Pada tanggal 21 Maret 1919, Republik Soviet Hungaria diproklamirkan. Pada tanggal 1 Agustus, 133 hari kemudian, babak yang heroik dalam sejarah kelas pekerja Hungaria ini berakhir dengan masuknya Tentara Putih Rumania ke Budapest. Bila saja kaum proletariat Hungaria berhasil menang, isolasi Republik Buruh Rusia sudah pasti akan berakhir.
Pengalaman singkat dari Republik Soviet Bavaria dari tanggal 7 April hingga 1 Mei 1919, merupakan indikasi bahwa gelombang besar revolusi tengah menyebar dari Timur ke Barat, dengan terus-menerus menampakkan gelombang yang tak tertahankan. Bila saja negara buruh Hungaria mampu mengkonsolidasikan dirinya untuk beberapa bulan lebih lama, sebuah nyala api revolusi akan segera membakar Wina dan Berlin, di mana kelas buruh sudah mengalami gejolak yang revolusioner.
Kemenangan revolusi Jerman akan mengubah seluruh perjalanan sejarah manusia. Namun ini tidak terjadi, dan Revolusi Hungaria tahun 1919 telah memasuki cacatan sejarah dari episode heroik seperti Komune Paris pada tahun 1871.
Namun demikian, dari studi tentang sebab-sebab kegagalan Republik Soviet Hungaria setengah abad kemudian, ini bisa membantu memperkaya pengetahuan kita tentang proses-proses bagaimana sebuah transformasi masyarakat sosialis dihasilkan, guna melengkapi diri dengan lebih baik bagi perjuangan sosialisme hari ini.
Pada tahun 1919, masyarakat Hungaria membongkar seluruh tatanan lama yang telah dipelihara secara utuh selama berabad-abad. Dari reaksi berdarah yang diikuti kekalahan Pemberontakan Petani tahun 1514 dikeluarakanlah undang-undang Hungaria yang diabadikan dalam Werboczi’s Tripartite Code yang membagi masyarakat Hungaria ke dalam kasta-kasta tertentu atas kaum bangsawan besar dan kecil, dengan para agamawan di satu sisi dan “Pleb” di sisi yang lain.
Selama 150 tahun, Hungaria merana di bawah kekuasaan Turki Utsmani. Kemudian, pada tahun 1687, Mahkota St. Stephen dinobatkan sebagai keturunan dari garis laki-laki Habsburg Austria.
Sepanjang generasi, masyarakat Hungaria berjuang guna menyatakan hak mereka untuk hidup sebagai sebuah bangsa. Usaha yang paling serius untuk melepaskan dir dari kekuasaan Austria datang pada saat gelombang revolusioner melanda Eropa pada 1848. Tapi borjuasi Hungaria yang lemah dan kaum bangsawan yang tak bertulang terbukti tidak mampu membebaskan Hungaria dari penindas asing. Setelah kekalahan pada tahun 1848, penindasan nasional Hungaria mencapai puncaknya – 10.000 rakyat Hungaria dieksekusi.
Surat kabar-surat kabar Hungaria dibredel dan sekolah-sekolah diambil alih oleh Austria. Perkebunan-perkebunan yang disita dari para pemberontak Hungaria diberikan kepada kaum aristokrat dari istana Wina. Ribuan polisi mata-mata dan para agen memenuhi negara tersebut. Bangsa Hungaria mendapat banyak penghinaan dari Jermanifikasi dan pensensoran Habsburg.
Kemudian datang sebuah kebangkitan di Prusia dan kekalahan yang memalukan Austria di tangan Bismarck pada tahun 1866. Dengan perasaan pedih yang menghantam, Kaisar Franz Josef bergerak ke arah persetujuan dengan aristokrasi Hungaria. Dengan demikian lahirlah “Ausgleich” atau kompromi 1867 yang terkenal.
Kesepakatan ini berarti bahwa Kekaisaran Habsburg untuk selanjutnya akan terdiri dari dua “suku bangsa yang berkuasa” – bangsa Austria dan bangsa Magyar (Hungaria), dua “suku bangsa kelas dua”, Kroasia dan Polandia, dan enam suku bangsa tanpa hak: Ceko, Slowakia , Rumania, Ruthenia, Slovenia dan Serbia. Kelas penguasa bangsa Maygar mendukung Habsburg dan, sebagai imbalannya, diberikan izin untuk mengeksploitasi dan menindas bangsa lain yang tinggal di setengah dari wilayah kerajaan mereka.
Masyarakat Hungaria dikarakterisasi oleh keterbelakangan yang ekstrim, oleh hubungan semi-feodal dan konsentrasi kekuasaan di tangan sejumlah kecil para bangsawan kaya. Sekitar 5% dari populasi memilki 85% dari tanah. Secara teoritis, perbudakan sudah dihapus, tetapi dalam prakteknya, 20 juta hektar yang dimiliki oleh perkebunan-perkebunan besar dikerjakan oleh “buruh perkebunan” yang berada dalam kondisi sosial yang tidak berbeda jauh dengan budak.
Perkebunan besar ini tidak dapat dijual atau dibagi. Sebuah contoh dari karakter hukum feudal Hungaria adalah bahwa keluarga Esterhazy selalu memiliki 100.000 hektar lahan yang akan menjadi milik anak tertua untuk selamanya.
Sebagai indikasi dari keterlambatan pembangunan sosial masyarakat Hungaria, mayoritas dari “kaum estate berpunya” ini diciptakan dari tahun 1869 dan seterusnya – yaitu, dalam suatu periode ketika jejak-jejak terakhir dari hubungan tanah feodal di sebagian besar Negara-negara Eropa telah menghilang.
Tiga perempat dari kaum tani miskin terdiri dari petani dan buruh tani – totalnya 2,5 hingga 4 juta, hidup di bawah kondisi kemiskinan yang akut. Adalah hal yang biasa bagi seorang petani untuk bangun pada jam dua atau tiga pagi hari di waktu panen, dan bekerja sampai jam sembilan atau sepuluh malam, tinggal di atas remah-remah roti dan daging asap tengik serta tidur di sebuah lubang yang digali di tengah ladang dengan cangkul. Tidak ada hari libur.
Keluarga petani rata-rata tinggal di sebuah gubuk berkamar satu, sering dipakai bersama-sama oleh dua keluarga atau lebih, kadang-kadang dengan 20-25 orang dalam satu ruangan. Enam dari sepuluh bayi meninggal sebelum mencapai umur satu tahun. Tuberkulosis, yang disebabkan oleh kelaparan, sudah sangat biasa di Hungaria sehingga ia dikenal sebagai “penyakit orang Hungaria”.
Sekali dalam hidupnya seorang petani pernah mengenakan sepatu bot adalah saat berada di angkatan militer, di mana ia menjadi sasaran pelecehan rasialis dan kekerasan fisik dari sersan-sersan pelatih Austria. Pemukulan dan deraan juga merupakan aturan di perkebunan. Menurut hukum “liberal”, pelayan kebun yang berusia antara 12 dan 18 tahun boleh dipukul oleh majikan, tetapi hanya sebatas “tidak menyebabkan luka yang tidak sembuh dalam waktu delapan hari.”
Sekelompok kecil dari kaum petani menggarap lahan-lahan kecil sekitar setengah hektar atau lebih. Tapi “petani gurem” ini tidak bisa menghidupi keluarga mereka dari hasil tanah mereka dan terpaksa mempekerjakan diri mereka di luar. Di strate yang paling bawah adalah “csiras” atau penjaga sapi: “Pekerjaan csiras … adalah yang paling berat. Pada umumnya, setelah empat tahun, pekerjaan keras dan atmosfer pupuk yang tebal di kandang-kandang merusak paru-paru para csiras. Jika kaum csiras beruntung, ia akan pergi sebelum ia mulai memuntahkan darah. Tapi banyak yang tinggal, menjadi rongsokan, dan pergi ke desa untuk menjalani hidup dengan mengemis.”
Kelaparan yang meluas, bersamaan dengan permasalahan nasional, selalu menjadi motor kekuatan revolusi di Hungaria, dengan sejarah dari berbagai pemberontakan petani yang berdarah-darah yang diremukkan dengan kekejaman yang paling biadab. Dalam revolusi 1848 ada usaha-usaha untuk mendistribusikan padang rumput umum di kalangan petani dan menyita perkebunan-perkebunan besar. Tapi kemenangan Habsburg berarti kemenangan tuan-tuan tanah besar yang kemudian menjadi sumber reaksi di Hungaria, menjadi agen-agen lokal imperialisme Austria di Hungaria.
Masalah kelompok-kelompok nasional minoritas
Situasi yang eksplosif di pedesaan Hungaria pada akhir abad ke-19 disampaikan secara memadai dalam laporan resmi dari asosiasi pemilik tanah besar, OMGE, yang ditulis pada tahun 1894:
“Penduduk negeri ini terdiri dari pegawai sipil, petani kaya dan proletariat agraria, yang semuanya hidup terisolasi dari satu sama lain, membenci satu sama lain.
“Kantor layanan sipil menganggap distrik-distrik agrikultur Hungaria sebagai koloni-koloni, dan pekerjaan mereka sendiri sebagai pelayan kolonial.
“Para petani kaya terjebak dalam konservatisme yang stabil dan tak tergoyahkan, sementara para penggarap tanah mengingat revolusi-revolusi historik besar dan memandang masa depan dengan tanpa harapan. Namun demikian, cita-cita revolusioner mereka masih hidup.”
Para birokrat pemerintah yang menyusun laporan ini tidaklah salah. Gelombang pemogokan buruh tani melanda negeri tersebut pada tahun-tahun awal abad ini, dan seringkali menyebabkan pertempuran sengit dengan polisi, berpuncak pada pemogokan 10.000 pekerja perkebunan pada tahun 1905 dan pemogokan umum 100.000 “buruh lepas” pada tahun 1906, yang hanya dipatahkan dengan merekurt para pemogok ke dalam dinas militer. Satu-satunya jalan keluar yang memungkinkan dari penderitaan yang mengerikan ini adalah emigrasi. Antara tahun 1891 dan tahun 1914 hampir dua juta rakyat Hungaria – 80% dari mereka adalah petani miskin – meninggalkan negara tersebut, beramai-ramai seperti ternak di atas kapal menuju Amerika Serikat.
Problem sosial di Hungaria diperburuk dan diperumit dengan adanya kelompok-kelompok nasional minoritas. Pada tahun 1910, dari 21 juta orang yang tinggal di Hungaria, terdapat 10 juta orang Hungaria, 2,5 juta Kroasia dan Slovenia, 3 juta Rumania, 2 juta orang Jerman, dan sisanya terdiri dari orang Slowakia, Serbia, Ukraina dan bangsa-bangsa lainnya yang lebih kecil.
Dengan demikian, untuk Hungaria, problem nasional tidak terbatas pada isu mengenai dependensi semi-kolonialnya terhadap Austria, tetapi juga mencakup problem penindasan nasional dari elemen-elemen non-Magyar yang hidup dalam wilayah perbatasan Hungaria. Diskriminasi sistematis terhadap minoritas ditunjukkan dengan sangat jelas dalam bidang pendidikan.
Pada tahun 1900, 39% dari total penduduk adalah buta huruf. Tetapi angka untuk orang Slowakia adalah 49,9%, untuk Serbia, 58,5%, Rumania, 79,6% dan Ukraina, 85,1%. Upah di Hungaria adalah 33% lebih rendah dari Austria dan 50% lebih rendah dari Jerman. Tetapi pada tahun 1913 upah pekerja non-Magyar adalah 30% lebih rendah dari pekerja Hungaria.
