Akhir-akhir ini ramai beredar tangkapan layar dari pihak kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) kepada mahasiswanya. Surat ini ditujukan kepada penerima dan calon penerima beasiswa pengurangan UKT yang menuliskan: “Mahasiswa sekalian, ITB membuat kebijakan kepada seluruh mahasiswa ITB yang menerima beasiswa UKT, yaitu beasiswa dalam bentuk pengurangan UKT, diwajibkan melakukan kerja paruh waktu untuk ITB”
Katanya kebijakan ini bertujuan memberikan kesempatan mahasiswa penerima beasiswa pengurangan UKT untuk ‘berkontribusi’ kepada ITB. Selain itu, surat elektronik tersebut juga menyertakan tautan formulir pendaftaran yang wajib diisi oleh para penerima. Formulir tersebut mencantumkan berbagai jenis pekerjaan atau kegiatan yang dapat dipilih oleh mahasiswa penerima keringanan UKT, serta mengharuskan mereka untuk memilih lebih dari satu kegiatan.
Terdapat sekitar 10 jenis kegiatan yang bisa dipilih oleh mahasiswa, di antaranya adalah pembuatan konten materi matematika TPB, layanan help desk di Direktorat Pendidikan, serta tugas administrasi dan surat menyurat di Direktorat Pendidikan CCAR.
Nivan, salah satu penerima surat elektronik, dalam laporannya kepada BBC News Indonesia mengungkapkan keterkejutannya. Ia merasa bingung karena program tersebut disebut sebagai keringanan UKT, bukan beasiswa, serta terkesan bahwa ITB meminta imbalan atas keringanan yang sebenarnya merupakan hak mahasiswa. Setelah menerima surel tersebut, Nivan memutuskan untuk tidak mengisinya. Nivan bukan satu-satunya yang menolak.
Pada Kamis, 26 September kemarin, ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Kabinet Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB) menggelar aksi demonstrasi menolak kebijakan tersebut. Lewat aksi ini, mahasiswa berhasil memaksa pihak kampus untuk membatalkan kewajiban bekerja paruh waktu tersebut. Di hadapan aksi massa, administrasi kampus berjanji bahwa kerja paruh waktu ini hanya bersifat sukarela dan tidak akan memengaruhi hak pengurangan UKT. Ini merupakan buah kemenangan dari aksi massa.
Dengan kewajiban kerja paruh waktu ini, ITB jelas berupaya menerapkan kebijakan eksploitatif terhadap mahasiswanya. Kebijakan ITB telah memperlihatkan pendidikan kini direduksi menjadi transaksi ekonomi semata. Mahasiswa tidak lagi hanya dilihat sebagai pembelajar, tetapi juga sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh institusi kampus. Dengan semakin dipangkasnya anggaran pendidikan, jelas pihak kampus berupaya menambal defisit anggaran mereka dengan mengeksploitasi para mahasiswa yang paling rentan.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini mencerminkan perubahan mendasar dalam pandangan terhadap nilai pendidikan dan peran mahasiswa. Mahasiswa bukan lagi individu-individu yang menempuh pendidikan, melainkan dianggap konsumen yang membeli produk. Bahkan dalam kasus ini, ITB menggunakan mahasiswa sebagai ‘aset’ yang dapat dioptimalkan untuk efisiensi operasional kampus.
Kapitalisme telah memengaruhi sifat pendidikan itu sendiri. Komodifikasi pendidikan semakin memperkuat ketimpangan struktural yang ada antara yang kaya dan yang miskin. Mahasiswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu, yang lebih membutuhkan keringanan UKT, menjadi kelompok yang paling terdampak. Mereka harus “menjual” lebih banyak waktu dan tenaga, sehingga mengurangi kesempatan untuk fokus pada studi atau pengembangan diri lainnya. Sementara mahasiswa dari keluarga yang lebih mampu dapat menghindari beban ini dan lebih bebas mengoptimalkan pengalaman pendidikan mereka.
Kebijakan kerja paruh waktu ITB bagi penerima beasiswa UKT adalah contoh nyata eksploitasi mahasiswa yang terselubung di balik dalih “kesempatan berkontribusi”. Mereka mengubah status mahasiswa dari pembelajar menjadi pekerja berupah murah (bahkan gratis) bagi institusi kampus. ITB memanfaatkan kerentanan ekonomi mahasiswa penerima beasiswa untuk memaksa mereka menerima kondisi kerja yang tidak adil, sekaligus memperkuat ketimpangan sosial dengan membebani mahasiswa kurang mampu sementara yang lebih mampu dapat fokus pada studi.
Mahasiswa harus waspada dan melawan upaya sistematis ini yang mengancam hak-hak mereka. Kita harus kita ingat bahwa pendidikan bukan komoditas, mahasiswa bukan bahan mentah eksploitasi. Ketika institusi pendidikan menjadikan pengetahuan sebagai dagangan, kita telah kehilangan esensi pencerahan.
Mahasiswa, bangkitlah! Jangan biarkan almamater diubah menjadi perbudakan. Perjuangkan hak untuk belajar, berpikir, dan berkembang tanpa belenggu eksploitasi. Turunkan UKT tanpa syarat! Perjuangkan pendidikan gratis yang dapat diakses oleh seluruh rakyat pekerja!