Ditulis beberapa hari sebelum hasil pilpres Amerika memberikan kemenangan telak pada Trump, artikel ini mengupas Trumpisme dan kondisi-kondisi material yang mendasarinya, dan bagaimana kita dapat melawannya.
Rakyat Amerika terbiasa mendengar bahwa setiap pemilihan umum adalah “yang terpenting dalam hidup kita.” Tahun ini, kedua kandidat melangkah lebih jauh, dengan menyatakan bahwa ini adalah pemilihan umum terpenting dalam sejarah Amerika Serikat. “Mendukung atau menentang Trump?!” Ini adalah pertanyaan eksistensial yang diajukan oleh kedua partai utama AS. Namun, apa sebenarnya Trumpisme itu? Banyak orang yang kebingungan menjawabnya, namun, mustahil untuk memahami ke arah mana masyarakat AS melangkah tanpa diagnosis yang tepat terhadap penyakit ini.
Era ketidakstabilan
Selama lebih dari satu abad, kelas penguasa AS menikmati stabilitas politik yang luar biasa. Namun, kestabilan ini mulai terurai pada 2016, ketika pemilu membawa ke permukaan puluhan tahun kemunduran ekonomi dan kemarahan kelas. Dengan bersandar pada nasionalisme ekonomi dan demagogi sauvinis terhadap imigran, perempuan, dan kelompok tertindas lainnya, Trump berjanji untuk memulihkan kemakmuran ekonomi AS dan mengutamakan “Amerika yang Pertama.” Dengan mencitrakan dirinya sebagai “orang luar” yang berani melawan status quo Washington demi kebaikan rakyat Amerika, ia telah mengambil alih dan mengubah Partai Republik.
Kaum liberal melihat kebangkitan Trump sebagai sebuah aksiden yang acak dan memilukan, sebagai “kemerosotan ke arah otoritarianisme” yang mengkhawatirkan. Sementara beberapa kaum liberal mengakui bahwa ia telah menjadi saluran kekecewaan rakyat, mereka masih menggambarkannya terutama sebagai individu yang jahat, yang dengan sendirinya akan mampu menghancurkan tatanan demokrasi AS. Namun tren politik tidak muncul begitu saja. Agar sebuah ide dapat berkembang dan mengakar dalam masyarakat, ide tersebut harus menawarkan solusi yang dianggap dapat menyelesaikan masalah tertentu.
Untuk memahami kebangkitan Trump, kita harus mulai dengan pemahaman dasar tentang bagaimana ide muncul dan berfungsi dalam masyarakat. Karl Marx menguraikan hal ini dalam Kata Pengantarnya pada 1859 untuk “Sebuah Kontribusi terhadap Kritik Ekonomi Politik”, dengan menulis:
“Dalam produksi sosial kehidupan mereka, manusia secara tak terelakkan memasuki relasi-relasi tertentu, yang tidak bergantung pada keinginan mereka, yaitu relasi-relasi produksi yang sesuai dengan tahap tertentu dalam perkembangan kekuatan produksi material mereka. Totalitas relasi-relasi produksi ini membentuk struktur ekonomi masyarakat, yaitu fondasi yang sesungguhnya, yang di atasnya muncul suprastruktur hukum dan politik dan yang sesuai dengan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Moda produksi kehidupan material mengondisikan proses umum kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Pada tahap perkembangan tertentu, kekuatan produksi material masyarakat berkonflik dengan relasi-relasi produksi yang ada atau – ini hanya mengungkapkan hal yang sama dalam istilah hukum – dengan relasi-relasi kepemilikan dalam kerangka di mana mereka beroperasi selama ini. Dari bentuk perkembangan kekuatan produktif, relasi-relasi ini berubah menjadi belenggu mereka. Kemudian dimulailah era revolusi sosial. Perubahan dalam fondasi ekonomi cepat atau lambat akan mengarah pada transformasi seluruh suprastruktur.”
