Setelah berhasil memaksa pemerintah membatalkan niat mereka merevisi UU Pilkada, kaum muda dan rakyat pekerja merayakan kemenangan kecil ini tidak dengan kembali ke rumah masing-masing dan kembali ke rutinitas mereka. Tidak. Ini mungkin yang diharapkan oleh kelas penguasa. Kemenangan ini telah membangkitkan gairah perlawanan yang semakin besar dan luas. Aksi-aksi susulan masih terjadi, dan di beberapa tempat kelas buruh mulai turun juga dengan tuntutan mereka.
Demikianlah logika perkembangan kesadaran massa, yang bisa melompat maju dengan cepat, dan dengan setiap momentum kemenangan dapat terus meluas. Terinspirasi oleh satu lapisan yang berhasil mengambil satu langkah maju, lapisan-lapisan rakyat pekerja yang lainnya pun menyusul maju dan menguji kekuatannya. Lapisan lama yang sudah letih digantikan oleh lapisan baru yang lebih segar, dan terus silih berganti.
Lapisan muda yang paling maju dan paling mampu berpikir sudah mulai memikirkan masa depan gerakan ini. Mereka dipenuhi dengan optimisme revolusioner untuk mendorong gerakan ini lebih jauh lagi, tidak hanya seputar UU pilkada ataupun politik dinasti Jokowi, tapi juga keseluruhan sistem kapitalisme yang bobrok itu. Memang demikian, bahwa keberhasilan gerakan ini, bahkan untuk mencapai kemenangan yang paling parsial sekali pun, ditentukan oleh kemampuannya untuk terus meluas dan mencakup lapisan rakyat pekerja yang lebih besar, dan menjadi ekspresi politik dari kegeraman dan keresahan rakyat yang sudah terakumulasi itu.
Kaum muda, mahasiswa dan pelajar, telah menjadi ujung tombak gerakan ini. Namun dengan sendirinya, mereka akan kesulitan untuk bisa terus mempertahankan – apalagi mendorong – momentum gerakan. Dengan energi mereka yang meledak-ledak, kaum muda bisa menghantarkan pukulan kejutan pada rejim, dan inilah yang terjadi. Rejim tertangkap basah tidak siap dan terpaksa mundur.
Tetapi energi yang meledak-ledak ini cepat atau lambat akan padam bila batalion rakyat pekerja yang luas – terutama kelas buruh – tidak masuk ke arena perjuangan secara aktif. Pertama karena mahasiswa dan pelajar hanya mencakup lapisan yang relatif kecil. Kedua, dan ini yang paling penting, hanya kaum buruh yang memiliki kekuatan yang mengendalikan tuas-tuas ekonomi. Pemogokan buruh pelabuhan saja dapat memotong urat nadi perekonomian dan menjadi pukulan telak terhadap kelas penguasa. Apalagi pemogokan nasional, yang akan segera mengedepankan pertanyaan penting: siapa yang sebenarnya berkuasa? buruh atau kapitalis? Cerobong asap pabrik berhenti mengepul, kapas berhenti menjadi kain, langit hening karena tidak ada lagi pesawat, inilah kekuatan buruh.
Kita melihat pelajaran ini dari Revolusi Bangladesh belum lama ini. Gerakan ini juga awalnya dipicu oleh mahasiswa yang menolak kuota pekerjaan publik. Namun dengan cepat bola salju ini menggelinding. Rakyat pekerja luas bergabung ke dalamnya dan mengubah gerakan ini menjadi revolusi yang menentang seluruh rejim Hasina. Pukulan terakhir adalah keterlibatan buruh di dalamnya, terutama buruh garmen, dalam pemogokan umum. Dengan masuknya buruh ke dalam gerakan, seluruh rumah kartu Hasina runtuh.
Kaum mahasiswa telah menunjukkan keberanian mereka. Dihadapkan dengan represi polisi yang semakin brutal, mereka tidak gentar. Kini saatnya untuk menyalurkan keberanian ini menjadi seruan ke kelas buruh untuk bergabung ke dalam gerakan ini. Ada simpati luas di antara rakyat pekerja untuk gerakan ini, dan simpati ini harus diubah menjadi keterlibatan aktif.
Gerakan ini harus menyebar ke kelas buruh. Kelas buruh secara instingtif sudah bisa merasakan bagaimana perjuangan demokrasi ini terkait erat dengan kepentingannya. DPR yang berusaha merevisi UU Pilkada ini adalah DPR yang sama yang telah meloloskan beragam undang-undang yang menindas mereka, dari Omnibus Law sampai KUHP baru yang represif. Ini DPR yang sama yang penuh dengan koruptor yang dibencinya. Kebencian kelas juga mencuat di tengah gerakan ini, dengan para netizen yang kini gencar mengekspos kekayaan keluarga Jokowi. Ini mengungkapkan satu hal yang sebenarnya sudah diketahui orang banyak, bahwa pemerintahan ini adalah miliknya kaum kaya. Semua keresahan, rasa muak, dan kegeraman ini harus bisa diekspresikan secara terorganisir dan diwakili dalam gerakan ini.
BEM-BEM harus mulai menyerukan kepada serikat-serikat buruh – dan organisasi rakyat pekerja lainnya – untuk bergabung ke dalam gerakan dengan membentuk komite aksi bersama. Koordinasi gerakan tidak bisa hanya dilakukan sebatas BEM saja. Libatkan massa rakyat pekerja dengan menggelar rapat-rapat akbar terbuka. Buka gerbang kampus untuk rakyat pekerja. Hanya dengan demikian maka kekuatan gerakan ini akan menjadi berlipat.
Gerakan harus mengadopsi program tuntutan ekonomi dan sosial yang lebih luas, selain tuntutan demokrasi. Perjuangan untuk demokrasi harus dihubungkan dengan perjuangan kelas yang konkret, karena bagi kelas pekerja demokrasi itu bukanlah sesuatu yang abstrak. Demokrasi adalah sarana untuk perjuangan rakyat pekerja demi upah layak, kondisi kerja yang baik, tanah, pekerjaan, dll., intinya, demi kehidupan yang manusiawi dan bermartabat.
Dengan program seperti ini, kita dapat menunjukkan bahwa akar permasalahannya bukan hanya politik dinasti Jokowi, tetapi seluruh sistem kapitalisme. Politik dinasti Jokowi tidak melayani Jokowi, keluarga, dan para kliennya saja, tetapi pada hakikatnya melayani kaum kapitalis untuk semakin memeras keringat, air mata, dan darah rakyat untuk profit mereka. Kesemena-menaan Jokowi dan pemerintahannya adalah representasi dari kesemena-menaan kaum kapitalis dalam mengeksploitasi rakyat. Dosa Jokowi adalah dosa kapitalisme.
Untuk benar-benar menghapus politik dinasti, KKN, penindasan dan eksploitasi kaum kapitalis terhadap rakyat miskin, kita harus menghapus kapitalisme. Inilah yang harus mendasari program gerakan sekarang, yaitu perjuangan revolusioner untuk menggulingkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Sudah bukan lagi waktunya kawal mengawal MK! Saatnya mengawali revolusi!