari tuannya. Seperti kata Tan Malaka, borjuasi nasional kita “berdiri dengan sebelah kakinya di sisi jurang imperialisme dan sebelah lagi di sisi jurang kebangsaan Indonesia”, dan pada momen penentuan dengan sigap melompat ke sisi imperialisme.
Puncaknya adalah ketika jutaan rakyat disembelih di atas altar kapital atas perintah Washington, sebuah masa paling gelap yang menjerumuskan bangsa ini ke kediktatoran militer selama 32 tahun. Sukarnoisme dengan nasionalisme borjuis-kecilnya, yang dihiasi dengan embel-embel revolusioner, menjadi jebakan bagi proletariat. Celakalah mereka yang membuntuti borjuasi progresif ini.
Berbagai turunannya telah kita saksikan, dari PDI-P-nya Megawati Sukarnoputri sampai Jokowi hari ini, dan mereka lebih busuk dari yang sebelumnya. Tetap saja buah busuk ini mengundang banyak peminat di antara kiri-kiri borjuis-kecil, yang dengan rakus mengunyahnya dan menyerukan kepada rakyat untuk mengunyahnya pula.
Membebaskan bangsa ini dari dominasi modal asing, dari imperialisme, tidak akan bisa tercapai tanpa perjuangan menyeluruh oleh proletariat untuk mengakhiri kapitalisme, dimulai dengan menggulingkan borjuasi kita sendiri. Hanya proletariat, yang menyusun dirinya sebagai pemimpin seluruh bangsa, dan dengan demikian menyusun dirinya sebagai pengejawantahan seluruh nasion, yang dapat menuntaskan tugas revolusi nasional. Dalam revolusi nasional ini, yang menempatkan proletariat sebagai pemegang kekuasaan, jalan segera terbuka untuk revolusi sosialis, dan langkah tegas mesti segera diambil untuk menapak jalan ini bila kita tidak ingin revolusi karam di tengah jalan.
Tidak ada itu kapitalis komprador dan tidak ada itu kapitalis birokrat, yang semuanya adalah kategori artifisial dan non-ilmiah yang diciptakan untuk membenarkan keberadaan borjuasi progresif, untuk membenarkan kebijakan kolaborasi kelas. Borjuasi progresif tidaklah lebih dari bayang-bayang di benak kaum borjuis-kecil yang takut pada borjuasi, takut pada revolusi, yang begitu menyembah kekeramatan relasi properti borjuis.
Demokrasi dan Reformasi 1998
Ketidakmampuan borjuasi untuk mendirikan republik yang demokratik, dengan lembaga-lembaga demokratik yang berfungsi dengan baik, bukanlah disebabkan oleh kecacatan karakternya ataupun ketidaktahuan mereka. Cerdik cendekiawan liberal senantiasa mengharapkan tulisan-tulisan, seminar-seminar dan ceramah-ceramah mereka akan satu hari menghasilkan politisi dan borjuasi yang tercerahkan, yang akan mendirikan republik demokratik yang mereka dambakan. Utopia ini terus mereka jajakan sebagai ilusi pada rakyat. Pada kenyataannya, bahkan dalam seribu tahun pun borjuasi kita tidak akan bisa memahami demokrasi karena demokrasi bertentangan dengan kepentingan kelas mereka.
Usaha pertama borjuasi untuk mendirikan republik demokratik menyusul proklamasi kemerdekaan segera berbenturan dengan realitas. Kontradiksi masyarakat kapitalis Indonesia, yang sudah begitu tajam bahkan ketika bangsa ini masih berumur jagung, sungguh tidak memberi ruang bagi demokrasi untuk bisa bersemi. Karena berseminya demokrasi segera melepaskan aspirasi revolusioner massa, yang menuntut tidak hanya hak formal tetapi juga kebebasan nyata dari eksploitasi dan penindasan, dan ini tidak bisa ditoleransi oleh kelas penguasa. Kerangka demokrasi itu sendiri – yang tidak bisa tidak adalah demokrasi borjuis – terlalu sempit untuk menaungi antagonisme kelas yang kian hari kian menajam.
Untuk meredam elan revolusioner kelas buruh yang saat itu meledak-ledak dan mengancam menumbangkan seluruh sistem kapitalisme, sang borjuis-nasionalis Sukarno tampil dengan retorika persatuan nasionalnya: Nasakom dan demagogi gotong royong dan musyawarah. Kepemimpinan proletariat menelan bulat-bulat gagasan kolaborasi-kelas ini, dengan dalih bahwa buruh perlu bersatu terlebih dahulu dengan borjuasi progresif guna menuntaskan revolusi nasional. Perjuangan kelas dan revolusi sosial ditunda. Setelah buruh dilucuti dari kewaspadaan kelasnya, Suharto dengan mudah menyeret proletariat ke ladang pembantaian. Masuklah kita ke dalam periode reaksi paling keji. Seluruh generasi pejuang proletar hilang ditelan pekatnya gelap reaksi.