Dengan kata lain, ide tidak jatuh dari langit. Ide muncul dalam alur kehidupan sosial, yang memiliki basis material dan ekonomi. Agar pesannya mendapat sambutan, Trump pasti telah berbicara tentang sesuatu yang mengakar dalam relasi sosial dan ekonomi Amerika. Sebagai kaum revolusioner, kita harus mencari “perubahan dalam fondasi ekonomi” yang telah menyebabkan transformasi yang begitu besar dalam suprastruktur politik Amerika.
Trumpisme sebagai produk dari perubahan selama setengah abad terakhir
Kapitalisme Amerika muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuatan imperialis yang mendominasi dunia. Eropa dan Jepang telah hancur total. 36,5 juta warga Eropa tewas akibat perang, dibandingkan dengan 405.000 tentara Amerika. Jerman, yang telah menjadi pusat kekuatan ekonomi Eropa, terlempar kembali ke level produksi industri tahun 1890. Sementara, industri Amerika melaju kencang.
Pada tahun-tahun setelah perang, AS memproduksi 43% barang manufaktur dunia, 57% baja dunia, dan 80% mobil dunia. Dengan teknologi baru dan peningkatan produktivitas yang didorong oleh kebutuhan produksi masa perang, ini menciptakan pertumbuhan paling signifikan dalam sejarah kapitalisme, yang disertai peningkatan substansial dalam standar hidup rakyat pekerja. Industri mengalami boom, peluang investasi yang menguntungkan sangat luas, dan kapitalisme berada dalam periode ekspansi. Gelombang pemogokan besar-besaran pada tahun 1945-1946 membantu mengamankan kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja, dan juga tunjangan sosial seperti pensiun dan asuransi kesehatan, untuk seluruh generasi buruh Amerika.
Selama periode ini, pangsa AS dalam perdagangan dunia barang-barang manufaktur meningkat dari 10% pada 1933 menjadi 29% pada tahun 1953. Tingkat pengangguran rendah, upah meningkat, dan pekerja kerah biru dapat dengan mudah memperoleh pekerjaan manufaktur yang memungkinkan mereka membeli rumah dan menafkahi keluarga mereka. Antara tahun 1946 dan 1973, pendapatan rumah tangga riil meningkat sebesar 74%, dan ada peningkatan signifikan dalam kualitas dan keterjangkauan perumahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, waktu luang, dan lainnya.
Tahun-tahun tersebut meninggalkan kesan yang mendalam pada kesadaran kelas buruh Amerika. Beberapa generasi mulai percaya bahwa kondisi tersebut adalah “norma” bagi kapitalisme Amerika. Kita terbiasa mendengar generasi yang lebih tua mengenang “masa lalu yang indah”, mengenang bagaimana “semua barang diproduksi di Amerika”, nostalgia yang membangkitkan imaji mengenai diners (restoran kecil Amerika), pertandingan football sekolah menengah, iklan Coca-Cola, dan daerah suburban yang baru dibangun. Dengan terus mengumbar janji untuk “Membuat Amerika Hebat Lagi”, Trump sengaja memanfaatkan nostalgia lama itu.
Namun, pada kenyataannya, periode boom menyusul Perang Dunia II bukanlah norma kapitalisme, melainkan anomali, produk dari konvergensi faktor politik dan ekonomi yang unik setelah perang. Dihadapkan dengan resesi dunia dan munculnya kembali kompetitor-kompetitor imperialis yang lebih serius sejak pertengahan 1970-an dan seterusnya, kelas penguasa AS meluncurkan serangan terhadap gerakan buruh, dan kapitalisme cenderung kembali ke norma historisnya.
Otomatisasi dan outsourcing, fitur yang tak terelakkan dari ekonomi pasar yang berorientasi laba, mengikis taraf hidup jutaan buruh yang sebelumnya stabil. Pekerjaan manufaktur, yang mencakup 39% pekerjaan Amerika pada 1943, merosot menjadi hanya sekitar 8% pada 2010-an. Sebuah laporan tahun 2020 dari Biro Statistik Tenaga Kerja mencatat bahwa sejak 1979, lapangan kerja manufaktur “menyusut selama lima resesi terakhir dan dalam setiap kasus, lapangan kerja ini tidak pernah sepenuhnya pulih ke tingkat sebelum resesi.”
