Sekali kita berbicara tentang petani dan menghubungkannya dengan revolusi sosialis, saat itu juga kita menyadari betapa kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Betapa tidak! “Klas” yang kita namakan “petani” tidak mempunyai posisi yang sama dalam hubungannya dengan alat-alat produksi. Dalam kaitan dengan sisa-sisa feodalisme, kita menjumpai para tuan tanah di satu pihak dan petani penggarap di pihak lain. Dalam kaitan dengan kapitalisme, kita menjumpai kapitalis pertanian di satu sisi dan buruh tani (istilah Tan Malaka: proletar tanah) di sisi lain. Di samping itu kita juga berjumpa dengan lapisan burjuis kecil di kalangan petani, yakni petani gurem dan petani menengah.
Tuan tanah adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar dan menyewakannya kepada para penggarap.
Kapitalis pertanian adalah orang yang memiliki tanah berhektar-hektar dan menjadikannya lahan-lahan agrobisnis (para kapitalis pertanian).
Petani gurem adalah orang yang hanya memiliki dan menggarap sejengkal tanah untuk mempertahankan hidup.
Petani penggarap adalah orang yang menyewa dan menggarap tanah orang lain, dengan hasil “bersih” yang hanya bisa digunakan untuk menyambung hidup.
Buruh tani adalah orang yang menjual tenaga mereka kepada para kapitalis pertanian dan bekerja di lahan-lahan agrobisnis mereka, demi sepeser upah yang hanya bisa digunakan untuk bertahan hidup.
Petani menengah (farmer) adalah orang yang memiliki lahan yang diandalkan untuk menghasilkan panenan yang bisa “dilempar” ke pasar hasil-hasil pertanian namun sangat bergantung pada kebijakan pemerintah terhadap pasar tersebut.
Nampaknya jelas, secara sosiologis petani memiliki banyak “entitas” atau wujud. Masing-masing entitas tentu memiliki kepentingan-kepentingan ekonomi-politiknya sendiri. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan serius tentang peran petani dalam proyek pembebasan yang kita namakan revolusi sosialis. Entitas manakah dari kalangan petani yang akan melaksanakan peran progresif dalam revolusi sosialis? Lantas peran revolusioner apakah yang bisa dilaksanakannya?
Dari pemetaan di atas kita menemukan setidaknya tiga hal:
Pertama, eksploitasi (penghisapan) secara langsung dan vulgar terjadi di antara tuan tanah dan kapitalis pertanian di satu sisi dan petani penggarap dan proletar tanah di sisi lain. Dengan kata lain, tuan tanah dan kapitalis pertanian adalah kaum penghisap, sedangkan petani penggarap dan buruh tani adalah kaum yang terhisap.
Kedua, petani gurem dan petani menengah tidak mengalami penghisapan secara langsung dan vulgar, tetapi menjadi pihak yang selalu kalah. Petani gurem berusaha bertahan hidup dengan menggulati tanah yang hanya sejengkal, “kemurahan” alam, dan hama, dengan perkakas pertanian yang sederhana serta dibebani harga pupuk, tengkulak, dan rentenir. Kekalahan dalam pergulatan itu akan membuatnya menjadi buruh tani atau pergi mencari pekerjaan di kota dengan kemungkinan menjadi buruh, kuli bangunan, pengayuh becak, atau malah Lumpenproletariat.
Petani menengah berusaha mengembangkan perekonomiannya di hadapan tantangan alam dan hama di satu sisi serta kapitalis pertanian di sisi lain. Sehubungan dengan tantangan alam dan hama, serta harga pupuk, tengkulak, dan rentenir petani menengah relatif lebih kuat daripada petani gurem. Tapi ketika berhadapan dengan kapitalis pertanian, yang bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap pasar, petani menengah tidak berdaya. Padahal kekalahan dalam pertarungan dengan kapitalis pertanian akan berdampak pada kemampuannya dalam menghadapi “musuh-musuh” yang pertama. Bila cukup beruntung, ia bisa bertahan untuk sejurus waktu lamanya. Bila tidak, ia akan terhempas dan menjadi petani gurem bahkan bangkrut dan menjadi buruh tani. Bila cukup “cerdik”, dan pada saat yang sama si kapitalis pertanian “berbaik hati”, petani menengah akan menginduk pada si kapitalis pertanian, menjadi mitra yunior si kapitalis pertanian, dan menjadi kaum yang dieksploitasi namun hampir pasti menerima tetesan-tetesan berkat dari si kapitalis pertanian.
Ketiga, semua entitas atau wujud dari kalangan petani mempunyai hubungan yang langsung, kendati beragam, dengan tanah. Bagi para tuan tanah, kapitalis pertanian, dan petani menengah, fungsi utama tanah adalah untuk mendatangkan profit (keuntungan). Sedangkan bagi para petani gurem, petani penggarap, dan buruh tani, fungsi utama tanah adalah subsistensi, yakni untuk mempertahankan hidup mereka dan keluarga mereka. Dalam pada itu, sebagai lapisan yang secara umum merupakan lanjutan langsung dari feodalisme, petani memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah. Wujud-wujud atau lapisan-lapisannya memiliki aspirasi dasar yang sama: kepemilikan pribadi atas tanah. Dalam kenyataannya, sejarah memperlihatkan kepada kita, bahwa pemberontakan-pemberontakan kaum tani kecil memiliki ciri yang sama: menuntut kepemilikan pribadi atas tanah. Sejarah juga menunjukkan bahwa dalam tiap-tiap konflik agraria, petani gurem dan petani menengah berusaha mempertahankan kepemilikan pribadi mereka atas tanah, demikian juga para tuan tanah dan kapitalis pertanian.