Untuk menjamin profit mereka, kaum kapitalis tidak bisa mentoleransi demokrasi. Kita saksikan eksploitasi paling vulgar, dengan tentara yang secara harfiah menjadi sekuriti pabrik. Kolusi, korupsi, dan nepotisme yang tidak tahu malu meradang di mana-mana, menjadi tradisi yang bahkan meracuni kaum proletar. Seni dan sastra, yang dalam masa revolusi merupakan lidah rakyat, dijadikan steril dan dibersihkan dari semua elemen revolusionernya, menjadi tidak lebih dari seni pop untuk konsumsi massa.
Namun api revolusi tidak pernah hilang dan perciknya akhirnya kembali mengobarkan api perlawanan massa. Revolusi 1998 meluluhlantakkan kerak kediktatoran militer yang menyesakkan masyarakat. Tuan Fukuyama, sejarah belum berakhir!
Revolusi ini membuktikan keliru semua orang yang telah menafikan aksi massa dan revolusi, telah meremehkan kapasitas revolusioner rakyat pekerja. Bukan kaum demokrat dan intelektual liberal yang meruntuhkan Orde Baru dengan jurnal akademis mereka dan kerja-kerja NGO mereka, tetapi aksi massa berani dan pengorbanan dari ribuan Marsinah, Widji Thukul, dan Bimo, bunga proletariat yang terbaik. Massa yang selama puluhan tahun dibuat mengambang akhirnya turun ke jalan.
Kaum liberal dan demokrat mengklaim Revolusi 1998 ini sebagai kemenangan demokrasi borjuis-liberal. Mereka yang sebelumnya bersembunyi di ruang kantor mereka hanya muncul setelah kaum muda dan massa telah menyeruak masuk ke panggung politik dan berhadap-hadapan dengan brutalitas aparat, dan mereka segera mengklaim kepemimpinan gerakan. Para politisi borjuis yang sebelumnya berbaris rapi di belakang para jenderal dan menikmati buah manis kediktatoran militer tiba-tiba berubah menjadi oposisi, menjadi pembela demokrasi. Revolusi ditelikung menjadi Reformasi, yang sekedar mengganti penampilan luar Orde Baru tetapi mempertahankan semua esensinya: yaitu kediktatoran kapital dengan badan khusus orang-orang bersenjata sebagai centengnya.
Kaum liberal dan oposisi borjuis ini bukan reformis gadungan, tetapi reformis yang seasli-aslinya. Tugas mereka bukan mengakhiri penindasan manusia atas manusia, tetapi melunakkannya agar tidak terlalu vulgar dan memprovokasi revolusi. Tugas mereka adalah membangun ilusi demokrasi parlementer, sebagai mekanisme untuk mengelabui rakyat.
Dari sebelumnya hanya ada 3 partai politik, kini rakyat pekerja disuguhkan lusinan partai untuk mereka pilih. Namun, ini tidak mengubah sama sekali esensi dari demokrasi borjuis, bahwa pemilu hanyalah ajang bagi rakyat untuk memilih perwakilan borjuis mana yang akan menindas mereka, bahwa parlemen hanyalah tempat debat kusir sementara keputusan telah diambil di belakang pintu kantor-kantor dewan direksi dan CEO korporasi, bahwa rakyat boleh saja mencoblos kertas suara tetapi yang mendikte kebijakan pemerintahan adalah profit kapitalis.
Lebih dari seperempat abad telah berlalu dan tidak ada perubahan fundamental bagi kehidupan mayoritas rakyat pekerja. Demokrasi yang dijanjikan oleh kaum borjuis liberal tidak pernah kunjung tiba. Kemiskinan dan ketimpangan masih merajalela, dan bahkan semakin memburuk, sementara kaum kapitalis dan para perwakilan politiknya telah menjadi lebih gemuk. Revolusi 1998 membuktikan dua hal. Pertama, hanya aksi massa revolusioner yang dapat memenangkan hak-hak demokrasi yang signifikan bagi buruh. Kedua, revolusi yang sama juga menunjukkan bahwa selama revolusi ini tidak menempatkan proletariat di tampuk kekuasaan dan melahirkan negara proletar, maka semua pencapaian ini dengan cepat raib dari genggaman rakyat.
