Ada satu hukum yang cukup umum dalam masyarakat, bahwa perubahan besar dalam masyarakat kerap dirintis oleh kaum muda. Kaum muda adalah pelopor perubahan revolusioner. Dalam dunia yang hari ini dilanda oleh krisis yang sangat mendalam, di mana masyarakat tidak hanya mengalami stagnasi tetapi juga kemunduran, kita kaum muda sekali lagi berdiri di garis depan dalam upaya untuk menerobos semua rintangan yang menghalangi kemajuan masyarakat.
Ada tanggung jawab besar di pundak kita. Sebagai pemuda, kita memiliki energi, antusiasme dan optimisme besar, yang lagi dan lagi berdiri tegas menentang tatanan yang sudah renta ini. Masalahnya adalah bagaimana mengelola energi besar menjadi revolusi yang dapat menggulingkan seluruh tatanan yang sudah busuk ini, bagaimana membangun gerakan muda revolusioner.
Dalam sejarah, kita bisa melihat peran kaum muda dengan jelas. Mahasiswa-lah yang pertama bergerak melawan Orde Baru. Ketika KPK dilemahkan oleh Jokowi, pelajar dan mahasiswa dengan berani turun ke jalan berhadap-hadapan dengan aparat. Pemudalah yang memaksa Sukarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan, dan mereka pula yang mengangkat senjata selama perang kemerdekaan. Partai Komunis Indonesia, sebagai partai massa revolusioner yang pertama kali melawan Belanda, dipimpin oleh Semaun yang saat itu baru berumur 21 tahun, dan lalu oleh Tan Malaka yang berumur 24 tahun.
Partainya Lenin, Partai Bolshevik, sedari awal dikenal sebagai partainya anak muda. Sementara lawannya Partai Menshevik, yang kebanyakan dipimpin oleh aktivis-aktivis tua, kerap mencibir Bolshevik sebagai partainya anak ingusan. Pada akhirnya, anak-anak ingusan inilah yang berhasil memimpin kemenangan revolusi sosialis yang pertama dalam sejarah.
Energi pemuda yang besar ini, yang meledak-ledak ini, adalah modal penting bagi revolusi. Tetapi energi ini akan sirna begitu saja bila tidak kita pusatkan, layaknya tenaga uap yang menguap tanpa manfaat bila tidak dipusatkan ke dalam kotak piston dan diubah menjadi daya yang terorganisir.
Sudah terlalu sering kita melihat gerakan-gerakan mahasiswa meletup di sana sini dengan pesat, seperti misalnya beberapa tahun yang lalu gerakan #reformasidikorupsi, tetapi menghilang di telan bumi dengan sama pesatnya. Berbagai organisasi mahasiswa terbentuk di sana sini untuk merespons beragam isu, tetapi seumur jagung saja eksistensinya. Tidak ada keberlanjutan organisasional dan teoritis dalam gerakan mahasiswa radikal, sehingga semua pelajaran dan sejarah perjuangan raib dan harus diulang kembali hampir setiap tahun.
Di sinilah peran organisasi revolusioner, yang menjadi memori kolektif dari perjuangan, yang di dalamnya tersimpan teori revolusioner serta sejarah gerakan. Dengan demikian akan ada kontinuitas. Kita tidak perlu terus membuat kesalahan yang sama. Kita tidak perlu memulai dari nol.
Apa organisasi revolusioner ini? Organisasi revolusioner pertama-tama adalah ide atau teori. Tanpa teori yang tepat, organisasi sebesar apapun akan dengan mudah runtuh dihempas oleh badai peristiwa.
Teori Revolusioner untuk Gerakan Revolusioner
Untuk memulai membangun gerakan mahasiswa revolusioner yang berkelanjutan, kita harus memulai terlebih dulu dari fondasinya, yaitu ide. Tidak ada gerakan revolusioner tanpa teori revolusioner. Kita perlu mengklarifikasi teori revolusioner yang dibutuhkan. Bila kita bergerak tanpa panduan teori yang tepat dan jelas, ini tidak ubahnya berlari seperti ayam tanpa kepala.
Universitas penuh dengan berbagai gagasan: postmodernisme, dekolonisasi, interseksionalitas, politik identitas, dst. dst. Tetapi tidak ada satupun gagasan akademis ini – yang terdengar radikal tetapi sesungguhnya hampa – yang mampu menyediakan solusi bagi problem-problem kapitalisme. Paling banter mereka hanya ingin memperbaiki kapitalisme agar lebih baik dan manusiawi. Mereka tidak mengarah ke penumbangan revolusioner terhadap kapitalisme.