Kaum borjuasi Hungaria yang lemah dan tiba terlambat dalam sejarah telah terbukti tidak mampu, sepanjang keseluruhan sejarah, menangani satu pun masalah mendasar ini. Sebuah alasan yang tidak sulit untuk dimengerti. Tidak diragukan lagi, meskipun kerajaan Hungaria separoh lebih terbelakang, Hungaria jelas sudah masuk ke dalam proses perkembangan kapitalis pada pergantian abad. Di samping perkebunan feodal besar, industri kapitalis modern muncul, didukung oleh para investor dari kaum kapitalis asing.
Bank-bank mendominasi ekonomi Hungaria dan melalui mereka dijalankanlah modal finansial Austria, Jerman, Perancis, Inggris dan Amerika yang menjerat. Perkembangan kapitalisme mengikat Hungaria lebih dekat dengan kekuasaan imperialisme Austro-Jerman. Di sisi lain, aristokrasi feodal juga terikat erat dengan bisnis-bisnis besar dan bank-bank.
Pada tahun 1905 ada 88 bangsawan dan 64 baron di dewan-dewan administratif industrial, transportasi dan masalah-masalah perbankan. Salah satu dari mereka, Pangeran Istvan Tisza, adalah ketua bank dagang terbesar di negeri ini.
Untuk semua alasan-alasan ini, setiap upaya untuk menghancurkan ketergantungan yang memalukan terhadap Austria dan mencabut hubungan feodal di desa mensyaratkan perlawanan terbuka melawan kapitalisme yang hanya bisa dipimpin oleh kelas buruh dalam aliansi dengan massa petani miskin dan buruh tani.
Menjelang Revolusi, Hungaria merupakan kerajaan yang paling terbelakang dari Austro-Hungaria, tetapi justru karena alasan itu, ini merupakan bagian dimana ketegangan-ketegangan sosial yang paling cepat mencapai titik didih, dan dimana kelas yang berkuasa paling tidak mampu melawan deru laju perubahan sosial. Proletariat adalah minoritas di dalam masyarakat Hungaria, yang sebagian besar terdiri dari petani miskin. Tetapi sifat penindasan dari relasi-relasi sosial di desa-desa berarti bahwa para petani berpotensi merepresentasikan suatu sekutu revolusioner yang kuat bagi kelas buruh.
Pecahnya Perang Dunia Pertama
Perlakuan brutal dan memalukan terhadap kaum minoritas nasional sepanjang sejarah Hungaria juga ternyata adalah tumit Achilles (kelemahan) dari kelas penguasa Hungaria. Yang diperlukan adalah sebuah kekuatan sosial yang mampu menggerakkan kekuatan-kekuatan ini dan memimpin mereka dalam serangan akhir melawan oligarki yang berkuasa.
Karena peran kuncinya dalam produksi, kekompakannya, organisasi dan kesadaran kelasnya, hanya kelas pekerja, terlepas jumlahnya yang kecil, yang mampu memenuhi tugas ini.
Proletariat Hungaria adalah kelas yang lebih lemah dan terbelakang dibandingkan saudara-saudaranyanya Austria dan Jerman. Pada tahun 1910, hanya 17% dari populasi yang bekerja di industri, dan 49% dari mereka bekerja di pabrik-pabrik kurang dari 20 pekerja.
Tapi di Budapest dan daerah sekitarnya, industri skala besar telah bermunculan, disuntik oleh kapital asing yang besar.
Lebih dari 50% industri terkonsentrasi di sini. Selain itu, perkembangan industri yang tidak merata diilustrasikan oleh fakta bahwa 37,8% dari total angkatan kerja terkonsentrasi di pabrik-pabrik besar lebih dari 500 pekerja. Perkumpulan-perkumpulan raksasa dari kaum buruh ini akan memainkan peran yang menentukan dalam revolusi 1918-1919. 82 kartel raksasa menguasai seluruh industri Hungaria (26 dari mereka Hungaria dan 56 Austro-Hungaria).
Menjelang Perang Dunia Pertama, Hungaria jelas merupakan negara semi-kolonial yang bergantung pada Austria dan Jerman, membentuk sebuah koloni pertanian yang mengekspor bahan makanan ke Austria untuk ditukarkan dengan produk-produk industrial. Kepentingan-kepentingan borjuasi Hungaria terikat erat dengan kepentingan-kepentingan negara polisi birokratik Austria-Hungaria dan oligarki pemilik tanah feodal, yang ekspresi politiknya adalah Partai Liberal.
Di balik fraseologi nasionalis yang digunakan oleh borjuasi Hungaria untuk mempertahankan basisnya di antara massa, kaum borjuasi Hungaria pada kenyataannya sangat impoten dan sangat tergantung seperti budak pada imperialisme Austro-Jerman, yang dengan brutal terungkap pada bulan Agustus 1914.
Perang Imperialis telah melemparkan seluruh masyarakat ke dalam panci peleburan. Didukung dengan antusias oleh oligarki dan gereja, perang melawan Siberia juga menerima restu dari Partai 1848, yakni sebuah partai “liberal” borjuasi yang sudah sejak lama membuang lamunan kanak-kanaknya mengenai independensi nasional guna bergabung dengan para perampok imperialis dari Wina dan Berlin.
Pada awal perang, seperti halnya di negara-negara lain, kelas pekerja dilumpuhkan oleh gelombang pertama dari antusiasme patriotik. Para pemimpin Sosial Demokrat, kendati frase-frase “kiri” mereka yang dipinjam dari apa yang disebut kaum “Austro-Marxis” dengan cepat bergabung dengan kelompok patriotik. Mereka membenarkan perang sebagai sebuah perang demi “mempertahankan demokrasi melawan barbarisme Rusia,” dan bahkan perang “demi hari kerja yang lebih pendek dan upah yang lebih tinggi,” mengajarkan kolaborasi kelas dan “perdamaian kelas”.
Tetapi ketika perang berlanjut, kenyataan yang menyakitkan akhirnya mengunjungi para pekerja dan petani. “Perang demi hari kerja yang lebih pendek” berarti bahwa para pekerja harus bekerja keras 60 jam dalam seminggu. Anak-anak umur 10 dan 12 tahun bekerja 12 jam sehari dan lebih lagi di pabrik-pabrik. Laba terus melambung dan upah jatuh. Pada tahun 1916, mata uang hanya bernilai 51% dari nilai sebelum perang, merosot tajam setelah itu. Kekacauan perang telah menimbulkan kehancuran industri yang mengerikan.
Kondisi di garis depan perang lebih buruk lagi. Ratusan ribu tentara Hungaria mati mengenaskan karena musim dingin yang membekukan dan penuh salju pada tahun 1914-15 di Pegunungan Carpathian. Dari sembilan juta pasukan, lebih dari lima jutanya terbunuh, terluka, ditawan atau hilang dalam pertempuran di akhir perang. Dari jumlah tersebut, dua jutanya merupakan orang Hungaria.
Ketidakpuasan di antara komponen Hungaria dari pasukan Austria-Hungaria telah menyebabkan sebuah situasi dimana pasukan Hungaria harus didorong ke dalam pertempuran dengan dijepit di antara tentara Jerman dan Austria dan dengan senapan mesin yang mengarah ke punggung mereka. Desersi tumbuh ke proporsi yang masif.
Dampak Revolusi Oktober
Sepanjang tahun 1915 dan 1916 terjadi peningkatan jumlah pemogokan yang cukup kuat. Keletihan perang yang dialami massa diperburuk, dalam kasus Hungaria, oleh rasa penindasan nasional yang membara. Gejolak yang tumbuh di pabrik-pabrik, barak-barak, dan distrik-distrik pekerja ini telah memprovokasi pertikaian internal di kalangan kelas penguasa.
Pada awal tahun 1915, Count Karolyi mendirikan Partai Independen yang pasifis dan anti-Jerman, dan mencoba untuk menjalin hubungan dengan Sekutu, yang mengindikasikan bahwah perwakilan borjuasi yang lebih bijaksana, yang sedang merasakan kemungkinan kekalahan Jerman, tengah bersiap-siap untuk melemparkan diri mereka pada belas kasihan imperialisme Anglo-Prancis dan naik ke kekuasaan di atas bayonet-bayonet Sekutu daripada Jerman.
Revolusi Februari di Rusia memberikan dorongan yang sangat besar bagi gerakan revolusioner di Hungaria. Pada tanggal 1 Mei 1917, sebuah gelombang pemogokan dan demonstrasi masif menyebabkan jatuhnya pemerintah reaksioner Count Tisza pada tanggal 23 Mei. Sebuah pemerintahan baru dibentuk di bawah Count Esterhazy, yang berusaha memanuver di antara berbagai kelas dalam upaya untuk mencegah situasi supaya tidak jatuh di luar kendali. Koalisi pemerintah diperluas dengan memasukkan berbagai kelompok borjuis yang berbeda-beda, sedangkan para pemimpin SDP [Partai Sosial Demokrat] mendukung pemerintahan dari luar.
Kaum buruh dengan tepat menginterpretasikan ini sebagai tanda kelemahan kaum borjuasi dan semakin maju menekan. Pemerintahan baru disambut oleh gelombang pemogokan, yang pecah secara spontan, yang ditentang oleh para pemimpin serikat buruh “moderat”. Salah satu dari pemimpin moderat ini, Jasza Samu, kemudian mengakui bahwa: “Sesudah tahun 1917 ada banyak pemogokan walaupun serikat buruh bersikeras bahwa tidak akan ada interupsi kerja.” Para pemimpin Partai Buruh yang menyedihkan ini terpaksa “memimpin dari belakang”, atau kehilangan semua pengaruh di antara para pekerja.
Kemenangan Revolusi Oktober di Rusia memiliki efek yang memberikan semangat di Hungaria. Agitasi anti-perang yang mengagumkan dari Trotsky dalam negosiasi Perdamaian Brest-Litovsk memperoleh respon yang cepat di antara massa buruh, petani dan tentara yang sudah letih dengan peperangan. Tuntutan “perdamaian tanpa aneksasi dan ganti rugi” menggema di pabrik-pabrik, di desa-desa dan di dalam parit-parit. Di bawah tekanan yang tak tertahankan dari massa, partai anti-perang dari borjuasi, yang dipimpin oleh Karolyi, yakni “Kerensky-nya Hungaria”, menemukan keberanian yang menyegarkan untuk menekan tuntutan mereka.
Gejolak di pabrik-pabrik menyebabkan pemogokan umum menentang perang di Budapest pada tanggal 18 Januari 1918, yang dengan cepat memicu pertemuan-pertemuan massa di mana banyak tentara yang berpartisipasi. Gelombang pemogokan bulan Januari menyapu seperti api yang melalap Austria, Hungaria dan Jerman. Hembusan panas revolusi dari belakang yang telah memaksa perwakilan Austria di Brest-Litovsk, Czernin, untuk mengadopsi posisi yang berdamai terhadap pemerintahan Bolshevik, meskipun ini lalu ditolak oleh staf Jenderal Jerman yang diwakilkan oleh Jenderal Hoffman.
Untuk alasan yang sama, pemerintah Hungaria sekarang bergegas memberikan hak untuk memilih. Seperti biasa, kelas penguasa hanya siap untuk memberikan reformasi yang serius ketika merasa dirinya terancam dengan hilangnya kekuasaan dan hak istimewanya.
Kaum borjuasi ketakutan. Dan juga para pemimpin buruh sayap kanan yang mendukung perang dan menentang setiap gerakan militan kelas pekerja. Para pemimpin Sosial Demokrat, kelabakan dengan pemogokan umum yang meluas cepat, segera memerintahkannya berhenti pada tanggal 21 Januari, hanya empat hari setelah pemogokan tersebut dimulai. Pengkhianatan ini hanya memperdalam perpecahan di antara anggota-anggota SDP serta meningkatkan kekuatan oposisi sayap kiri.
