Seperti ritual, menjelang lebaran harga barang-barang selalu naik. Di sana-sini terdengar keluhan. Koran penuh dengan berita-berita kenaikan harga: daging naik, beras naik, minyak naik. Yang tidak naik hanya satu, gaji buruh. Presiden dan menteri-menteri berjanji stok barang akan terjamin. Para pejabat berlomba-lomba menganjurkan pedagang tidak menaikkan harga.
Kalau harga naik, salah siapa? Salah lebaran kata satu orang. Salah pedagang yang ingin cari untung kata satu orang lagi. Tidak ada yang salah, ini biasa kata Menteri Perdagangan kita.
Kata orang-orang pintar, ini hukum ekonomi. Permintaan naik, maka harga naik. Permintaan turun, maka harga turun. Penawaran (suplai) naik, harga turun. Penawaran turun, harga naik. Hukum permintaan dan penawaran ini katanya adalah hukum yang paling absolut. Ini hukum kapitalisme yang tidak bisa diganggu gugat. Kodratnya sudah begitu. Seperti matahari yang terbit pagi hari dan terbenam sore hari, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Kalau begitu, sesuai dengan hukum ekonomi ini, kalau produksi barang ditingkatkan menjelang puasa, maka harga akan stabil. Bukankah setiap tahun kita semua tahu bahwa permintaan akan naik saat lebaran? Dan kita tentunya bisa mempelajari berapa banyak kenaikan permintaan ini setiap tahunnya sehingga bisa disesuaikan dengan penawaran (produksi). Dengan merencanakan produksi dan suplai, maka seyogyanya harga bisa dikendalikan supaya tidak naik. Tapi yang punya alat produksi (pabrik minyak, kebun sawit, peternakan sapi, dsb.) tidak mau dan tidak mampu merencanakan produksinya sesuai kebutuhan rakyat. Karena mereka yang punya alat-alat produksi, maka mereka yang punya hak untuk melakukan apa yang mereka kehendaki. Tidak ada yang bisa menghalangi hak mereka yang sakral ini. Hak kepemilikan pribadi mereka lebih penting daripada hak rakyat untuk menikmati lebaran tanpa kenaikan harga.
Sementara waktu, dari tahun ke tahun, operasi pasar pemerintah selalu gagal mencegah kenaikan harga. Salah manajemen, korupsi, pencatutan, semua ini tumpang tindih membuat operasi apapun dari pemerintah kita selalu menemui kegagalan. Selain itu, intervensi pemerintah yang setengah-setengah tidak akan pernah mampu meredam binatang buas yang disebut kapitalisme ini. Kapitalisme adalah satu sistem ekonomi yang berdasarkan pasar bebas. Produksi dan distribusi “direncanakan” berdasarkan laba dan bukan berdasarkan kebutuhan rakyat. Kalau harga naik, maka ini adalah kehendak pasar, begitu bela para pengusaha dan pedagang yang pada saat yang sama kecipratan laba besar saat harga naik. Harga naik salah siapa? Salah pasar, bukan salah siapa-siapa ujar para pengusaha.
Tidaklah sulit untuk merencanakan produksi dan distribusi guna mengendalikan harga. Begitu banyak orang pintar berdasi dan bertitel, tentunya mereka tahu caranya. Tapi, tidak usah kita mengandalkan mereka karena buruh pun bisa mempelajari dengan mudah perencanaan ekonomi. Bukankah kita-kita buruh yang bekerja di pabrik dan memproduksi barang-barang? Bukankah kita-kita buruh juga yang pergi ke pasar? Kita yang memproduksi, kita yang mengkonsumsi, tentunya kita bisa merencanakan ekonomi ini supaya harga tidak naik saat lebaran, supaya harga sesuai dengan penghasilan kita. Tetapi kita tidak akan pernah bisa mengendalikan apa yang tidak kita miliki. Kita tidak akan bisa mengendalikan produksi dan distribusi kalau semua ini masih ada di tangan segelintir pengusaha besar.
Ambil alih produksi dan distribusi, dan taruh mereka di bawah kendali buruh. Inilah solusi yang sesungguhnya. Harga naik salah siapa? Salah kapitalisme, begitu seharusnya kita-kita buruh menjawab dengan lantang.