Ide yang dominan adalah idenya kelas penguasa. Oleh karenanya, universitas tidak lain adalah institusi kelas penguasa, benteng ideologinya. Gagasan-gagasan yang diproduksinya adalah untuk mempertahankan kapitalisme. Bahkan bila sejumlah gagasan akademisi ini mengkritik kapitalisme, ini hanya untuk menyangkal teori revolusioner yang berupaya menumbangkan kapitalisme (baca Sosialisme Ilmiah).
Misalnya postmodernisme yang digandrungi banyak aktivis mahasiswa. Esensi dari postmodernisme bukanlah kritiknya terhadap kapitalisme, tetapi pembantahan totalnya terhadap progres, bahwa kita bisa menumbangkan kapitalisme dan mendirikan masyarakat sosialis baru di atasnya yang lebih baik. Ide reaksioner ini hanya melahirkan pesimisme: bila tidak ada progres maka satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah perbaikan individual atau membuat kapitalisme lebih baik. Tidak ada gunanya memikirkan revolusi atau perubahan fundamental terhadap kapitalisme.
Kita juga tidak kekurangan akademisi yang mengaku “Marxis”. Namun alih-alih menerangkan Marxisme dengan lebih baik, mereka justru mengaburkan esensi revolusioner dari Sosialisme Ilmiah. Mereka menciptakan kebingungan demi kebingungan, guna menjauhkan kaum muda dari Marxisme sejati, dari revolusi. Kita telah dianugerahi dengan banyak akademisi dan filsuf “Marxis” seperti itu, yang belum lama yang lalu dengan getol mendukung Jokowi, bukan sekali tapi dua kali.
Kebangkrutan akademisi Kiri ini bukanlah fenomena Indonesia saja. Kita sebut saja profesor David Harvey, yang dikenal banyak mahasiswa dengan video pengantar Capital-nya. Dia telah secara terbuka menentang revolusi dan semua upaya untuk mengakhiri kapitalisme. Kita patut mempertanyakan apakah sungguh dia memahami Capital.
Kapitalisme telah bangkrut dan hanya membawa kemiskinan, perang, kehancuran lingkungan, rasisme, seksisme, dan berbagai prasangka reaksioner lainnya. Tidak ada lagi masa depan untuknya. Ia harus disingkirkan dari panggung sejarah. Persenjataan ideologi yang paling konsisten untuk tujuan tersebut adalah Sosialisme Ilmiah dan Materialisme Dialektis, yang menjelaskan dengan jernih apa itu kapitalisme dan kontradiksi utamanya: kepemilikan pribadi dan negara-bangsa. Kedua kontradiksi ini telah menghalangi kemajuan umat manusia, dan bahkan menyeretnya ke barbarisme. Tugas kita adalah mengakhiri kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan menghapus negara-bangsa, guna menuju masyarakat tanpa kelas, tanpa penindasan manusia atas manusia, dan tanpa negara sebagai aparatus penindas.
Tidak heran bila teori ini begitu dimusuhi oleh kelas penguasa dan terus dipelintir oleh profesor-profesor universitas, entah yang konservatif ataupun yang mengklaim diri progresif. Gagasan yang begitu revolusioner ini, yang bertujuan merenggut privilese yang ada di tangan kelas penguasa – kapitalis serta para kacung politisi mereka – memang sepatutnya dibenci dan terus diserang. Kenyataan bahwa Sosialisme Ilmiah terus diserang oleh yang empunya kuasa merupakan validasi bahwa gagasan ini masih merupakan ancaman nyata bagi status quo.
Maka dari itu, untuk membangun gerakan mahasiswa revolusioner kita harus meluncurkan perjuangan ideologi yang gigih untuk melawan semua sampah ideologi borjuis dan borjuis-kecil yang bertebaran di kampus.
Akan ada banyak orang yang mengatakan bahwa kita memerlukan ide baru, bahwa ide-ide lama sudah tidak lagi memadai. “Tidak asyik,” kata mereka. Masalahnya bukanlah baru versus lama, tetapi konten gagasan itu sendiri. Semua gagasan baru yang diproduksi oleh para akademisi ternyata kalau kemasannya dibuka dan isinya diperiksa lebih lanjut tidaklah lebih dari gagasan lama yang itu-itu juga. Sebaliknya, gagasan-gagasan “lama”, yaitu Sosialisme Ilmiah, ternyata jauh lebih relevan hari ini dan masih menyimpan kekuatannya dalam menjelaskan situasi dunia yang ada.