Modernisasi produksi dan momok pengangguran
Karakter kapitalisme Indonesia secara fundamental tidak pernah berubah: penyanggah kapitalisme global dengan perannya sebagai sumber bahan mentah dan sumber tenaga kerja murah, serta pasar untuk komoditas industri dari negeri-negeri maju. Pada zaman Belanda, kopi, gula, tembakau, dan karet diboyong keluar; di masa “pembangunan” Orde Baru, migas dan tekstil; dan hari ini, batu bara, CPO, nikel, dan hasil tambang lainnya. Selalu berada di bawah jempol kapital asing, borjuasi kita tidak pernah punya ambisi – apalagi kemampuan – untuk membangun industri modern mereka sendiri.
Dengan tenaga kerja murah yang begitu berlimpah, borjuasi kita menjadi malas berinvestasi untuk memodernisasi teknik produksi. Selama mereka bisa mengupah buruh dengan sangat rendah dan mempekerjakan mereka dengan jam kerja yang panjang, selama ada pasukan cadangan buruh yang begitu besar yang selalu siap untuk dieksploitasi dengan harga apapun, kapitalis masih bisa menghasilkan profit yang memuaskan tanpa harus membangun industri modern. Ini pun menjadi siklus yang berkelanjutan. Ini mendikte karakter industri Indonesia, termasuk sektor pertanian, yang terbelakang, minim teknologi, dan tidak produktif.
Enam dari sepuluh pekerja adalah pekerja informal. Tidak mampu memperoleh pekerjaan tetap, mereka bekerja di pinggiran kapitalisme, sebagai tukang ojek, pemulung, pedagang kaki lima, tukang parkir, dsb. Mereka menjalani kehidupan semi-lumpen, dalam kondisi kemelaratan kronik. Ini adalah pemborosan terbesar, dengan lebih dari 80 juta pasang tangan yang dibiarkan setengah menganggur dan tidak produktif. Keberadaan pasukan cadangan buruh permanen yang masif ini merupakan prasyarat bagi berfungsinya kapitalisme Indonesia, yang mengandalkan tenaga buruh murah terutama untuk menciptakan iklim investasi modal asing yang menggiurkan.
Kapitalisme tidak akan bisa menyelesaikan problem modernisasi produksi dan pengangguran. Pada kenyataannya, keduanya bertolak belakang. Hari ini, modernisasi produksi berarti pengangguran. Setiap kemajuan teknologi bukannya membebaskan manusia tetapi justru menciptakan momok pengangguran yang mengerikan bagi rakyat.
Proletariat tidak bisa membiarkan selapisan besar kelasnya membusuk menjadi penganggur dan semi-lumpen permanen. Untuk menyapu bersih pengangguran dan puluhan juta pekerja informal, untuk membangun industri nasional yang modern, kita harus keluar dari kerangka properti borjuis yang mencekik itu. Hanya proyek pekerjaan umum yang masif, yang berdasarkan ekonomi yang ternasionalisasi dan terencana, yang bisa menghapus pengangguran dan mengerahkan seluruh potensi ekonomi bangsa. Ini mensyaratkan proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa.
Problem Tani
Selama puluhan tahun, ada proses pembusukan yang panjang di pedesaan. Petani kecil semakin terjepit oleh tuan-tuan tanah kapitalis besar, mahalnya pupuk dan alat-alat pertanian, kredit yang semakin mencekik, dan pasar komoditas pertanian yang tidak bersahabat. Di samping kekuatan ekonomi besar yang menindihnya, mereka juga dihadapkan dengan perampasan tanah. Kemiskinan dan kemelaratan adalah fakta sehari-hari di pedesaan, yang mendorong pemuda-pemudi desa untuk membanjiri kota-kota, menciptakan lapisan miskin kota yang besar, yang aspirasi ekonominya tidak bisa ditampung dan menyesaki kota-kota.
Berbagai “reforma” agraria dan program pemberdayaan masyarakat desa dan petani telah diumumkan oleh pemerintah, tetapi mereka tidak dapat menghentikan proses penghancuran ekonomi desa oleh kapitalisme. Masalah tani pada dasarnya berakar dari fakta bahwa produktivitas petani kecil tidak dapat bersaing dengan agribisnis raksasa, yang telah memadukan produksi skala-besar dan metode pabrik modern dengan pertanian. Upaya petani kecil untuk meningkatkan daya saingnya, dengan menggunakan pupuk dan alat-alat pertanian modern, yang biasanya mesti mereka beli dengan pinjaman bank, bukannya membantu tetapi justru semakin membuat mereka semakin terjepit dan tergantung pada modal besar dan monopoli.
