Bagi mereka yang hanya bisa berpikir secara hitam dan putih, peran subjektif (individu) dan peran objektif di dalam perkembangan sosial adalah dua hal yang kontradiktif. Dalam satu pihak adalah mereka yang menekankan peran subjektif di dalam sejarah, yang nota-bene berkesimpulan bahwa sejarah dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang hebat; bahwa Leninlah (atau dengan Trotsky, dll) satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas Revolusi Oktober dan kemerosotannya; bahwa Hitlerlah yang mengakibatkan Perang Dunia kedua; bahwa Bushlah yang menyebabkan perang di Irak; bahwa massa dan kondisi objektif (kondisi ekonomi, relasi sosial, dll) tidak memainkan peran sama sekali di dalam sejarah. Di pihak yang lain adalah mereka yang menyangkal peran individu, mereka yang mengangkat setinggi-tingginya sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, atau mereka yang menempatkan kondisi objektif di atas segala-segalanya. Dan sebagai akibatnya, mereka melihat semua peran subjektif sebagai bentuk pengkultusan individu, sebagai sebuah ilusi yang disebarkan oleh elit-elit pemikir. Di antara kedua pihak tersebut adalah mereka yang kebingungan, yang karena kedangkalan mereka berayun dari satu pihak (peran subjektif) ke pihak yang lain (peran objektif). Di balik kebingungan mereka akan perkembangan sejarah, mereka menemukan ‘kompromi’ atau ‘solusi’ terhadap masalah peran objektif dan subjektif di dalam sejarah, dengan mengklaim bahwa ada saatnya peran subjektif itu penting dan pada saat lainnya peran objektif yang menjadi penting.
Ide-ide tersebut di atas adalah ide-ide yang menyesatkan di dalam gerakan sosial. Dari sebuah ide atau pemahaman mengenai perkembangan sosial, lahirlah sebuah strategi dalam pergerakan sosial. Maka dari itu, sebuah ide yang keliru akan menghasilkan strategi yang keliru juga. Penekanan konsepsi peran subjektif melahirkan sebuah strategi bahwa tidak diperlukan sebuah organisasi untuk merubah masyarakat, cukup dengan beberapa orang saja yang hebat; atau sebuah strategi bahwa organisasi yang dibentuk tidak perlu mempunyai hubungan dengan kelas masyarakat yang diwakilinya. Di pihak yang lain, penekanan konsepsi peran objektif melahirkan sebuah strategi bahwa semua gerakan sosial adalah spontanitas, maka dari itu individu-individu aktivis tidak perlu secara sadar melakukan agitasi atau membentuk organisasi; bahwa organisasi massa akan terbentuk sendirinya, bahwa program-program organisasi tersebut adalah hasil reaksi spontanitas. Dan untuk mereka yang kebingungan, mereka hanya akan berayun-ayun tanpa kepastian sampai tiba saatnya dimana mereka terhempas oleh arus sejarah.
Sebuah Dialektika Antara Peran Subjektif and Peran Objektif
Apakah hubungan antara peran subjektif dan peran objektif? Untuk lebih praksisnya, apakah hubungan antara peran individu dan kondisi sosial (peran massa, kekuatan produksi, hubungan sosial kelas-kelas)? Secara terpisah, mereka adalah kontradiksi yang tidak bisa disatukan. Akan tetapi, sejarah materialisme menunjukkan ketidakterpisahan mereka. Dari kacamata sejarah materialisme, mereka justru adalah kontradiksi yang melahirkan sebuah sintesa, yaitu bahwa “Karakter individu merupakan faktor di dalam perkembangan sosial hanya bila hubungan-hubungan sosial mengijinkannya.” (Plekhanov, Peran Individu di Dalam Sejarah). Inilah dialektika antara peran subjektif and peran objektif: dari sebuah theses tentang peran subjektif, kemudian anti-thesesnya yaitu peran objektif, and akhirnya sebuah sintesa.
