Ini hanya narasi kecil. Narasi heroik kaum tani di sebuah desa. Sebuah narasi yang berhasil saya rekam. Peristiwa perlawanan yang sengaja saya munculkan kembali, sebagai pijakan, untuk membuat perepektif tentang karakter politik dan kesadaran kelas kaum tani.
Beberapa hari lalu saya mengunjungi desa itu. Dinding rumah-rumah warganya masih tetap kusam. Seperti dinding istana Kremlin menjelang kematian Stalin. Hanya beberapa saja yang tampak terang dengan cat warna-warni. Hanya beberapa saja. Tidak banyak. Sekitar tiga atau empat.
Pemandangan seperti ini sudah cukup lama berlangsung. Pemandangan yang menggambarkan bahwa sesuatu pernah terjadi di desa ini. Ini tidak hanya terlihat dari suasana desa yang begitu kusam, tetapi juga garis-garis wajah warga yang masih tampak murung.
Ya, tiga tahun lalu, sebuah perlawanan warga pernah terjadi. Sekelompok warga – yang mayoritas petani – marah terhadap pemerintah desa karena membiarkan permainan licik dalam distribusi pupuk. Kemarahan sekelompok warga ini kemudian memicu kemarahan massa yang lebih besar. Akhirnya chaos. Kantor desa dibakar. Instabilitas psikologi warga terus-menerus berlangsung. Intimidasi terjadi di sana sini. Warga yang pernah tertangkap untuk diinterogasi polisi mendapatkan julukan baru yang tidak menyenangkan: PKI.
Kesadaran warga, yang berbuntut kemarahan, tidak serta-merta muncul. Agitasi dan propaganda pernah dimulai sejak beberapa tahun lalu oleh suatu organisasi serikat tani. Organisasi tani ini mencoba untuk mengajak warga menciptakan sebuah narasi kecil “sosialisme”; menciptakan kehidupan tanpa kelas dalam skala kecil; menciptakan kehidupan yang setara – tanpa penindasan – yang dimulai dari perlawanan kaum tani.
Perjuangan itu pada akhirnya gagal. Seluruh warga mengalami demoralisasi, termasuk pengurus-pengurus serikat yang sebagian besar masih berstatus mahasiswa. Sebagian pengurus serikat berpendapat bahwa kegagalan ini karena belum matangnya konsolidasi. Sebagian yang lain berpendapat bahwa kegagalan tersebut terjadi karena jumlah massa tani yang masih relatif kecil.
Dengan menggunakan analisa Marxis mengenai karakter kelas, dengan cepat bisa disimpulkan, secara fundamental, bahwa kegagalan tersebut terjadi bukan karena dua hal di atas, tetapi lebih karena karakter politik and ekonomi kaum tani di dalam sistem kapitalisme sekarang ini.
Perdebatan mengenai karakter politik kaum tani merupakan perdebatan lama di dalam gerakan. Di negeri-negeri dimana kaum tani masih merupakan mayoritas secara jumlah, apakah kaum buruh masih merupakan kekuatan revolusioner yang akan memimpin perjuangan menuju sosialisme?
Marxisme mengajarkan bahwa lahirnya sosialisme merupakan hasil dari kontradiksi kelas, yakni antara proletar dan borjuis. Masyarakat pedesaan tidak pernah melahirkan sebuah kelas yang dapat memenuhi tugas revolusioner menumbangkan kapitalisme dan mendirikan sosialisme. Sifat politik kaum tani tidak memungkinkan untuk memimpin dan membawa kemenangan sosialisme. Seperti apa sifat alamiah kaum tani? Mari kita lihat tulisan Marx, terkait dengan analisnya mengenai kaum tani di Prancis, dalam The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon: “Para petani kecil membentuk suatu massa yang luas, yang para anggotanya hidup dalam kondisi yang serupa tetapi tidak ada kesatuan hubungan antara satu dengan yang lain. Cara produksi mereka juga mengisolasi dari satu dengan yang lain, tidak membawa mereka ke dalam hubungan yang timbal balik. Kaum tani tidak membentuk sebuah kelas. Dengan demikian, mereka tidak mampu menegakkan kepentingan kelas mereka sendiri, baik melalui parlemen atau melalui konvensi. Mereka tidak dapat mewakili diri mereka sendiri, mereka harus diwakili.”