Hanya orang-orang picik yang selalu mencari-cari yang baru, seperti orang centil yang gemar mengenakan busana terbaru untuk memukau khalayak ramai. Sebaliknya, mereka yang mendalami dengan serius gagasan Sosialisme Ilmiah, dan menggali sampai ke kedalamannya dan esensinya, akan menemukan bahwa gagasan “tua” ini ternyata menyimpan kebaruan yang segar, hidup, dan dinamis.
Organisasi revolusioner sebagai memori kolektif gerakan
Gerakan mahasiswa umumnya memiliki pintu berputar yang cukup cepat. Setiap tahunnya sekelompok mahasiswa baru masuk, dan sekelompok mahasiswa lainnya lulus dan meninggalkan kampus. Di satu sisi ini adalah keuntungan bagi gerakan mahasiswa, yang selalu mendapat influks lapisan muda baru yang segar, penuh antusiasme, tidak terdemoralisasi oleh kekalahan masa lalu, dan terbuka pada gagasan radikal. Influks mahasiswa baru ini terus memperbaharui gerakan.
Akan tetapi, di sisi lain perubahan pesat dalam komposisi mahasiswa ini menciptakan problem diskontinuitas dalam gerakan. Lapisan mahasiswa baru tidak memiliki pengalaman, dan gerakan mahasiswa sering kali mesti belajar kembali dan membuat kesalahan yang sama lagi dan lagi. Ada semacam stagnasi. Gerakan mahasiswa menjadi timbul tenggelam.
Di sinilah peran krusial organisasi revolusioner, yang menjadi memori kolektif bagi gerakan. Organisasi revolusioner yang berisikan kader-kader yang tertempa, dengan program pendidikan teori yang kuat, akan mampu mentransfer pelajaran dan pengalaman dari generasi sebelumnya ke generasi yang baru. Tidak hanya itu, pengalaman dan pelajaran ini – yang tidak lain merupakan esensi dari teori revolusioner – akan terus diperkaya dan diperdalam dari generasi ke generasi. Keberadaan organisasi revolusioner yang hidup, dengan demikian, menjamin kontinuitas gerakan mahasiswa.
Fondasi organisasi revolusioner adalah teori. Teori pada analisa adalah praktik yang telah dipertimbangkan dan direnungkan, dan telah dibersihkan dari semua yang vulgar. Di dalamnya terkandung sejarah gerakan yang riil, bukan semata pemikiran yang muncul begitu saja di kepala seseorang. Teori adalah rekaman pelajaran dan kesimpulan dari pengalaman yang telah dilalui oleh gerakan, yang telah disarikan menjadi pedoman umum. Di dalam organisasi revolusioner, kader merupakan wadah hidup bagi teori revolusioner tersebut, yang ia peroleh dari generasi sebelumnya, ia kembangkan, dan lalu turunkan ke generasi selanjutnya, dst. Ada benang merah panjang dalam Sosialisme Ilmiah, yang menghubungkan kita semua sepanjang 200 tahun sejarah perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme.
Membangun organisasi revolusioner yang profesional
Aktivis mahasiswa sering kali hanya aktif selama dia duduk di bangku kuliah. Setelah lulus, kebanyakan mahasiswa ini lalu tidak lagi aktif secara politik. Kalau pun masih aktif, mereka bergabung ke partai-partai borjuis yang sebelumnya mereka cecar, dengan alasan ingin “mengubah dari dalam”. Atau mereka “makan dari gerakan” dengan menjadi aktivis NGO dan mencampakkan semua idealisme revolusioner mereka.
Aktivisme dilihat hanya sebagai kegiatan selama menjadi mahasiswa yang punya banyak waktu luang. Bahkan ada stereotip negatif bagaimana aktivis mahasiswa itu suka bolos kuliah, bangun siang, begadang sampai tengah malam berdiskusi ngalor ngidul, nongkrong saban hari di sekre, IPK jeblok, telat lulus, dst. Sehingga, ketika sudah lulus dan harus bekerja seperti pekerja umumnya, tiba-tiba mereka menemukan diri mereka tidak punya lagi waktu untuk melakukan aktivisme seperti biasanya saat masih mahasiswa.