Kebangkitan revolusioner yang mendalam dapat dilihat dengan bangkitnya seksi-seksi yang lebih terbelakang dan pasif dari kaum yang tertindas, khususnya kelas buruh perempuan yang peran heroiknya dalam peristiwa-peristiwa ini ditunjukkan oleh surat edaran rahasia dari Departemen Perang, tertanggal 3 Mei 1918 :
“Para buruh perempuan tidak hanya sering mencoba untuk mengganggu pabrik-pabrik dengan menginterupsi produksi, tapi bahkan memberikan pidato-pidato hasutan, ambil bagian dalam demonstrasi, berbaris di barisan terdepan dengan bayi mereka di lengan mereka, dan berperilaku dalam gaya yang menghina terhadap aparat hukum.”
Pada tanggal 20 Juni 1918, sebuah pemogokan baru pecah sebagai akibat dari penembakan terhadap para pekerja. Soviet-soviet, atau dewan-dewan pekerja, didirikan untuk memperjuangkan tuntutan pekerja: perdamaian, hak pilih universal, semua kekuasaan untuk soviet. Pemogokan menyebar dari Budapest ke pusat-pusat industri lainnya. Namun sekali lagi, pemogokan ini dihentikan setelah sepuluh hari oleh para pemimpin serikat buruh.
Massa telah siap untuk berjuang untuk merebut kekuasaan, tetapi mendapati diri mereka digagalkan di setiap langkah oleh para pemimpin mereka sendiri. Namun kondisi massa yang tak tertahankan, dan akumulasi ketidakpuasan serta frustrasi dari masa lalu mau tidak mau melahirkan ledakan baru di musim gugur tahun 1918.
Dengan runtuhnya Garis Depan Bulgaria, gelombang desersi berubah menjadi banjir yang benar-benar menyelimuti negara. Ada pemberontakan sporadis dan pemberontakan di dalam tentara dan angkatan laut. Sekelompok desertir bersenjata bergabung dengan para pemogok dan petani pemberontak dalam bentrokan dengan polisi dan berpartisipasi dalam perampasan tanah. Ketika menjadi jelas bahwa Blok Sentral hampir kalah perang, pemberontakan ini menyebar menjadi umum.
Aparatus negara hancur dan ambruk di bawah bebannya sendiri. Pemerintahan di Budapest menggantung di tengah udara. Kekuasaan telah pindah ke jalanan.
Di tengah-tengah pemogokan, pemberontakan dan demonstrasi, kelas penguasa terpecah-pecah. Ada gaduh badai di Parlemen. Pada tanggal 17 Oktober Count Tisza yang telah mengalami demoralisasi mengumumkan: “Kami telah kalah dalam perang ini.” Kaum oligarki borjuis pemilik tanah, yang tengah merasakan kekuasan mereka terlepas dari genggamannya yang lemah, dengan putus asa mencari di sekelilingnya garis pertahanan kedua dan menemukannya di musuh mereka yang kemarin – Karolyi.
Pada tanggal 28 Oktober ada sebuah demonstrasi massa di Budapest yang menuntut kemerdekaan Hungaria. Pada tanggal 29 Oktober, Hungaria dideklarasikan sebagai republik. Dan pada tanggal 30 Oktober ada pemberontakan dari kaum pekerja, tentara, pelaut dan mahasiswa di Budapest.
Pemerintahan Hungaria jatuh seperti rumah kartu tanpa melepaskan sebuah tembakan untuk mempertahankan dirinya. Jalan-jalan diambil alih oleh para pemberontak yang sedang meneriakkan slogan-slogan seperti “Hidup Hungaria Merdeka dan Demokratis!” … “Jatuhkan para pangeran!” … “Tidak ada lagi perang!” … “Hanya dewan prajurit yang memberi perintah!” Menjelang senja tiba pada tanggal 31 Oktober para pemberontak telah menduduki semua posisi strategis, dan membebaskan semua tahanan politik.
Revolusi telah menang dengan cepat dan mulus. Kelas penguasa, terkejut dan tidak memiliki basis yang nyata, tidak memberikan perlawanan. Ini adalah sebuah pemberontakan massa yang spontan seperti Revolusi Februari di Rusia, tanpa kepemimpinan dan tanpa program yang jelas. Para pemimpin buruh tidak melakukan apa pun kecuali menghambat revolusi yang tidak mereka inginkan dan yang mereka khawatirkan seperti wabah.
Massa pekerja, tentara dan petani, tidak memiliki sebuah partai dan sebuah program yang revolusioner, namun sedang meraba-raba ke arah program seperti itu. Mungkin mereka tidak memahami dengan jelas apa yang mereka inginkan, tetapi mereka tahu benar apa yang tidak mereka inginkan. Mereka tidak ingin oligarki korup, mereka tidak mau monarki atau pengganti untuk itu; mereka tidak ingin hubungan tanah feodal dan penindasan nasional.
Tapi dalam memperjuangkan isu-isu yang tengah berkobar ini, massa dengan cepat memahami kemustahilan dari solusi-solusi parsial terhadap problem-problem mereka dan memahami keniscayaan sebuah sapuan penuh, sebuah rekonstitusi total dari masyarakat guna menghilangkan seluruh kotoran yang terkumpul selama berabad-abad dari penindasan feodal dan penghinaan nasional.
Kaum pekerja menuntut sebuah Republik. Para politisi borjuis liberal dari Partai 1848 dan para pemimpin Partai Buruh sayap kanan menolak permintaan ini sepanjang mereka bisa. Para “revolusionis” yang enggan ini telah direnggut di kerah leher mereka dan didorong ke dalam pemerintahan oleh gerakan massa.
Revolusi Tanpa Darah
Segera setelah berkuasa mereka mengabdikan diri untuk membela sistem kekuasaan kelas dan hak istimewa. Ketakutan mereka terhadap massa adalah seratus kali lebih besar daripada kebencian mereka terhadap reaksi feodal, dan mereka memegang erat dengan sekuat tenaga dukungan apapun yang tersisa untuk mereka dalam perjuangannya untuk memelihara status quo.
“Kawan yang dibutuhkan adalah seorang kawan yang sejati” berlaku baik dalam politik maupun dalam kehidupan. Menyadari bahwa seluruh masa depan mereka sebagai kelas istimewa terletak di tangan kaum borjuis liberal dan para Sosial Demokrat yang mereka benci, para bankir, oligarki-oligarki feodal, para uskup dan para jenderal berkumpul di sekitar “Kerenskynya Hungaria” [Karolyi] dan bersembunyi di balik buntut-kemeja “demokrasi . Di sisi lain, kaum buruh dan tentara, sebagaimana di Rusia setelah Februari 1917, menaruh harapan mereka dalam organisasi-organisasi mereka sendiri, yang terlempar ke dalam perjuangan, yakni Soviet-soviet.
Sebagaimana di Rusia, dan juga di Hungaria, terdapat elemen-elemen kekuasaan ganda. Tidak seperti Rusia, di Hungaria tidak ada Partai Bolshevik yang mampu mengarahkan situasi pra-revolusioner ke arah revolusi sosialis yang berhasil. Sayap kiri dari SDP, dengan kebingungannya dan ketiadaan program yang jelas, tidak mampu memainkan peran yang independen, sedangkan para pemimpin buruh sayap kanan membantu Karolyi merestorasi relasi-relasi kelas lama di bawah kedok revolusi “borjuis-demokratik”.
Dewasa ini “para teoritikus” dari Partai-Partai Komunis [baca Stalinis] mengkarakterisasi ini sebagai revolusi “borjuis-demokratik”. Pada kenyataannya, kaum borjuasi tidak memainkan peran dalam revolusi ini, tidak berniat mengambil alih kekuasaan dan menghancurkan negara semi-feodal lama, dan bahkan menolak institusi republik borjuis.
Prakarsa di setiap tahapan tetap dengan kuat berada di tangan kaum buruh dan tentara, yang memaksa kaum liberal untuk mengambil alih kekuasaan, terlepas dari diri mereka sendiri, dan mulai melaksanakan tugas-tugas revolusi borjuis-demokratik dari bawah. Dengan kata lain, apa yang kita miliki di sini bukanlah revolusi borjuis-demokratik tetapi aborsi dari revolusi sosialis karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner yang sejati dan pengkhianatan dari para pemimpin Sosial Demokrat.
Pemerintah borjuis Karolyi, yang tidak, dan tidak mampu, melaksanakan beberapa tugas mendasar dari revolusi borjuis-demokratik di Hungaria, terbukti seribu kali lebih lemah, lebih ompong dan tidak berdaya dibandingkan dengan Pemerintahan Provisional di Rusia setelah bulan Februari 1917.
Di satu sisi, kelas proletariat adalah satu-satunya kekuatan terorganisir secara riil di dalam masyarakat. Kekuasaan berada di tangan para buruh dan tentara, yang bersenjata dan terorganisir dalam soviet-soviet. Di sisi lain, para pemimpin SDP dan serikat buruh yang “moderat” memblokir jalan maju mereka dengan kebijakan palsu “penundaan perjuangan kelas” untuk “membela demokrasi”, dll
Seperti Menshevik Rusia pada tahun 1917, dan Stalinis di seluruh dunia sejak saat itu, para pemimpin Sosial Demokrat Hungaria menyerukan kepada para pekerja dan petani untuk mengesampingkan perjuangan untuk sosialisme guna kepentingan konsolidasi demokrasi (borjuis).
Mereka tidak melihat bahwa kontradiksi luar biasa dalam masyarakat mau tak mau akan menimbulkan polarisasi kelas yang hanya akan memilih satu dari dua pilihan: entah itu kelas pekerja, atas nama seluruh lapisan masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi, akan menggulingkan borjuis, membubarkan “Dewan Nasional” Karolyi yang fiktif dan tanpa ampun menghancurkan kekuatan reaksi yang berlindung di balik itu, atau kekuatan reaksioner yang sama ini akan mengambil keuntungan dari situasi ini untuk memulihkan kekuatan mereka dan melancarkan konter-ofensif baru yang akan menyingkirkan sarung tangan “demokrasi” untuk menampakkan kepalan tinju dari reaksi fasis.
Tidak ada “jalan tengah”. Entah itu kaum buruh yang akan memenangkan dan membentuk demokrasi kaum pekerja, atau kelas penguasa akan membalas dendam dengan mengerikan terhadap kelas buruh dan petani miskin. Tidak ada jalan lain, namun “para pengambil jalan tengah” tampak kuat di atas pelana. Karolyi menikmati popularitas tertentu, terutama dengan massa borjuis kecil, sebagai hasil dari oposisinya terhadap perang.
SDP, dalam periode awal, tumbuh dengan pesat. Massa, yang baru saja sadar dengan kehidupan politik, membanjiri organisasi-organisasi buruh, tidak menyadari peran yang dimainkan oleh kepemimpinan mereka. Bukan hanya kaum buruh, tetapi banyak sekali kaum intelektual, orang-orang profesional, bahkan polisi dan pegawai negeri sipil bergabung dengan SDP, beberapa untuk tujuan yang tulus, beberapa yang lain sebagai “asuransi” dengan mata yang tertuju jauh ke depan. Tiba-tiba, kaum Sosial Demokrat dan Republikan, yang dulu dituduh sebagai kaum radikal yang berbahaya, menjadi pilar kehormatan, dan penyelamat masyarakat.