Kaum reformis dan liberal-kiri menjelaskan seolah-olah ini adalah masalah kebijakan yang buruk. Kenyataannya, tren ini hanyalah bagian dari logika ekonomi kapitalisme. Dalam menjelaskan dampak kontradiktif dari otomatisasi di bawah kapitalisme, Marx menjelaskan dalam Kerja-Upahan dan Kapital bagaimana mesin yang baru diperkenalkan:
“Menghempaskan buruh ke jalanan dalam jumlah besar; dan seiring dengan semakin berkembangnya dan semakin produktifnya mesin, mesin menghempaskan lebih banyak lagi buruh walaupun dalam jumlah yang lebih kecil … Bahkan jika kita berasumsi bahwa semua orang yang secara langsung kehilangan pekerjaan mereka karena mesin, serta semua generasi muda yang sedang menunggu kesempatan untuk bekerja di cabang industri yang sama, pada akhirnya akan menemukan pekerjaan baru – apakah kita yakin bahwa pekerjaan baru ini akan membayar upah yang sama tingginya dengan pekerjaan lama mereka? Jika demikian, maka ini akan bertentangan dengan hukum ekonomi politik.”
Inilah yang terjadi pada sebagian besar rakyat selama periode ini, di mana pekerjaan sektor jasa yang berupah rendah, dan banyak yang hanya menawarkan jam kerja paruh waktu, semakin menggantikan pekerjaan manufaktur yang berupah lebih baik. Mereka yang masih bekerja di sektor manufaktur mengalami penurunan upah riil. Dalam hal ini, kelas penguasa dibantu oleh kebijakan pasif dan kolaborasi-kelas dari para pemimpin buruh. Selama periode ini, keanggotaan serikat buruh turun dari puncaknya 33% pada tahun 1950-an menjadi hanya 11% pada 2016.
Dalam buku “Capitalism in America: An Economic History of the United States”, Alan Greenspan dan Adrian Wooldrige menjelaskan:
“Dari 1900 hingga 1973, upah riil di Amerika Serikat telah tumbuh sekitar 2% setiap tahunnya. Itu berarti bahwa gaji rata-rata (dan dengan demikian standar hidup rata-rata) berlipat ganda setiap 35 tahun. Pada 1973, tren ini berakhir dan upah riil rata-rata dari apa yang disebut oleh Biro Statistik Tenaga Kerja AS sebagai pekerja produksi dan pekerja non-pengawas mulai menurun. Pada pertengahan tahun 1990-an, upah riil rata-rata per jam dari seorang pekerja produksi kurang dari 85% dari yang sebelumnya pada 1973.”
Laporan Pew Research Center tahun 2018 mengonfirmasi hal ini: “Bagi sebagian besar buruh AS, upah riil hampir tidak berubah selama beberapa dekade terakhir.” Ketimpangan sosial dan ekonomi meningkat pesat selama periode ini, dan seperti yang dijelaskan dalam laporan tahun 2023 dari Departemen Keuangan, pendapatan menjadi semakin tidak menentu, waktu yang dihabiskan untuk liburan menurut, dan rakyat Amerika menjadi semakin tidak siap untuk pensiun. “Mobilitas ekonomi antar generasi juga menurun – 90 % anak yang lahir pada tahun 1940-an memperoleh penghasilan lebih besar dibandingkan orang tua mereka pada usia 30 tahun, sementara hanya setengah dari anak yang lahir pada pertengahan tahun 1980-an yang memperoleh penghasilan lebih besar daripada orang tua mereka.”
Semua ini memiliki dampak yang besar, meskipun awalnya tersembunyi, pada kesadaran massa, bahkan sebelum krisis kapitalis global 2008. Resesi Hebat 2008 kemudian disusul oleh pemulihan ekonomi yang terpanjang dan terlemah dalam sejarah AS.