Singkatnya, pertanian kecil perorangan adalah sisa-sisa moda produksi pra-kapitalis. Di negeri-negeri kapitalis maju, moda produksi ini sudah menghilang, dan digantikan – atau lebih tepatnya ditelan – oleh pertanian modern raksasa. Kelas tani telah ditransformasi menjadi proletariat, bukan dengan proses yang damai tentunya, tetapi pada akhirnya transformasi ini adalahnya langkah yang progresif, karena ini menciptakan batalion kelas untuk revolusi sosialis. Tetapi di negeri-negeri eks-kolonial seperti Indonesia, pertanian kecil perorangan dengan keras kepala masih bertahan persis karena borjuasi nasional tidak mampu memodernisasi perekonomian nasional. Kaum tani kecil, yang eksistensinya terombang-ambing di udara, jadi bulan-bulanan pasar kapitalis, terus bertahan sebagai lapisan yang cukup signifikan secara numerik tetapi tidak punya masa depan.
Oleh karenanya, proletariat harus memberikan perhatian khusus pada masalah tani, dengan merumuskan program tuntutan yang dapat memenangkan kaum tani ke sisi proletariat dan perjuangannya untuk mengakhiri kapitalisme. Secara historis, keselamatan kaum tani terletak di luar moda produksi pertanian kecil, yaitu dalam pertanian skala-besar kolektif. Namun untuk mencapai ke sana, kebutuhan mendesak tiap-tiap kaum tani harus terlebih dahulu dipenuhi: tanah, pupuk, alat pertanian, kredit murah, dan pasar yang bersahabat – yang semuanya hanya bisa dipenuhi dengan proletariat dan pemerintahannya yang menasionalisasi tanah, industri, dan perbankan. Dalam perjuangan yang konkret inilah, aliansi revolusioner buruh dan tani miskin akan terbentuk, aliansi yang hari ini bahkan jauh lebih memungkinkan karena proses proletarianisasi dalam lapisan tani itu sendiri.
Kaum tani akan tetap mempertahankan moda produksi pertanian kecil mereka selama mereka masih mempercayainya dan merasa mungkin bertahan di dalamnya. Proletariat dan pemerintahannya harus menemani mereka – terutama kaum tani miskin – dengan setia, dan selalu dengan uluran tangan yang ikhlas, dalam perjalanan mereka ke bentuk pertanian kolektif. Keunggulan kolektivisasi akan menjadi nyata dan konkret di mata kaum tani miskin seiring dengan terkonsolidasinya negara proletar dan kontrol mereka atas tuas-tuas ekonomi kunci.
Perjuangan pembebasan perempuan
Pemikir sosialis utopis Charles Fourier pernah mengatakan, “progres umat manusia dapat diukur dalam progres perempuan menuju kebebasan.” Kemunduran kapitalisme, yang tidak hanya telah menjadi hambatan bagi progres umat manusia tetapi juga mulai menyeret umat manusia ke lembah barbarisme, oleh karenanya paling segera terekspresikan dalam kemunduran status perempuan. Bahkan di negeri-negeri kapitalis maju di mana perjuangan sengit rakyat pekerja telah berhasil memenangkan pencapaian besar, krisis kapitalisme kini mulai memutar balik pencapaian ekonomi dan demokratik kaum perempuan. Krisis kapitalisme paling memukul lapisan buruh perempuan.
Di Indonesia, perjuangan untuk mengakhiri penindasan tidak bisa tidak berkait kelindan dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari konservatisme tradisional yang mengungkung mereka dalam dapur dan persalinan. Gerakan massa perempuan lahir pada puncak gerakan revolusioner, dan juga yang pertama segera ditumpas dan paling dihitamkan dalam kontra-revolusi yang menyusul.
Kapitalisme dalam pengejaran profitnya telah mendorong masuknya perempuan ke pabrik-pabrik dan tempat kerja. Batalion segar buruh perempuan ini memainkan peran penting dalam kebangkitan kembali gerakan buruh dan perlawanan terhadap Orde Baru. Pecah dari konservatisme patriarkal yang telah lama merantai mereka, mereka segera menunjukkan keberanian dan militansi yang bahkan mengejutkan dan tidak jarang membuat risi saudara buruh laki-laki. Kaum revolusioner harus memenangkan Marsinah-Marsinah ini ke dalam barisannya, yang tanpanya semua pembicaraan mengenai revolusi hanya menjadi omong kosong.