Semua ini merupakan ekspresi dari cara pandang borjuis-kecil yang melekat dalam diri mahasiswa. Ini sebagian besar karena lingkungan universitas di sekitar mereka, yang memang adalah lingkungan borjuis-kecil, dalam gaya hidup maupun intelektualitasnya. Kita harus mengenyahkan cara pandang borjuis-kecil ini dari diri kita, dengan menanamkan cara pandang Sosialis, cara pandang kelas buruh. Dengan teori revolusioner yang serius, mengalir pula organisasi revolusioner yang serius dan profesional.
Kita ambil saja contoh kedisiplinan waktu. Sudah bukan rahasia kalau aktivis mahasiswa itu selalu telat dalam pertemuan atau rapat. Jadwal rapat juga selalu molor karena diskusi yang tidak ada habis-habisnya. Seorang buruh tidak punya waktu berjam-jam untuk menunggu mulainya rapat atau duduk mendengar mahasiswa berceloteh tidak karuan. Banyak anak muda serius yang ingin bergabung, tetapi melihat para “aktivis senior” yang tidak profesional ini, yang membuang-buang waktu mereka, mereka pun jadi enggan.
Kita harus pecah dari tradisi amatiran seperti itu dan membangun organisasi revolusioner yang profesional dan disiplin. Pertemuan harus dimulai tepat waktu, dengan jadwal yang jelas sehingga selesai pula tepat waktu. Kedisiplinan dan profesionalitas ini harus menjadi metode dan tradisi yang merasuki semua aktivitas kita.
Sesungguhnya, setelah kita bergabung ke dalam organisasi revolusioner, kita bukan lagi seorang mahasiswa, melainkan seorang revolusioner. Kita harus menempa diri kita menjadi kader revolusioner yang tangguh dan disiplin. Kita mesti menjadi teladan bagi rakyat, tidak hanya dalam kerja politik kita tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita wajib menjadi pelajar, mahasiswa, atau pekerja yang paling rajin dan ulet. Kita dapat menjadi mahasiswa yang baik dan pejuang revolusioner yang paling rela berkorban pada saat yang sama. Ini hanya mungkin dengan adanya organisasi revolusioner yang profesional, yang dapat memanfaatkan waktu setiap anggotanya – yang memang sudah sangat terbatas itu, entah sebagai mahasiswa maupun pekerja – dengan sebaik-baiknya, mengkoordinasikan kerja mereka secara efektif dalam arahan perspektif politik yang tepat dan terukur.
Kesabaran dan kerja jangka panjang
Salah satu penyakit yang juga kerap menjangkiti gerakan mahasiswa adalah ketidaksabaran. Menyaksikan kebusukan kapitalisme di sekitar kita memang membuat darah kita mendidih dan membuat kita mendambakan perubahan sesegera mungkin. Namun kita harus memiliki sense of proportion, yaitu kemampuan mengukur kemampuan sendiri serta kondisi politik yang ada. Ketidaksabaran yang menjadi-jadi hanya akan mengantarkan kita ke oportunisme atau avonturisme.
Sering kali mahasiswa, karena ketidaksabaran mereka, berupaya mengorganisir aksi demi aksi, demo demi demo, yang hanya dihadiri segelintir orang. Mereka mengira mereka dapat secara artifisial menciptakan kesadaran radikal di antara mahasiswa luas lewat aksi-aksi individual yang menggantikan aksi massa. Setelah lama berteriak keras dan tampaknya tidak ada yang memedulikan mereka, mereka lalu tersungkur ke dalam lembah demoralisasi dan pesimisme.
Sosialisme Ilmiah memberikan kita pemahaman mengenai mekanisme perubahan kesadaran kelas di antara massa. Gerakan massa meledak ke permukaan bukanlah karena kerja propaganda sekelompok kecil aktivis, tetapi merupakan konsekuensi dari kondisi objektif yang ada. Misalnya, puluhan ribu mahasiswa dan pelajar dalam gerakan #reformasidikorupsi tidak turun ke jalan karena usaha dari segelintir aktivis, tetapi merupakan konsekuensi dari kondisi objektif – dalam kasus ini, usaha lebih lanjut rejim untuk menggerus pencapaian Reformasi 1998, serta keresahan umum rakyat terhadap praktik KKN yang mencapai titik nadirnya. Kita tidak bisa secara artifisial menciptakan gerakan massa, atau mendorong perubahan kesadaran massa. Kapitalisme-lah, dengan semua kontradiksinya, yang akan mendorong perubahan dalam kesadaran massa luas.