Keniscayaan mengekspresikan dirinya melalui aksiden
Sudah pasti akan ada reaksi politik terhadap semua ini. Kampanye pemilu 2016 dimulai dengan harapan bahwa ini akan menjadi persaingan yang “normal” antara Jeb Bush dan Hillary Clinton. Namun, titik kritis telah tercapai. Jutaan pekerja Amerika telah kehilangan kesabaran mereka dengan para politisi status quo.
Kekuatan progresif di antara kaum muda dan kelas buruh berhimpun di sekitar Bernie Sanders, yang menawarkan program “sosialis” berupa biaya kuliah gratis, layanan kesehatan universal, dan pekerjaan. Sementara, Trump menyalurkan kemarahan kelas dari lapisan rakyat yang condong ke kanan. Banyak pendukung Trump yang bersimpati dengan Sanders dan mereka bisa saja dimenangkan. Namun, tidak seperti Sanders, yang menyerah pada kepemimpinan Partai Demokrat, Trump bersedia berjuang sampai akhir. Sementara Sanders berjanji akan setia dan mendukung Hillary Clinton, Trump mengatasi semua rintangan dan memenangkan nominasi partainya.
Menjelang pemilu, Clinton menyatakan bahwa dia akan menjadi kelanjutan dari status quo, dengan menyatakan: “Sebagai presiden, saya akan meneruskan prestasi Partai Demokrat. Saya akan mempertahankan prestasi Presiden Obama dan membangunnya.” Namun, ia gagal mempertimbangkan bahwa bagi jutaan orang, termasuk orang-orang yang telah memilih Partai Demokrat seumur hidup mereka, legasi Obama berarti melanjutkan kehidupan yang semakin memburuk. Itu berarti pabrik-pabrik yang tutup, kota-kota Rust Belt yang membusuk, problem kecanduan opioid, dan shift kerja yang panjang di sektor jasa yang bergaji rendah.
Trump, di sisi lain, mencitrakan dirinya sebagai orang luar yang berniat menguras habis rawa Washington. Ia menyampaikan pesan yang sangat berbeda: “Gerakan kita adalah tentang mengganti tatanan politik status-quo yang gagal dan korup dengan pemerintahan baru yang dikendalikan oleh kalian, rakyat Amerika… Tatanan politik status-quo telah menghancurkan pabrik-pabrik dan pekerjaan-pekerjaan kita, yang dikirim ke Meksiko, Cina, dan negara-negara lain di seluruh dunia. Ini adalah struktur kekuatan global yang bertanggung jawab atas keputusan-keputusan ekonomi yang telah merampok kelas buruh kita, merampas kekayaan negeri kita, dan memasukkan uang itu ke kantong segelintir korporasi besar dan entitas politik.”
Ketika seseorang membandingkan pesan-pesan ini dan konteksnya, tidaklah sulit untuk memahami mengapa Trump memenangkan pemilu 2016 [dan lagi pada 2024 – catatan penerjemah].
Memang, retorika Trump tidak lebih dari sekadar sinisme dan manipulasi. Faktanya, pada 2015, Trump secara pribadi memberi tahu Profesor Jeffrey Sonnenfeld dari sekolah bisnis Yale bahwa ia sengaja menyalin pesan anti-korporasi yang digunakan oleh kampanye Bernie Sanders karena pesan tersebut efektif. Namun, karena tidak adanya kekuatan anti-status-quo lainnya, Trump menunggangi gelombang ketidakpuasan rakyat untuk bisa masuk ke Gedung Putih, dibantu oleh sistem Electoral College yang anti-demokratik, yang telah dicanangkan oleh para pendiri negara AS justru untuk melindungi kelas penguasa dari “luapan populer” semacam itu.
Dari sudut pandang kelas penguasa, Trump merupakan “elemen liar” yang berhasil menguasai Partai Republik dan kursi kepresidenan. Mayoritas kelas penguasa merasa ngeri melihat seseorang yang begitu sempit pikirannya, egois, dan tidak terduga memimpin sistem mereka. “Lembaga eksekutif Negara modern tidak lain adalah komite untuk mengelola masalah bersama seluruh borjuasi,” jelas Marx, dan Trump tidak dipercaya oleh sebagian besar kapitalis yang serius untuk memainkan peran ini.