Revolusi kita tidak hanya bertujuan mengakhiri perbudakan kerja-upahan, tetapi juga masyarakat kelas dan bersamanya patriarki, yang merupakan bentuk penindasan yang jauh lebih tua dari semua ingatan masyarakat. Ini hanya bisa dicapai dengan meletakkan proletariat – laki-laki dan perempuan – ke tampuk kekuasaan, yang berarti menghapus Negara borjuis serta semua norma-norma yang menjadi bagiannya, termasuk norma patriarki. Semua perjuangan perempuan yang tidak memiliki tujuan akhir ini sebagai perspektif mereka, yang hanya puas dengan reforma parsial dan sekedar bekerja dalam kerangka kapitalisme, akan berakhir gagal.
Masalah Kebangsaan
Tidak ada yang lebih menggarisbawahi kebangkrutan borjuasi kita daripada perlakuannya terhadap bangsa-bangsa tertindas. Dari yang sebelumnya berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan, dari yang sebelumnya adalah bangsa tertindas, kini borjuasi kita menjadi bangsa penindas yang tidak kalah kejamnya dengan penjajahnya dulu.
Ini sesungguhnya mengekspos abstraksi kosong yang diproklamasikan oleh borjuasi kita saat kelahirannya, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.” Abstraksi ini dijadikan semboyan umum, tetapi sebenarnya mengandung konten kelas, persisnya konten borjuis. Borjuasi berjuang demi kebebasan, tetapi kebebasan untuk menjual dan membeli, kebebasan untuk membeli daya kerja dari buruh dan mengapropriasi nilai lebih yang diciptakan buruh, kebebasan untuk memperoleh profit, kebebasan hak milik pribadinya atas alat-alat produksi, dalam kata lain, kebebasan borjuis. Kebebasan inilah yang berdiri di atas segalanya. Kebebasan rakyat Papua – rakyat Aceh dan Timor Leste sebelumnya – tersubordinasi pada kebebasan Jakarta untuk mendulang emas dari tanahnya.
Ketimpangan besar antara Jawa dan luar-Jawa, antara Jakarta dan daerah – tidak hanya ketimpangan, tetapi penghisapan oleh Jakarta sebagai sentra modal dan monopoli terhadap daerah – menciptakan kekuatan sentrifugal besar, yang berpotensi mencabik-cabik persatuan nasional yang telah terbentuk oleh Revolusi 1945. Pada kenyataannya, tidak ada yang keramat dan abadi dalam persatuan nasional dan negara-bangsa borjuis. Kontradiksi dan krisis kapitalisme senantiasa mengguncangnya dari waktu ke waktu.
Persatuan nasional, yang menurut abstraksi palsu kelas penguasa merupakan perwujudan dari ikatan batin dan kebersamaan semua individu, yang acap kali diekspresikan dalam slogan “NKRI” atau “Bhinneka Tunggal Ika”, pada kenyataannya hanya bisa dipertahankan dengan proyeksi kekuatan yang nyata, yaitu kekerasan negara yang terorganisir. Maka dari itu, mengungkap penindasan nasional berarti mengekspos nasionalisme borjuis dan menelanjangi negara borjuis dan mesin penindasannya.
Kaum revolusioner harus berada di garis depan dalam perjuangan melawan segala bentuk penindasan nasional, dan bukan melihatnya sebagai sampingan dari perjuangan kelas. Kebijakan proletariat yang tepat mengenai masalah kebangsaan mengandung dua elemen: pertama, pengakuan atas hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa tertindas, sampai dan termasuk pemisahan; kedua, persatuan kelas proletariat dari bangsa penindas dan tertindas dalam melawan pemerintahan borjuis bangsa penindas, yang hanya bisa terbangun di atas fondasi elemen pertama yang disebut itu.
Mendorong secara konsisten dan konsekuen solusi demokratik bagi bangsa tertindas – dari hak dasar untuk berpendapat sampai hak penentuan nasib sendiri – secara tak terelakkan akan menempatkan revolusi di agenda perjuangan sehubungan dengan negara borjuis, karena dalam bingkai negara-bangsa borjuis praktis tidak ada ruang bagi terwujudnya hak demokratik untuk bangsa tertindas. Maka dari itu, kaum revolusioner tidak boleh melangkahi program demokratik, tetapi sama mustahilnya – dan bahkan berbahaya dan reaksioner – bila kaum revolusioner secara apriori membatasi dirinya pada program demokratik “formal”, karena setiap perjuangan demokratik yang secara konkret ditempuh oleh massa akan terus mendorong mereka untuk menembus batas-batas demokrasi dan melangkah ke sosialisme. Secara terampil merumuskan tuntutan demokratik – dalam kasus ini sehubungan dengan masalah kebangsaan, tetapi tidak terbatas pada itu saja – yang sesuai dengan kondisi konkret yang dihadapi massa, yang dapat mengekspos keterbatasan demokrasi borjuis, adalah kemampuan yang harus dimiliki dan terus diasah oleh kaum revolusioner.
