Baru-baru ini kembali polisi mendapat sorotan publik karena melakukan pemerasan terhadap penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP). Pemerasan dilakukan secara terorganisir oleh puluhan aparat polisi. Alih-alih menjaga ketertiban konser, polisi memeras penonton. Komplotan polisi mendapatkan miliaran dari pemerasan ini. Kasus ini menambah daftar panjang kebusukan polisi.
Kasus ini mencuat ketika sejumlah korban bercerita melalui media sosial soal pemerasan yang mereka alami dengan modus razia narkoba. Mereka dipaksa menyerahkan sejumlah uang karena diancam akan ditahan oleh polisi dengan tuduhan mengonsumsi narkoba.
Amir Mansor, salah satu korban pemerasan asal Malaysia, menceritakan bahwa dia dan 8 orang temannya ditahan polisi saat berada di konser musik DWP. Mereka ditahan selama 2 hari di Polda Metro Jaya. “Kami mau tanya bagaimana mau keluar? Polisi cakap (berbicara) kalau mau keluar harus bayar 800 juta rupiah,” tuturnya. Setelah bernegosiasi akhirnya mereka bersepakat membayar Rp 360 juta agar bebas.
Akibat terkuaknya kasus ini, sebanyak 25 anggota polisi dijatuhi sanksi mulai dari demosi hingga pemberhentian tidak hormat (PTDH) akibat pemerasan yang menimpa 45 warga negara Malaysia. Tidak tanggung-tanggung, hasil pemerasan ini mencapai Rp 2,5 miliar.
Tetapi sanksi-sanksi ini jelas tidak memuaskan dan penuh kejanggalan. Misalnya, pemecatan terhadap Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Donald Parlaungan Simajuntak. Dalam putusan itu, Kombes Donald disebut hanya ‘mengetahui dan tidak menindak’, yang berarti memberikan celah banding menurunkan hukuman dari PTDH menjadi demosi.
Selain itu, langkah Polri yang sekadar memecat sejumlah anggotanya tidak menyelesaikan akar kebobrokan polisi yang sudah karatan. Mutasi atau sidang etik hanyalah langkah kosmetik yang tidak menyentuh akar masalah. Apalagi sering kali proses peradilan tidak transparan sehingga tidak memberikan keadilan bagi korban.
Ada banyak skandal polisi yang sudah menjadi rahasia umum. Mulai dari skala kecil pemerasan melalui pelanggaran lalu lintas, menolak menanggapi laporan masyarakat, hingga membekingi gembong narkoba. Skandal-skandal ini tidak bisa dianggap sebagai ulah segelintir “oknum”. Bila ini ulah sekadar oknum kita harus mempertimbangkan mengganti nama polisi menjadi lembaga para oknum. Kasus ini mencerminkan kerusakan sistemik lembaga kepolisian Indonesia.
Apa yang terjadi di DWP hanyalah satu contoh dari bagaimana institusi kepolisian menjadi sarang penyamun. Anggaran kepolisian yang selalu naik tiap tahunnya sepertinya tidak memperbaiki kinerja kepolisian. Malah banyak kasus-kasus yang ada menunjukkan sebaliknya. Ini merupakan konsekuensi logis dalam sistem kapitalisme.
Dalam sistem ini, hukum dan aparat hanyalah alat untuk melindungi kepentingan mereka yang kaya dan berkuasa. Polisi sejatinya adalah bagian dari badan khusus orang bersenjata untuk membela kelas kapitalis dalam mengeksploitasi rakyat pekerja. Kita saksikan bagaimana polisi digunakan untuk menggebuki demonstran, menangkapi petani yang melawan penyerobotan tanah, mengintimidasi aktivis buruh, tani dan lingkungan, dan menjadi pelindung pabrik-pabrik dari buruh yang membangkang. Tidak heran bila keseluruhan lembaga kepolisian juga terlibat dalam praktik eksploitasi dan KKN yang menginjak-injak hak rakyat kecil. Pemerintah kita tidak berkepentingan untuk menghapus KKN dari kepolisian karena pemerintahan kita juga adalah sarang penyamun yang sama. Skandal-skandal busuk polisi akan selalu ada selama kita hidup di sistem kapitalisme. Untuk membersihkan polisi dari penyalahgunaan wewenang dibutuhkan perubahan fundamental dan revolusioner dalam masyarakat, yaitu menumbangkan kapitalisme dan menggantinya dengan sosialisme yang akan menjamin kontrol demokratik buruh terhadap ekonomi dan politik. Di bawah sosialisme, institusi polisi yang ada akan digantikan dengan rakyat bersenjata, yang berarti kontrol demokratik dan partisipasi langsung buruh dalam menjaga tata tertib dan keamanan masyarakat.