Bung Dio dalam tulisannya Peran Individu dalam Sejarah: Sebuah Ilusi hanya bisa meraih kesimpulan bahwa paparan Plekhanov tersebut adalah“kontradiktif dalam dirinya sendiri”, bahwa “premis-premis seperti ini secara literal adalah absurd” dan “tanpa dialektika”; tetapi saya baru saja menerapkan dialektika terhadap peran subjektif dan objektif; dan dimana Dio melihat sebuah kontradiksi, dialektika justru melahirkan sebuah sintesa yang tidak menyangkal peran subjektif maupun peran objektif, akan tetapi sebuah sintesa yang merupakan lompatan kualitatif dari peran subjektif ataupun peran objektif.
Tentu saja sebuah sintesa dialektika hanyalah abstrak bila tidak disertai dengan sebuah contoh yang nyata, dalam kata lain, sebuah sintesa dialektika harus teruji oleh sejarah yang bersifat material. Revolusi Oktober merupakan salah satu kejadian yang paling penting di dalam sejarah manusia, dan peran Bolshevik sendiri tidak dapat disangkal. Oleh sebab itu Revolusi Oktober adalah contoh yang paling tepat untuk menguji kebenaran sintesa dialektika di atas. Apakah peran Lenin dan Trotsky, dalam kata lain peran partai Bolshevik, di dalam Revolusi Oktober adalah sebuah ilusi? Tentu saja tidak, Lenin memainkan peran yang penting di dalam Revolusi Oktober, tetapi hanya karena kondisi sosial Rusia yang mengijinkannya pada saat itu. Dalam kata lain, Lenin tidak bisa dengan sesuka-hatinya menentukan kapan Revolusi Rusia terjadi, Lenin sebagai seorang individu juga tidak bisa dengan seenaknya menentukan garis besar Revolusi Oktober. Justru karena karakternya dan kemampuannya untuk mengerti perkembangan sosial di Rusia, Lenin terdorong ke depan untuk menjadi figur pemimpin Revolusi Oktober. Sebaliknya, kaum Menshevik, SR, dan Anarkis Rusia yang mempunyai ide yang salah terhempas oleh arus sejarah karena kondisi sosial Rusia yang bertentangan dengan konsepsi revolusi yang dipegang oleh individu-individu tersebut.
Seperti yang dipaparkan oleh Plekhanov: “Tidak ada manusia hebat yang bisa memaksakan ke dalam masyarakat sebuah hubungan sosial yang sudah tidak sesuai dengan kondisi kekuatan-kekuatan sosial atau yang belum sesuai dengan kondisi kekuatan-kekuatan sosial. Di dalam pengertian ini, dia tidak dapat membuat sejarah, dan di dalam pengertian ini, dalam kesia-siaan dia akan mencoba menggeser jarum jamnya; dia tidak akan mempercepat arus waktu atau memutar balik waktu.” Dan inilah yang menjadi nasib Menshevisk, SR, dan Anarkis; di dalam kesia-siaan, mereka melawan arus sejarah. Dan ironisnya, Plekhanov sendiri adalah salah seorang Menshevik yang akhirnya menjadi ‘korban’ dari arus sejarah ini. Di dalam periode awal persiapan gerakan Marxis di Rusia (baca Partai Sosial Demokrat Rusia), Plekhanov memainkan peran yang penting. Akan tetapi pada saat-saat Revolusi Oktober yang menentukan, ide dan karakter Plekhanov justru ambruk karena kondisi sosial Rusia tidak mengijinkannya.