Sekarang, monarki Hungaria sudah tidak dapat dipertahankan lagi, semua elemen-elemen reaksioner berkumpul di sekeliling panji republik borjuis, yang secara kukuh ditegakkan oleh Karolyi dan kaum Sosial Demokrat.
Namun, massa tidak lambat untuk memahami jurang yang dalam yang sekarang terbuka antara jenis republik yang mereka inginkan dan jenis republik yang mereka dapatkan. Karena mereka menjadi lebih berani akibat kesuksesan mereka, kaum buruh turun ke jalan untuk mendorong tuntutan-tuntutan kelas mereka, walaupun para pemimpin mereka yang panik menyerukan untuk tenang. Pada tanggal 16 Nopember, sebuah demonstrasi besar dengan ratusan ribu massa berkumpul di luar gedung Parlemen guna menuntut pembentukan sebuah republik sosialis.
Mereka tidak menggulingkan Kekaisaran Habsburg yang telah berdiri selama 400 tahun hanya untuk menyerahkan kembali kekuasaan tersebut ke empu tua di bawah nama-nama baru. Para tentara membanjir ke Budapest dari garis depan. Mereka merobek lambang pangkat dari bahu para perwira. Jalan-jalan ibu kota penuh dengan pasukan pemberontak: 300.000 dari mereka, menunggu untuk disebar. Para perwira dan kaum borjuis diserang di jalan-jalan.
Pemerintahan Karolyi adalah pemerintahan dalam nama saja. Tidak ada tentara yang dapat mereka andalkan. Senjata berada di tangan buruh. Ekonomi nyaris runtuh. Hungaria telah diblokade oleh Sekutu. Situasi pangan sangat kritis.
Dalam upaya untuk menenangkan massa, pemerintah Karolyi menyusun program reformasi agraria yang bertujuan untuk mendistribusikan lahan-lahan perkebunan yang luasnya lebih dari 500 hektar kepada kaum pekerja ladang dengan kompensasi yang harus dibayar oleh pemerintah.
Karolyi, dirinya sendiri adalah pemilik tanah, telah memberikan areal perkebunannya kepada petani. Tetapi contoh ini tidak diikuti oleh para borjuasi lainnya. Seperti semua kebijakan-kebijakan lain dari pemerintahan ini, reformasi tanah tetap saja di atas kertas. Seperti persoalan tanah, hingga masalah-masalah kebangsaan yang tertindas, demokrasi borjuis Hungaria tiba dengan tangan kosong. Sebagaimana yang kemudian dikeluhkan sendiri oleh Karolyi: “Situasi sekarang sudah berubah secara radikal, dan apa yang nampak bagi kami sebagai sebuah tawaran yang sangat liberal sepenuhnya telah menjadi ketinggalan zaman. Kaum minoritas yang kemarin dengan cepat menganggap diri mereka sebagai pemenang masa depan, dan menolak mempertimbangkan solusi apapun dalam bingkai Kerajaan St. Stephen, sebuah nama yang sangat mengganggu mereka. “
“Terlalu kecil dan terlalu terlambat” akan menjadi batu nisan yang tepat untuk demokrasi borjuis yang tidak beruntung di Hungaria, yang berkuasa ketika sejarah telah menempatkan orde revolusi proletar sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan problem-problem yang tidak bisa ditangani oleh borjuasi. Ketidakpuasan di dalam negeri yang semakin membesar sekarang ditambah dengan ancaman dari luar yang baru.
Jatuhnya Karolyi
Selama Perang Dunia Pertama kaum borjuasi nasional Eropa Timur dan Tengah – termasuk Hungaria – telah bergabung di bawah bendera imperialisme Jerman, tetapi dengan kekalahan Jerman dan disintegrasi Austro-Hungaria, kelas-kelas penguasa dari berbagai negara-negara kecil yang baru saja terbentuk berlomba-lomba dengan satu sama lain untuk menyokong imperialisme Inggris-Perancis-Amerika, pada saat yang sama mereka saling berperang untuk melihat siapa yang bisa merebut wilayah yang paling luas dari negara tetangganya.
“Doktrin Wilson” imperialisme AS mengumbar janji-janji palsu mengenai demokrasi dan hak penentuan nasib sendiri bagi negara-negara kecil. Dan ini menjadi preteks yang baik untuk serangkaian perang kecil yang ganas yang pada gilirannya membalkanisasi Eropa Timur dan Tengah, dan mengikat negara-negara yang baru terbentuk tersebut bahkan erat lagi ke imperialisme Inggris-Perancis dan Amerika Serikat melalui perantaraan bank-bank, rel-rel kereta api dan korporasi-korporasi besar.
Slogan Perserikatan Eropa Sosialis, yang diluncurkan oleh Komunis Internasional (Komintern) yang baru saja terbentuk, merepresentasikan satu-satunya harapan bagi bangsa-bangsa Eropa, yang tercerai berai dan diperas dengan kejam oleh perang, kelaparan dan runtuhnya ekonomi. Hanya keberhasilan revolusi sosialis yang mampu menawarkan jalan keluar dari jalan buntu yang dihadapi oleh negara-negara kecil dan terbelakang di Eropa.
Kelas penguasa Hungaria mencoba untuk melindungi dirinya dari badai dengan bersembunyi di balik bentuk-bentuk demokrasi parlementer. Tetapi ledakan sosial yang digerakkan oleh perang tidak mengakui solusi-solusi jalan tengah. Bahkan jauh lebih cepat dibandingkan Pemerintahan Provisional di Rusia, pemerintahan Karolyi mengungkapkan kebangkrutannya, dan dalam cara yang jauh lebih mencolok.
Seperti yang pernah Lenin katakan: “Borjuasi Hungaria mengakui dengan lapang dada bahwa ia mengundurkan diri secara sukarela dan bahwa satu-satunya kekuasaan di dunia yang mampu membimbing bangsa tersebut dalam situasi krisis seperti ini adalah kekuasaan Soviet.” (Karya Lenin, vol. 29, hal 270)
Penyebab langsung dari kejatuhan pemerintah ini adalah ultimatum pada tanggal 20 Maret 1919 yang dipresentasikan atas nama Sekutu ke rejim Karolyi, menuntut bahwa Hungaria harus menerima garis demarkasi baru. Pada saat Gencatan Senjata, beberapa bulan sebelumnya, Hungaria sudah menerima kehilangan wilayah dengan terhina. Sekarang negara-negara perampok Sekutu berkumpul di Paris menuntut penyerahan tanah-tanah yang diduduki oleh lebih dua juta rakyat Hungaria.
Pemerintahan Karolyi yang tak berdaya mencoba untuk mengulur waktu, mengusulkan referendum, yang dengan tegas ditolak. Sekutu menuntut jawaban di hari yang sama. Ditekan dari dalam dan luar, dan menyadari impotensi dirinya, Karolyi menolak untuk mengambil tanggung jawab dan mengundurkan diri.
Dengan ini, seluruh borjuasi Hungaria mengakui ketidakmampuannya secara total untuk memimpin sebuah bangsa pada saat yang menentukan. Keesokan harinya, pada tanggal 21 Maret, Republik Soviet diproklamirkan. Proletariat merebut kekuasaan tanpa melepaskan satu pun tembakan.
Kejatuhan yang tiba-tiba dari Karolyi berarti sebuah tikungan tajam dan mendadak dalam situasi Partai Komunis Hungaria yang hanya setelah empat bulan eksistensinya menemukan diri mereka dengan tiba-tiba dihadapkan dengan masalah kekuasaan. Para pemimpin partai ini masihlah muda dan benar-benar belum berpengalaman. Pandangan mereka, seperti kebanyakan Partai Komunis yang baru dibentuk, diwarnai oleh campuran ultra-leftisme dan sindikalisme yang muda.
Ketidaksabaran mereka menyebabkan mereka mengabaikan dinamika dari proses revolusioner dan inter-relasi yang rumit antara kelas, partai dan kepemimpinan. Ini bisa dimengerti. Partai Bolshevik di Rusia telah terbentuk selama beberapa dekade. Bolshevik di belakangnya memiliki pengalaman revolusi 1905 dan bekerja di bawah situasi yang cukup beragam.
Namun, partai-partai baru dalam Komunis International kebanyakan terdiri dari anggota-anggota yang masih muda, mentah dan belum teruji, yang bergerak ke arah Bolshevisme dalam periode badai yang dibuka oleh Revolusi Oktober. Mereka tidak punya waktu untuk membangun fondasi mereka dan memperoleh pengalaman yang diperlukan dan otoritas di mata massa ketika mereka terlempar ke dalam gerakan revolusioner bergolak pada tahun 1918-1920. Tak pernah ada transisi yang begitu tiba-tiba seperti di Hungaria.
Para pemimpin Partai Komunis yang muda, sebagian besar terdiri dari para mantan tahanan perang yang baru saja kembali dari Rusia, menunjukkan keberanian, inisiatif dan energi. Tapi dari awal, kebingungan mereka mengenai persoalan-persoalan teori mengakibatkan mereka membuat kesalahan-kesalahan yang serius pada masalah-masalah mendasar yang nantinya memiliki konsekuensi yang parah.
Mengenai masalah tanah yang sangat penting, mereka menganjurkan penyitaan perkebunan-perkebunan besar, tapi menentang pembagian tanah kepada para petani dengan alasan bahwa hal ini akan mendorong perkembangan para pemilik tanah kecil dan menghambat pertumbuhan ide-ide sosialis di desa-desa. Mengenai masalah nasional, daripada dengan jelas mendukung hak menentukan nasib sendiri, mereka menaikkan slogan “pengembangan diri kaum proletar” yang secara esensial tidak berarti apa-apa.
Meskipun demikian, dalam iklim revolusioner yang tengah berlangsung, kaum Komunis memperoleh dukungan dengan cepat. Kendati beberapa kesalahan mereka, kaum Komunis mempenetrasi barak-barak, pabrik-pabrik dan serikat-serikat buruh, yang sebelumnya didominasi oleh para pemimpin buruh sayap kanan.
Karena suasana hati massa yang sekarang ini, Partai Komunis mengalami pertumbuhan yang eksplosif dalam beberapa minggu, bukan hanya di Budapest yang proletarian, tetapi juga di Szeged, kota terbesar kedua, dimana seksi besar dari Partai Sosial Demokrat (SDP) bergabung ke dalam Partai Komunis dan banyak garnisun setempat yang secara terang-terangan memamerkan kartu Partai. Yang terpenting lagi, Liga Pemuda SDP bergabung ke Partai Komunis pada bulan Desember 1918.
Takut pada pertumbuhan Partai Komunis yang cepat yang mengancam untuk menghancurkan basis mereka di dalam gerakan buruh, para pemimpin Sosial Demokrat memulai sebuah kampanye rumor yang menyebarkan kebohongan mengenai Bolshevik “Rusia” dan “para pemecah-belah” dan “kontra-revolusi dari kiri”. Seperti kaum Menshevik Rusia, para pemimpin SDP Hungaria tidak menganggap Hungaria “matang” untuk revolusi sosialis.
Mereka mendasarkan diri pada gagasan akan proses evolusioner yang panjang di mana, secara damai, bertahap, tanpa gejolak tiba-tiba, Hungaria akan melalui, pertama melalui periode panjang demokrasi borjuis dan kemudian, mungkin setelah 50 atau 100 tahun, rakyat Hungaria akan “siap” untuk sosialisme.
Sayangnya bagi ideologi-ideologi gradualisme, arus peristiwa-peristiwa bergerak cepat dalam arah yang berlawanan. Melihat kegagalan demokrasi borjuis untuk menangani setiap masalah-masalah mendesak mereka, massa mengambil tindakan langsung. Ada gelombang pendudukan-pendudukan pabrik.