Dalam kaitannya dengan proyek pembebasan yang kita namakan revolusi sosialis, pengamatan dan analisis di atas mengantar kita pada beberapa hal tentang petani.
Pertama, selaku kaum Sosialis yang bertulangpunggungkan klas buruh atau proletariat, sudah seharusnya kita solider dengan para petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem. Petani penggarap dan buruh tani adalah kaum terhisap. Petani gurem adalah kaum tertindas. Dalam artian tertentu, demikian juga para petani menengah. Sebaliknya, kita melawan para tuan tanah dan kapitalis pertanian, yang menghisap para petani penggarap dan buruh tani serta menindas para petani gurem dan petani menengah. Komitmen moral kita selaku kaum Sosialis adalah solidaritas dengan kaum yang terhisap dan tertindas dan menentang kaum yang menghisap dan menindas.
Kedua, karena menyadari bahwa petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem merupakan entitas-entitas atau lapisan-lapisan yang terhisap dan tertindas, selaku kaum Sosialis yang bertulangpunggungkan klas buruh kita perlu melakukan kerja-kerja politik di antara mereka. Kita perlu menghubungkan mereka dengan klas buruh. Kita perlu menjadikan mereka bagian dari kekuatan revolusioner yang dahsyat untuk menghadapi kaum penghisap dan penindas serta menggulingkan tatanannya.
Ketiga, karena bahwa kaum tani yang terhisap dan tertindas terdiri dari berbagai lapisan yang berbeda-beda, kita perlu menyadari bahwa mereka tidak dapat melaksanakan peran yang independen. Tentu saja kita tidak menyangkal bahwa mereka dapat melaksanakan peran revolusioner. Kita sekadar menggarisbawahi bahwa mereka membutuhkan kepemimpinan dari klas yang lain. Dalam hal ini, setidaknya ada dua klas yang mungkin memimpin kaum tani yang terhisap dan tertindas, yakni klas buruh dan burjuasi nasional. Bila kepemimpinan ada pada burjuasi nasional, dalam konteks kapitalisme dewasa ini kaum tani yang terhisap dan tertindas akan menjadi bagian dari kekuatan yang konservatif dan reaksioner. Tapi bila kepemimpinan ada pada klas buruh, kaum tani yang terhisap dan tertindas akan menjadi bagian dari kekuatan revolusioner.
Keempat, kita juga perlu menyadari bahwa aspirasi dasar petani, termasuk petani penggarap, buruh tani, dan petani gurem tercakup dalam tuntutan dan agenda revolusi demokratik, bukan sosialis: kepemilikan pribadi atas tanah. Kenyataan ini memposisikan mereka dalam kedudukan yang ambivalen: sekutu yang memiliki kemungkinan untuk menjadi seteru klas buruh. Ini menjadi salah satu alasan yang meniscayakan Revolusi Permanen. Untuk itu, klas buruh harus berupaya keras meyakinkan kaum tani yang terhisap dan tertindas bahwa proyek pembebasan tidak bisa berhenti pada tuntutan dan agenda revolusi demokratik. Revolusi demokratik harus segera dibawa pada penyimpulannya. Penyimpulan itu adalah revolusi sosialis: pengambilalihan alat-alat produksi dari tangan kapitalis ke tangan rakyat pekerja (di bawah pimpinan klas buruh), yang mengorganisir diri dalam dewan-dewan buruh dan dewan-dewan komunal. Berhenti pada tuntutan dan agenda revolusi demokratik berarti membuka pintu lebar-lebar bagi kekuatan-kekuatan reaksioner (feodal dan kapitalis) untuk melancarkan dan memenangkan konter-revolusi yang pada gilirannya akan menjerumuskan mereka kembali ke dalam jurang penghisapan dan penindasan.
Selaku kaum Sosialis kita meyakini bahwa klas buruh atau proletariat mengemban tugas historis untuk menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Tapi pada saat yang sama kita menyadari keberadaan kaum yang terhisap dan tertindas lainnya, termasuk para petani penggarap, buruh tani, petani gurem, dan dalam cakupan tertentu petani menengah. Kita ingin melibatkan semua kaum yang terhisap dan tertindas dalam tugas historis yang berhakikatkan pembebasan umat manusia ini. Kita mengakui pentingnya dukungan mereka. Tapi kita menyadari bahwa klas buruh tidak boleh menghindar dari peran kepemimpinan revolusioner. Karena itu persekutuan klas buruh, kaum tani terhisap dan tertindas, kaum miskin kota, serta kaum yang terhisap dan tertindas lainnya, harus dipimpin oleh klas buruh, yang dengan konsekuen akan mentransfromasi revolusi yang semula sekadar berwatak demokratik menjadi revolusi yang berwatak sosialis.
Kepada segenap kaum tani yang terhisap dan tertindas, bergabunglah di bawah panji-panji revolusi sosialis proletariat! Sadarilah, masa depan Saudara-saudari, terletak pada kemenangan revolusi sosialis, dan itu berarti pada dukungan Saudara-saudari terhadap kepemimpinan revolusioner proletariat!
Kebon Jati, 23 Maret 2012