Tugas kaum revolusioner adalah mengatakan yang sebenarnya: pembebasan nasional yang sejati bagi bangsa tertindas mustahil terwujud selama sistem ekonomi predatoris imperialisme-kapitalisme masih utuh. Kita hanya perlu menengok nasib bangsa Indonesia, yang telah merdeka hampir 80 tahun tetapi masih berada di bawah jempol imperialisme, dan menjadi kacung modal asing untuk menindas rakyat Papua demi kepentingan bursa saham di New York dan London. Kebenaran ini harus terus kita kumandangkan dan jelaskan secara sabar kepada rakyat tertindas dalam setiap perjuangan sehari-hari kita.
Generasi Muda Baru
Waktu tidak mengenal belas kasihan. Ia melumat segala sesuatu yang dulunya muda dan hidup, mengubahnya menjadi debu. Demikianlah nasib generasi muda radikal 1998 yang kini telah terlumat habis oleh waktu. Pemilu baru-baru ini menjadi penanda final berakhirnya generasi tersebut yang dulunya begitu berkobar-kobar dengan api revolusi. Banyak yang telah menyebrang ke sisi borjuasi dan beroleh posisi empuk dalam rejim. Harga diri dan integritas mereka obral. Yang lain jadi penggiat NGO atau akademisi liberal, dengan kehidupan nyaman yang mereka anggap adalah imbal layak untuk pengorbanan besar mereka. Beberapa masih berada dalam gerakan, tetapi tidak ubahnya mayat hidup yang tidak lagi punya gelora revolusioner yang sama. Mereka telah menjadi lebih bijak katanya, lebih anteng, lebih realistis; dalam kata lain mereka telah menjadi reformis dan oportunis. Hanya segelintir saja, yang mungkin bisa dihitung dengan jari di satu tangan saja, yang masih percaya pada cita-cita revolusi sosialis.
Bahkan PRD, yang menghimpun lapisan terbaik dari generasi pejuang 1998, tidak luput dari nasib malang ini. Pada kenyataannya, membusuknya PRD bahkan lebih menyedihkan karena mereka seharusnya mewakili lapisan termaju. Berbagai pecahan dan turunan PRD pun tidak lebih baik nasibnya. Mereka pun menghilang ditelan waktu, tanpa meninggalkan warisan sama sekali.
Generasi muda radikal ini memiliki keberanian yang tidak ada duanya dalam melawan rejim kediktatoran militer Orde Baru, dengan heroisme yang membuat mereka legendaris di mata banyak anak muda pasca Orde Baru. Untuk bertahun-tahun lama, bahkan ketika mereka sudah mulai membusuk, generasi ini masih menjadi titik referensi bagi banyak anak muda yang ingin melawan. Tetapi mereka kini tinggal cangkang saja. Kisah-kisah heroik mereka, yang untuk waktu yang lama masih memberi mereka modal politik dan membuat banyak anak muda mengikuti mereka, kini telah menjadi apek dan membosankan. Mereka sudah tidak lagi menginspirasi antusiasme di antara generasi muda revolusioner hari ini.
Keberanian dan heroisme saja tidak cukup, karena keberanian pun bisa dibeli oleh yang empunya kuasa; keberanian pun bisa dilumat waktu, diremukkan oleh tekanan kelas asing yang senantiasa ada. Yang dibutuhkan adalah gagasan revolusioner yang tepat untuk melengkapi keberanian tersebut, dan inilah yang sedari awal tidak dimiliki oleh generasi 1998, khususnya PRD. Gagasan revolusioner yang mereka serap setengah matang sehingga akhirnya terkikis habis oleh tekanan besar ideologi kelas asing: reformisme, liberalisme, nasionalisme (Sukarnoisme), postmodernisme, dsb.
Dengan mempelajari gagasan revolusioner yang tepat, waktu tidak akan melumatmu, tetapi membuatmu menjadi lebih matang, menjadi menua seperti anggur yang baik. Bila ada pelajaran yang bisa ditarik dari generasi 1998, ini adalah pentingnya membangun organisasi yang berlandasan teori revolusioner yang tepat. Semua bentuk “anti-intelektualisme” dan “super-aktivisme”, yang mengagung-agungkan praktik di atas teori, harus dienyahkan.