Kontrol buruh didirikan di banyak pusat industri. Terdapat demonstrasi terus-menerus dari kaum pekerja, tentara dan pengangguran. Pada akhir bulan Januari 1919 terjadi bentrokan berdarah antara tentara pemerintah dan para pemogok. Ketidakpuasan menyebar ke tentara. Masalah kebangsaan meledak dan memperbaharui intensitas pergolakan-pergolakan revolusioner di Ukraina Barat. Janji-janji Karolyi mengenai otonomi, jauh dari meredam gerakan, justru telah menuang bensin ke dalam bara api.
Mengikuti contoh dari Noske dan Scheidemann di Jerman di mana pada bulan Januari Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dibunuh atas prakarsa para pemimpin Sosial Demokrat, kepemimpinan SDP Hungaria melecutkan kampanye anti-Komunis yang memuncak dalam sebuah provokasi yang mirip dengan Hari-Hari Juli di Rusia, dan penangkapan kepimpinan Partai Komunis. Bela Kun dan kamerad-kameradnya mengalami penganiayaan kejam di penjara.
Namun, pemerintah telah salah perhitungan. Dalam situasi revolusioner suasana hati massa dapat berubah dengan cepat. Penangkapan tersebut mengungkapkan peran kontra-revolusioner dari para pemimpin SDP di pemerintahan. Massa yang naif yang telah mempercayai para pemimpin SDP dengan harapan menemukan solusi untuk masalah mereka sekarang dengan cepat berbalik melawan mereka.
Partai Komunis Hungaria, dari minoritas kecil, sekarang memperoleh dukungan mayoritas di wilayah-wilayah kunci gerakan buruh. Kaum buruh menarik kesimpulan sederhana: jika pemerintahan ini menentang Bolshevisme, maka kita harus mendukung Bolshevisme. Para pemimpin SDP sekarang mendapati diri mereka disahuti dalam pertemuan-pertemuan publik.
Bahkan seorang Sosial Demokrat kanan, seperti Erno Garami kemudian mengakui bahwa “penangkapan para pemimpin Bolshevik bukan hanya tidak melemahkan, tapi justru memperkuat kapasitas tempur mereka.” Seorang dari kelompok yang sama, Wilhelm Bohm menulis: “Dengan hilangnya para pemimpin mereka, gerakan Bolshevik mendapatkan kekuatan yang baru.”
Gerakan sekarang mengalir deras di bawah arahan Partai Komunis. Penangkapan para pemimpin komunis menjadi percikan untuk semua ketidakpuasan dan frustrasi massa yang terakumulasi. Sepanjang bulan Maret, ada kecenderungan yang tak diragukan ke arah pemberontakan bersenjata. Di Szeged pada 10 Maret soviet lokal dengan cepat mengambil alih kendali kota, dan diikuti oleh kota-kota lain. Petani merebut tanah-tanah milik Count Esterhazy, tanpa menunggu keputusan pemerintah.
Dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang tak terduga, para pemimpin buruh reformis mencoba untuk membelokkan gerakan ke arah yang aman dengan memajukan slogan majelis konstituante. Tetapi para pemimpin SDP sudah dicampakkan oleh gerakan massa yang tidak sabar. Buruh-buruh di pabrik-pabrik besar di Budapest mendeklarasikan dukungannya untuk Partai Komunis.
Kaum pekerja menarik kesimpulan yang revolusioner dari seluruh situasi. Mereka telah menggulingkan 400 tahun pemerintahan Habsburg dengan kekuatan dan organisasi mereka sendiri. Soviet-soviet buruh tidak hanya memiliki senjata ringan tapi juga senapan mesin dan artileri. Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki angkatan bersenjata yang bisa diandalkan.
Massa telah melalui sekolah perang yang keras, revolusi, dan kontra-revolusi dengan topeng yang demokratis, dan sekarang siap untuk pertempuran yang menentukan. Argumentasi-argumentasi yang moderat dari para pemimpin SDP sekarang sudah tidak berguna.
Kaum buruh menafsirkan slogan kaum sosial demokrat dengan benar sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian mereka dari tujuan utama kekuasaan. Ketidaksabaran yang meningkat dari kaum pekerja dengan peran para pemimpin Sosial-Demokrat diekspresikan dalam penolakan dari kaum buruh percetakan Budapest untuk mencetak surat kabar SDP Nepszava. Para pekerja percetakan mogok pada tanggal 20 Maret – pada hari yang sama dimana Sekutu mengirimkan ultimatumnya kepada Karolyi. Pada tanggal 21 pemogokan buruh cetak telah berubah menjadi pemogokan umum, menuntut pembebasan pemimpin Partai Komunis dan memindahkan kekuasaan ke kelas pekerja.
Gerakan spontan ini menyebabkan perpecahan dalam kepemimpinan SDP. Satu bagian dari kepemimpinan SDP, secara terbuka mendukung kaum borjuis, siap untuk memainkan peran yang sama kontra-revolusionernya seperti Noske dan Scheidemann di Jerman. Yang lainnya lebih berhati-hati. Pemerintahan Karolyi sedang dalam keadaan runtuh setelah ultimatum Sekutu.
Terdemoralisasi, kaum liberal borjuis menyerahkan kekuasaan kepada para pemimpin buruh reformis, yang menerima hadiah ini dengan berat hati dan tangan gemetar.Kaum borjuasi meletakkan semua tanggung jawab untuk menyelesaikan krisis di atas pundak kaum Sosial Demokrat “moderat”. Tetapi kaum sosial demokrat ini, selalu bersedia untuk menerima “tugas patriotik” mereka, berada dalam posisi yang sangat lemah.
Pengaruh mereka di kalangan massa cepat menyusut tanpa bekas. Bagaimana mereka bisa mempertahankan diri mereka sendiri? Lalu terjadi sebuah peristiwa yang tidak ada preseden dalam sejarah: para pemimpin SDP, yang masih dalam pemerintahan, pergi ke penjara untuk bernegosiasi dengan para pemimpin Partai Komunis, yang dipenjara dengan keterlibatan mereka baru saja. Fakta ini dengan sendirinya menunjukkan perubahan-perubahan besar dalam korelasi kekuatan-kekuatan kelas yang terjadi dalam sebuah situasi revolusioner.
Lenin memperingatkan
Pada awalnya para pemimpin SDP meminta Partai Komunis untuk mendukung mereka dari luar pemerintahan. Ketika ini ditolak, kaum reformis mengusulkan penggabungan partai! Apa yang ditawarkan ini sama dengan usulan untuk membentuk pemerintahan koalisi di bawah samaran sebuah Partai Sosialis “persatuan”. Rubah-rubah tua yang cerdik yang memimpin SDP siap menandatangani apa pun, setuju dengan apa pun, tidak peduli betapa radikalnya ini terdengar, guna memperoleh persetujuan.
Para pendukung setia dari gradualisme tiba-tiba berubah menjadi kediktaturan proletariat, kekuasaan Soviet, revolusi – apapun – untuk mendapatkan partisipasi kaum Komunis di dalam pemerintahan bersama mereka. Dalam kenyataannya, kaum Sosial Demokrat hanyalah mengakui realitas dari situasi tersebut. Sementara para pemimpin Partai Komunis sedang bernegosiasi untuk bersatu dengan mereka, kaum pekerja di Budapest tengah melakukan revolusi tak berdarah, yang mana pemerintah tidak bisa memberikan perlawanan. Partai Komunis dan Partai Sosial Demokrat bersatu sebagai sebuah gerakan ketika kekuasaan secara efektif sudah berada di tangan kelas pekerja yang bersenjata.
Dalam melaksanakan persatuan ini, para pemimpin Partai Komunis melakukan sebuah kesalahan besar yang mana akan dibayar mahal oleh kelas pekerja di kemudian hari. Sementara Bela Kun, pemimpin kaum Komunis Hungaria, membuai kaum pekerja dengan cerita yang menggebu mengenai persatuan sebagai “prakondisi bagi kekuasaan kaum buruh”, banyak kaum Komunis yang dbingungkan oleh langkah ini dan menentangnya. Dalam mencoba menemukan solusi yang “mudah” untuk masalah pembangunan Partai dan “jalan pintas” untuk kekuasaan, Bela Kun jatuh ke dalam perangkap. Karena kurang rasa percaya diri dalam diri mereka sendiri, dalam program dan kebijakan mereka dan dalam kelas buruh, para pemimpin Partai Komunis membawa sebuah fusi dengan Partai Sosial Demokrat dalam cara yang paling buruk.
Ini adalah fusi birokrasi dari atas, bukan unifikasi sejati di atas dasar kerja yang sabar untuk memenangkan kaum pekerja dari pemimpin lama mereka. Namun pada saat persatuan ini, pengaruh kaum Komunis di lapisan proletariat yang penting jauh lebih besar daripada kaum reformis, yang telah dirugikan secara besar karena kolaborasi mereka dengan pemerintahan borjuasi dan tindakan-tindakan represif mereka terhadap buruh-buruh.
Mereka setuju dengan gagasan persatuan hanya ketika nasib mereka telah menjadi sangat buruk dan revolusi sudah menjadi kenyataan. Tujuan mereka adalah untuk melestarikan prestise dan hak-hak istimewa mereka dengan mendukung pihak yang menang. Hanya elemen-elemen yang benar-benar kontra-revolusioner, yang dipimpin oleh Erno Garami, yang menolak untuk berpartisipasi dalam persatuan ini. Di antara mereka yang berpartisipasi adalah sekelompok kaum sosial demokrat sayap kiri yang jujur dan kaum birokrat sayap kanan.
Meskipun kurang informasi, dan jarak yang besar yang memisahkan dirinya dari peristiwa-peristiwa di Hungaria, Lenin segera merasakan bahaya dalam langkah-langkah tersebut:
“Komunikasi pertama yang kami terima tentang hal ini [mengenai unifikasi – AW] memberi kami beberapa alasan untuk khawatir, barangkali yang disebut kaum sosialis, kaum sosialis pengkhianat, telah melakukan penipuan, telah memperdaya kaum komunis, lebih-lebih karena kaum komunis sedang mendekam dalam penjara. “ (Karya Lenin, jilid 29, hal. 242)
Dalam sebuah telegram radio kepada Bela Kun, Lenin menyuarakan keraguannya mengenai kebijakan persatuan:
“Tolong beritahu kami apa jaminan sesungguhnya yang Anda miliki bahwa pemerintahan Hungaria yang baru ini akan benar-benar menjadi Komunis, dan bukan hanya sekadar sosialis, yaitu sebuah pemerintahan para pengkhianat sosial? Apakah kaum Komunis memiliki mayoritas dalam pemerintahan? Kapan kongres soviet akan diadakan? Apa bentuk pengakuan kaum sosialis yang sesungguhnya terhadap kediktaturan proletariat?