Ini bukan berarti kita duduk diam saja menunggu datangnya gerakan massa. Tidak. Tugas kita adalah mempersiapkan diri kita untuk bisa mengintervensi perjuangan besar yang cepat atau lambat akan meledak, sehingga kita bisa memiliki pengaruh yang menentukan dan bahkan memainkan kepemimpinan yang dapat menentukan hasil perjuangan tersebut. Kerja ini adalah kerja jangka panjang membangun basis-basis revolusioner di kampus. Massa mahasiswa memang belum bergerak, tetapi ada selapisan kecil anak muda yang sudah mulai teradikalisasi dan kita harus menghimpun mereka ke dalam organisasi revolusioner dan menempa mereka menjadi kaum sosialis revolusioner yang tangguh.
Kerja ini kemungkinan besar akan memakan waktu yang panjang, lebih panjang dari waktu kuliah seseorang. Namun demikianlah watak dari perjuangan revolusioner, yang lebih menyerupai maraton daripada sprint.
Kerja sabar ini dimulai dengan secara tekun dan sistematis mempelajari teori; menggali kembali gagasan Sosialisme Ilmiah yang telah lama terkubur; merekrut satu dua anggota baru dan melatih mereka; mengorganisir lingkar diskusi dan lingkar baca, atau acara diskusi yang tematik; menjajakan koran dan literatur revolusioner guna menyebarkan gagasan sosialis kita. Di setiap kesempatan yang ada, sesuai dengan kemampuan kita serta kondisi konkret yang ada, kita dapat mengintervensi isu-isu yang mungkin muncul di kampus. Misalnya isu UKT atau pelecehan seksual oleh dosen, atau bersolidaritas dengan perjuangan pekerja kampus.
Namun kita tidak membatasi diri pada isu-isu kampus saja. Kita tengah mendidik kaum revolusioner yang bisa menanggapi semua problem yang diciptakan oleh kapitalisme: perang, krisis iklim, perjuangan buruh, dsb.
Dengan secara sabar membangun organisasi revolusioner, kita tengah mempersiapkan diri untuk memastikan kemenangan revolusi sosialis. Inilah tujuan akhir kita. Tanpa organisasi revolusioner, tidak akan ada kemenangan revolusi. Semua kerja kita harus diukur dari keberhasilannya untuk membangun organisasi revolusioner
Langkah ke depan
Seorang revolusioner harus memiliki tiga hal: teori, kesabaran, dan sense of proportion. Sudah terlalu sering kita melihat aktivis yang berlari ke sana ke mari tanpa teori yang memandu mereka, tergesa-gesa ingin menuai hasil yang belum mereka bangun dengan sabar. Kita harus tinggalkan tradisi aktivisme buta ini.
Krisis kapitalisme itu seperti tikus tanah yang menggali di bawah tanah. Di atas permukaan, semua tampaknya baik-baik saja, tetapi di bawah tanah seluruh fondasi tengah digerogoti. Problem-problem kapitalisme yang terus menumpuk ini, yang tidak ada penyelesaiannya, telah mulai menggeser kesadaran kelas rakyat, terutama kaum muda. Gerakan mahasiswa akan meledak kembali dan bahkan dengan level yang lebih tinggi dibandingkan 1998. Kaum revolusioner dalam gerakan mahasiswa harus mempersiapkan diri mereka dan organisasi mereka untuk menyambut ledakan ini agar bisa memberinya kepemimpinan yang diperlukan, kalau tidak ledakan ini akan menguap menghilang begitu saja.
Berulang kali kaum mahasiswa telah dengan berani bergerak dan mencoba melawan ketidakadilan dan penindasan. Tetapi lagi dan lagi perjuangan kita pupus di tengah jalan. Ini bukan karena kita kurang keberanian dan inisiatif. Ini karena kita tidak memiliki organisasi revolusioner yang mampu memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan. Krisis dalam gerakan mahasiswa dapat direduksi menjadi krisis kepemimpinan revolusioner. Dengan kerja yang sabar, yang memberikan perhatian terdekat pada gagasan dan teori, maka kita akan dapat membangun kepemimpinan revolusioner ini dan menyelesaikan apa yang saat itu kandas di tengah jalan pada 1998: menyingkirkan semua sisa-sisa Orde Baru, menghapus kapitalisme, dan mendirikan masyarakat baru tanpa penindasan manusia atas manusia.