Tidak dapat dipungkiri, tanpa Lenin, kepemimpinan Bolshevik tidak akan mampu memimpin Revolusi Oktober menuju keberhasilan. Ini bukan berarti bahwa Lenin dan Partai Bolshevik menjadi partai pelopor Revolusi Oktober hanya karena mereka mengumandangkan hal tersebut, atau karena mereka berhasil mengelabui kelas proletariat Rusia. Bila ini benar, maka cukup dengan dua orang dan seekor anjing, kita bisa membentuk sebuah partai revolusioner. Partai Bolshevik dan ide yang diwakilinya menjadi sebuah kekuatan yang penting di dalam pergerakan sosial di Rusia karena kondisi sosial Rusia saat itu; ide Bolshevisme adalah wujud pergerakan sosial di Rusia. Tokoh-tokoh pemimpin Bolshevik lahir dari gerakan massa tersebut, mereka adalah bunga-bunga gerakan massa Rusia yang didorong ke depan oleh kelas proletariat Rusia sebagai pemimpin mereka, mereka adalah pemimpin organik gerakan massa, mereka sebagai individu-individu bebas adalah bagian dari massa dan kapasitas kepemimpinan mereka sebagai individu memainkan peran yang penting di dalam sejarah, tetapi hanya bila kondisi sosial mengijinkan mereka.
Bukan Pengkultusan Individu
Contoh singkat lainnya yang lebih relevan saat ini adalah peran Hugo Chavez di dalam Revolusi Bolivarian. Alasan mengapa sampai saat ini Hugo Chavez masih menjadi sosok figur pemimpin Revolusi Bolivarian adalah karena dia masih bertindak sesuai dengan “dikte” massa Venezuela; dalam kata lain, sampai saat ini Chavez masih mampu memberikan kepemimpinan yang bisa diterima oleh kondisi sosial di Venezuela. Setelah terpilih sebagai Presiden Venezuela pada tahun 1998, Hugo Chavez mencoba untuk menerapkan Jalan Ketiga (atau jalan tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme) seperti yang diterapkan oleh Tony Blair di Inggirs; akan tetapi Hugo Chavez kemudian belajar dari pengalamannya bahwa Jalan Ketiga tersebut adalah mustahil dan mencampakkannya; didorong oleh massa Venezuela, dia memekikkan seruan: “Sosialisme atau Barbarisme!”. Bila Hugo Chavez tetap bersih keras ingin mengimplementasikan Jalan Ketiga, dia tidak akan pernah menjadi sosok pemimpin Revolusi Bolivarian seperti sekarang ini.
Ada hubungan timbal balik antara Hugo Chavez sebagai individu dan massa Venezuela; dan inilah yang tetap mendorong gerakan Revolusi Bolivarian di Venezuela. Hilangkan Hugo Chavez dari gerakan sosial di Venezuela, maka akan ada pengganti Hugo Chavez yang karakternya berbeda dan kemungkinan besar pengganti ini akan gagal dalam kepemimpinannya dan gerakan sosial di Venezuela akan gagal. Hilangkan gerakan massa Venezuela dari bawah yang mendukung Chavez, maka dia sudah pasti dieksekusi saat usaha kudeta April 2002. Inilah hubungan dialektika antara Hugo Chavez (subjektif) dan massa Venezuela (objektif).
Tetapi analisa kita terhadap situasi di Venezuela tidak boleh berhenti disini. Menerima fakta bahwa saat ini Hugo Chavez adalah sosok figur pemimpin Revolusi Bolivarian yang didorong oleh kekuatan massa Venezuela bukanlah suatu bentuk pengkultusan individu; tetapi justru menjadi sebuah pedoman sikap kita terhadap situasi di Venezuela. Adalah sangat bodoh dan naif kalau kita justru mencecar Hugo Chavez dan menolak kepemimpinannya karena sikap seperti ini akan mengucilkan kita dari massa Venezuela yang saat ini mengakui Chavez sebagai pemimpin mereka. Kita lihat banyak aktivis-aktivis di Venezuela yang terkucilkan dari gerakan Revolusi Bolivarian karena perspektif mereka yang salah mengenai dukungan terhadap Hugo Chavez. Justru adalah tugas kita sebagai individu, sebagai faktor subjektif yang sadar, untuk memberikan dukungan yang kritis terhadap Hugo Chavez dengan melakukan agitasi massa dari bawah, untuk menjelaskan kepada massa bahwa Chavez adalah benar ketika dia mengatakan bahwa pilihan yang kita hadapi adalah Sosialisme atau Barbarisme, untuk mendorong kesadaran massa supaya mereka dapat mendorong kereta Revolusi Bolivarian ini ke stasiun tujuan akhirnya. Semua ini tidak dapat dilakukan bila kita mengucilkan diri kita dari massa Venezuela yang mendukung Hugo Chavez. Bentuk dukungan kita terhadap Chavez adalah dukungan yang kritis, bukan dukungan dalam bentuk pengkultusan individu. Dari kacamata kita, hubungan Chavez dan massa Venezuela adalah faktor objektif dan kita sebagai faktor subjektif harus memahami hubungan tersebut dan memainkan peran kita di dalamnya.