“Tanpa diragukan, menggunakan taktik-taktik Rusia begitu saja, dalam semua detilnya, ke dalam kondisi revolusi Hungaria yang unik akan menjadi sebuah kesalahan. Saya harus memperingatkan kesalahan-kesalahan ini, tetapi saya ingin tahu dalam hal apa Anda melihat jaminan yang sejati?“ (Karya Lenin, edisi Rusia, jilid. 29, hal. 203)
Bela Kun menjawab pertanyaan Lenin dengan kepastian yang menenangkan. Tetapi Lenin tidak yakin. Pada Kongres Pertama Komunis Internasional yang diadakan tidak lama setelah Revolusi Hungaria, ia memperingatkan seorang komunis Hungaria Laszlo Rudas:
“Saya menganggap unifikasi ini sebagai bahaya. Akan lebih baik untuk membentuk sebuah blok di mana kedua belah pihak akan mempertahankan kemandirian mereka. Dengan jalan ini, kaum Komunis akan tampil di hadapan massa sebagai sebuah partai yang independen. Kaum Komunis akan dapat meningkatkan kekuatan mereka hari demi hari, dan dalam keadaan genting, jika kaum Sosial Demokrat tidak memenuhi tugas-tugas revolusioner mereka, kita bisa pecah dengan mereka.“ (Szabad NEP, 21 Januari, 1949)
Nasehat Lenin kepada kaum Komunis Hungaria tak punya kesamaan dengan keteguhan pendirian sektarian yang hampa. Bahkan, Lenin sendiri membela ide unifikasi, asalkan itu dilakukan dengan benar, di atas program revolusioner yang jelas dan tidak menyertakan seluruh pemimpin sayap kanan yang lama. Kesalahan kaum Komunis Hungaria bukanlah unifikasi dengan Partai Sosial Demokrat, kesalaham mereka adalah mencampuradukkan panji-panji dan program-program dengan begitu saja.
Kaum Komunis Hungaria, dalam kenyataannya, melikuidasi Partainya ke dalam SDP, yang para pemimpinnya diberi sebagian besar posisi di dalam Partai, serikat-serikat buruh dan pemerintahan. Dengan tindakan Bela Kun dan yang lainnya, elemen-elemen kelas buruh yang paling maju dan revolusioner terendam dalam lapisan massa yang lebih terbelakang dan tidak matang.
Kesalahan ini terbukti berakibat fatal. Ini persis seperti yang dapat terjadi di Rusia bila kaum Bolshevik bersatu dengan kaum Menshevik setelah revolusi Februari, sebagaimana yang dianjurkan oleh Stalin dan Kamenev, atau menyerah pada bulan November 1917 pada tekanan untuk membentuk “pemerintah koalisi dari seluruh partai-partai soviet”, yang berhasil ditentang oleh Lenin dan Trotsky.
Kesalahan Kaum Komunis Hungaria
Adalah sebuah hukum revolusi bahwa pada saat yang menentukan ketika masalah kekuasaan diajukan, kepimpinanan partai revolusioner niscaya cenderung berada di bawah tekanan pengaruh kelas lain, tekanan dari “opini publik” borjuis dan bahkan dari lapisan yang terbelakang kelas buruh itu sendiri. Para pemimpin Bolshevik di Petrograd pada bulan Februari 1917 jauh lebih berpengalaman daripada para pemimpin Komunis Hungaria pada bulan Maret 1919, namun Kamenev dan Stalin, di bawah tekanan yang besar, ingin mengambil jalan yang mudah, mengusulkan dukungan untuk Pemerintahan Sementara dan persatuan dengan Menshevik.
Ketakutan “terisolasi”, ketakutan terlihat di mata massa sebagai “pemecah-belah” dan “sektarian”, menjadi tekanan yang begitu kuat yang membebani pundak kepemimpinan revolusioner. Hanya pandangan yang jelas secara menyeluruh dari proses revolusioner, yang mampu memberikan kebijakan yang kuat untuk menolak tekanan-tekanan ini. Para pemimpin Komunis Hungaria yang masih muda dan tidak berpengalaman tidak memiliki wawasan politik dan keteguhan yang diperlukan, terombang-ambing, dan kehilangan muka.
Bila saja mereka mempertahankan kemandirian mereka, mengikuti nasihat Lenin yang menawarkan sebuah aliansi kerja dengan SDP dan bekerja dengan sabar untuk meyakinkan kaum buruh Sosial Demokrat mengenai kebenaran ide-ide dan program-programnya, mereka dapat dengan mulus memenangkan mayoritas kaum buruh serta elemen-elemen yang paling jujur di antara para pemimpin sosial demokrat, mengisolasi dan membuang para pengejar karir yang korup. Hasrat untuk mencari “jalan pintas” yang secara efektif mencegah Partai Komunis dari tindakan seperti ini.
Pemerintahan buruh yang baru di Hungaria memiliki serangkaian keuntungan-keuntungan yang penting. Revolusi, bertentangan dengan semua argumen yang selalu diajukan oleh kaum reformis tentang kekerasan, seluruhnya terjadi tanpa pertumpahan darah. Kaum borjuasi terlalu terdemoralisasi dan terguncang untuk bisa menawarkan perlawanan. Rakyat tidak diragukan mendukung pemerintah baru ini, tidak hanya kaum buruh dan petani miskin, tetapi juga, tidak seperti di Rusia, mayoritas kaum intelektual yang, sebagian karena tradisi-tradisi nasional-revolusioner yang lama, mendukung revolusi tersebut.
Di lain pihak, Republik Buruh Hungaria lahir pada momen kritis dalam kehidupan imperialisme dunia. Pondasi dari sistem ini sedang runtuh di bawah pukulan palu revolusi. Tahun 1919 adalah tahun yang sangat menentukan dalam sejarah umat manusia. Setelah pergolakan revolusioner di Berlin pada bulan Januari, Austria memasuki tahap gejolak revolusioner. Sebuah republik soviet yang pendek umurnya diproklamirkan di Bavaria.
Di Perancis, suatu periode demobilisasi disertai dengan ketegangan yang ekstrem. Di Inggris, gerakan buruh dan Triple Alliance berada pada puncaknya. Ada perjuangan untuk tuntutan 40-jam-kerja dan gerakan “Hands Off Rusia”, pemberontakan di dalam angkatan bersenjata dan pemberontakan di Clyde.
Sepanjang tahun ini terjadi gerakan-gerakan pemogokan besar di Belanda, Norwegia, Swedia, Yugoslavia, Rumania, Cekoslowakia, Polandia, Italia dan bahkan Amerika Serikat. Dengan kebijakan dan orientasi yang tepat, revolusi Hungaria dapat membawa api pemberontakan ke dalam jantung Eropa, sebagaimana diketahui dengan baik oleh para ahli strategi imperialisme .
Tragisnya, para pemimpin kaum Komunis Hungaria melakukan serangkaian kesalahan yang secara efektif menutup takdir revolusi. Sebagaimana yang telah ditunjukkan, partai tersebut memiliki posisi yang sepenuhnya salah mengenai masalah tanah. Ini sekarang diangkat ke dalam praktik. Dari sembilan juta penduduk republik Soviet Hungaria, 4,4 juta bekerja di ladang. Ada 5.000 pemilik tanah besar (1% dari total), yang memiliki tanah lebih banyak daripada 99% lainnya. Ada sejuta “kaum proletar pedesaan”; sekitar 700.000 keluarga petani kecil; lebih dari 100.000 petani menengah (11,7% dari total) dan sekitar 70.000 rumah tangga kulak (8% dari total). Sebuah kebijakan agraria yang tepat bisa dan akan menggiring mayoritas besar petani ke sisi revolusi.
Di Rusia, UU mengenai tanah merupakan salah satu UU pertama yang dikeluarkan oleh kaum Bolshevik segera setelah mengambil kekuasaan. Di Hungaria ini memakan waktu dua minggu bagi pemerintah baru untuk menerbitkan UU tanah – waktu yang lama dalam situasi revolusioner, yang memberikan elemen-elemen kontra-revolusioner di desa-desa kesempatan emas untuk menyebarkan rumor yang menggelisahkan dan propaganda anti-sosialis. Lebih buruk lagi, ketidaksabaran ultra-kiri dari kaum Komunis Hungaria mengakibatkan sebuah aborsi dalam reformasi agraria.
Bela Kun dan kawan-kawannya melihat masalah petani dengan pandangan “ekonomi” yang sempit. Mereka tidak memahami sifat dialektika mengenai hubungan antara kaum proletar dan kaum tani dan memandang curiga kebijakan pendistribusian tanah kepada kaum tani yang dilakukan oleh kaum Bolshevik Rusia, yang dalam jangka pendek memperkuat perkembangan elemen-elemen pemilik properti kecil di desa-desa, tetapi berhasil menggembleng massa petani miskin ke bawah panji-panji revolusi sosialis. “Tibor [Szamuely] dan saya,” tulis Bela Kun setelah kekalahan revolusi, “percaya bahwa kebijakan agraria kita lebih cerdas daripada kebijakan Bolshevik Rusia, karena kami tidak membagi perkebunan-perkebunan besar di antara para petani, tetapi membentuk produksi sosialis, mendasarkan diri kita pada kaum pekerja di pedesaan dan tidak mengubah mereka menjadi musuh-musuh proletariat karena kita tidak mengubah mereka menjadi pemilik tanah.”
Ketidaksabaran dan impresionisme dari para pemimpin Partai Komunis menyebabkan mereka untuk membesar-besarkan dan mengidealkan unsur-unsur “kesadaran sosialis” di antara kaum tani Hungaria, seperti yang dilakukan oleh kaum Narodnik Rusia pada abad sebelumnya. Tibor Szamuely menunjukkan ilusi-ilusi ini pada satu pertemuan di Rusia pada Mei 1919 dalam sebuah pidato yang dilaporkan dalam Izvestia pada tanggal 5 Mei:
“Gagasan pengorganisasian komune-komune memperoleh simpati yang sangat besar. Di antara kaum tani Hungaria tidak ada kelompok-kelompok yang akan menentang gagasan ini.” (Penekanan kami – AW)
“Sosialisme Sekarang”
Pada kenyataannya, kaum tani, karena seluruh modus eksistensinya dan perannya dalam produksi, merupakan kelas sosial paling tidak mampu mengembangkan kesadaran kolektif. Beberapa kaum Komunis Hungaria tampaknya memahami kenyataan ini lebih baik daripada Bela Kun. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan dalam edisi pertama dari Komunis International, Laszlo Rudas menunjukkan bahwa kaum tani miskin dan menengah “pada dasarnya tidak peduli pada nasib kediktatoran proletariat.”
Namun observasi ini hanyalah benar secara relatif. Mengapa kaum tani miskin dan menengah Rusia peduli terhadap nasib Negara buruh Rusia? Karena kaum Bolshevik Rusia telah mendistribusikan tanah kepada para petani, mereka tahu bahwa, dalam mempertahankan Negara buruh mereka mempertahankan bidang-bidang tanah mereka melawan pemilik tanah besar yang didukung tentara Putih. “Kesadaran sosialis” tidak masuk di dalamnya.
Namun kaum Bolshevik, yang dipimpin oleh Lenin dan Trotsky, menggunakan secara terampil masalah tanah untuk memenangkan berjuta-juta massa petani ke sisi revolusi sosialis. Jauh dari menciptakan musuh-musuh dari kaum tani, kebijakan agraria Bolshevik mengubah mereka menjadi pembela-pembela revolusi yang antusias. Tanpa aliansi ini, Bolshevik tidak akan bertahan lebih lama daripada Republik Soviet Hungaria.
Posisi dari para pemimpin Sosial Demokrat mengenak masalah ini tidaklah lebih baik, tetapi malah lebih buruk daripada Bela Kun. Nepszava, sebuah organ dari partai persatuan ini, yang dikontrol oleh kaum Sosial Demokrat menulis: “Kami bisa bangga mengenai solusi untuk masalah agraria … Kami mampu menyelesaikan masalah ini berkat keadaan yang menguntungkan. [!] Di negara kami, produksi sosialis di sektor pertanian bukanlah sebuah utopia. Sebagian besar tanah pertanian telah diserahkan ke produksi kolektif.” (6 Juni 1919)
Dalam prakteknya, kaum birokrat konservatif ini secara alami takut terhadap inisiatif massa apapun. Bagi elemen-elemen ini, gagasan yang dikemukakan oleh Marx dan Engels, dan yang dipraktekkan oleh kaum Bolshevik, tentang “edisi kedua dari Perang Tani” sebagai senjata pelengkap dari revolusi proletar, adalah sesuatu yang mereka benci. Bersembunyi di balik para pemimpin Partai Komunis mereka memberikan dukungan mereka terhadap kolektifisasi, bukan karena antusiasme revolusioner apapun, tetapi untuk menghindari “kekacauan” di desa-desa.