Di balik kegaduhan dan skandal, masa jabatan presidennya pada 2017-2021 ditandai terutama oleh kebijakan tradisional Partai Republik, seperti pemotongan pajak bagi korporasi. Sesuai dengan tren global menuju proteksionisme, ia menerapkan serangkaian tarif impor, yang sebagian besar diteruskan oleh pemerintahan Biden. Ia memanfaatkan keberuntungan stabilitas ekonomi selama tahun-tahun itu dan melanjutkan pembiayaan defisit besar-besaran seperti Obama dan Bush sebelumnya. Pada 2019, sudah ada tanda-tanda resesi di cakrawala, tetapi ia berhasil menjadikan pandemi Covid-19 sebagai kambing hitam ketika ekonomi runtuh. Namun, kekacauan yang terus disebabkan oleh pemerintahannya menguatkan sentimen “anyone but Trump” (siapa pun kecuali Trump), dan ini berhasil memenangkan Biden pada pemilu 2020. Namun, setelah mengklaim pemilu itu dicuri darinya, dan terutama mengingat inflasi yang tak terkendali di bawah pemerintahan Biden, cengkeraman Trump pada Partai Republik semakin kuat.
Koalisi elektoral lintas-kelas
Media borjuis biasanya membingkai politik AS dalam dua blok, dengan media liberal menggambarkan semua “pendukung Trump” sebagai massa reaksioner. Memang benar, Trump memiliki sekelompok inti pendukung reaksioner garis-keras, termasuk beberapa kelompok fasis kecil. Ia juga mendapat dukungan dari selapisan pemilik usaha kecil yang reaksioner. Namun kenyataannya, mayoritas besar pendukung Trump terdiri dari rakyat pekerja yang mata pencahariannya telah digerus oleh kapitalisme yang membusuk.
Bagi banyak orang, ia hanyalah “pilihan terbaik dari yang terburuk” dibandingkan dengan Demokrat. Mereka mendukungnya, tanpa menghiraukan politiknya yang sauvinis, dan bukan karena politiknya yang sauvinis. Faktanya, jajak pendapat Pew Research tahun 2024 menemukan bahwa meskipun 91% pemilih Republik “sangat atau agak yakin” bahwa Trump dapat membuat keputusan yang baik dalam kebijakan ekonomi, hanya 26% yang “menyukai tingkah lakunya secara pribadi.”
The Wall Street Journal mewawancarai seorang buruh pabrik Ford, anggota serikat buruh United Auto Workers, yang apolitis hingga kampanye Trump tahun 2016. Ketika ditanya tentang dukungannya terhadap Trump, ia menyatakan: “Saya tahu Partai Demokrat telah mencampakkan kaum buruh pada tahun 90-an. Trump bukan seorang jenius. Ia hanya menyadari apa yang sedang terjadi di negara ini dan memiliki keberanian untuk melawan orang-orang ini. Imigrasi massal, Green New Deal – semuanya omong kosong. Tidak membantu kaum buruh mana pun.”
Ini adalah cara pandang yang penuh kebingungan dan terdistorsi dari buruh yang mengutuk kebijakan kolaborasi kelas yang telah lama dipraktikkan oleh para pemimpin reformis serikat yang mendukung Partai Demokrat. Dengan berbicara pada para pekerja kerah-biru Amerika, Trump menarik dukungan dari banyak orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai kelas buruh. Inilah mengapa platform GOP 2024 berjanji untuk “melindungi buruh dan petani Amerika dari perdagangan yang tidak adil,” “mengembalikan mimpi Amerika dan membuatnya terjangkau lagi,” dan “membangun ekonomi terkuat dalam sejarah.” Tidak peduli ini mustahil dilakukan di bawah kapitalisme yang tengah memasuki krisis.