Tidak dapat pula dipungkiri bahwa Marx sendiri menolak semua bentuk pengkultusan individu, seperti halnya setiap orang yang memegang teguh konsep material dialektis pasti akan menolak segala bentuk pengkultusan individu. Analisa-analisa Karl Marx harus dimengerti sebagai proses, bukan layaknya sebuah ayat suci. Dalam hal ini, saya sepenuhnya setuju dengan Bung Dio. Akan tetapi saya merasa harus mengkoreksi Bung Dio mengenai ujaran Marx: “Saya bukan seorang Marxis” (“je ne suis pas Marxiste”). Ujaran Marx tersebut sudah sering kali disalahgunakan atau dikutip tanpa melihat konteks dimana dan kapan Marx mengatakan hal tersebut. Marx mengatakan hal tersebut dalam polemiknya dengan Jules Guesde dan Paul Lafargue (mereka adalah tokoh pemimpin Partai Buruh Prancis, atau Parti Ouvrier) mengenai Program Partai Ouvrier [1]. Marx kemudian berujar, bila politik mereka adalah Marxisme, maka “bila ada satu hal yang pasti, saya bukanlah seorang Marxis” (“ce qu’il y a de certain c’est que moi, je ne suis pas Marxiste”) Ini adalah bentuk ketidaksetujuan Marx akan politiknya Guesde dan Lafargue yang merupakan dekadensi Marxisme menurut Marx sendiri. Engels pun mengutip insiden tersebut dalam suratnya kepada Eduard Bernstein pada tanggal 2 Nopember 1882 [2]:
“Now what is known as ‘Marxism’ in France is, indeed, an altogether peculiar product — so much so that Marx once said to Lafargue: ‘Ce qu’il y a de certain c’est que moi, je ne suis pas Marxiste.’ [If anything is certain, it is that I myself am not a Marxist]”
“Sekarang apa yang diketahui sebagai ‘Marxisme’ di Prancis adalah sebuah produk yang sangatlah asing – sungguh asing sampai Marx pernah berujar kepada Lafargue: ‘Ce qu’il y a de certain c’est que moi, je ne suis pas Marxiste.’ [Bila ada satu hal yang pasti, saya bukanlah seorang Marxis]” (Terjemahan penulis)
Jadi ucapan Marx bahwa dia sendiri bukanlah seorang Marxis bukan dalam konteks ketidaksetujuannya akan pengkultusan individu. Seperti halnya bila saya berujar: “Bila Stalin adalah seorang sosialis, maka yang pasti saya bukanlah seorang sosialis”, ini adalah bentuk ketidaksetujuan saya terhadap Stalin, bukan ketidaksetujuan saya dipanggil sebagai seorang sosialis.
Dan sebagai catatan, bila Stalin dan kroni-kroni birokratnya di Partai Komunis Uni Soviet dan Partai Komunis lainnya yang merupakan cermin dari PKUS di bawah Stalinisme mengaku sebagai Marxis yang sejati, maka tugas seorang Marxis adalah untuk menggalang perjuangan ideologi melawan mereka. Benar, akan selalu ada saling serang menyerang di dalam gerakan kiri (yang mengaku kaum Marxis, kaum Anarkis, kaum Sosialis, kaum Liberal, dll) dan semuanya akan mengaku sebagai penganut revolusi yang sejati. Inilah dinamika perdebatan ide dan perspektif di dalam gerakan sosial manapun, kita tidak bisa menyangkal hal tersebut. Yang harus kita lakukan adalah memaparkan argumen-argumen kita secara sistematis dan meyakinkan yang lain untuk bergabung dengan kita. Akan selalu ada mereka-mereka menggunakan pengkultusan individu dan dogmatisme untuk berargumen, tugas kita adalah menunjukkan kebobrokan mereka dengan metode argumentasi yang sistematis, dialektis, dan materialis.