Revolusi Indonesia akan menjadi tugas generasi muda baru hari ini. Mereka tidak dibebani oleh kekeliruan generasi lalu. Generasi baru ini harus mempelajari dengan tekun teori dan filsafat perjuangan proletariat, yang terkandung dalam karya guru-guru besar kita selama 200 tahun terakhir. Tidak ada jalan pintas.
Kebangkrutan total Reformisme dan “Kiri”
“Kita harus melakukan sesuatu sekarang juga!” Betapa seringnya kita mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut kaum Kiri untuk membantah perjuangan demi sosialis. Pada kenyataannya mereka tidak melakukan apa-apa selain menyerah pada hari ini dan mencampakkan masa depan sosialisme. Mereka telah melakukan sesuatu, dan bahkan segalanya, selama bertahun-tahun dan bahkan berdekade, dan mereka tidak sejengkal pun lebih dekat ke masa depan yang bebas dari kapitalisme. Inilah kutukan yang menimpa kaum reformis, yang tidak bisa melihat melampaui batang hidung mereka.
Ketika kapitalisme ada dalam krisisnya yang terdalam, ketika semakin hari semakin banyak orang yang mempertanyakan legitimasi sistem yang membusuk ini dan mulai menarik kesimpulan revolusioner, kaum reformis masih saja sibuk dengan reforma-reforma kecil dan gradual mereka. Tidak lagi percaya pada kemenangan sosialisme, mereka telah menerima keberlangsungan kapitalisme dan menerima dengan patuh peran mereka untuk hanya memperbaiki ekses-ekses buruk kapitalisme.
Politik “terbaik dari yang terburuk” yang dangkal dan impresionis menjadi landasan praktik mereka, yang membuat mereka mendukung perwakilan borjuis ini atau itu. Dengan dalih “dukungan kritis” atau berbagai pembenaran teoritis lainnya, mereka membuat diri mereka merasa lebih baik dengan pilihan oportunis mereka. Ketika lesser-evil mereka, yaitu Jokowi, ternyata menjadi yang terburuk, bukannya belajar dari kesalahan ini mereka justru mencari “terbaik dari yang terburuk” lainnya. Kini kaum Kiri kita menemukan diri mereka mendukung entah Anies atau Ganjar, demi membendung pasangan Prabowo-“Jokowi”. Dan mereka masih berani-beraninya menuduh kaum revolusioner sebagai dogmatis.
Kaum reformis sayap kanan secara terbuka menolak revolusi dan sosialisme. Sementara kaum reformis kiri mengklaim diri mereka sebagai sosialis tetapi dalam praktik sehari-harinya tidak terlalu jauh berbeda dengan kaum reformis kanan. Mereka setuju dengan sosialisme “secara prinsipil”, tetapi – dan akan selalu ada “tetapi” – menurut mereka kita harus realistis sekarang. Sosialisme mereka disimpan rapat-rapat karena menurut mereka rakyat pekerja belum siap mendengarnya. Pada kenyataannya, mereka tidak pernah percaya bahwa rakyat akan siap untuk perjuangan revolusioner. Kaum reformis kiri selalu berakhir membuntuti kaum reformis kanan, seperti yang baru-baru ini dengan Komite Politik Nasional yang membuntuti Said Iqbal dkk. dalam Partai Buruh.
Kaum revolusioner tidak pernah menyembunyikan pandangan dan cita-cita sosialisme mereka, bahkan saat berjuang demi tuntutan sehari-hari yang paling parsial sekali pun. Inilah yang membedakan kaum revolusioner dan kaum reformis, bukan dalam tuntutan reforma itu sendiri tetapi bagaimana kaum revolusioner memperjuangkan reforma. Dalam memperjuangkan reforma, kaum reformis selalu dipenuhi dengan keragu-raguan, dengan rasa hormat dan kecut pada penguasa. Ini karena mereka tidak punya perspektif untuk menggulingkan kelas penguasa dan sistem mereka secara revolusioner. Sementara bagi kaum revolusioner, setiap perjuangan reforma ditujukan sebagai batu pijakan yang nyata, jelas, dan konkret bagi rakyat pekerja – bukan yang disembunyikan darinya – menuju ke perjuangan revolusi.
