Saat-saat yang buruk menghambat penulis yang baik, tetapi juga menginspirasi mereka. Begitu kiranya Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah sastrawan yang menerangi khazanah sastra Indonesia. Karya-karyanya ditekan oleh tumit besi Orde Baru. Tetapi melalui itu semua karyanya ditempa.
Lihatlah rak-rak toko buku yang berjejeran novel-novel pop masa kini. Tidak ada satu pun dari mereka yang begitu berani mengungkapkan dunia ini apa adanya selain karya Pramoedya. Memang seni dan sastra memiliki logika dan perkembangannya sendiri, tetapi sastra yang dikenal sepanjang masa selalu mencerminkan suasana hati, baik yang gelap maupun secara samar-samar, dari realitas sosial.
Karyanya Pram, Gadis Pantai adalah salah satunya. Novel ini adalah gambaran apa adanya sistem sosial dan politik Indonesia di era kolonialisme, dengan rantai patriarki, kemunafikan agama dan politiknya. Gadis Pantai sebagai protagonis dalam novel ini mengungkapkan betapa getirnya kehidupan perempuan di zaman tersebut. Ia tidak memiliki kendali atas nasibnya sendiri, begitu pula dengan perempuan-perempuan lain semasanya. Kehidupan perempuan terbelenggu tanpa pilihan, bila tidak dipaksa jadi gundik bagi para pembesar kolonial, maka sisanya menjalani hidup dalam kemiskinan. Ini merupakan gambaran nyata kebanyakan perempuan pada zaman tersebut.
Gadis Pantai melewati kehidupan yang suram di usianya yang belia. Dia dipaksa menikah dengan Bendoro, seorang pembesar atau bangsawan Jawa. Bendoro terlihat begitu mulia dan beragama. Dia rajin beribadah dan sering memberikan nasehat seperti halnya pembesar yang bijak. Dia dihormati orang-orang kampung karena posisi ekonomi dan sosialnya.
Gadis Pantai diambil dari kampung pesisir seakan diselamatkan nasibnya oleh pembesar. Dia terlihat begitu bodoh dihadapkan dengan tembok keangkuhan seorang pembesar. Seperti halnya orang-orang pesisir yang tidak mendapatkan akses pendidikan, Gadis Pantai tidak mengenal agama. Pembesar dan bangsawan Jawa ini menganggap orang-orang pesisir ini sebagai orang yang dekat dengan kekafiran.
Tetapi di balik Bendoro yang bijak itu tersembunyi kemunafikan yang paling menjijikkan. Seorang bangsawan hanya menikah dengan sesama bangsawan. Sembari menunggu mendapatkan calon pengantin dari kelas sosial yang sama, Bendoro menyeret gadis-gadis lugu yang perawan dari kampung untuk dinikahinya secara siri. Dia menikahi Gadis Pantai hanya untuk sesaat.
Seperti halnya nasib gadis-gadis yang telah dinikahi sebelumnya oleh Bendoro, Gadis Pantai diceraikan begitu saja segera setelah melahirkan anaknya. Dia dipisahkan begitu kejam dan dingin dari anaknya oleh Bendoro. Gadis Pantai terbelenggu. Dia dirampas dan dicampakkan. Dia diperlakukan tidak adil oleh sistem sosial dengan segala kemunafikan agamanya.
Gadis Pantai adalah salah satu kisah perempuan di era kolonial. Sosok Gadis Pantai mungkin saja hanya fiksi, tetapi cerita fiksi hanya mungkin diambil dari realita sosial. Sastrawan yang baik mampu mengisahkan realita sosial dalam masyarakat dengan kekuatan yang menyentuh kedalaman batin seseorang. Demikianlah Novel Pram. Dia mengungkapkan kebencian yang nyata terhadap status quo saat itu. Dia membenci kemunafikan. Temperamen seperti ini hanya mungkin lahir pada masa-masa perubahan besar zaman. Zaman yang dilewati Pram adalah zaman di mana sebuah bangsa baru terbangunkan dan menemukan jati dirinya. Inilah yang unik dari perkembangan seni sastra pada masanya Pram.
Mungkin ada banyak kisah mengenai kehidupan perempuan di era kolonial layaknya kisah Gadis Pantai. Tetapi kisah dengan kualitas seperti Gadis Pantai hanya bisa disentuh oleh Pramoedya – itu hanya miliknya Pram.
Kisah perempuan yang tertindas layaknya Gadis Pantai itu masih ada sekarang. Dunia sudah modern katanya, tetapi rantai patriarki yang tua itu, yang dikisahkan dengan begitu luar biasanya oleh Pram, masih mengikat kaki dan tangan kaum perempuan. Kemunafikan para pemuka agama juga semakin menjijikkan hari ini ketika agama dijadikan komoditas politik kelas penguasa, ketika pemuka agama di pondok pesantren melakukan pelecehan seksual terhadap murid mereka. Politik era kolonialisme yang busuk itu dilanjutkan oleh borjuasi-borjuasi yang sudah merdeka untuk menindas rakyat mereka. Inilah yang membuat novel Gadis Pantai merintangi waktu dan jaman. Potret masa lalunya merupakan cerminan masyarakat hari ini, dan oleh karenanya kritik keras terhadap status quo masa kini.