Partai revolusioner massa dapat memenangkan banyak pendukung Trump ini yang datang dari latar belakang kelas buruh, dengan menekankan program kelas yang akan meningkatkan standar hidup semua orang. Solusinya bukanlah menjadikan imigran sebagai kambing hitam atau menyerang kebijakan-kebijakan untuk mengatasi perubahan iklim – tetapi menasionalisasi perusahaan-perusahaan Fortune 500 di bawah kendali buruh sebagai bagian dari ekonomi yang direncanakan secara demokratis. Namun, karena krisis kepemimpinan proletar, lapisan-lapisan ini sekarang mendukung sayap kanan.
Akankah Trump menerapkan kediktatoran?
Selama kebangkitan Trump, terutama setelah ia pertama kali terpilih dan setelah kerusuhan 6 Januari 2021 di Gedung Capitol AS, kaum liberal telah menciptakan kegaduhan tentang fasisme dan kediktatoran di AS. Ini adalah analogi yang dangkal, taktik menakut-nakuti yang dimaksudkan untuk menggalang dukungan bagi Partai Demokrat.
Kita bisa berspekulasi tentang apa yang “ingin” dilakukan Trump, tetapi itu bukanlah pertanyaan yang menentukan. Poin pentingnya adalah bahwa mengingat perimbangan kekuatan kelas saat ini, Trump tidak dalam posisi untuk menerapkan kediktatoran, baik negara fasis maupun kediktatoran militer. Ini bukan masalah keinginan individual Trump, tetapi relasi antarkelas. Setiap negara borjuis di Amerika saat ini harus memperhitungkan kekuatan potensial yang sangat besar dari lebih dari 120 juta buruh yang menggerakkan roda masyarakat AS dan yang mulai bangun setelah puluhan tahun tertidur.
Seperti yang dijelaskan Engels dalam “Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy”, ketika kita menganalisis sejarah, “Yang terpenting bukanlah motif tiap-tiap individu, betapapun kuatnya motif tersebut, melainkan motif-motif yang menggerakkan massa besar, seluruh rakyat, dan sekali lagi seluruh lapisan rakyat di setiap bangsa.”
Fasisme adalah bentuk kediktatoran militer yang unik, yang mengandalkan massa borjuis kecil yang marah untuk menghancurkan organisasi buruh secara fisik. Fasisme berkuasa di Italia, Jerman, dan Spanyol hanya karena kelelahan dan demoralisasi kelas buruh setelah bertahun-tahun berjuang secara revolusioner, yang berakhir dengan kekalahan.
Ini jelas bukan situasi di AS, di mana kelas buruh yang sangat kuat belum dikalahkan. Kediktatoran militer Bonapartis juga tidak mungkin bagi Trump dalam jangka pendek atau menengah. Untuk bisa mendirikan kediktatoran militer, perjuangan kelas harus menemui jalan buntu terlebih dahulu, dan Trump perlu mendapat dukungan dari sayap militer yang cukup besar, yang tidak dimilikinya.
Setelah kalah dari Biden pada 2020, Trump ingin tetap berkuasa dan bereksperimen dengan berbagai opsi untuk mewujudkannya. Namun, kelas penguasa AS, yang sangat ingin menegaskan kembali cengkeramannya, tidak dapat mendukung upaya ini. Tepat sebelum kerusuhan, Washington Post menerbitkan opini yang ditandatangani oleh sepuluh mantan menteri pertahanan, yang menentang penyangkalan Trump atas hasil pemilu. Kerusuhan pro-Trump di Capitol diprovokasi oleh sekelompok kecil orang yang tidak terorganisir, tidak memiliki rencana, tanpa dukungan dari kelas penguasa, dan tidak ada kemungkinan untuk benar-benar mengambil alih kekuasaan.