Mereka melaksanakan reformasi agraria dengan cara yang paling birokratik, merampas setiap konten dan daya tarik revolusioner dari reforma agraria. Dalam hati mereka, kaum Sosial Demokrat menentang penyitaan tanah – dalam tahun-tahun-tahun berikutnya Count Karolyi sendiri mengungkapkan bahwa gagasan reformasi agraria telah ditentang tidak hanya oleh tuan tanah dan Gereja, tetapi juga oleh para pemimpin SDP. Hasilnya adalah sebuah aborsi. “Para Komisar Produksi” dijadikan pemimpin pertanian-pertanian kolektif. Dalam banyak kasus, mereka tidak lain adalah pemilik tanah sebelumnya. Dia tinggal di rumah lamanya, dan petani terus memanggilnya sebagai “tuan”.
Bagaimana mungkin situasi seperti ini membuat perasaan yang responsif dalam hati para petani miskin dan buruh tani? Sejauh yang mereka bisa lihat, secara fundamental tidak ada yang berubah dari sebelumnya. Hal ini menjelaskan ketidakpedulian kaum tani miskin dan menengah akan nasib revolusi.
Kaum miskin desa tidak yakin dengan situasi yang baru, yang sangat mirip dengan apa yang ada sebelumnya, meskipun namanya telah berubah. Para pemilik pertanian kecil tersebut curiga terhadap niat pemerintah dan mudah sekali dipengaruhi oleh propaganda dari para petani kaya serta para tuan tanah bahwa pemerintah hendak menasionalisasi tanah mereka juga. Sedangkan kebijakan Lenin telah berhasil memisahkan para petani kecil dari para petani kaya, kebijakan Bela Kun “yang lebih cerdas” hanya berhasil menyatukan petani kecil dan petani kaya dalam blok yang memusuhi dan menentang revolusi.
Kegagalan dalam kebijakan agraria memiliki dampak yang serius di bidang lain. Pemerintah, sadar akan permusuhan atau ketidakpedulian dari mayoritas petani, tidak merasa cukup percaya diri untuk melakukan rekuisisi gabah, seperti yang telah dilakukan kaum Bolshevik di Rusia. Hal ini menyebabkan kesulitan yang serius dalam menyuplai kota-kota dan Tentara Merah dengan makanan dan pakaian dalam bulan-bulan kritis yang menyusul. Ini merupakan satu kesalahan yang fundamental.
Dalam bulan-bulan berikutnya, pemerintah, daripada mengkonsentrasikan seluruh usahanya untuk memperluas basis dukungannya dan melancarkan serangan yang tegas terhadap kelompok-kelompok kontra-revolusioner, malah membuang-buang enerjinya pada hal-hal sekunder. Di bawah tekanan yang terus-menerus dari Lenin, delapan jam kerja dalam sehari diperkenalkan bersama-sama dengan sejumlah reforma praktis untuk meningkatkan standar hidup rakyat.
Tapi banyak waktu yang terbuang untuk berbagai parade, pidato dan perayaan. Pada saat kekuatan-kekuatan reaksi tengah berkumpul di perbatasan dan di dalam Hungaria, para menteri menjeburkan diri ke dalam seribu satu proyek-proyek kultural. Lenin merasa berkewajiban untuk menegur Laszlo Rudas mengenai keserampangan para pemimpin Partai Komunis Hungaria:
“Kediktatoran [proletariat] macam apa ini, mensosialisasikan teater-teater dan kelompok-kelompok musikal? Apakah anda benar-benar berpikir bahwa ini adalah tugas yang paling penting sekarang?” (Szabad NEP, 21 Januari, 1949)
Republik Soviet Hungaria, yang telah menaklukkan kekuasaan dengan begitu mudah, kini menemukan dirinya dalam posisi lemah untuk melawan serangan reaksi. Pemerintahan dibentuk dari 13 anggota, hanya empat orang yang merupakan kaum Komunis. Mereka meniru semua bentuk eksternal dari Revolusi Rusia (yang telah diperingatkan oleh Lenin), termasuk pembentukan sebuah inspektorat kaum tani, dan bahkan memberi Lenin gelar “Presiden Terhormat” dari soviet Budapest! Di sisi lain, Tentara Merah, yang didirikan dengan dekrit pada tanggal 30 Maret sesungguhnya hanya tentara lama di bawah nama baru, diletakkan di bawah kontrol Pogany, seorang kaum Sosial Demokrat, dan dikelola oleh perwira-perwira dari rezim sebelumnya. Sebagian besar para komisaris di dalam angkatan bersenjata adalah kaum Sosial Demokrat, termasuk komisaris utama, Moor.
Milisi Merah memasukkan seluruh detasemen polisi lama. Dengan cara ini, daripada sepenuhnya menghancurkan aparatus negara lama, unsur-unsur utama dari negara lama dilestarikan di bawah nama baru. Hanya secara perlahan-lahan tentara dan milisi dibersihkan dari elemen-elemen reaksioner lama. Sementara itu, waktu tak ternilai harganya terbuang dalam perang melawan reaksi.
Dalam 133 hari keberadaannya, republik Soviet mengeluarkan tidak kurang dari 531 dekrit. Jika revolusi dapat dimenangkan dengan kertas, kaum pekerja Hungaria tidak akan pernah kalah. Sialnya bagi Bela Kun, kaum reaksioner bertempur dengan peluru yang sesungguhnya, bukan dengan kertas.
Juga dalam front ekonomi, ketidaksabaran dari para pemimpin Partai Komunis mengakibatkan masalah besar. Setelah revolusi Oktober Bolshevik hanya menasionalisasi bank-bank dan industri-industri besar. Ini sudah cukup untuk mengkonsentrasikan seluruh tuas-tuas fundamental ekonomi ke tangan negara buruh dan tugas-tugas yang lebih kompleks untuk mengintegrasikan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah ke sektor yang telah dinasionalisasi bisa berlangsung dengan lebih lambat, dengan kecepatan yang lebih teratur.
Namun, keinginan Bela Kun untuk “lebih hebat” dari kaum Bolshevik, menyebabkan Negara buruh Hungaria menasionalisasi, tanpa kompensasi, semua bisnis dengan lebih dari 50 karyawan lima hari setelah berkuasa. Ini mencoba melakukan terlalu banyak, terlalu cepat, di sebuah negara terbelakang di mana industri skala besar masih mewakili sektor yang relatif kecil.
Bahkan, dalam waktu satu bulan, tidak kurang dari 27.000 bisnis-bisnis yang dinasionalisasi, banyak dari bisnis-bisnis tersebut memiliki kurang dari dua puluh pekerja. Memang benar bahwa inisiatif nasionalisasi ini biasanya datang dari kaum pekerja itu sendiri. Pemerintah dibanjiri dengan tuntutan dari kaum pekerja yang meminta untuk diambil alih. Bahkan pembuat rambut palsu ingin dinasionalisasi.
Tetapi gagasan dari para pemimpin Partai Komunis Hungaria untuk memperkenalkan “sosialisme sekarang juga” tanpa mempertimbangkan masalah transisi dari kapitalisme ke sosialisme menimbulkan kesulitan yang serius. Tanpa persiapan yang memadai dan pengembangan teknologi yang cukup, nasionalisasi ribuan usaha kecil adalah bunuh diri dan membawa dislokasi ekonomi yang cukup besar. Langkah-langkah seperti pengambil alihan seluruh taksi yang didekritkan di Budapest dan kota-kota lainnya tanpa melihat jumlah karyawan membuat gusar seksi-seksi penting dari kelas menengah, produsen kecil dan pengrajin.
Kesalahan yang dilakukan oleh kaum Komunis Hungaria secara serius melemahkan revolusi dalam menghadapi ancaman yang tumbuh dari kekuatan reaksi. Kekuatan-kekuatan imperialis, yang bertemu di Konferensi Perdamaian Paris, memahami betul bahaya yang ditimbulkan oleh “masalah Hungaria”. Kemungkinan intervensi bersenjata diajukan. Tetapi kelemahan imperialisme pada saat itu terungkap oleh ketidakmampuan mereka untuk campur tangan secara langsung terhadap revolusi Hungaria.
Alih-alih Inggris, Perancis dan imperialis Amerika Serikat terpaksa mengandalkan jasa dari borjuasi Ceko, Rumania dan Perancis untuk melakukan pekerjaan kotor mereka. Pada tanggal 16 April pemerintah Rumania melancarkan serangannya, yang segera menunjukkan kelemahan dan ketidaksiapan Republik Soviet Hungaria. “Tentara Merah”, yang terdiri atas tentara dan perwira rezim lama luluh lantak, sejumlah seksi membelot ke pihak musuh.
Intervensi-intervensi Imperialisme
Tentara Rumania menembus masuk ke dalam wilayah Hungaria tanpa menemui perlawanan yang serius. Untuk memperkuat serangan, Serbia, disemangati oleh Sekutu, menyerang Hungaria selatan, sementara borjuis “demokratis” Ceko juga ikut bergabung, menyerang di wilayah Barat dengan pasukan yang dipimpin oleh para perwira Perancis dan Italia.
Times tanggal 7 Mei 1919 menyuarakan tujuan kaum imperialis yang menuntut penyerahan Hungaria, pelucutan senjata Tentara Merah, dan pengunduran diri pemerintah serta pendudukan negara oleh pasukan Sekutu. Pada saat tanda bahaya yang pertama, kaum Sosial Demokrat di pemerintah sudah ingin menyerah. Wilhelm Bohm, salah satu pemimpin utama SDP, dan mantan kepala Tentara Merah, sudah menyusun rencana menyerah.
Aksi-aksi yang meruntuhkan semangat dari para pemimpin buruh sayap kanan ini melumpuhkan pemerintahan tersebut pada saat yang menentukan. Tidak diragukan lagi, bila semua masalah dibiarkan di tangan mereka, Budapest akan diduduki oleh kaum Putih tanpa perlawanan.
Namun, kaum proletar di Budapest yang heroik sekali lagi mengambil kendali, memaksa pemerintah untuk mengubah arah. Dalam seluruh rangkaian pertemuan massa, kaum pekerja mengabaikan permintaan dari Bohm dan perwira lain serta memilih untuk melawan. Iuran digalakkan di seluruh pabrik-pabrik besar dan barisan-barisan buruh dikirim dari distrik-distrik buruh ke garis depan. Dalam beberapa hari, berkat inisiatif yang luar biasa dari kaum pekerja, ribuan relawan bergabung dengan Tentara Merah – buruh pabrik, buruh kereta api, juru tulis, tukang pos, office boy, yang mengubah seluruh situasi dalam waktu 24 jam.
Tentara Merah diorganisir di atas basis yang baru. Dan pada tanggal 2 Maret kaum pekerja di Budapest berhasil mendesak mundur pasukan penyerang sepanjang garis pertempuran. Dalam kampanye yang brilian selama tujuh hari ini, Tentara Merah kaum proletar bergerak dari bertahan ke menyerang, merebut kembali kota-kota dan desa-desa dari musuh, menghadapi lawan yang sangat tangguh.
Tentara Ceko terlempar ke dalam kepanikan karena serangan ini. Wilayah luas dari Slowakia dibebaskan, dan pada tanggal 16 Juni, sebuah republik Soviet Slovakia diproklamirkan.