Lini pertahanan terakhir kapitalisme adalah kepemimpinan reformis dalam gerakan, baik reformis kanan maupun kiri. Ketika kapitalisme sudah terhuyung-huyung dan hampir saja ambruk, kaum reformis dengan siap sedia menyelamatkannya. Maka dari itu, perjuangan melawan reformisme dan oportunisme dalam gerakan proletar mengandung signifikansi yang sama dengan, bila bukan lebih dari, perjuangan melawan kapitalisme.
Membela Teori
Tanpa teori revolusioner, tidak akan bisa ada gerakan revolusioner. Kaum revolusioner tidak hanya berkutat dalam masalah roti saja. Perjuangan kita juga adalah perjuangan untuk memperluas wawasan kaum proletar.
Pandangan bahwa buruh hanya tertarik pada problem sandang, pangan dan papan saja adalah sepenuhnya keliru dan meremehkan rakyat. Kaum proletar ingin memahami dunia di sekeliling mereka. Pikiran mereka yang telah dibuat picik oleh kelas penguasa senantiasa memberontak melawan kungkungan dan terus mencari pengetahuan. Mereka tertarik pada seni, budaya, sejarah, filsafat, sains, dsb.
Dalam setiap langkah kita, kita selalu bertemu dengan para aktivis yang begitu getol dengan praktik. Lingkup aktivitas mereka begitu sempit, yang terbatas pada apa yang mereka sebut dengan “kerja nyata”, dan mereka begitu bangga dengannya. Mengenai kerja membangun dan menyebarkan gagasan revolusioner, mengenai kerja perjuangan ideologis melawan tidak hanya teori borjuis tetapi juga reformisme yang melumpuhkan itu, mereka penuh dengan cibiran. Para aktivis Kiri kita yang begitu sibuk dengan kerja advokasi mereka, dengan kerja elektoral mereka, bergerak ke sana ke mari layaknya ayam tanpa kepala. Malas berteori dan berfilsafat, mereka akhirnya mengadopsi teori dan filsafat kelas penguasa yang dijajakan oleh beragam akademisi “Kiri” dan “Marxian”.
Ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun, tidak kemarin, tidak hari ini, dan tidak esok hari. Maka dari itu, kerja mengklarifikasi gagasan revolusioner dan menjelaskannya dengan sabar dan tekun kepada lapisan muda dan buruh yang termaju adalah tugas terutama hari ini, yang tidak bisa dicampakkan demi pencapaian jangka pendek.
Cita-cita kita: masyarakat tanpa kelas, masyarakat tanpa negara
Kapitalisme tengah memasuki periode kemunduran terminal. Peradaban manusia sungguh terancam oleh sistem yang sedang sekarat ini. Kelas borjuasi sudah tidak lagi memiliki alasan untuk terus hidup, dan adalah tugas kelas proletar untuk mengakhirinya. Tidak ada kelas lain yang dapat memenuhi tugas ini.
Dalam mengakhiri kapitalisme, proletariat akan terus melangkah maju sampai mereka tiba ke masyarakat tanpa kelas dan oleh karenanya tanpa negara. Inilah tugas historis kelas proletariat. Kekuatan produktif yang ada akan dikembangkannya lebih lanjut sampai tingkatan yang melampaui semua masyarakat sebelumnya, di mana untuk pertama kalinya umat manusia akan melompat dari ranah kebutuhan ke ranah kebebasan. Manusia akan hidup berdasarkan kaidah “dari masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk masing-masing sesuai dengan kebutuhannya”.
Inilah cita-cita kita: masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara. Pemikir terbaik dan paling radikal dari Zaman Pencerahan telah membayangkan dunia semacam ini ratusan tahun yang lalu. Mably, Morelly, Babeuf, Fourier, St. Simon, kita kaum revolusioner hari ini berdiri di atas pundak raksasa-raksasa ini. Kita mengambil yang terbaik dari mereka dan mengembangkannya lebih lanjut, kini dengan keberadaan kelas yang paling revolusioner, proletariat. Tidak seperti kaum reformis hari ini yang begitu minim imajinasi dan keberanian, para pemikir Pencerahan ini, seperti kata Kant, berani berpikir. Sapere aude! Dunia yang mereka bayangkan tentunya penuh dengan utopia yang kasar dan vulgar, namun terkandung di dalamnya semangat revolusioner yang harus jadi pegangan bagi setiap pejuang proletar hari ini. Hari ini basis material untuk terwujudnya utopia tersebut sudah ada. Yang kini dibutuhkan adalah agere aude, keberanian bertindak untuk merenggut basis material tersebut dari tangan kelas yang sudah uzur itu.