Pedoman Praksis Peran Individu
Kita sebagai individu harus sadar akan posisi kita sebagai peran subjektif dalam batasan kondisi objektif. Pertanyaannya bukan “Apakah manusia itu makhluk individual atau makhluk komunal?” seperti yang dipaparkan Bung Dio, pertanyaan yang tepat adalah: apakah posisi dan tugas kita sebagai individu (subjektif) di dalam komunitas (objektif)? Tugas kita adalah untuk mampu mengerti batasan-batasan kondisi objektif tersebut, yakni kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, dan kemudian bertindak sesuai dengan analisa tersebut. Mereka-mereka yang bertindak tanpa analisa sosial sama sekali, dan sebagai konsekwensinya bertindak di luar batasan kondisi objektif, kerap terkucilkan dari gerakan massa; sebaliknya, mereka yang bertindak sesuai dengan analisa kondisi sosial di dalam masyarakat akan mampu menjadi sebuah kekuatan yang menentukan gerakan massa.
Diskusi mengenai peran subjektif dan peran objektif tidak boleh tereduksi menjadi debat filsafat yang tidak relevan terhadap gerakan sosial. Bung Dio benar secara filsafat murni saat dia berujar bahwa: “… siapapun yang meneliti sejarah masyarakat manusia harus meletakkan sosok-sosok dalam konteks obyektif, yakni watak alamiah dan sosial manusia secara global (kami cenderung menggunakan kata global dibanding universal) yang memerlukan materi-materi untuk hidup dan posisi kelas.” Konsep obyektivitas yang melihat dunia dari luar ini tentu saja akan meraih kesimpulan bahwa semua sosok individu tersebut (Lenin, Hugo Chavez, dll) hanyalah bagian dari perkembangan sosial. Tetapi konsep obyektivitas ini tidak relevan sama sekali untuk para aktivis yang ingin secara sadar merubah masyarakat dari dalam sebagai individu, dan bukan hanya ingin memahami masyarakat layaknya seorang filsuf akademis. Dimana filsafat yang non-dialektika melihat konsep subjektivitas dan objektivitas sebagai kontradiksi, dialektika justru melahirkan sintesa dari kontradiksi tersebut, sebuah sintesa yang praksis di dalam gerakan sosial.
Kapitalisme sekarang sudah memasuki era krisis lagi. Ada dua jalan keluar dari krisis ini: Pertama, rakyat bangkit dan menggulingkan kapitalisme untuk selama-lamanya; Kedua, kapitalisme akan selamat dari krisis ini dengan mengorbankan buruh, tani, dan kaum miskin. Pilihannya adalah: Sosialisme atau Barbarisme! Kondisi objektif (situasi ekonomi dan sosial) untuk sebuah perubahan sosial yang permanen sudahlah matang, yang diperlukan sekarang adalah sebuah faktor subjektif, yaitu: sebuah kepemimpinan yang sadar akan tugas dan posisinya; bukan sebuah kepemimpinan yang diremehkan oleh massa yang ingin dipimpinnya tetapi sebuah kepemimpinan yang mendapatkan pengakuan dari buruh, tani, dan kaum miskin karena dedikasi mereka dan kemampuan mereka untuk memimpin; sebuah kepemimpinan yang dapat memenangkan dukungan dari rakyat dengan program-programnya yang tepat; sebuah kepemimpinan yang dapat mengantarkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dengan permanen dan sepenuh-penuhnya.
Catatan:
[1] Program Partai Ouvruier (http://www.marxists.org/archive/marx/works/1880/05/parti-ouvrier.htm)
[2] Surat Engels kepada Eduard Bernstein, 2 Nopember 1882 (http://www.marxists.org/archive/marx/works/1882/letters/82_11_02.htm#356)