Akan tetapi, pengerahan tenaga yang heroik dari kaum pekerja Hungaria terus-menerus dirongrong oleh para pemimpin SDP dalam pemerintahan, yang kini memulai kampanye sistematis mengkritik dugaan-dugaan “metode keras” dan “kekejaman yang berlebihan”. Dalam kenyataannya, tidak seorang pun bisa menuduh kaum pekerja Hungaria melakukan kekejaman yang membabi buta. Justru sebaliknya.
Revolusi Hungaria sudah terlalu sabar dengan musuh-musuhnya, dan sekarang harus membayar harga yang mahal. Menolak “tindakan-tindakan keras” di tengah-tengah perang sipil yang berdarah dan mengerikan sama saja dengan menyerah kepada musuh. Bahkan pemerintahan borjuis parlementer yang paling demokratis pun tidak akan membiarkan propaganda yang melemahkan di saat perang. Namun kaum pekerja Hungaria harus bertempur di dua front: melawan kelas musuh secara terbuka di garis depan dan agen-agen musuh yang munafik yang sedang berusaha keras merongrong upaya-upaya perang dari posisi kunci dalam pemerintahan itu sendiri.
Terlalu terlambat, para pemimpin Partai Komunis dalam menyadari kesalahan mengenai penyatuan. Bela Kun menggerutu tentang kaum Sosial Demokrat dan mengisyaratkan perlunya perpecahan pada saat dimana suatu persatuan yang kokoh dan ketegasan kepemimpinan diperlukan untuk melawan perang. Pemerintah dipenuhi perpecahan. Kaum Sosial Demokrat menguasai mayoritas dari semua lembaga-lembaga terkemuka dari partai “persatuan”, dengan sedikit sekali pengecualian. Mereka mengendalikan “Dewan Pemerintah Revolusioner”nya.
Kaum pengejar karir ini, yang telah mendukung “kediktatoran proletariat” guna mengamankan posisi mereka, sekarang memutuskan untuk tidak mendukung pihak yang kalah, dan sedang sibuk “memperbaiki hubungan” dengan pihak lain. Mereka berusaha sebisa mungkin memisahkan diri mereka dari “kaum Bolshevik” yang akan mereka salahkan untuk keseluruhan peristiwa ini, dan untuk membaharui lagi kredensial mereka sebagai politisi borjuis “demokratis” yang benar-benar tidak bermaksud jahat dan berpartisipasi dalam revolusi dalam rangka untuk “menghindari ekses-ekses” dan memastikan semuanya ada dalam kendali.
Perpecahan dengan kaum Sosial Demokrat tidak terjadi karena para pemimpin Partak Komunis, kendati tekanan dari Komunis Internasional untuk melawan para pemimpin SDP secara terbuka, goyah dan mundur di bawah tekanan.
Aktivitas SDP dalam pemerintahan telah memberikan lampu hijau bagi imperialisme. Atas inisiatif Presiden Wilson, sang “jawara Rakyat”, Konferensi Perdamaian Paris, yang sekarang benar-benar khawatir akan keberhasilan Tentara Merah, mengirim ultimatum lebih lanjut ke Budapest pada pada tanggal 8 Juni, menuntut penghentian serangan Tentara Merah dan mengundang Pemerintah Hungaria ke Paris untuk “mendiskusikan perbatasan Hungaria.” Catatan tersebut disertai dengan ultimatum kedua, mengancam penggunaan kekuatan jika syarat-syarat ini tidak diterima.
Ultimatum baru ini digunakan oleh Bohm dan kawan-kawannya untuk meluncurkan kampanye baru untuk “perdamainan dengan ongkas apapun.” Di bawah tekanan, Bela Kun kembali mengulur-ulur dan menganjurkan gencatan senjata. Pada tanggal 18 Juni, Lenin mengirim telegram yang mana ia menjelaskan bahwa walaupun bernegosiasi dengan Sekutu, dalam dan dari dirinya sendiri, merupakan sebuah taktik yang tepat untuk mendapatkan ruang bernapas, tidak ada kepercayaan apa pun yang dapat ditempatkan dalam Sekutu dan dalam tawaran perdamaian mereka. Dalam kenyataannya, tidak ada jaminan sedikit pun bahwa janji-janji sekutu akan dipenuhi bila ultimatum diterima.
Dengan tentara-tentara asing yang masih berada di tanahnya, revolusi diminta untuk melucuti dirinya atas dasar kekuatan secarik kertas. Namun pada tanggal 26 Juni, perundingan dimulai, dan Tentara Merah mulai menarik diri.
Ada momen-momen psikologis yang menentukan dalam sejarah revolusi, seperti dalam pemogokan. Penyerahan posisi kemenangan yang sudah diperoleh dengan susah payah tanpa suatu perlawanan mempunyai dampak celaka pada Tentara Merah. Republik Soviet Slovakia yang bernasib malang diserahkan ke tangan musuh-musuhnya. Semangat kaum pekerja dan petani mengalami pukulan. Lenin telah memperingatkan terhadap bahaya ilusi dalam “niat baik” Sekutu, dan sekarang rakyat Hungaria terjungkir jatuh ke dalam perangkap. Sebagaimana kemudian Bela Kun sendiri mengakui:
“Kami tidak menjawab maneuver-manuver Clemenceau dengan konter-manuver. Kami tidak berupaya mengulur waktu dengan memperpanjang negosiasi. Kami bahkan tidak mencoba untuk memaksa mereka menerima negosiasi-negosiasi semacam itu, tapi hanya melaksanakan semua yang mereka minta, tanpa sedikit jaminan apapun, tanpa memperhitungkan kemungkinan disintegrasi tentara bila kita mundur.”
Pemerintahan Teror
Nasib dari revolusi Hungaria sekarang telah terkunci. Pada tanggal 24 Juni ada percobaan pemberontakan kontra-revolusioner di Budapest yang dipimpin oleh kelompok yang menamakan dirinya “Sosial Demokrat Nasional”, yang dikalahkan dalam waktu 24 jam. Pada tanggal 20 Juli, Clemenceau mengeluarkan pernyataan lebih lanjut, yang menyatakan bahwa pemerintah Hungaria “tidak berkompeten untuk bernegosiasi” dan menuntut pembentukan pemerintahan baru yang tidak mengikutsertakan Partai Komunis dan terdiri dari “para pemimpin buruh yang bertanggung jawab.” Para pemimpin SDP bersemangat menerima tuntutan tersebut, seperti yang sudah bisa diduga.
Sebelumnya mereka melindungi diri di belakang Partai Komunis, tapi sekarang pendulum sudah berayun ke arah lain dan Bela Kun serta kawan-kawannya sudah tidak berguna lagi. Di sini sekali lagi, para pemimpin Partai Komunis memperlihatkan kenaifan dan kebingungan yang ekstrem. Alih-alih melakukan perlawanan untuk mengekspos manuver dari para pemimpin SDP (yang, kebetulan, secara langsung berhubungan dengan militer Prancis, Inggris, Italia dan AS di Budapest), mereka akhirnya setuju untuk mengundurkan diri “demi mencegah pertumpahan darah yang tidak berguna.”
Sebuah kudeta telah terjadi tanpa melepas satu tembakan pun. Para pemimpin buruh “yang bertanggung jawab” ini memusatkan semua kekuasaan di tangan mereka dengan maksud untuk menyerahkan kembali kekuasaan secepat mungkin kepada tuan tanah dan kapitalis.
Dengan episode ini, kontra-revolusi sudah tidak dapat terelakkan. Pemerintahan Sosial Demokrat tergesa-gesa membatalkan seluruh kebijakan-kebijakan yang dilahirkan oleh revolusi. Perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi diserahkan kembali ke pemilik lama. Pencapaian-pencapaian kaum pekerja dan petani dihapus. Banyak anggota Partai Komunis yang ditangkap, sedangkan elemen-elemen kontra-revolusioner dibebaskan dari penjara. Dalam kebutaan reformisnya, para pemimpin buruh sayap kanan membayangkan bahwa aksi-aksi ini akan membuatnya dicintai kaum Putih dan memungkinkannya untuk membuat perdamaian mereka dengan reaksi yang tengah berjaya. Ilusi yang sia-sia! Pada tanggal 6 Agustus, pemerintah baru itu sendiri digulingkan oleh segelintir petualang militer. Disorientasi dan tidak ada pemimpin, kaum proletar yang heroik di Budapest tidak berdaya untuk memberikan perlawanan.
Dengan masuknya tentara Rumania ke Budapest, sebuah pemerintahan teror mulai melawan kelas pekerja Hungaria. Para tuan tanah dan kapitalis membalas dendam atas ketakutan yang pernah mereka alami dengan tanpa memikirkan atau mempertimbangkan “tindakan zalim yang kejam.” Tentara Merah yang terluka diseret dari rumah sakit dan dibunuh. Kaum Putih menggunakan cara yang paling barbar, model penyiksaan abad pertengahan, 5.000 orang kehilangan nyawa dalam periode ini. Dan para Pontius Pilatus “gradualisme”, para pemimpin buruh reformis yang dengan keras telah memprotes “ekses-ekses” dari kaum pekerja dan petani itu kini memandang ke arah lain, membenarkan pembunuhan dan penindasan dalam cara yang paling pengecut untuk mempertahankan pekerjaan dan hak-hak istimewa mereka.
Kekalahan Revolusi Hungaria tahun 1919 merupakan pukulan berat bagi kelas pekerja internasional. Revolusi Rusia tetap terisolasi di sebuah negara yang terbelakang, dan fakta ini menentukan degenerasi-degenerasi selanjutnya dari negara buruh pertama di dunia. Namun kekalahan ini bukanlah sesuatu yang tidak terelakkan. Meskipun sulit mempertahankan sebuah negara kecil tanpa pertahanan yang kuat, sebuah kebijakan yang benar dapat memberikan hasil yang berbeda. Khususnya kegagalan untuk mengadopsi sebuah kebijakan agraria yang tepat berarti bahwa Revolusi Hungaria tidak memiliki daya tarik bagi para serdadu tani dari Rumania, Ceko dan Serbia. Namun kemungkinan ini ada. Ketika itu, batalion tentara Rumania ke-4, 9, dan 161 sudah menolak untuk menyerang. Selama perang ada pemogokan-pemogokan besar dari kaum pekerja Rumania di Ploesti, Bukares, dll. Selama perang tersebut koran Austria Deutsche Volksblatt melaporkan kekecewaan dan ketidakpuasan di antara pasukan penyerang:
“Dalam pasukan Rumania dan Ceko ada ketidakdisiplinan yang begitu nyata, dan ide-ide Bolshevik tersebar di tengah-tengah mereka, yang dinyatakan oleh sebuah fakta bahwa gerakan buruh dan tani Bessarablia telah berbalik melawan pemerintah Rumania.”
Sekitar 8.000 pasukan Ceko juga menolak untuk melawan dan secara massal melarikan diri dari Carpathia ke Galitsia dimana mereka ditahan oleh Polandia. Ada juga beberapa kasus fraternisasi di garis depan Yugoslavia. Semua ini menunjukkan apa yang mungkin terjadi jika kaum Komunis Hungaria mengejar kebijakan-kebijakan yang tepat dalam revolusi.
Hari ini, 60 tahun kemudian, kendati semua kesalahannya, pengalaman singkat dari republik Soviet Hungaria merupakan sumber inspirasi bagi seluruh kaum sosialis dan kaum pekerja yang sadar. Hanya dengan menganalisa kesalahan di masa lalu maka kita akan bisa mendidik generasi sekarang dan menyiapkannya untuk tugas-tugas pada periode mendatang yang akan terjadi sekali lagi di gerakan buruh Inggris dan internasional.