Trump tentu saja bukan politikus yang “normal”, dan cenderung otoriter. Namun, basis pendukungnya jelas bukan gerakan fasis, dan kebangkitannya tidak menandakan pergeseran fundamental ke kanan di antara warga AS. Sebaliknya, ini adalah gejala ketidakstabilan dalam masyarakat AS, dan refleksi dari tidak adanya opsi kelas buruh yang koheren. Kelas buruh harus kelelahan setelah beberapa kali gagal melakukan perubahan revolusioner sebelum Trump dapat menegakkan kediktatoran militer. Namun, situasinya justru sebaliknya: kita berada di ambang kebangkitan perjuangan kelas yang bersejarah di tahun-tahun mendatang.
Kapitalisme Amerika tidak bisa “dijadikan hebat lagi”
Pada 2016, Barack Obama ditanya apa yang dapat diharapkan oleh para pekerja kerah biru saat pekerjaan mereka terus menghilang. Tanpa ada lagi prospek elektoral yang perlu dikhawatirkan, Obama menjawab dengan terus terang mengenai otomatisasi dan outsourcing, bahwa sejumlah pekerjaan “tidak akan kembali lagi.” Merespons janji Trump untuk “mengembalikan semua pekerjaan ini,” ia bertanya, “Bagaimana persisnya dia akan melakukan ini? Apa yang akan dia lakukan? … Tongkat ajaib apa yang dia miliki?”
Inilah kenyataan yang tidak mengenakkan bagi para kapitalis dan politisi mereka. Mereka tidak memiliki tongkat ajaib untuk memulihkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Tidak ada politisi kapitalis yang dapat mengendalikan arah ekonomi kapitalis. Kapitalisme, menurut definisinya, adalah anarki dalam produksi, dan pemilu borjuis hanya menentukan siapa yang akan menjadi kapten kapal kapitalisme AS yang sedang tenggelam.
Kebangkitan Trump adalah produk dari tren jangka panjang: kemunduran organik kapitalisme Amerika selama beberapa dekade, dan degenerasi politik kaum kiri dan kepemimpinan buruh. Setiap perspektif untuk mengalahkan Trump juga harus mengambil pandangan sejarah jangka panjang. Partai Demokrat mungkin dapat menghentikan Trump untuk sementara di kotak suara, tetapi mereka juga tidak mampu memperbaiki kontradiksi yang inheren dalam sistem tersebut. Selama ada kandidat yang menyerukan secara demagogis untuk menjungkirbalikkan status quo dan melawan korupsi politik, para politisi status-quo akan kesulitan mempertahankan dominasi politik mereka. Namun, “populisme” saja tidaklah cukup; hanya revolusi sosialis yang dapat menyediakan pekerjaan yang stabil dan perbaikan taraf hidup untuk semua orang, mengikis basis ekonomi bagi semua bentuk demagogi reaksioner.
Untuk memperjuangkan program tersebut dengan sukses, kaum revolusioner harus berdiri teguh melawan partai-partai kapitalis. Partai Demokrat dan Partai Republik adalah musuh kelas buruh, yang tidak akan dapat mencegah kemerosotan organik kapitalisme AS. Pengalaman telah menunjukkan bahwa memilih “yang terbaik dari yang terburuk” telah gagal dan, pada kenyataannya, menyiapkan landasan bagi “terburuk dari yang terburuk” untuk kembali. Kita harus menjaga kebersihan panji politik kita dan mempersiapkan diri untuk masa depan, dengan pemahaman bahwa faktor-faktor yang sama yang menyebabkan kebangkitan Trump juga sedang mempersiapkan kebangkitan konflik kelas yang terbuka. Karena Trump tidak akan dapat menepati janjinya, ia pada akhirnya akan terekspos di mata para pendukungnya.
Tugas yang harus kita lakukan adalah segera membangun partai revolusioner yang menjaga kemandirian kelas buruh, yang pada akhirnya dapat memecahkan mayoritas kelas pekerja dari kedua partai utama di AS. Satu-satunya jalan ke depan adalah dengan membingkai ulang polarisasi politik di AS berdasarkan garis kelas, dengan demikian mengarahkan kemarahan kelas buruh ke musuh bersama kita yang sebenarnya: sistem kapitalis itu sendiri.
1 November, 2024