Selain itu, pandangan politik kaum tani yang bersifat kedaerahan, dan terisolasi dari hubungan politik dunia, juga akan menciptakan kesulitan-kesulitan yang luar biasa bagi konsolidasi revolusioner untuk membangun sosialisme, meskipun sosialisme dalam narasi kecil. Dalam kaitannya dengan buruh, maka posisi politik kaum tani adalah sebagai pendukung kaum buruh yang memang berkontradiksi langsung dengan kekuatan ekonomi-politik kapitalis.
Perbedaan antara kaum buruh dan kaum tani adalah bahwa, pada prinsipnya, kaum buruh, dengan diberi perspektif yang revolusioner, mampu memahami dinamika perjuangan karena berada dalam kontradiksi langsung dengan kapitalisme, sebagai musuh, sebagai entitas yang selama ini menindas mereka. Mereka, kaum buruh, secara sadar atau tidak sadar, akan terdorong terus untuk melakukan perlawanan. Kaum tani, pada prinsipnya, akan lambat dalam memahami dinamika perjuangan karena tidak berada secara langsung dalam kontradiksi, dan tidak terdorong secara terus-menerus. Perlawanan kaum tani sifatnya insidental. Dengan demikan, dengan istilah apapun, sosialisme tidak bisa lahir dari perjuangan kaum tani. Kemenangan perjuangan kaum tani – pada beberapa kasus, pada kebenaran historis dan ketepatan analisis – bukan kemenangan atas kapitalis, tetapi hanya kemenangan atas para tuan tanah dan borjuis kecil.
Tentu saya tidak akan berhenti di sini, dengan kesimpulan yang terkesan diskriminatif. Di negara-negara dimana petani merupakan mayoritas penduduk, seperti Indonesia, perspektif Marxis akan merumuskan apa yang harus dilakukan, apa yang seharusnya menjadi hubungan antara perjuangan kaum buruh dan kaum tani. Marx sendiri selalu mendukung perjuangan petani kecil terhadap feodal besar – sebagai elemen pokok dari revolusi borjuis – tetapi menentang perjuangan pemilik properti kecil (borjuis kecil) yang ingin memecah-mecahkan perusahaan besar untuk dijadikan perusahaan-perusahaan kecil. Tindakan ini, menurut Marx, kontra-revolusioner. Ketika kaum proletar memulai pertempuran melawan kapitalisme, membangun sosialisme untuk pertama kalinya, produksi skala besar tidak akan dipecah di antara produsen. Produksi skala besar yang sekarang dimiliki oleh kapitalis akan dinasionalisasi untuk dijadikan kepemilikan kolektif, karena ini akan menjadi sumber kekayaan masyarakat sosialis yang akan datang. Dalam program tahun 1850 untuk Liga Komunis di Jerman, Marx mengusulkan agar perkebunan feodal besar tidak harus didistribusikan kepada para petani, tetapi dikuasai oleh negara. Demikian pula program Bolshevik di Rusia. Program Bolshevik membagi-bagikan tanah feodal kepada kaum tani, namun perkebunan-perkebunan besar dan penting dinasionalisasi sebagai pertanian kolektif.
Perbedaan antara petani dengan proletar tidaklah rumit: yaitu suatu jalan yang berbeda untuk hal yang berbeda. Lenin dengan sangat tegas menekankan perbedaan ini. Gerakan tani juga bisa tangguh, kata Lenin, tetapi kemenangan gerakan petani sendirian tidak akan menghapus kapitalisme. Ini tidak berarti bahwa petani tidak akan memainkan peran penting dalam perlawanan untuk sosialisme, lanjut Lenin, tetapi peran itu hanya mungkin bersama dengan buruh dan di bawah kepemimpinan kaum buruh.