Ratu Marie Antoinette legendaris konon memicu amarah rakyat jelata Perancis dengan perkataannya, “Biarkan mereka makan kue”. Menurut cerita, ini tanggapan sang ratu saat diberi tahu bahwa rakyat jelata yang kelaparan tidak punya roti. Saat itu, kue adalah makanan mewah yang hanya bisa dicicipi kaum bangsawan. Anekdot ini merupakan ekspresi ketidakpedulian Marie Antoinette terhadap rakyat Prancis, dan rakyat pada akhirnya “memakan” Marie Antoinette dengan memancungnya dalam Revolusi Prancis.
Ungkapan tersebut rupanya diulang kembali 300 tahun kemudian. Ketika rakyat berkubang dalam kemiskinan, dan kaum muda yang sedang turun ke jalan direpresi secara brutal oleh aparat, mereka justru disuguhkan dengan berita kehidupan mewah penguasa mereka.
Baru-baru ini Erina Gudono bersama suaminya Kaesang berangkat ke Amerika Serikat. Tujuan keberangkatan pasangan tersebut adalah mengantarkan Erina menuju kampus barunya, University of Pennsylvania. Pasangan tersebut dikabarkan berangkat dengan jet pribadi. Selepas dari penerbangan mereka pergi ke sebuah rumah makan dan memamerkan apa yang sedang mereka makan, sebuah roti seharga Rp. 400.000.
Apakah hanya sekali itu saja? Tidak! Mereka kemudian beralih makan di Beverly Hills dan memesan telur dadar seharga Rp 500.000. Dikabarkan pula Erina juga membeli stroller bayi baru seharga Rp 23 juta. Namun tidak hanya pasangan itu saja yang turut menghebohkan masyarakat. Sang mertua, Iriana Jokowi, terlihat berjoget ria di sebuah pesta yang cukup mewah di Hotel Four Points, Makassar ketika perlawanan dan represi terhadap demonstran sedang berlangsung.
Di luar keluarga Jokowi, punggawa setia “Raja Jawa”, dan juga Ketua Umum Golkar baru Bahlil Lahadalia baru-baru ini juga turut disorot oleh publik karena konsumsi wiskinya yang mahal. Masyarakat menyoroti harga wiski yang sebotolnya diperkirakan mencapai Rp 38 juta. Tentu saja minuman ini kecil bagi mereka yang kaya dan berkuasa. Ini seperti membeli ciu di gerobak-gerobak miras pinggir jalan. Tetapi di tengah kondisi rakyat yang semakin sulit, tontonan ini memercikkan kemarahan publik.
Rakyat sudah muak dengan kelas penguasa yang selama bertahun-tahun telah memperkaya diri melalui KKN. Jokowi membagi-bagi kue kekuasaan kepada partai-partai politik yang ada. Inilah yang membuat partai-partai politik tunduk pada “Raja Jawa”, termasuk mampu membeli kesetiaan para punggawanya: Bahlil, Luhut, Airlangga, dll.
Tentu saja kue dan harga wiski hanya puncak gunung es kekayaan penguasa kita. Bila kita lihat siapa di belakang “Raja Jawa”, maka ada “9 Naga” atau 9 taipan terkaya yang memiliki kekayaan melebihi PDB Indonesia. Begitu pula dengan DPR. Sebagian besar wakil-wakil rakyat ini datang dari kalangan pebisnis dan kaya raya. Tidak heran bila negara adalah komite yang mengatur urusan kapitalis, bukan urusan rakyat.
Tentu kita muak mendengar hal tersebut. Namun sekedar emosi atau satu dua kata umpatan kita terhadap kelakuan sosok-sosok di atas tidak akan membantu kita berpikir jernih dalam menentukan solusi yang diperlukan. Pertanyaan pertama yang harus kita refleksikan adalah mengapa kelakuan tersebut bisa muncul.
Tidaklah cukup hanya mengacungkan jari kita ke kerakusan dan rasa tidak tahu malu Jokowi, Kaesang, Bahlil dan jajaran penguasa sebagai biang kerok dari ketimpangan yang kita saksikan. Klaim yang sering diajukan oleh kelompok liberal tersebut selain hanya memberi jawaban yang sangat satu sisi akan berujung pada solusi moralis bahwa “Kita butuh pemimpin yang lebih baik dan tahu diri”. Hal ini berbalik dari sudut pandang Marxisme, yang menyatakan bahwa kekuasaan politik ditentukan oleh kelas mana yang berkuasa. Masyarakat yang terbagi ke dalam kelas-kelas – yaitu kelas kapitalis di satu sisi dan kelas buruh di sisi lain – akan mengondisikan kekuasaan politik atau negara yang begitu terasing di atas masyarakat. Negara yang ada tidak lain adalah negaranya kelas yang berkuasa, yang diisi oleh pejabat dan petinggi yang melayani kapitalis.
Apabila hari ini kita marah pada “Raja Jawa” dan ingin menggulingkannya, maka cara tepat untuk melakukannya bukan dengan mengganti raja yang ada dengan raja baru yang lebih “adil, bijak dan menghargai konstitusi”. Satu-satunya cara adalah menghancurkan kerajaannya secara menyeluruh, kerajaan kapitalis yang menjunjung tinggi kemahakuasaan kapital, yang dari awal memapankan dirinya dalam kehidupan mewah tiada habis bersama patih-patihnya sembari memiskinkan kaum buruh dan muda. Kerajaan yang bernama kapitalisme inilah yang harus jadi pusat perhatian utama kita untuk kita robohkan demi terbangunnya masyarakat yang makmur dan setara bernama Sosialisme.
Saat ini rakyat hidup seperti hampir seperti periode yang mendahului setiap revolusi. Kebencian terhadap penguasa terungkap oleh unggahan sikap foya-foya kelas penguasa. Ada kemarahan dan kegeraman yang tidak tertangkap oleh survei indikator apapun. Biaya hidup semakin tinggi. Pengangguran di mana-mana. PHK semakin merajalela dan semakin banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan dan kemelaratan. Mereka melihat penguasa mereka tidak peka dan mempertontonkan kekayaan. Ini semua adalah kebencian kelas. Bila hari ini mereka bisa seenaknya menikmati “kue” dari keringat rakyat, maka revolusi harus memakan mereka, orang-orang kaya dan berkuasa, seperti halnya Revolusi Prancis 1789!